Rabu, 13 April 2011

MENGATASI PEMALU PADA ANAK

Anak Pemalu
Kategori Anak
Oleh : Martina Rini S. Tasmin, SPsi
Jakarta, 20 Maret 2002


Ibu Heny sangat terpesona dengan Dendi, anak tetangganya yang baru berumur 3 tahun. Dendi adalah seorang anak yang penuh percaya diri, riang dan lincah, tidak pernah takut bertanya ini itu dan dengan mantap menyapa orang yang baru dikenalnya. Kondisi tersebut sangat kontras jika dibandingkan dengan Adie (3 tahun), anaknya Ibu Heny. Setiap kali bertemu orang baru Adie selalu ingin terus-menerus berada dekat orangtuanya, menyembunyikan diri di balik rok ibunya, tidak mau diajak bicara dan tidak mau melakukan kontak mata. Situasi ini sangat membingungkan ibu Heny dan tidak jarang ia menjadi malu dan sedikit "jengkel" dengan perilaku anaknya.


Apakah anda mengalami hal yang sama dengan dialami oleh ibu Heny? Jika ya, apa yang sebaiknya dilakukan orangtua untuk meningkatkan rasa percaya diri pada anak sehingga sifat pemalu pada anak lambat laun menjadi hilang? Lalu apa dampaknya jika anak tidak kunjung memperoleh rasa percaya diri? Inilah yang akan coba dibahas dalam artikel ini. Artikel ini akan terbagi dalam beberapa bagian yaitu:

Apakah Pemalu itu
Dampak apakah yang akan mungkin timbul akibat sifat pemalu
Bagaimanakah sebaiknya orangtua menyikapi anak pemalu

Apakah Pemalu Itu




Para ahli nampaknya memiliki beberapa pandangan yang berbeda tentang perilaku pemalu (shyness). Ada ahli yang mengatakan bahwa pemalu adalah suatu sifat bawaan atau karakter yang terberi sejak lahir. Ahli lain mengatakan bahwa pemalu adalah perilaku yang merupakan hasil belajar atau respond terhadap suatu kondisi tertentu. Secara definitif, penulis menjabarkan pemalu sebagai suatu keadaan dalam diri seseorang dimana orang tersebut sangat peduli dengan penilaian orang lain terhadap dirinya dan merasa cemas karena penilaian sosial tersebut, sehingga cenderung untuk menarik diri


Kecenderungan menarik diri ini sudah dimulai sejak masa kanak-kanak, bahkan sejak bayi. Kita dapat melihat ada bayi-bayi yang menangis jika didekati orang atau tidak mau untuk dipegang. Sebaliknya ada juga bayi-bayi yang tidak pemalu, mereka membiarkan diri mereka berada dekat orang lain, dan tidak menolak digendong oleh orang yang tidak dikenal.


Swallow (2000) seorang psikiater anak, membuat daftar hal-hal yang biasanya dilakukan/dirasakan oleh anak yang pemalu:

menghindari kontak mata
tidak mau melakukan apa-apa
terkadang memperlihatkan perilaku mengamuk/temper tantrums (dilakukan untuk melepaskan kecemasannya)
tidak banyak bicara, menjawab secukupnya saja seperti "ya", "tidak", "tidak tahu", "halo"
tidak mau mengikuti kegiatan-kegiatan di kelas
tidak mau meminta pertolongan atau bertanya pada orang yang tidak dikenal
mengalami demam panggung (pipi memerah, tangan berkeringat, keringat dingin, bibir terasa kering) di saat-saat tertentu
menggunakan alasan sakit agar tidak perlu berhubungan dengan orang lain (misalnya agat tidak perlu pergi ke sekolah)
mengalami psikosomatis
merasa tidak ada yang menyukainya

Swallow juga menyatakan adanya beberapa situasi dimana seseorang (pemalu maupun tidak) akan mengalami rasa malu yang wajar dan lebih dapat diterima, yaitu:

bertemu dengan orang yang baru dikenal;
tampil di depan orang banyak;
situasi baru (misalnya sekolah baru, pindah rumah baru).


Kembali ke atas



Dampak Sifat Pemalu


Pada dasarnya pemalu bukanlah hal yang menjadi masalah ataupun dipermasalahkan, dan sudah pasti bukan merupakan abnormalitas. Tetapi masalah justru bisa muncul akibat sifat pemalu. Peribahasa malu bertanya sesat di jalan, menggambarkan secara tepat masalah yang dapat muncul karena rasa malu yang ada dalam diri seseorang. Misalnya, ketika berada di rumah teman/tetangga, anak ingin buang air kecil tetapi malu minta ijin ke toilet, sehingga menahan keinginan buang air yang akhirnya berakibat sianak malah mengompol.


Pemalu juga dapat menjadi masalah, jika sifat ini menyebabkan potensi anak menjadi terkubur dan anak tidak berkembang secara optimal sesuai dengan potensinya. Misalnya anak yang punya suara bagus dan berbakat menyanyi, tapi merasa malu untuk mengasah bakatnya dengan ikut koor, les vokal dan mengikuti kejuaraan, maka suara indahnya akan tersimpan sia-sia dan tidak bertambah indah. Hal ini sangat disayangkan baik bagi anak maupun orangtuanya.


Kembali ke atas



Apa yang sebaiknya dilakukan orangtua?


