Rabu, 27 Juli 2011

Tradisi Membaca

Oleh : Ubaydillah, AN


Membaca Bagi Manusia

Kalau mau jujur, dalam keadaan apapun kita, pasti ada tindakan yang baik, yang benar, atau yang bermanfaat, yang bisa kita lakukan untuk anak-anak kita. Salah satunya adalah perpustakaan di rumah. Perpustakaan di sini tak harus kita pahami seperti layaknya perpustakaan yang sudah kita ketahui.



Mungkin bisa kita sederhanakan menjadi semacam koleksi buku.Yang penting, dari sekian benda / perabot yang kita miliki, perlu ada benda yang namanya buku bacaan. Dari sekian space yang kita pakai di rumah, perlu ada space yang kita pakai untuk membaca. Dari sekian kegiatan di rumah, perlu ada kegiatan yang namanya membaca sebagai tradisi.



Kenapa ini menjadi penting? Kalau melihat perkembangan manusia dari sisi teori dan prakteknya, membaca punya peranan penting bagi manusia. Yang sangat bisa kita rasakan, membaca tidak saja akan menambah pengetahuan kita tentang dunia ini. Membaca juga akan menambah pengetahuan kita tentang diri kita.



Jika merujuk ke istilah dalam psikologi, membaca dapat memperbaiki konsep-diri bagi anak-anak dan orang dewasa. Baik langsung atau tidak, anak-anak yang otaknya sering kemasukan materi positif, misalnya cerita kepahlawanan atau apa saja, pasti materi itu akan ikut aktif membentuk kepribadian, karakter, dan opini si anak tentang dirinya.



Seperti yang sudah sering kita bahas di sini, konsep diri itu terkait dengan tingkat kepercayaan diri, motivasi diri, dan kebahagian diri. Anak yang kurang terinspirasi untuk mengetahui sisi-sisi positif dari dirinya, akan merasa minder atau punya mentalitas lemah, yang sedikit-dikit merasa tidak mampu atau tidak bisa. Konsep diri merupakan modal penting bagi anak-anak untuk meraih prestasi.



Selain itu, membaca juga sudah terbukti dapat memunculkan inspirasi atau refleksi yang merupakan modal penting juga untuk membuat hidup menjadi lebih baik. Detail materi yang dibaca anak kita atau yang kita baca, bisa jadi akan terlupakan. Tapi, pelajaran yang kita serap dari materi itu biasanya akan abadi.



Mungkin hal semacam itu yang bisa menjawab adanya fakta yang tidak berbanding lurus antara kematangan mental dan prestasi akademik. Kalau kita atau anak kita membaca hanya karena tuntutan ujian sekolah (bukan tradisi intelektual), mungkin otak kita tidak sempat berefleksi. Kita memaksa otak untuk menghafal jawaban yang akan ditanyakan.



Padahal, sekeras apapun kita menghafal materi akademik itu, dalam waktu tiga bulan saja sudah lebih dari 60% yang akan hilang (tertimbun). Dalam setahun, mungkin hanya 20-30% yang tersisa. Akhirnya, biar secara akademik kita bagus, tetapi kemajuan mental kita tidak mengalami perbaikan yang signifikan. Itulah kenapa perpustakaan itu sangat tepat untuk membentuk tradisi berpikir.



Yang terpenting lagi, membaca dapat menambah jumlah koneksi dalam otak anak, seperti yang terungkap dalam berbagai temuan ilmiah. Membaca di sini sebagai stimuli positif. Semakin banyak jaringan yang terbentuk, otak anak akan menjadi semakin responsif dan kreatif.



Dari catatan para ilmuan, seperti dikutip Prof. Quraish Shihab (1994), kemajuan suatu bangsa itu juga diawali dari budaya membaca. Duapuluh tahun sebelum bangsa itu mencapai kemajuan, tradisi membaca sudah mereka mulai. Kalau kita ingin melihat efek nyata dari tradisi membaca yang kita tanamkan pada anak-anak, jangan sekarang. Mari kita lihat duapuluh tahun lagi.





Tempat Jin Berpacaran

Terbukti, dari sejumlah negara yang kini menyalip kemajuan kita, mereka telah memiliki tradisi membaca yang jauh lebih bagus dari kita sejak beberapa tahun lalu. Tahun 1995, yang berarti 14 tahun lalu, buku yang terbit di Indonesia baru mencapai 5000 judul. Sementara, Thailand 8.000 judul, Malaysia 12.000 judul, dan Korea selatan 43.000.



Padahal, negara-negara ini jumlah penduduknya jauh lebih sedikit dibanding kita. Dari 5000 judul yang terbit itu, yang terjual hanya 30.000 eksemplar pertahun. Bandingkan dengan jumlah kaset yang terjual. Tahun 1995 saja, kaset yang terjual di kita sudah mencapai 95 juta keping, sudah melebihi jumlah penduduk usia kerja.



Ada semacam guyonan dari orang Malaysia tentang Indonesia. Dulu, mereka sempat mengirim beberapa pelajar dan guru ke Indonesia untuk belajar. Sekarang-sekarang ini, mereka tidak lagi mengirim, tapi lebih sering mendatangkan tenaga senior dari kita untuk mengajar di sana. Kata guyonan itu, "Dulu, kami belajar dari Indonesia supaya bisa berhasil. Sekarang ini, kami juga masih belajar dari Indonesia supaya tidak terpuruk seperti kalian."



Sampai tahun 2008 kemarin, bicara minat baca kita masih banyak catatan. Jumlah penerbitnya mengalami kenaikan yang cukup tajam, tapi jumlah pembacanya hanya naik secara berlahan. Minat baca masyarakat pun sepertinya lebih karena dorongan tren atau ikut-ikutan ketimbang kesadaran pengembangan-diri yang dilakukan secara kontinyu.



Selain itu, tanda-tanda adanya geliat minat baca juga baru terjadi di beberapa kota besar, 60-80%-nya di Jabodetabek. Kalau kita kunjung ke daerah, toko buku yang besar itu adanya di propinsi. Itu pun tidak besar-besar amat. Nasib perpustakaan pun tidak lebih baik. Beberapa perpustakaan mirip seperti gedung tua yang jarang dikunjungi manusia, laksana tempat jin pacaran.



Itulah kenapa kalau melihat laporan Human Development Index (HDI), ranking kita masih berada di level menengah-bawah. Tahun 2007-2008, kita berada di posisi 107 dari 177 negara. Posisi ini masih kalah dengan tetangga seperti Singapura, Malaysia, Brunei, Thailand, dan Philipina. Bahkan di beberapa sektor, kita lebih rendah dari Vietnam, Jamaica, dan Algeria.





Tujuan Membaca

Dengan berinisiatif untuk mengadakan perpustakaan / koleksi buku bacaan di rumah, apa berarti kita telah / ingin mencetak anak menjadi seorang kutu buku? Satu hal yang perlu kita sadari di sini bahwa membaca itu bukan tujuan. Membaca adalah salah satu bekal atau jalan untuk mencapai tujuan.



Tujuannya adalah agar anak-anak kita terbiasa dengan pola hidup yang mengedepankan kapasitas intelektual, nalar yang sehat, mandiri dalam mengambil keputusan, berwawasan luas, dan kaya referensi dalam mengatasi persoalan. Kalau meminjam istilahnya Sternberg dari Yale University, tujuannya adalah agar kita lebih cerdas menghadapi hidup.



Jadi, mau anak kita menjadi kutu buku atau tidak, sejauh praktek hidupnya nanti itu menjadi lebih baik, berarti dia sudah pada track yang tepat. Tapi kalau membaca hanya untuk membaca, ini sama seperti sindiran Kitab Suci yang mengatakan bagai keledai mengangkut buku di kepalanya. Buku itu tak mencerahkan dia, melainkan malah membebani hidupnya.



Supaya anak kita tercerahkan hidupnya dari bacaan, yang perlu kita perhatikan adalah memilih materi bacaan. Kata Jim Rohn, membaca itu sangat penting, tetapi yang lebih sangat penting lagi adalah memilih bacaan yang pas. Biasanya, bacaan yang tidak sesuai dengan keadaan kita hanya berguna dipakai untuk bercakap-cakap atau kurang ngefek pada perbaikan praktek hidup.



Karena itu, koleksi buku yang kita persiapkan di rumah pun perlu kita sesuaikan dengan kebutuhan perkembangan kita atau anak kita. Yang ideal, koleksi buku itu perlu ada bacaan umum (pengetahuan umum) dan bacaan khusus yang sesuai dengan minat, bakat, hobi, atau kebutuhannya, misalnya cerita pahlawan yang membangkitkan, dan lain-lain.





Beberapa Cara Memunculkan Tradisi Membaca

Dengan maraknya hiburan dan tontonan melalui program TV, CD, dll, anak-anak kita mungkin bisa memiliki tradisi yang lebih kurang kondusif lagi dibanding generasi kita bagi kemajuan bangsa ini. Kenapa? Di saat fasilitas hiburan dan tontonan masih belum menjamur seperti sekarang ini saja, tradisi kita bukan membaca, yang merupakan penggerak nalar, tapi nonton dan dengar.



Sebab itu, kita sebetulnya punya kesamaan kepentingan untuk mengimbangi tradisi nonton dan dengar dengan tradisi membaca. Kalau mau jujur, menonton satu tahun belum tentu punya efek yang lebih kondusif bagi perkembangan nalar dibanding dengan membaca satu buku yang pas.



Apa saja yang perlu kita lakukan untuk menumbuhkan tradisi membaca pada anak atau keluarga? Cara-cara di bawah ini mudah-mudahan bisa menambah bantuan:


Hadiah ulang tahun atau momen penting, seperti kenaikan kelas, jangan melulu berupa pesta atau pakaian. Sekali-kali buku bacaan atau ditambah dengan buku bacaan.
Oleh-oleh perjalanan jangan melulu makanan atau benda-benda antik. Perlu kita tambah juga dengan buku / bacaan lain
Tempat hiburan jangan melulu ke mall, restoran, atau semisalnya. Sekali-kali ke perpustakaan, musium bersejarah atau ke toko buku
Dukung minat anak / keluarga untuk berlangganan majalah atau bacaan sesuai kemampuan dan kebutuhan.Menerima kiriman majalah atas nama sendiri merupakan pengalaman yang menyenangkan
Sediakan waktu untuk mendengarkan bila anak / keluarga ingin menceritakan isi buku yang telah mereka baca. Anak-anak akan menyukai saat seperti ini.
Membaca bersama atau bergantian lalu saling menceritakan. Ini akan menantang anak untuk lebih suka membaca.
Sepakati waktu khusus / disiplin khusus untuk membaca, misalnya sebelum tidur, saat di kendaraan, atau lainnya.



Yang sama sekali tak bisa kita tinggalkan adalah memberi keteladanan. Biar pun fasilitas itu sudah kita sediakan, tapi kalau keteladanannya tidak ada, mungkin ini sulit. Supaya kita bisa memberi teladan, yang perlu kita ubah adalah paradigma. Selama ini, kebanyakan kita menganggap membaca itu sekedar hobi, yang mengandung kesan suka-suka atau sesuai selera, seperti makan bakso. Padahal, membaca itu adalah perintah dan sekaligus kebutuhan bagi jiwa.





Proses Membangun Peradaban

Secara umum, minat baca kita masih tergolong rendah. Bahkan ini tak hanya terjadi pada masyarakat umum. Kelompok masyarakat yang berstatus atau bekerja di bidang-bidang pengetahuan pun, seperti pelajar atau guru, dll, belum secara semarak memiliki tradisi membaca sebagai kebutuhan intelektual.



Padahal, kalau menyimak catatan sejarah, sokoguru membangun peradaban sebuah bangsa itu, katanya, ada tiga. Pertama, keberhasilan mutu pendidikan. Ukurannya bukan menjamurnya kampus yang menawarkan gelar S2 di ruko-ruko, tetapi tingkat keterpelajaran dan keterdidikan generasi.



Kedua, kemajuan ekonomi yang berbasiskan sinergisitas kekuatan SDM dan SDA. Bangunan ekonomi kita katanya sangat rentan terhadap berbagai ancaman. Alasannya, tak ada basis yang kuat dari kedua kekuatan itu. Kinerja SDM kita tak bisa mengimbangi tuntutan industri. Sementara, kita cenderung me-yatim-kan SDA. Akhinya, kita mengekspor TKI dan mengimpor beras.



Ketiga, kesadaran hukum. Ajakan untuk merenungi dosa-dosa di tempat ibadah atau di lapangan itu baik, tetapi tak bisa membangun peradaban apabila tidak ditopang oleh penegakan hukum yang bagus, ekonomi yang bagus dan mutu pendidikan yang bagus.



Tentu, tak mungkink kita menyerahkan ini pada pemerintah melulu. Toh kita sudah tahu pemerintah kita begini keadaannya. Sementara, masih ada kontribusi kita yang sangat vital peranannya yaitu menumbuhkan tradisi membaca di rumah-rumah. Semoga bisa kita jalankan.

Aku Anak Mbak

Oleh : Martina Rini S. Tasmin, SPsi

"Lolo ayo mandi"!
"Sebentar Mbak, Lolo masih nonton..."
"Iin ini makanannya sudah siap. Suster suapin ya..."
"Tapi Iin maunya makan sambil main..."
"Mbak, berapa sih 10 + 5 ?"
"10 + 5 = 15, Ela.."
"Nia, sekarang sudah waktunya tidur siang..."
"Iya Suster, Nia cuci kaki dulu ya..."


Dialog diatas merupakan gambaran situasi yang terjadi antara anak dengan pengasuhnya. Lolo, Iin, Ela dan Nia adalah tipikal anak-anak kota besar jaman sekarang, yang pengasuhan sehari-harinya diserahkan kepada pembantu atau pengasuh (nanny/baby sitter) di rumah. Bukan lagi diasuh oleh orangtua, karena ayah dan ibunya bekerja. Tapi kalau diamat-amati, anak-anak sekarang sebenarnya kebanyakan tetap diasuh dan memiliki pengasuh sekalipun ibunya tidak bekerja. Anak lebih banyak menghabiskan waktu dengan pengasuhnya daripada dengan orangtua. Tidak heran kalau banyak anak lebih dekat dengan pengasuh daripada dengan orangtuanya. Ada anak-anak yang jika sedang sakit, tidak mau disuapi makanan atau obat oleh orangtua, tetapi hanya mau disuapi oleh pengasuh. Kalau pengasuh pulang kampung, jadi sedih dan tidak nafsu makan, begitu harus tidur malam hari jadi gelisah dan mencari-cari pengasuhnya. Bahkan ada anak yang terang-terangan mengatakan "Aku anaknya mbak", "Aku sayang sama suster banyak, sayang sama mama papa sedikit" (dengan gaya lucu menggemaskan, tapi cukup membuat hati orangtua nelangsa).

Menghadapi kenyataan dan kondisi di atas, apa yang sebaiknya dilakukan orangtua agar kendali pendidikan dan pengasuhan anak tetap berada di pundak mereka sehingga tidak terjadi hal-hal negatif yang dapat merugikan perkembangan fisik dan mental anak di masa yang akan datang.


Kerjasama Dengan Pengasuh
Pengasuh (nanny/baby sitter) tidak lagi sekedar orang upahan, tetapi sudah menjadi bagian dari suatu rumah tangga dan merupakan partner orangtua dalam mengasuh anak. Beberapa sekolah yang ada di Jakarta, bahkan sudah sangat menyadari fenomena ini, sehingga di sekolah-sekolah tersebut secara rutin diadakan workshop bagi pengasuh mengenai anak dan cara pengasuhannya. Sebagai partner, orangtua tidak bisa menyepelekan keberadaan pengasuh, dan berpikir ah kan cuman pengasuh; cuman orang luar; saya orangtua; saya majikan. Karena seperti kenyataan yang terlihat, banyak anak lebih dekat dengan pengasuhnya. Partner berarti orang yang bekerjasama, bukan bekerja sama-sama. Sebagai partner berarti harus kompak dan seiya sekata.