Tanpa mengabaikan pendapat bahwa pemalu merupakan bawaan/karakter terberi atau bukan, satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa lingkungan memegang peranan penting terhadap sifat pemalu ini. Anak akan semakin pemalu ataukah justru dapat mengatasi sifat pemalu ini, tergantung dari apakah lingkungannya (baca: orangtua) terus-terusan melindungi anak pemalu atau mendorongnya untuk mau menghadapi dunia luar sehingga anak menjadi lebih percaya diri.


Idealnya orangtua menerima sifat pemalu anak apa adanya tanpa mempermasalahkannya. Namun di lain pihak orangtua diharapkan untuk memampukan anak dalam mengatasi rasa malu sehingga anak merasa kompeten, percaya diri, berkembang sesuai dengan potensi yang ada di dalam dirinya dan megurangi masalah yang mungkin timbul sebagai akibat sifat pemalu. Seorang anak yang pemalu, tidak terus-terusan merasa malu dalam setiap situasi hidupnya. Ada situasi-situasi tertentu yang dapat membuatnya merasa percaya diri. Biasanya situasi tersebut adalah ketika anak sedang bersama orangtua ataupun anggota keluarga yang ditemuinya setiap hari (tanpa kehadiran orang baru/asing) atau situasi yang stabil/rutin dilalui anak. Kalau orangtua dari awal sudah mengetahui anaknya pemalu dan ingin mendorongnya agar mampu mengatasi rasa malu tersebut, maka sebaiknya dari awal itulah usaha orangtua sudah dilakukan. Usaha orangtua sebaiknya merupakan usaha yang bertahap, hari demi hari sampai akhirnya bertahun-tahun kemudian menampakkan hasilnya, seperti kata pepatah sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit.


Orangtua sebaiknya mendorong anak untuk berani keluar dan menghadapi dunia luar dengan percaya diri. Mendorong seorang anak pemalu untuk berani menghadapi dunia luar tidak bisa dilakukan secara tiba-tiba (drastis). Misalnya ketika orangtua sudah mencapai titik jenuh melindungi anaknya terus-menerus dan bingung melihat anaknya sampai usia sekian tahun masih tidak mau bergaul dengan anak tetangga, lalu dengan tiba-tiba melepaskan si anak dan mengatakan "ayo dong Adie, sekarang kamu sudah besar, kamu sekarang sudah harus berani, ayo sana bermain play station ramai-ramai dengan Deni di rumahnya". Perubahan sikap orangtua yang seperti ini bisa menjadi tekanan tersendiri buat si anak, karena yang biasanya aman dalam lindungan orangtua, tiba-tiba orangtua berubah melepaskan dan "tidak mau melindungi". Mendorong anak (encourage) tidak sama dengan memaksa (push), usaha yang tiba-tiba bukanlah mendorong, tetapi memaksa. Perasaan terpaksa akan membuat keadaan bertambah buruk karena anak ditempatkan pada keadaaan yang melebihi batas toleransinya, sehingga anak bisa jadi malah semakin menarik diri.


Ada beberapa hal yang dapat dilakukan orangtua untuk membantu anak mengatasi rasa malu, yaitu:

Orangtua sebaiknya tidak mengolok-olok sifat pemalu anak ataupun memperbincangkan sifat pemalunya di depan anak tersebut. Contohnya dengan mengatakan "kamu sih pemalu", "iya loh Bu Joko, anak saya ini pemalu sekali, sampai repot saya kadang-kadang", dll. Dengan mengatakan hal-hal ini anak dapat merasa tidak diterima sebagaimana dia adanya.
Mengetahui kesukaan dan potensi anak, lalu mendorongnya untuk berani melakukan hal-hal tertentu, lewat media hobi dan potensi diri. Misalnya, anak suka main mobil-mobilan, ketika berada di toko ia menginginkan mobil berwarna merah, sementara yang tersedia berwarna biru, maka anak bisa didorong untuk mengatakan kepada pelayan bahwa ia menginginkan mobil yang berwarna biru.
Sebaiknya orangtua secara rutin mengajak anak untuk berkunjung ke rumah teman, tetangga atau kerabat dan bermain di sana. Kunjungan sebaiknya dilakukan pada teman-teman yang berbeda. Selain secara rutin berkunjung, juga sebaiknya mengundang anak-anak tetangga atau teman-teman sekolah untuk bermain di rumah.
Lakukan role-playing bersama anak. Misalnya seperti pada contoh no. 2 diatas, anak belum tentu berani untuk berbicara pada pelayan toko sekalipun didampingi, maka ketika berada di rumah, orangtua dan anak bisa bermain peran seolah-olah sedang berada di toko dan anak pura-pura berbicara dengan pelayan. Role-playing dapat dilakukan pada berbagai situasi, berpura-pura di toko, berpura-pura di sekolah, berpura-pura ada di panggung, dll.
Jadilah contoh buat anak, orangtua tidak hanya mendorong anak untuk percaya diri, tetapi juga menjadi model dari perilaku yang percaya diri. Anak biasanya mengamati dan belajar dari perilaku orangtuanya sendiri.


Apapun usaha yang dilakukan, sebaiknya orangtua tetap mendampingi dan tidak langsung melepaskan anak seorang diri. Misalnya ketika diminta bicara pada pelayan toko, orangtua berada di samping anak, atau ketika mengajak main ke rumah temannya, orangtua tetap berada di rumah temannya itu (anak main bersama temannya tapi dia tahu orangtuanya ada dan tidak meninggalkan seorang diri). Anak bisa dibiarkan melakukan seorang diri, jika dilihat rasa percaya dirinya sudah berkembang.