Mengapa orangtua dan pengasuh harus kompak? Tentu saja bukan semata untuk kepentingan orangtua dan pengasuh, tapi terutama demi anak yang diasuh. Anak membutuhkan lingkungan yang konsisten dan terprediksi untuk berkembang dengan benar. Bagi orangtua dan pengasuh pun ada keuntungannya jika mereka kompak, karena anak akan lebih mudah diasuh dan menurut. Paling tidak satu sama lain tidak saling memboikot, sehingga anak tidak bisa mengambil keuntungan dari situasi ini. Yang dimaksud dengan memboikot adalah misalnya hal-hal yang dilarang oleh orangtua, tetapi diam-diam diperbolehkan oleh pengasuh atau sebaliknya hal-hal yang dilarang pengasuh malah diperbolehkan oleh orangtua.

Mengapa anak lebih mudah diasuh dan menurut kalau orangtua dan pengasuh kompak? Hal tersebut terjadi karena, anak tahu apa yang tidak boleh berarti tidak boleh, dan tidak mencari persetujuan ke tempat lain. Anak juga akan melihat kedua belah pihak sebagai figur otoritas yang harus ditaati dan dihormati, dan tidak menunjukkan ketaatan palsu. Ketaatan palsu adalah ketika anak pura-pura menurut pada orangtua, tapi di belakang mencari persetujuan dari pengasuh ketika orangtua tidak ada. Atau pura-pura menurut pada pengasuh, tetapi ketika orangtua ada di rumah, langsung mencari persetujuan orangtua dan menyepelekan pengasuhnya. Kondisi seperti ini, sebenarnya menunjukkan bahwa anaklah yang memegang otoritas, sehingga akan banyak waktu dimana anak misbehave, dengan mencoba mengatur orang-orang disekitarnya, tidak peduli dihukum karena toh tetap bisa mendapatkan apa yang diinginkan.


Bagaimana menjembatani perbedaan
Dengan latar belakang pendidikan, sosial, ekonomi dan budaya yang seringkali sangat berbeda, menyebabkan orangtua dan pengasuh memiliki nilai-nilai, pemikiran dan tindakan yang berbeda. Dengan kondisi tersebut bekerjasama bukanlah hal yang mudah dilakukan. Tapi mau tidak mau harus dilakukan demi kesejahteraan anak. Bagaimana caranya? Di bawah ini ada beberapa cara yang mungkin dapat dilakukan orangtua dalam bekerjasama dengan pengasuh:

1. Perlakukan sebagai teman
Jalin komunikasi yang baik dan keakraban dengan pengasuh. Berteman dengan pengasuh akan membuatnya lebih mau terbuka. Pengasuh juga akan segan bergosip tentang majikannya, lebih tulus ketika mengasuh anak dan semoga akan lebih menurut pada perintah majikan. Pengasuh yang diam-diam merasa sebel pada majikan, mungkin bisa memboikot majikannya.

2. Membagi pengetahuan tentang perkembangan anak
Orangtua memiliki pendidikan lebih dari pengasuh, untuk beberapa hal juga akan memiliki pengetahuan yang lebih tentang perkembangan anak. Pengasuh yang berpengalaman juga dalam beberapa hal akan lebih tahu dari orangtua. Cobalah untuk saling membagi pengetahuan ini, supaya jika ada perbedaan, dari awal sudah bisa diketahui dan dicari jalan tengahnya. Dengan saling berbagi, pengetahuan masing-masing akan bertambah dan tidak saling mempertanyakan dan saling menuduh sok tahu dalam hati masing-masing.

3. Mengutarakan dengan jelas aturan-aturan dan kebiasaan-kebiasaan yang ada
Utarakan dengan rinci cara-cara mengasuh anak yang diharapkan orangtua, apa yang boleh apa yang tidak boleh (bagi anak dan bagi pengasuh, misalnya pengasuh tidak boleh memukul anak apapun alasannya, anak sama sekali tidak boleh makan permen) dan hal-hal harian apa saja yang harus dilaporkan kepada orangtua. Utarakan secara jelas dan mendetail, untuk menghindari kesalahpahaman. Hal ini penting, karena dengan demikian berarti orangtua sebagai pemegang kendali kebijaksanaan pengasuhan anak.

4. Jika terjadi pemboikotan segera dibicarakan dan diatasi
Jika secara tidak sengaja (karena masing-masing pihak belum tahu atau tidak mengerti kebiasaan pihak lain, dan ada yang tertinggal dari diskusi awal) terjadi pemboikotan, maka sebaiknya dibicarakan baik-baik, mencari kata sepakat dan tidak memboikot kembali di depan anak.

Idealnya memang akan lebih baik bagi orangtua jika bisa mendapatkan pengasuh yang berpengalaman, penurut, dan memiliki nilai-nilai yang sama. Tapi tentunya tidak semua orangtua bisa seberuntung ini. Oleh karena itu ketika orangtua memutuskan untuk menerima seseorang sebagai pengasuh, orangtua hendaknya sudah memiliki persyaratan tertentu, minimal orang tersebut bersih dan rapi (kuku kaki dan tangan terpotong rapi, pendek, dan bersih, tidak bau badan dan mulut, pakaiannya bersih) dan tentunya harus bisa membaca menulis (jadi ketika mengasuh anak, bisa sambil membacakan cerita dan bisa juga sedikit-sedikit mengajarkan anak membaca dan menulis). Persyaratan yang terpenting dan terutama adalah karakter kepribadian serta nilai-nilai diri calon suster; dan hal ini bisa dilakukan, dicari dan digali lewat wawancara tatap muka secara intensif. Saat orangtua memilih calon suster, tanyakan hal-hal yang berkaitan dengan pandangan hidupnya, kebiasaan dia di kampung, motivasi kerjanya, pengalaman sebelumnya, alasan keluar masuk kerja-nya, data tentang keluarganya, keberadaan dan pekerjaan kakak adik serta orang tuanya, dsb.


Tetap Lekat Dengan Anak
Sekalipun orangtua bekerja dari pagi hingga malam, dan meninggalkan anak dalam asuhan orang lain, pastilah orangtua ingin anaknya tetap lekat dengannya. Anak ada di hati orangtua dan orangtua ada di hati anak. Orangtua pasti tidak berharap mendengar perkataan dari mulut anak "Aku anaknya Mbak Yem".

Beberapa ahli mengatakan yang penting bukanlah kuantitas waktu yang dihabiskan bersama anak, tapi kualitas waktu ketika sedang bersama anak. Apa yang dimaksud dengan waktu yang berkualitas? Dalam buku When Others care For Your Child (1987), waktu berkualitas adalah saat-saat dimana orangtua menghabiskan waktu bersama anak dengan fokus dan perhatian penuh pada anak dan masalah-masalah yang dialami anak. Waktu tersebut bisa sambil mengobrol saja ataupun melakukan suatu kegiatan bersama (nonton televisi, main games, makan malam). Saat-saat tersebut benar-benar tidak terbagi, hanya untuk anak dan orangtua. Orangtua tidak sambil menerima telpon bisnis dari rekan kerja, sambil membicarakan masalah di kantor, ataupun membicarakan deadline yang harus dipenuhi.

Hal pertama yang sebaiknya dilakukan ketika orangtua sampai di rumah tentunya adalah menghampiri, memeluk dan mencium anak, bukannya menyalakan televisi atau langsung masuk kamar untuk istirahat sebentar. Ketika orangtua sudah berada di rumah, pengasuhan anak sebaiknya dikembalikan ke orangtua dan tidak lagi dipegang oleh pengasuh. Kalau anak makan masih disuapi, maka orangtua lah yang seharusnya menyuapi, yang memandikan (kalau belum mandi), mengganti baju dan sikat gigi sebelum tidur, mengantar ke tempat tidur (sambil menyanyikan lagu nina bobo maupun membacakan dongeng).

Dengan demikian anak akan mengerti bahwa pengasuh hanya membantu ketika orangtua sedang bekerja, tetapi pengasuh bukanlah orangtua. Anak pun akan tahu bahwa orangtua menganggap anak-anaknya penting dan menyayangi mereka. Ketika ada yang menanyakan anak siapa dia, anak bisa mengatakan "Aku anak Mama Dina dan Papa Dani", dan kalau ditanya Mbak Yem itu siapa, anak akan menjawab "Mbak Yem itu suster aku".

Tantrum

Tantrum

Oleh : Martina Rini S. Tasmin, SPsi



Andi menangis, menjerit-jerit dan berguling-guling di lantai karena menuntut ibunya untuk membelikan mainan mobil-mobilan di sebuah hypermarket di Jakarta? Ibunya sudah berusaha membujuk Andi dan mengatakan bahwa sudah banyak mobil-mobilan di rumahnya. Namun Andi malah semakin menjadi-jadi. Ibunya menjadi serba salah, malu dan tidak berdaya menghadapi anaknya. Di satu sisi, ibunya tidak ingin membelikan mainan tersebut karena masih ada kebutuhan lain yang lebih mendesak. Namun disisi lain, kalau tidak dibelikan maka ia kuatir Andi akan menjerit-jerit semakin lama dan keras, sehingga menarik perhatian semua orang dan orang bisa saja menyangka dirinya adalah orangtua yang kejam. Ibunya menjadi bingung....., lalu akhirnya ia terpaksa membeli mainan yang diinginkan Andi. Benarkah tindakan sang Ibu?


Temper Tantrum
Kejadian di atas merupakan suatu kejadian yang disebut sebagai Temper Tantrums atau suatu luapan emosi yang meledak-ledak dan tidak terkontrol. Temper Tantrum (untuk selanjutnya disebut sebagai Tantrum) seringkali muncul pada anak usia 15 (lima belas) bulan sampai 6 (enam) tahun.

Tantrum biasanya terjadi pada anak yang aktif dengan energi berlimpah. Tantrum juga lebih mudah terjadi pada anak-anak yang dianggap "sulit", dengan ciri-ciri sebagai berikut:
Memiliki kebiasaan tidur, makan dan buang air besar tidak teratur.
Sulit menyukai situasi, makanan dan orang-orang baru.
Lambat beradaptasi terhadap perubahan.
Moodnya (suasana hati) lebih sering negatif.
Mudah terprovokasi, gampang merasa marah/kesal.
Sulit dialihkan perhatiannya.

Tantrum termanifestasi dalam berbagai perilaku. Di bawah ini adalah beberapa contoh perilaku tantrum, menurut tingkatan usia:

1. Di bawah usia 3 tahun:
Menangis
Menggigit
Memukul
Menendang
Menjerit
Memekik-mekik
Melengkungkan punggung
Melempar badan ke lantai
Memukul-mukulkan tangan
Menahan nafas
Membentur-benturkan kepala
Melempar-lempar barang

2. Usia 3 - 4 tahun:
Perilaku-perilaku tersebut diatas
Menghentak-hentakan kaki
Berteriak-teriak
Meninju
Membanting pintu
Mengkritik
Merengek

3. Usia 5 tahun ke atas
Perilaku- perilaku tersebut pada 2 (dua) kategori usia di atas
Memaki
Menyumpah
Memukul kakak/adik atau temannya
Mengkritik diri sendiri
Memecahkan barang dengan sengaja
Mengancam



Faktor Penyebab
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya tantrum. Diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Terhalangnya keinginan anak mendapatkan sesuatu
Setelah tidak berhasil meminta sesuatu dan tetap menginginkannya, anak mungkin saja memakai cara tantrum untuk menekan orangtua agar mendapatkan yang ia inginkan, seperti pada contoh kasus di awal.

2. Ketidakmampuan anak mengungkapkan diri
Anak-anak punya keterbatasan bahasa, ada saatnya ia ingin mengungkapkan sesuatu tapi tidak bisa, dan orangtuapun tidak bisa mengerti apa yang diinginkan. Kondisi ini dapat memicu anak menjadi frustrasi dan terungkap dalam bentuk tantrum.

3. Tidak terpenuhinya kebutuhan
Anak yang aktif membutuh ruang dan waktu yang cukup untuk selalu bergerak dan tidak bisa diam dalam waktu yang lama. Kalau suatu saat anak tersebut harus menempuh perjalanan panjang dengan mobil (dan berarti untuk waktu yang lama dia tidak bisa bergerak bebas), dia akan merasa stres. Salah satu kemungkinan cara pelepasan stresnya adalah tantrum. Contoh lain: anak butuh kesempatan untuk mencoba kemampuan baru yang dimilikinya. Misalnya anak umur 3 tahun yang ingin mencoba makan sendiri, atau umur anak 4 tahun ingin mengambilkan minum yang memakai wadah gelas kaca, tapi tidak diperbolehkan oleh orangtua atau pengasuh. Maka untuk melampiaskan rasa marah atau kesal karena tidak diperbolehkan, ia memakai cara tantrum agar diperbolehkan.

4. Pola asuh orangtua
Cara orangtua mengasuh anak juga berperan untuk menyebabkan tantrum. Anak yang terlalu dimanjakan dan selalu mendapatkan apa yang diinginkan, bisa tantrum ketika suatu kali permintaannya ditolak. Bagi anak yang terlalu dilindungi dan didominasi oleh orangtuanya, sekali waktu anak bisa jadi bereaksi menentang dominasi orangtua dengan perilaku tantrum. Orangtua yang mengasuh secara tidak konsisten juga bisa menyebabkan anak tantrum. Misalnya, orangtua yang tidak punya pola jelas kapan ingin melarang kapan ingin mengizinkan anak berbuat sesuatu dan orangtua yang seringkali mengancam untuk menghukum tapi tidak pernah menghukum. Anak akan dibingungkan oleh orangtua dan menjadi tantrum ketika orangtua benar-benar menghukum. Atau pada ayah-ibu yang tidak sependapat satu sama lain, yang satu memperbolehkan anak, yang lain melarang. Anak bisa jadi akan tantrum agar mendapatkan keinginannya dan persetujuan dari kedua orangtua.

5. Anak merasa lelah, lapar, atau dalam keadaan sakit

6. Anak sedang stres (akibat tugas sekolah, dll) dan karena merasa tidak aman (insecure)


Tindakan
Dalam buku Tantrums Secret to Calming the Storm (La Forge: 1996) banyak ahli perkembangan anak menilai bahwa tantrum adalah suatu perilaku yang masih tergolong normal yang merupakan bagian dari proses perkembangan, suatu periode dalam perkembangan fisik, kognitif dan emosi anak. Sebagai bagian dari proses perkembangan, episode tantrum pasti berakhir. Beberapa hal positif yang bisa dilihat dari perilaku tantrum adalah bahwa dengan tantrum anak ingin menunjukkan independensinya, mengekpresikan individualitasnya, mengemukakan pendapatnya, mengeluarkan rasa marah dan frustrasi dan membuat orang dewasa mengerti kalau mereka bingung, lelah atau sakit. Namun demikian bukan berarti bahwa tantrum sebaiknya harus dipuji dan disemangati (encourage).

Jika orangtua membiarkan tantrum berkuasa (dengan memperbolehkan anak mendapatkan yang diinginkannya setelah ia tantrum, seperti ilustrasi di atas) atau bereaksi dengan hukuman-hukuman yang keras dan paksaan-paksaan, maka berarti orangtua sudah menyemangati dan memberi contoh pada anak untuk bertindak kasar dan agresif (padahal sebenarnya tentu orangtua tidak setuju dan tidak menginginkan hal tersebut). Dengan bertindak keliru dalam menyikapi tantrum, orangtua juga menjadi kehilangan satu kesempatan baik untuk mengajarkan anak tentang bagaimana caranya bereaksi terhadap emosi-emosi yang normal (marah, frustrasi, takut, jengkel, dll) secara wajar dan bagaimana bertindak dengan cara yang tepat sehingga tidak menyakiti diri sendiri dan orang lain ketika sedang merasakan emosi tersebut.