MENGATASI SIKAP NGGAK ENAKKAN

Mengatasi Sikap Nggak Enakan
Oleh : Ima Effendi
Jakarta, 10 November 2010

Seorang teman mengeluhkan sikapnya yang kerap mengorbankan diri karena perasaan nggak enak terhadap orang lain atau sebuah situasi dan kondisi. Ia mencontohkan sebuah situasi ketika ia harus membatalkan sebuah acara yang musti ia tandangi hanya karena ada tamu tak diundang bertandang kerumahnya ketika ia hendak berangkat, ketika ia membiarkan seorang pelayan restoran yang salah menghitung jumlah kembalian uang yang semestinya ia dapatkan, ketika ia enggan menegur seorang karyawan hanya karena mengetahui latar belakang keluarganya kurang mampu, ketika ia sulit mengatakan "tidak" kepada tetangga atau kerabat yang meminta bantuan finansial dan beragam peristiwa lainnya.

Dalam beberapa kasus memang kita bisa memaklumi sikap-sikap yang diambil oleh teman saya tetapi baginya, too much is enough, sesuatu di dalam hatinya berteriak meminta tolong. Selain telah merasakan kerugian langsung baik materiil, ia juga sudah tidak lagi mampu mengatasi dampak dari kerugian tenaga dan waktu yang menjadi akibat dari sikap yang ia sebut Nggak Enakan.

Nggak Enakan atau Tidak Berprinsip?

Budaya timur dalam masyarakat kita memang telah menanamkan harmonisasi dan tenggang rasa dengan sesama namun ini bukan berarti karena adanya nilai-nilai ini kita lantas bisa dengan mudah mengabaikan nilai-nilai prinsipil tiap pribadi yang juga harus dijaga dan dipertahankan oleh seseorang, apalagi jika sudah berkaitan dengan hak-hak asasi yang dimilikinya. "Mengorbankan diri" demi menghindari konflik atau situasi yang tidak nyaman tidak dibenarkan. Harmonisasi dan tenggang rasa itu tidak benar adanya jika tercapai diatas keuntungan satu pihak dan kerugian di pihak lain.

Sebelumnya kita musti melihat terlebih ke dalam diri. Apakah saya memiliki prinsip hidup? Darimana prinsip itu berasal? Pendidikan dalam keluarga dan Religi tentu saja telah menanamkan kejujuran, keadilan, disiplin dan lain sebagainya. Prinsip ini menjadi bagian dari sikap dan kepribadian seseorang. Berbeda dengan aturan, prinsip sifatnya lebih instrinsik. Prinsip adalah keyakinan yang mendasari aturan yang kita pakai dalam menjalani kehidupan. Di kantor atau organisasi Anda pasti ada banyak aturan kerja. Dengan beragam alasan, rasionalisasi atau karena memang masa bodoh, Anda bisa saja melanggar aturan-aturan itu. Anda bahkan bisa melanggar aturan tanpa menyadarinnya. Tetapi, ketika prinsip dilanggar, tidak mungkin Anda tidak menyadarinya. Hati Anda akan bergejolak, ada perasaan tarik-menarik antara kenyataan diluar dan kecamuk dalam dada. Ketika prinsip dilanggar, orang akan dengan normal merasakan kebimbangan, perasaan bersalah dan kecewa pada diri sendiri. Dalam kasus teman saya, ia sudah sampai taraf kehilangan jati dirinya sendiri.

Jika memang kejujuran, keadilan, disiplin dan lain sebagainya adalah betul menjadi prinsip hidup Anda dan Anda sendiri tidak memiliki keberanian untuk mempertahankannya, maka nilai-nilai itu bukanlah sebuah prinsip tetapi hanyalah tujuan hidup yang tidak cukup suci. Jadi, apakah Anda betul-betul nggak enakan atau memang orang yang tidak berprinsip? Silahkan tanyakan pada diri Anda sendiri. "Apa sih hal-hal yang akan membuat Anda berani berjuang untuk mempertahankannya?"

Berprinsip tanpa Konflik

Tanpa prinsip, maka cara Anda mengambil keputusan dalam kehidupan ini akan selalu didasarkan pada emosi, situasi dan kondisi sehingga ego akan mengalahkan etika. Meski mempertahankan prinsip itu sesuatu yang sulit dilakukan oleh sebagian orang tetapi tidak mempertahankannya akan jauh lebih merugikan.

Seseorang yang berani mempertahankan prinsipnya akan merasakan sebuah kepuasan diri. Ia akan tahu potensi dirinya dan posisinya dan bisa bersikap sedikit keras kepala untuk tidak bergeming. Hal ini tentu saja bukan sikap negatif jika konteksnya adalah mempertahankan prinsip hidup Anda yang suci. Tapi tentu saja dengan catatan, Anda melakukannya bukan karena demi keuntungan pribadi (hal ini mudah dilakukan tanpa memiliki prinsip hidup) namun Anda melakukannya karena karakter, kesadaran dan batin Anda mengandalkan Anda. Anda melakukannya seolah hidup Anda bergantung pada prinsip itu.