Pertanyaan sebagian besar orangtua adalah bagaimana cara terbaik dalam menyikapi anak yang mengalami Tantrum. Untuk menjawab pertanyaan tersebut kami mencoba untuk memberikan beberapa saran tentang tindakan-tindakan yang sebaiknya dilakukan oleh orangtua untuk mengatasi hal tersebut.



Pencegahan
Langkah pertama untuk mencegah terjadinya tantrum adalah dengan mengenali kebiasaan-kebiasaan anak, dan mengetahui secara pasti pada kondisi-kondisi seperti apa muncul tantrum pada si anak. Misalnya, kalau orangtua tahu bahwa anaknya merupakan anak yang aktif bergerak dan gampang stres jika terlalu lama diam dalam mobil di perjalanan yang cukup panjang. Maka supaya ia tidak tantrum, orangtua perlu mengatur agar selama perjalanan diusahakan sering-sering beristirahat di jalan, untuk memberikan waktu bagi anak berlari-lari di luar mobil.

Tantrum juga dapat dipicu karena stres akibat tugas-tugas sekolah yang harus dikerjakan anak. Dalam hal ini mendampingi anak pada saat ia mengerjakan tugas-tugas dari sekolah (bukan membuatkan tugas-tugasnya lho!!!) dan mengajarkan hal-hal yang dianggap sulit, akan membantu mengurangi stres pada anak karena beban sekolah tersebut. Mendampingi anak bahkan tidak terbatas pada tugas-tugas sekolah, tapi juga pada permainan-permainan, sebaiknya anak pun didampingi orangtua, sehingga ketika ia mengalami kesulitan orangtua dapat membantu dengan memberikan petunjuk.

Langkah kedua dalam mencegah tantrum adalah dengan melihat bagaimana cara orangtua mengasuh anaknya. Apakah anak terlalu dimanjakan? Apakah orangtua bertindak terlalu melindungi (over protective), dan terlalu suka melarang? Apakah kedua orangtua selalu seia-sekata dalam mengasuh anak? Apakah orangtua menunjukkan konsistensi dalam perkataan dan perbuatan?

Jika anda merasa terlalu memanjakan anak, terlalu melindungi dan seringkali melarang anak untuk melakukan aktivitas yang sebenarnya sangat dibutuhkan anak, jangan heran jika anak akan mudah tantrum jika kemauannya tidak dituruti. Konsistensi dan kesamaan persepsi dalam mengasuh anak juga sangat berperan. Jika ada ketidaksepakatan, orangtua sebaiknya jangan berdebat dan beragumentasi satu sama lain di depan anak, agar tidak menimbulkan kebingungan dan rasa tidak aman pada anak. Orangtua hendaknya menjaga agar anak selalu melihat bahwa orangtuanya selalu sepakat dan rukun.



Ketika Tantrum Terjadi
Jika tantrum tidak bisa dicegah dan tetap terjadi, maka beberapa tindakan yang sebaiknya dilakukan oleh orangtua adalah:
Memastikan segalanya aman. Jika tantrum terjadi di muka umum, pindahkan anak ke tempat yang aman untuknya melampiaskan emosi. Selama tantrum (di rumah maupun di luar rumah), jauhkan anak dari benda-benda, baik benda-benda yang membahayakan dirinya atau justru jika ia yang membahayakan keberadaan benda-benda tersebut. Atau jika selama tantrum anak jadi menyakiti teman maupun orangtuanya sendiri, jauhkan anak dari temannya tersebut dan jauhkan diri Anda dari si anak.
Orangtua harus tetap tenang, berusaha menjaga emosinya sendiri agar tetap tenang. Jaga emosi jangan sampai memukul dan berteriak-teriak marah pada anak.
Tidak memberi perhatian pada tantrum anak (ignore). Selama tantrum berlangsung, sebaiknya tidak membujuk-bujuk, tidak berargumen, tidak memberikan nasihat-nasihat moral agar anak menghentikan tantrumnya, karena anak toh tidak akan menanggapi/mendengarkan. Usaha menghentikan tantrum seperti itu malah biasanya seperti menyiram bensin dalam api, anak akan semakin lama tantrumnya dan meningkat intensitasnya. Yang terbaik adalah membiarkannya. Tantrum justru lebih cepat berakhir jika orangtua tidak berusaha menghentikannnya dengan bujuk rayu atau paksaan.
Jika perilaku tantrum dari menit ke menit malahan bertambah buruk dan tidak selesai-selesai, selama anak tidak memukul-mukul Anda, peluk anak dengan rasa cinta. Tapi jika rasanya tidak bisa memeluk anak dengan cinta (karena Anda sendiri rasanya malu dan jengkel dengan kelakuan anak), minimal Anda duduk atau berdiri berada dekat dengannya. Selama melakukan hal inipun tidak perlu sambil menasihati atau complaint (dengan berkata: "kamu kok begitu sih nak, bikin mama-papa sedih"; "kamu kan sudah besar, jangan seperti anak kecil lagi dong"), kalau ingin mengatakan sesuatu, cukup misalnya dengan mengatakan "mama/papa sayang kamu", "mama ada di sini sampai kamu selesai". Yang penting di sini adalah memastikan bahwa anak merasa aman dan tahu bahwa orangtuanya ada dan tidak menolak (abandon) dia.



Ketika Tantrum Telah Berlalu
Saat tantrum anak sudah berhenti, seberapapun parahnya ledakan emosi yang telah terjadi tersebut, janganlah diikuti dengan hukuman, nasihat-nasihat, teguran, maupun sindiran. Juga jangan diberikan hadiah apapun, dan anak tetap tidak boleh mendapatkan apa yang diinginkan (jika tantrum terjadi karena menginginkan sesuatu). Dengan tetap tidak memberikan apa yang diinginkan si anak, orangtua akan terlihat konsisten dan anak akan belajar bahwa ia tidak bisa memanipulasi orangtuanya.

Berikanlah rasa cinta dan rasa aman Anda kepada anak. Ajak anak, membaca buku atau bermain sepeda bersama. Tunjukkan kepada anak, sekalipun ia telah berbuat salah, sebagai orangtua Anda tetap mengasihinya.

Setelah tantrum berakhir, orangtua perlu mengevaluasi mengapa sampai terjadi tantrum. Apakah benar-benar anak yang berbuat salah atau orangtua yang salah merespon perbuatan/keinginan anak? Atau karena anak merasa lelah, frustrasi, lapar, atau sakit? Berpikir ulang ini perlu, agar orangtua bisa mencegah tantrum berikutnya.

Jika anak yang dianggap salah, orangtua perlu berpikir untuk mengajarkan kepada anak nilai-nilai atau cara-cara baru agar anak tidak mengulangi kesalahannya. Kalau memang ingin mengajar dan memberi nasihat, jangan dilakukan setelah tantrum berakhir, tapi lakukanlah ketika keadaan sedang tenang dan nyaman bagi orangtua dan anak. Waktu yang tenang dan nyaman adalah ketika tantrum belum dimulai, bahkan ketika tidak ada tanda-tanda akan terjadi tantrum. Saat orangtua dan anak sedang gembira, tidak merasa frustrasi, lelah dan lapar merupakan saat yang ideal.


Dari uraian diatas dapat terlihat bahwa kalau orangtua memiliki anak yang "sulit" dan mudah menjadi tantrum, tentu tidak adil jika dikatakan sepenuhnya kesalahan orangtua. Namun harus diakui bahwa orangtualah yang punya peranan untuk membimbing anak dalam mengatur emosinya dan mempermudah kehidupan anak agar tantrum tidak terus-menerus meletup. Beberapa saran diatas mungkin dapat berguna bagi anda terutama bagi para ibu/ayah muda yang belum memiliki pengalaman mengasuh anak. Selamat membaca, semoga bermanfaat.

Rabu, 20 Juli 2011

DANA SANI MUSTHOFA...WUI...CAKEPNYA...MOGA JADI ANAK SHOLEH...AMIN

GAYA ALA MAZ RAZIQ DI SEBERANG....OKE KHAN..?

Tiga Nasehat

Rasulullah SAW pernah memberikan tiga buah nasehat kepada kedua sehabatnya Abu Dzar Jundub bin Junadah dan Abu Abdurrahman bin Jabal:


“Bertakwalah kamu kepada Allah dimanapun kamu berada, dan ikutilah kesalahanmu dengan kebaikan niscaya ia dapat menghapuskannya. Dan pergaulilah manusia dengan akhlak terpuji.” HR. Tirmidzi

Tiga pesan Rasulullah SAW tersebut layak untuk kita perhatikan karena sangat berkaitan erat dengan kehidupan kita sehari-hari.

1- BERTAQWA DIMANA SAJA

Definisi dari kata taqwa dapat dilihat dari percakapan antara sahabat Umar dan Ubay bin Ka’ab ra. Suatu ketika sahabat Umar ra bertanya kepada Ubay bin Ka’ab apakah taqwa itu? Dia menjawab; “Pernahkah kamu melalui jalan berduri?” Umar menjawab; “Pernah!” Ubay menyambung, “Lalu apa yang kamu lakukan?” Umar menjawab; “Aku berhati-hati, waspada dan penuh keseriusan.” Maka Ubay berkata; “Maka demikian pulalah taqwa!”

Sedang menurut Sayyid Qutub dalam tafsirnya—Fi Zhilal al-Qur`an—taqwa adalah kepekaan hati, kehalusan perasaan, rasa khawatir yang terus menerus dan hati-hati terhadap semua duri atau halangan dalam kehidupan.

Kalau ada suatu iklan minuman ringan: “Dimana saja dan kapan saja …”, maka nasehat Nabi SAW ini menunjukkan bahwa kita harus bertaqwa dimana saja. Sedang perintah taqwa kapan saja terdapat dalam surat Ali Imron 102:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam”

Jadi dimanapun dan kapanpun kita harus menjaga ketaqwaan kita. Taqwa dimana saja memang sulit untuk dilakukan dan harus usaha yang dilakukan harus ekstra keras. Akan sangat mudah ketaqwaan itu diraih ketika kita bersama orang lain, tetapi bila tidak ada orang lain maka maksiyat dapat dilaksanakan. Sebagai contoh, ketika kita berkumpul di dalam suatu majelis zikir, pikiran dan pandangan kita akan terjaga dengan baik. Tetapi ketika kita berjalan sendirian di suatu tempat perbelanjaan, maka pikiran dan pandangan kita bisa tidak terjaga. Untuk menjaga ketaqwaan kita dimanapun saja, maka perlunya kita menyadari akan pengawasan Allah SWT baik secara langsung maupun melalui malaikat-Nya.

2 KEBAIKAN YANG MENGHAPUSKAN KESALAHAN

Setiap orang selalu melakukan kesalahan. Hari ini mungkin kita sudah melakukan kesalahan baik yang kita sadari maupun yang tidak kita sadari. Oleh sebab itu, segera setelah kita melaksanakan kesalahan, lakukan kebaikan. Kebaikan tersebut dapat menghapuskan kesalahan yang telah dilakukan.

Untuk dosa yang merugikan diri sendiri, maka salah satu cara untuk menghapusnya adalah dengan bersedekah. Rasulullah SAW bersabda “sedekah itu menghapus kesalahan sebagaimana air memadamkan api”. Maka ada orang yang ketika dia sakit maka dia akan memberikan sedekah agar penyakitnya segera sembuh. Hal ini dikarenakan segala penyakit yang kita miliki itu adalah karena kesalahan yang kita pernah lakukan.

Sedang dosa yang dilakukan terhadap orang lain maka yang perlu dilakukan adalah memohon maaf yang bagi beberapa orang sangat sulit untuk dilakukan. Padahal Rasulullah SAW selalu minta maaf ketika bersalah bahkan terhadap Ibnu Ummi Maktum beliau memeluknya dengan hangat seraya berkata “Inilah orangnya, yang membuat aku ditegur oleh Allah… (QS. Abasa)”. Setelah minta maaf kemudian bawalah sesuatu hadiah atau makanan kepada orang tersebut, maka kesalahan tersebut insya Allah akan dihapuskan.

3- AKHLAQ YANG TERPUJI

Akhlaq terpuji adalah keharusan dari setiap muslim. Tidak memiliki akhlaq tersebut akan dapat mendekatkan seseorang dalam siksaan api neraka. Dari beberapa jenis akhlaq kita terhadap orang lain, yang perlu diperhatikan adalah akhlaq terhadap tetangga.

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka jangan menyakiti tetangganya.” (HR. Bukhari, Muslim dan Ibnu Majah)

Dari Abu Syuraih ra, bahwa Nabi Muhammad saw bersabda: “Demi Allah seseorang tidak beriman, Demi Allah seseorang tidak beriman, Demi Allah seseorang tidak beriman.” Ada yang bertanya: “Siapa itu Ya Rasulullah?” Jawab Nabi: “Yaitu orang yang tetangganya tidak aman dari gangguannya.” (HR. Bukhari)

Dari hadits tersebut, peringatan Allah sangat keras sampai diulangi tiga kali yaitu tidak termasuk golongan orang beriman bagi tetangganya yang tidak aman dari gangguannya. Maka terkadang kita perlu instropeksi dengan menanyakan kepada tetangga apakah kita mengganggu mereka.

Wallahua’lam bish showab.

Selasa, 05 Juli 2011

Ibu, Bagaimana Kabarmu?

Ibu selalu menyertaimu.
Ibumu adalah bisikan daun-daun, ketika kau mencari angin berjalan-jalan.
Ia adalah aroma segar yang keluar dari kaus kakimu yang putih tercuci bersih.
Ibumu hidup dalam tawamu, dan mengkristal dalam tetes air matamu.

Ibumu adalah tempat tinggalmu yang pertama.
Dari sana kamu datang, dan dia adalah terang yang menuntun setiap langkah hidupmu.
Dialah cinta pertamamu, takkan ada yang dapat memisahkanmu darinya.
Waktu, jarak, bahkan kematian takkan memisahkan kamu dari ibumu.
Kamu akan membawa dia di dalam dirimu selalu.

Begitulah kurang lebih isi sajak yang ditulis oleh Sherry Martin. Ibu adalah hidup kita, dia akan menyertai kita ke mana-mana. Itu berlaku untuk siapa saja. Tak terkecuali juga pemain bola.

Bagi pemain bola, ternyata ibu juga segala-galanya.

Ibu, dialah yang pertama kali ditelepon oleh Ramires (23), ketika dalam pertandingan uji coba menjelang Piala Dunia 2010, Brasil menaklukkan Tanzania 5-1. Tanzania memang bukan lawan yang sepadan bagi Brasil. Namun, itu bukan soal. Yang penting, Ramires ingin membuat Yudith, ibunya, bangga dan bahagia. Apalagi dalam pertandingan uji coba itu, Ramires sendiri memborong dua gol. Oleh karena itu, ia segera membagikan kebahagiaan kepada ibunya yang tinggal jauh di seberang sana.

Demikian juga halnya dengan Samuel Eto’o. Pada masa kecil Eto’o hidup di perkampungan kumuh wilayah Douala, kota terbesar di Kamerun. Hidupnya sangat miskin dan ibunya harus mati-matian mencari uang untuk menghidupi keluarganya.

”Setiap kali saya mencetak gol, apalagi gol yang amat menentukan, saya selalu memikirkan ibu saya. Gambar ibu selalu terbayang di mata saya. Ketika saya mencetak gol, saya terkenang, bagaimana pada pagi-pagi buta, ibu pergi meninggalkan rumah, untuk menjual ikan, agar ia bisa menghidupi keluarga. Tanpa dia, tak ada saya sekarang,” aku Eto’o kepada penulis Christian Ewers yang mewawancarainya.