Pada akhirnya jika Anda berani mempertahankan prinsip hidup, Anda akan merasakan kedamaian dan percaya diri yang membantu pada penemuan jati diri Anda. Jika Anda adalah seorang pemimpin perusahaan, anak buah Anda akan "melihat" ini sebagai sebuah sikap kewibawaan dan kepemimpinan yang profesional, jika Anda adalah seorang Ibu atau Ayah tentu saja ini adalah sebuah sikap keteladanan yang luhur. Sebagai sebuah pribadi, Anda tidak akan lagi menjadi pribadi yang plin-plan, lemah, pengecut, tidak lagi mudah dimanfaatkan dan mudah dilecehkan hak-haknya oleh orang lain. Semoga bermanfaat.

MENGATASI SIKAP NGGAK ENAKKAN

Mengatasi Sikap Nggak Enakan
Oleh : Ima Effendi
Jakarta, 10 November 2010

Seorang teman mengeluhkan sikapnya yang kerap mengorbankan diri karena perasaan nggak enak terhadap orang lain atau sebuah situasi dan kondisi. Ia mencontohkan sebuah situasi ketika ia harus membatalkan sebuah acara yang musti ia tandangi hanya karena ada tamu tak diundang bertandang kerumahnya ketika ia hendak berangkat, ketika ia membiarkan seorang pelayan restoran yang salah menghitung jumlah kembalian uang yang semestinya ia dapatkan, ketika ia enggan menegur seorang karyawan hanya karena mengetahui latar belakang keluarganya kurang mampu, ketika ia sulit mengatakan "tidak" kepada tetangga atau kerabat yang meminta bantuan finansial dan beragam peristiwa lainnya.

Dalam beberapa kasus memang kita bisa memaklumi sikap-sikap yang diambil oleh teman saya tetapi baginya, too much is enough, sesuatu di dalam hatinya berteriak meminta tolong. Selain telah merasakan kerugian langsung baik materiil, ia juga sudah tidak lagi mampu mengatasi dampak dari kerugian tenaga dan waktu yang menjadi akibat dari sikap yang ia sebut Nggak Enakan.

Nggak Enakan atau Tidak Berprinsip?

Budaya timur dalam masyarakat kita memang telah menanamkan harmonisasi dan tenggang rasa dengan sesama namun ini bukan berarti karena adanya nilai-nilai ini kita lantas bisa dengan mudah mengabaikan nilai-nilai prinsipil tiap pribadi yang juga harus dijaga dan dipertahankan oleh seseorang, apalagi jika sudah berkaitan dengan hak-hak asasi yang dimilikinya. "Mengorbankan diri" demi menghindari konflik atau situasi yang tidak nyaman tidak dibenarkan. Harmonisasi dan tenggang rasa itu tidak benar adanya jika tercapai diatas keuntungan satu pihak dan kerugian di pihak lain.

Sebelumnya kita musti melihat terlebih ke dalam diri. Apakah saya memiliki prinsip hidup? Darimana prinsip itu berasal? Pendidikan dalam keluarga dan Religi tentu saja telah menanamkan kejujuran, keadilan, disiplin dan lain sebagainya. Prinsip ini menjadi bagian dari sikap dan kepribadian seseorang. Berbeda dengan aturan, prinsip sifatnya lebih instrinsik. Prinsip adalah keyakinan yang mendasari aturan yang kita pakai dalam menjalani kehidupan. Di kantor atau organisasi Anda pasti ada banyak aturan kerja. Dengan beragam alasan, rasionalisasi atau karena memang masa bodoh, Anda bisa saja melanggar aturan-aturan itu. Anda bahkan bisa melanggar aturan tanpa menyadarinnya. Tetapi, ketika prinsip dilanggar, tidak mungkin Anda tidak menyadarinya. Hati Anda akan bergejolak, ada perasaan tarik-menarik antara kenyataan diluar dan kecamuk dalam dada. Ketika prinsip dilanggar, orang akan dengan normal merasakan kebimbangan, perasaan bersalah dan kecewa pada diri sendiri. Dalam kasus teman saya, ia sudah sampai taraf kehilangan jati dirinya sendiri.

Jika memang kejujuran, keadilan, disiplin dan lain sebagainya adalah betul menjadi prinsip hidup Anda dan Anda sendiri tidak memiliki keberanian untuk mempertahankannya, maka nilai-nilai itu bukanlah sebuah prinsip tetapi hanyalah tujuan hidup yang tidak cukup suci. Jadi, apakah Anda betul-betul nggak enakan atau memang orang yang tidak berprinsip? Silahkan tanyakan pada diri Anda sendiri. "Apa sih hal-hal yang akan membuat Anda berani berjuang untuk mempertahankannya?"

Berprinsip tanpa Konflik

Tanpa prinsip, maka cara Anda mengambil keputusan dalam kehidupan ini akan selalu didasarkan pada emosi, situasi dan kondisi sehingga ego akan mengalahkan etika. Meski mempertahankan prinsip itu sesuatu yang sulit dilakukan oleh sebagian orang tetapi tidak mempertahankannya akan jauh lebih merugikan.

Seseorang yang berani mempertahankan prinsipnya akan merasakan sebuah kepuasan diri. Ia akan tahu potensi dirinya dan posisinya dan bisa bersikap sedikit keras kepala untuk tidak bergeming. Hal ini tentu saja bukan sikap negatif jika konteksnya adalah mempertahankan prinsip hidup Anda yang suci. Tapi tentu saja dengan catatan, Anda melakukannya bukan karena demi keuntungan pribadi (hal ini mudah dilakukan tanpa memiliki prinsip hidup) namun Anda melakukannya karena karakter, kesadaran dan batin Anda mengandalkan Anda. Anda melakukannya seolah hidup Anda bergantung pada prinsip itu.

Pada akhirnya jika Anda berani mempertahankan prinsip hidup, Anda akan merasakan kedamaian dan percaya diri yang membantu pada penemuan jati diri Anda. Jika Anda adalah seorang pemimpin perusahaan, anak buah Anda akan "melihat" ini sebagai sebuah sikap kewibawaan dan kepemimpinan yang profesional, jika Anda adalah seorang Ibu atau Ayah tentu saja ini adalah sebuah sikap keteladanan yang luhur. Sebagai sebuah pribadi, Anda tidak akan lagi menjadi pribadi yang plin-plan, lemah, pengecut, tidak lagi mudah dimanfaatkan dan mudah dilecehkan hak-haknya oleh orang lain. Semoga bermanfaat.

REMAJA MENCARI SOLUSI

Remaja Mencari Solusi
Oleh : Jacinta F. Rini
Jakarta, 05 Juli 2010
Orang dulu bilang, masa remaja adalah masa yang paling indah, masa yang penuh kenangan manis dan meski ada pahitnya, amat berkesan sepanjang masa. Nah, apakah orang jaman sekarang juga menganggap masa remaja adalah masa yang paling indah? Ada kemungkinan jika diteliti, ada sebagian yang mengatakan "ya", tapi sebagian juga mengatakan "tidak" dan ada sebagian lagi yang menganggap "tidak tahu" atau "have no idea". Yang pasti, masa-masa remaja tidaklah semudah dan semanis yang dilihat orang. Iklan selalu lebih bagus dari kenyataan. Ceria di luar belum tentu seceria di dalam; bisa jadi ceria yang di luar untuk menyembunyikan berbagai hal yang berkecamuk di dalam.

Sebenarnya, apa sih masalah yang sering membuat gundah remaja? Kalau ditanya, banyak yang hanya mendelikkan mata, angkat bahu atau menggelengkan kepala. Entah karena malas untuk dipikirkan atau pun terlalu rumit untuk dijawab. Tapi secara umum, ada beberapa hal jika diuraikan :

1. Problem dengan teman
Remaja sering dipusingkan dengan teman-teman sendiri. Di satu pihak mereka sangat butuh teman untuk jadi tempat curhat, ketawa ketiwi, rame bareng, main, gaul, atau jadi kebanggaan tersendiri kalau bisa gabung dengan teman-teman itu. Tapi di lain pihak, teman-teman yang sama bisa jadi persoalan ketika mulai ada ketidaksamaan yang sulit dijembatani tanpa menipu diri.

2. Problem cinta
Jatuh cinta tidak selalu berjuta rasanya, karena banyak lika liku yang dihadapi. Jangan anggap remeh urusan patah hati, karena moment itu bisa membuka pintu berbagai persoalan yang selama ini ditekan, disembunyikan, diabaikan, dsb. Dengan catatan, jika di masa sebelumnya, remaja sudah punya persoalan tersendiri yg kompleks tapi di-repress habis.

3.Problem akademik
Setiap remaja pasti ingin naik kelas, bahkan kalau bisa jadi juara. Tapi tidak mudah dapat nilai baik, selain pelajarannya sulit, disiplin diri lebih sulit lagi. Bellum lagi kalau banyak tugas kelompok dan tugas praktikum bagi yang sudah di SMU atau kuliah.kompetisi di sekolah, bisa menjadi motivator namun ada yang menganggapnya sebagai ancaman.

4. Problem dengan orang tua dan anggota keluarga lain
Generation gap membuat komunikasi anak dengan orang tua sering on off bahkan kurang nyambung. Beda perspektif, beda pendapat, beda kesenangan, beda kebiasaan, dsb. Selain itu, remaja sering bersitegang dengan orangtua, merasa kurang dimengerti dan terpaksa nurut karena takut. Belum lagi jika orangtua atau anggota keluarga lain yg serumah mengalami masalah berat sampai berpengaruh pada yang lain.

5.Problem diri sendiri
Remaja sering bingung dengan diri sendiri. Keinginan banyak, realisasi kurang.remaja juga sering bertanya, “kenapa kok aku beda dengan dia?” “Kenapa aku selalu nggak PD ?” “Kenapa sih aku selalu berubah-ubah? Kenapa emosiku tidak stabil?” Dan masih banyak persoalan yang berakar dari dalam diri.

Mekanisme Pertahanan Diri
Tentu tidak mudah menangani problem 5 dimensi. Jangankan remaja, orang dewasa sekalipun banyak yang tidak sukses mengelola problem-problem tersebut. Tidak jarang, cara-cara yang dilakukan untuk mengatasi problem malah menimbulkan problem baru.

Krisis dan masalah sering membuat perasaan kita jadi tidak enak, gelisah, sedih, marah, dsb. Hampir dipastikan ada reaksi spontan dari dalam diri untuk mengatasi ketidaknyamanan itu. Mulai dari tindakan ringan sampai ekstrim. Masalahnya, apakah tindakan itu menyelesaikan masalah, atau sekedar mengobati perasaan; atau keduanya, atau tidak keduanya - alias, tidak menyelesaikan masalah dan tidak juga mengobati perasaan.