Eto’o bilang, setiap pertandingan adalah pertarungan. Ia tak ingin mengalah. Ia ingin bertahan seperti ibunya, yang demikian tabah bekerja di pasar, sampai mendapatkan uang untuk keluarganya. Jadi bagi Eto’o, setiap gol yang ia peroleh bagaikan sekeping mata uang, yang dulu dicari dengan susah payah oleh ibunya. Gol itu terasa sebagai pembebasan dari belenggu kemiskinannya.

Cacau ternyata juga mempunyai pengalaman yang mirip dengan Eto’o. Cacau asli Brasil, dilahirkan dari keluarga amat miskin di desa kecil, 40 kilometer dari Sao Paulo. Ibunya bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Dan Cacau sendiri pernah menjadi pedagang asongan di jalan-jalan raya Sao Paulo.

”Waktu saya mencetak ke gawang Australia, ibulah yang datang pertama kali ke dalam pikiran saya. Lalu saya teringat akan kedua saudara saya dan bersamaan dengan itu timbullah segala kenangan akan kemiskinan dan penderitaan yang pernah saya lalui,” kata Cacau.

Ia tak tahu, mengapa gol itu serasa sebagai sebuah kebahagiaan yang dapat menutupi penderitaan yang dulu harus ditanggung oleh ibunya.

Kenangan akan kasih ibu semacam itu juga terjadi pada gelandang Inggris, Frank Lampard. Menurut bibinya, Sandra Redknapp, Lampard sangat terpukul ketika dua tahun lalu ibunya meninggal karena pneumonia. ”Ia sangat membutuhkan dukungan ibunya sehingga dalam Piala Dunia kali ini, ia pasti merasa sangat kehilangan dukungan itu,” tutur Sandra Redknapp, yang merupakan istri Harry Redknapp—paman Lampard—pelatih Tottenham Hotspurs.

Kata Sandra, Pat, ibu Lampard, selalu hadir setiap kali Lampard bertanding sejak Lampard masih anak-anak. Pada Piala Dunia di Jerman, empat tahun lalu, Pat juga datang menyaksikan pertandingan anaknya. ”Pat sangat bangga akan anaknya. Sekarang Pat sudah tiada, padahal Frank selalu membutuhkannya. Jadi saya yakin, dalam Piala Dunia kali ini, Pat juga datang dan menjaga Frank, serta berharap, Frank memperoleh hasil yang terbaik,” kata Sandra pada awal perhelatan Piala Dunia 2010.

Dan bagaimana dengan Arjen Robben? Setelah Bayern Muenchen keluar sebagai juara Liga Jerman, lalu bersiap-siap menghadapi final Liga Champions melawan Inter Milan, Robben pernah bilang demikian, ”Andaikan nanti saya bisa menikmati juara Liga Champions dan kemudian menjadi juara di Piala Dunia 2010, tak ada lagi yang akan saya buat, kecuali meninggalkan semuanya lalu pulang ke rumah ibu saya.”

Bagi pemain bola, ibu ternyata adalah tempat, yang selalu mengajak mereka pulang. Ibu adalah naungan, di mana mereka merasa aman dan tenteram. Ibu juga selalu mengikuti mereka ketika mereka bersusah payah merebut dan memainkan bola. Juga ketika ibu telah tiada, mereka tetap percaya akan kehadirannya.

Ibu melebihi kemampuan dan kehebatan mereka. Kalau ibu mengawal mereka, mereka merasa pasti bahwa mereka akan menemukan jalan menuju kemenangan. Ibu, yang lemah lembut dan penuh kasih itu, adalah puisi di tengah lapangan bola yang keras dan penuh pertarungan. Dan gol adalah persembahan cinta yang ingin mereka haturkan kepada ibunya. Mother, how are you today? Ibu, bagaimana kabarmu? Lagu ini ternyata adalah kata-kata cinta, yang juga menjadi isi hati para pemain bola.

Para Orangtua Pembelajar, artikel diatas merupakan tulisan seorang penulis yang saya kagumi sejak saya berada di bangku kuliah, Sindhunata. Kali ini, beliau mengupas topik mengenai pentingnya ibu dalam kehidupan seorang anak. Saya yakin, kita semua memiliki ibu atau bahkan telah menjadi ibu saat ini atau jika anda adalah suami, anda juga memiliki istri yang menjadi ibu dari anak-anak anda.

Gelar ibu yang disandang seorang wanita merupakan anugerah yang tiada duanya. Melaluinya lahir atau tumbuh seorang anak yang akan menentukan masa depan dunia. So… para ibu, peran yang anda emban bukanlah peran sembarangan yang bisa digantikan oleh siapapun. Pepatah bilang, ibu dapat menggantikan siapapun tapi ibu tidak dapat tergantikan oleh siapapun.

Belajar terus yuk… agar anak-anak kita dapat menjadi yang terbaik yang bisa mereka jadi. Saya berharap juga semoga tulisan ini bisa menginspirasi kita semua untuk selalu menghormati dan menghargai wanita yang dipanggil ibu, mama, bunda.

Salam hangat penuh cinta untuk para ibu di seluruh Indonesia.
Sandra Mungliandi M Psi., Psikolog.

Oleh SINDHUNATA

Pertengkaran Orangtua Menciptakan Hambatan Mental Pada Anak

Jam menunjukkan pukul 19.00 ketika seorang klien yang sebelumnya telah mengadakan janji temu masuk ke ruang terapi saya. “Selamat malam Pak…., apa kabar, apa yang dapat saya bantu untuk Bapak” sapa saya mengawali pembicaraan. Dengan suasana santai dan nyaman, klien tersebut kemudian menceritakan permasalahan yang tengah dialami seputar usaha pribadi yang dimilikinya.

“Saya bukan berasal dari keluarga kaya Pak” lanjutnya dalam pembicaraan kami. “Semuanya saya awali dari nol dengan modal usaha yang sangat minim”. “Hingga akhirnya saya dapat terus berkembang membangun usaha sendiri yang saat ini memiliki banyak cabang di Jogjakarta”.

Dari cerita klien tersebut saya kemudian justru mendapatkan satu inspirasi yang sangat luar biasa. Berawal dari statusnya yang hanya sebagai pegawai biasa di sebuah counter handphone dengan gaji pas-pas an hingga akhirnya memiliki usaha sendiri dengan banyak cabang, ditambah beberapa mobil dan rumah mewah, dengan usia yang relatif masih muda, jauh dibawah saya. Wow menarik bukan?

“Beberapa waktu ini usaha yang saya jalankan sedikit mengalami hambatan, Pak” ujarnya. “Saya merasa bahwa harusnya saya bisa lebih maju dan berkembang. Namun sekarang ini rasanya kok mandek ya, stuck nggak bergerak. Masa dalam dua tahun terakhir ini tidak ada perkembangan sama sekali?”….. “Memang sih hasilnya masih cukup baik, namun dengan kapasitas modal dan karyawan yang ada, harusnya terjadi peningkatan juga dalam usaha saya ini. Kalau tidak nanti ke depannya akan semakin berat dalam persaingan”
Pembicaraan terus berlanjut dan saya mencoba menggali informasi lebih banyak lagi. Pada akhirnya saya menemukan suatu penjelasan yang cukup unik yang saya rasakan sebagai sumber penyebab dari tidak berkembangnya usaha yang dijalankan tersebut.

Begini ceritanya, setelah menempati kantor baru sebagai pusat kegiatan usahanya tiga tahun lalu, banyak rekan dan sahabat yang datang berkunjung hampir setiap hari. Wajar saja bila pada akhirnya mereka sangat kagum dengan perkembangan dan hasil yang telah dicapai oleh klien saya ini. Mengingat bagaimana kondisinya sejak awal merintis usaha, mungkin tidak salah bila saya istilahkan “from zero to hero” he he he… Mau tak mau pujianpun mengalir dari masing-masing teman dan sahabatnya. “Wah anda memang hebat ya Pak”, “Sukses yang luar biasa Pak”, “Bisnis anda sangat besar sekali” adalah beberapa komentar dan pujian yang sering disampaikan padanya.