Beberapa cara yang umum dilakukan saat remaja mengalami krisis :
Makan, nonton, jalan-jalan
Mengurung diri and do nothing, hanya melamun, menangis, mengkhayal
Marah-marah, berantemin orang-orang dan melampiaskan emosi pada orang lain atau pada benda-benda di sekelilingnya
Makin gencar ollah raga dan aktivitas fisik lainnya, seperti renang, tennis, lari, bersepeda, naik gunung, martial art, dsb
Tidur
Curhat dengan teman,sms, fb-an, menelpon sana sini
Baca buku, prakarya (artcraft), main musik, ciptain lagu dan syair, bikin puisi, menggambar, membuat kue, memasak, berkebun, menulis buku harian, dsb
Beres-beres dan bersih-bersih
Merokok
Mabuk-mabukkan dan menggunakan narkoba
Mengurus hewan peliharaan
Mengurus / utak atik mekanik mobil, motor atau mesin atau bahkan bikin perabotan kecil-kecilan
Self-sabotage /sabotase diri, seperti tidak makan, tidak mau belajar, tidak sekolah/kuliah, tidak mau mandi, dsb
Pornografi dan gameografi
Masih banyak reaksi tindakan lain, namun kalau dikategorikan sebenanrnya hanya ada 2 macam : destruktif atau konstruktif. Yang destruktif jelas merugikan diri sendiri dan sudah tentu merepotkan orang lain; sebaliknya, yang konstruktif memberikan efek positif paling tidak bagi diri sendiri. Emosi surut, ada hasil yang bisa dinikmati pula, apalagi jika orang lain juga kena manfaatnya.

Masalahnya, tidak semua remaja bisa punya cara konstruktif. Jaman sekarang ini, kegiatan positif seperti mengerjakan hobi dan ketrampilan, sepertinya sudah banyak ditinggalkan, dan diganti dengan hang out untuk sekedar jalan-jalan, nonton, gossip, main game dan on line game, browsing internet, atau tidur-tiduran. Tanpa sadar, miskinnya kegiatan ini membuat remaja bukan saja jadi malas, tapi jadi nggak percaya diri ketika berhadapan dengan masalah.

Tentu saja mereka-mereka ini mudah panik dan cemas, takut dan bingung kalau tiba-tiba kena masalah. Biasanya, mereka mencoba mengandalkan bantuan teman-teman; ya kalau punya teman. Celakanya kalau tidak punya teman, mau bicara sama siapa? Mau minta tolong sama siapa? Yang punya teman pun belum tentu problemnya bisa beres karena teman-teman mereka kebanyakan berkebiasaan yang sama. Makan, nonton, jalan, shopping, gossip, gaming, nongkrong..solusi apa yang bisa muncul dari situ? Hiburan sesaat mungkin ya, tapi bukan solusi. Bahkan kalau dipikir panjang, kebiasaan-kebiasaan itu kan mahal, butuh biaya. Jadi bisa kebayang, kalau reaksi tindakan tersebut bakal tidak efektif selain mahal, juga tidak memberi jalan keluar.

Sementara, remaja-remaja yang punya kebiasaan dan kegiatan konstruktif, menyalurkan emosi dan keresahan pada kegiatannya tersebut. Secara psikologis, ketika emosi tersalur dengan cara dan media positif, tidak sekedar membantu menenangkan pikiran, meredakan ketegangan dan menurunkan stress. Kegiatan konstruktif justru membantu otak membuka kebuntuan-kebuntuan alternatif. Dikala emosi disalurkan dan dikelola secara positif, otak tetap aktif bekerja sehingga sering kita menemukan jawaban atas pertanyaan diri, menemukan insight atas masalahnya, melihat makna dan tujuan, bahkan melihat beberapa alternatif jalan keluar yang bisa dicoba. Maka, lain halnya, kalau badan dan otak di pasif-kan.

Apa akibatnya kalau masalah dibiarkan berlarut-larut?
Beberapa keluhan yang sering dialami remaja, seperti sulit konsentrasi, kehilangan motivasi dan semangat, nilai pelajaran turun, dijauhi teman, makin suka mengkhayal dan berfantasi, terlibat hubungan homoseksual atau lesbian, kecanduan minum atau drugs, pornografi, onani/masturbasi, depresi, hingga terlibat tindakan yang bisa membahayakan jiwa dirinya seperti ingin bunuh diri atau membahayakan orang lain, seperti agresi. Masalahnya, dengan tidak melakukan apa-apa, masalah tetap ada bahkan bertambah kompleks karena ketambahan masalah harian lain. Nah, kalau sudah begini, tentu saja remaja merasa masalah lebih besar dari dirinya. Remaja makin merasa terbeban, tertekan, inferior dan stress. Kerentanan ini lah yang menyebabkan remaja gampang sekali kena bujuk entah ikut kelompok radikal atau terjerumus dalam tindakan melanggar hukum, serta terjerat lingkaran narkoba.

Menghadapi pertanyaan orang tua, terutama, menjadi masalah yang luar biasa besarnya. Remaja jadi kian sensi jika orang tua mulai khawatir dan sering memberi wejangan. Yang sering terjadi, remaja merasa orang tua tidak mau mengerti, sementara orang tua merasa anaknya tidak mau terbuka. Komplit sudah masalahnya!

Mencari jalan keluar
Hubungan yang pura-pura baik (karena seolah terlihat harmonis di luar), lebih sering mengalami jalan buntu ketimbang jalan keluar, karena sama2 memaksakan kehendak dan jalan pikirannya sendiri-sendiri, teori dan asumsi masing-masing. Pun jika ada salah satu pihak yang mengalah dan nurut, motivasinya untuk menghindari pertengkaran dan resiko lain. Jadi, bukan menyelesaikan masalah, tapi menunda masalah dengan cara mendem jero, atau di repress. Nurutnya remaja dengan cara mendem jero, sangat tidak sehat bagi remaja itu sendiri dan hubungan dengan orang tua maupun teman-teman.

Selain memendam beban perasaan kesal, sakit hati, kecewa, remaja juga memendam keinginan, ide-ide yang kalau dieksplorasi bisa membawanya pada solusi betulan, yang dibutuhkan; bahkan bisa membuatnya jadi kuat karena menemukan identitasnya lewat pengalaman-pengalaman ketika krisis.Tapi karena tidak berani menyatakan sikap dan mengambil resiko, pilihan untuk submisif dan nurut adalah yang termudah. Setelah beberapa waktu berlalu, bisa berminggu, berbulan atau bertahun, baru terlihat kalau ternyata masalahnya tidak selesai dan mentalitas sang remaja malah makin lemah karena makin tidak berdaya dan makin tergantung pada orang lain, tidak berani berinisiatif dan bereksplorasi.

Keadaan ini bisa lebih parah jika remaja tidak punya hak bicara dan menyatakan pendapat. Tapi tidak selamanya begitu, ada juga remaja yang sudah diberi hak apapun, tetap tidak mau dan malas berinisiatif dan berusaha karena takut susah, takut salah dan takut sakit (emotional pain). Kondisi yang pertama, bisa membuat remaja kian frustrasi, stress, depresi, bahkan mengalami problem psikologis atau jadi apatis dan fatalistik. Kondisi kedua, membuat remaja malas, juga apatis, pathetic, depresi bahkan bisa jadi antisosial. Bayangkan saja, dilimpahi segala macam, tanpa diharuskan bertanggung jawab atas setiap tindakannya. Remaja jenis ini, menggadaikan freedom and liberty - menurut istilah Erich Fromm, “escape from freedom”, menggadaikan kemerdekaan jiwa demi kenyamanan semu. Inilah yang membuat jiwa 'mati selagi hidup'.

Oleh karenanya, keterbukaan adalah pintu gerbang untuk berbagai alternatif solusi yang tersedia. Remaja sering merasa 'tak punya pilihan lain' padahal karena memang belum pernah atau tidak mau menengok ke sudut lain. Ada juga yang begitu lantaran tidak pernah diajarkan dan di encourage untuk mencoba menjalani hidup dan memandang diri sendiri dengan cara yang berbeda dari kebiasaan. Jadi, bayangkan saja jika hidup remaja hanya diwarnai dengan 2 hal hitam putih, buruk baik, susah atau enak, begini atau begitu, bagaimana remaja tidak gampang stress dan frustrasi kalau ketimpa krisis?

Apa yang bisa dilakukan remaja jika dirinya mengalami masalah?
1. Diskusikan dengan orang yang tepat
Teman tidak selalu pihak yang tepat, apalagi jika hanya mengkonfirmasi hal-hal yang ingin di dengar. Teman seperti ini, hanya menambah pikiran dan beban emosional, tapi belum tentu punya solusi. Carilah orang yang mungkin saja punya pendapat dan jalan pikiran yang beda. Perbedaan itu membuat otak berpikir kritis dalam membaca persoalan, sehingga sedikit demi sedikit diperoleh gambaran yang obyektif akan apa yang sebenarnya terjadi. Cara ini membantu menentukan tindakan apa yang sebaiknya dilakukan.

Hanya, ada catatan penting, bahwa pola ini efektif membawa hasil jika ada kerendahan hati untuk mau mengakui dan bisa melihat sikap/tindakan diri sendiri yang menyebabkan terjadinya masalah. Sikap defensive, membuat apapun saran dan tawaran solusi, mental. Sebaliknya, sikap defensive, baik itu berupa keengganan menerima kritik, malu kalau kelihatan kurangnya, sehingga menutup diri atau diam-diam saja seolah tidak terjadi apa-apa, membuat masalah tidak selesai, meski dengan berlalunya waktu. Waktu tidak menyelesaikan persoalan.

2. Lakukan tanggung jawab kita
Tanggung jawab harian kita, adalah obat mujarab bagi setiap persoalan. Tanpa kegiatan, energy stuck, pikiran buntu, emosi membludak, kecemasan meningkat, kecurigaan dan pikiran negatif bertambah. Jadi, apa yang harus dilakukan, lakukanlah sebaik mungkin, seoptimal mungkin, bukan demi orang lain, tapi itu adalah anak tangga menuju jalan keluar dan kunci memelihara stamina mental serta memberikan therapeutic effect. Jadi, jangan hindari apalagi hentikan kegiatan yang jadi tugas kita dengan dalih 'sedang tidak mood'.

3. Jalani hobi dan kegiatan positif
Seperti uraian di atas, menekuni hobi adalah kegiatan nurturing our soul. Melepaskan tekanan, mengelola emosi dan menenangkan batin. Kita bisa berdialog dengan diri sendiri dan bahkan mendengarkan petunjuk bijak Tuhan, justru saat asik mengerjakan hobi.

4. Berinisiatif untuk mencari solusi dan realisasikan dalam tindakan
Bergerak dan mengusahakan sekecil apapun tindakan, akan membawa perbedaan besar. Meskipun usahanya mentok, bukan berarti gagal, malah memberi pengetahuan baru bahwa perlu cara lain untuk melangkah berikutnya.

5. Membuka diri, mau melihat sisi lain
Ibarat belajar, jangan hanya membaca dari 1 buku atau 1 orang dan menganggap itu satu-satunya yang paling baik dan benar. Coba cari teori dan penjelasan lain tentang masalah yang dihadapi, bisa dengan bertanya pada profesional yang accessible, baik secara langsung maupun tak langsung (lewat email/internet) banyak web site yang menyediakan informasi yang dibutuhkan remaja untuk membantunya memahami, apa sih yang sebenarnya terjadi.

6. Membuka akses komunikasi yang baru
Membuka jalur-jalur komunikasi yang baru, merintis jalur kegiatan baru dan membuka diri terhadap orang-orang yang punya kepribadian positif. Remaja bisa banyak belajar dari orang-orang yang jauh lebih matang dalam kepribadian dan pengalaman; karena orang-orang itu juga pernah jadi remaja dan mengatasi kompleksitas kehidupan mereka saat itu.

7. Merubah kebiasaan
Tanpa sadar, banyak dari kebiasaan dan rutinitas yang malah memacetkan pertumbuhan kedewasaan dan penemuan diri. Rutinitas memang membuat nyaman, tapi jadi tidak sehat kalau kita takut merubah kebiasaan hanya karena takut kehilangan kenyamanan atau cemas menghadapi ketidakpastian dari sesuatu yang baru.

8. Berhenti meracuni diri sendiri
Banyak orang yang ketika sedang emosional, punya kebiasaan meracuni diri sendiri. Merokok, minum, narkoba, bahkan overeating atau malah tidak mau makan sama sekali, adalah tindakan meracuni diri. Tidak hanya itu, entertaining asumsi buruk, kecurigaan terhadap orang lain, berpikir negative tentang diri sendiri, memendam marah, sakit hati, sedih, benci dan iri, adalah bentuk lain dari meracuni diri. Berbagai hal itu perlu di kelola dan di buang dengan cara yang tepat dan sehat, supaya tidak berdampak negative buat diri sendiri maupun orang-orang di sekeliling kita. Istilah kerennya, GIGO – garbage in, garbage out. Kalau yang dimasukkan buruk, maka yang keluar juga buruk, pikiran buruk akan menghasilkan tindakan buruk, tindakan buruk akan menghasilkan reaksi buruk dari sekeliling. Mulailah bertindak selektif, kalau tidak positif – ya untuk apa di lakukan kalau nantinya hanya merugikan diri sendiri, apalagi orang lain.

9. Berpikir Positif
Prinsip yang harus di yakini, bahwa selama hidupnya, manusia pasti menghadapi masalah karena dari masalah kita belajar menjadi bijak, pandai dan dewasa. Jadi, krisis dan masalah bukanlah akhir dari segalanya, tapi awal dari perjalanan, bekal dalam menempuh petualangan hidup. Carilah segi positif dari masalah yang sedang dihadapi, pasti ada manfaat di balik semua ini. Orang mengatakan “blessing in disguise”.

10. Bantulah orang lain!
Setiap orang pasti punya masalah, berat ringannya tergantung persepsi dan kemampuan masing-masing. Kita suka menganggap masalah kita yang paling berat, padahal banyak masalah teman-teman dan orang di sekeliling kita yang punya masalah jauh lebih berat. Kita tidak tahu karena kita tidak cukup membuka diri terhadap mereka, menyediakan diri untuk memahami kehidupan mereka. Pikiran kita terfokus pada masalah kita sendiri sampai tidak tahu kalau ada teman yang kesusahan atau tetangga yang perlu bantuan. Nah, buatlah diri kita berarti bagi orang lain. Tidak usah harus menjadi pahlawan, lakukan saja apa yang semestinya dan bisa kita lakukan untuk meringankan beban hidup orang lain. Kita bahagia kalau kita bisa membantu orang lain. Bukankah kita hidup di dunia ini untuk bisa membawa kebaikan dan berkah bagi sesama?

Meskipun masalah remaja begitu kompleks, namun di dunia ini juga sudah tersedia jawaban dan solusinya. Kuncinya, remaja perlu bereksplorasi dan proaktif dalam menempuh petualangan hidupnya. Ketakutan dan berbagai perasaan itu pasti ada, tapi jangan sampai dijadikan alasan untuk berhenti berjalan. Persoalan saat ini jangan menjadi akhir dari segalanya. Perjalanan hidup masih panjang, masih banyak petualangan menarik untuk dilalui. Pandai-pandai mengelola perasaan dan persoalan selama berpetualang, sementara jangan kehilangan focus ke masa depan. Teruslah melangkah dan nikmati setiap moment dalam hidup ini sebagai anugerah kehidupan.

Semoga bermanfaat!