Namun bagaimana cara klien saya menanggapinya ternyata justru menjadi bumerang di kemudian hari yang tidak pernah disadarinya. “Ah enggak kok” jawabnya. Atau “Biasa aja lah”, “Jangan terlalu memuji”, “Saya masih belum apa-apa”, “Ah saya nggak ada apa-apanya”, jawaban-jawaban inilah yang sering dan berkali-kali klien saya ucapkan menanggapi pujian-pujian tersebut. Dan itu terus berlanjut hingga saat sebelum bertemu saya.

Yang menarik adalah mengapa klien mengucapkan itu berkali-kali? Bukankah ini memperkuat atau bahkan bisa menyebabkan mental blok baru? Sebab dengan mengacu pada prinsip kerja pikiran, sesuatu yang dilakukan berulang kali (repetisi) secara konsisten, maka hal tersebut dapat menjadi suatu hal yang diyakini (belief). Dalam konteks bila keyakinan itu bersifat negatif, secara otomatis akan menjadi mental block yang menghambat kemajuan diri kita dan apa yang kita lakukan.

Nah saya mulai menggali lebih dalam mengapa klien mengucapkan itu berkali-kali. Saya menanyakan beberapa pertanyaan untuk mempertajam analisa dan dugaan saya tentang proses terbentuknya mental blok itu. Saya tanya lebih detail apa perasaannya saat mengucapkan kalimat tersebut sebab bila kita perhatikan jawaban-jawaban yang diberikan klien saya ini dalam menanggapi pujian yang ditujukan kepadanya, semuanya berkonotasi negatif bukan?

Saya paham bahwa sebagai orang timur dan khususnya karena klien saya ini berasal dari Jogjakarta, mungkin maksud dari jawaban tersebut adalah untuk menunjukkan kerendahan hati dan menghindari kesan sombong atau tinggi hati. Namun intuisi saya sebagai terapis menangkap sesuatu yang sepertinya menjadi petunjuk penting untuk menyelesaikan kasus ini. Lagi pula suatu kalimat yang diulang berkali-kali dapat berubah menjadi belief dan mental blok yang benar-benar diwujudkan secara tidak sadar. Bahwa usahanya itu masih biasa saja, masih belum apa-apa dan tidak ada apa-apanya. Disinilah terjadi proses sabotase diri yang tidak pernah disadari klien sama sekali.

Singkat cerita saya kemudian melakukan terapi pada klien saya tersebut untuk menghilangkan belief dan mental blok yang menjadi penghambat kemajuan usahanya.

Dengan salah satu tehnik terapi yang saya pelajari di kelas Akademi Hipnoterapi Indonesia, saya menemukan root cause atau akar permasalahan yang menyebabkan atau melatar belakangi ucapan-ucapan tersebut.

Ternyata kejadian yang memicu semua ini dialami oleh klien saya pada saat dia berusia delapan tahun. Klien melihat pertengkaran kedua orangtuanya untuk yang kesekian kalinya. Namun yang kali ini dilihatnya adalah yang paling heboh dan seru hingga akhirnya kedua orangtuanya bercerai dan usaha mereka mengalami kebangkrutan.

Kejadian ini begitu membekas, memunculkan perasaan tidak berdaya, tidak mampu, tidak percaya diri, tidak dapat berbuat apa-apa atas peristiwa yang terjadi. Sebagai seorang anak ia tentu mengharapkan kedua orangtuanya rukun. Namun apa daya ia tak sanggup membuat itu terjadi. Dan …… bennnnngggggg! Sebuah perasaan tak mampu terbentuk melalui serangkaian self talk pada anak tak berdaya ini. Ditambah dengan emosi negatif yang dirasakan saat itu maka lengkaplah sudah proses terbentuknya citra diri pada si anak. Citra diri – saya tak mampu, saya biasa saja – ini tertanam kuat dalam memori pikiran dan berguna sebagai landasan berpikir dan bertindak saat anak kecil 8 tahun ini beranjak dewasa.

Citra diri inilah yang kelak akan terwujud dalam kehidupan seseorang. Ini seperti sebuah ramalah yang menjadi kenyataan.

Akhirnya saya membantu klien melihat kejadian itu dengan sudut pandang berbeda dan kemudian memaknai ulang peristiwa tersebut dengan kesadaran dewasanya. Lalu setelah itu saya minta klien membantuk gambaran mental baru yang ia inginkan dengan teknik tertentu juga yang terlalu teknik diceritakan di sini. Singkat cerita terapi berakhir dan klien merasa plong. Seakan sebuah batu besar yang selama ini digendong kemana-mana telah diletakkan dan tak perlu dibawa lagi.

Dua bulan setelah sesi terapi berakhir, di awal Juni 2010 saya mendapatkan kabar bahwa usaha yang dijalankan oleh klien saya mulai ada peningkatan dan berjalan sesuai yang diharapkan. Pesanan tiba-tiba saja datang dari pihak-pihak yang tidak pernah berhubungan sama sekali. Bahkan kinerja karyawan pun membaik. Malah pada akhirnya klien saya ini menyampaikan bahwa dia sedang mengatur waktu dan meminta saya untuk memberikan training beserta sesi terapi untuk keseluruhan karyawannya.

Kasus klien saya ini mengingatkan saya pada cerita Aladin dan lampu wasiat. Dimana Sang Jin akan mewujudkan dan mengabulkan permintaan yang disampaikan. “Your wish is my command”.
Demikian juga dengan hukum yang ada di alam semesta ini. Bukankah apa yang kita pikirkan dan ucapkan adalah apa yang akan kita dapatkan dan diwujudkan dalam hidup kita? Oleh karenanya berhati-hatilah dengan apa yang Anda pikirkan dan ucapkan, karena semuanya dapat menjadi suatu keyakinan yang akan diwujudkan dalam kehidupan nyata.

Dan setelah menyadari dampak dari ucapan dan pikiran yang muncul maka carilah dengan kesadaran diri awal mula mengapa itu terjadi. Tak ada sebuah akibat terjadi tanpa sebab, betul?

Bagaimana jika kesadaran diri kita tak sanggup menjangkau area dimana penyebab itu terjadi? Nah itulah saatnya kita membutuhkan pihak profesional untuk mencari dan melepaskan beban emosional tersebut.

Salam hangat penuh cinta untuk para orangtua Indonesia
Andreas S.(Certified Trainer Sekolah Orangtua Jogjakarta dan Champion Mindset Coach)

Peran Keluarga Dalam Pembentukan Harga Diri

Peran Keluarga Dalam Pembentukan Harga Diri


Salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan harga diri adalah hubungannya dengan orang lain, terutama significant others seperti orang tua, saudara kandung dan teman-teman dekat. Di antara struktur sosial yang ada, keluarga merupakan hal yang paling penting, karena keluarga merupakan lingkungan yang paling dekat, baik secara fisik maupun dukungan sosial. Keluarga merupakan lingkungan yang pertama ditemui oleh individu dan menjadi tempat yang penting dalam perkembangan hidup seorang manusia.

Keluarga menjadi struktur sosial yang penting karena interaksi antar anggota keluarga terjadi di sini. Perilaku seseorang di dalam keluarga dapat mempengaruhi perilaku anggota keluarga yang lainnya. Di dalam keluarga seseorang dapat merasakan dirinya dicintai, diinginkan, diterima dan dihargai, yang pada akhirnya membantu dirinya untuk lebih dapat menghargai dirinya sendiri. Situasi keluarga yang tidak bahagia kurang dapat menghasilkan pribadi yang memiliki harga diri yang positif. Kebahagiaan suatu keluarga sangat dipengaruhi oleh adanya hubungan antar anggota keluarga yang harmonis, baik hubungan antara orang tua dan anak maupun hubungan antara anak dengan saudaranya.

Masalah yang sering terjadi pada remaja di dalam hubungannya dengan keluarga adalah kebutuhan remaja yang tidak dipahami oleh anggota keluarga yang lain, yaitu pentingnya kehadiran teman-teman. Pada masa ini ketergantungan anak dengan keluarga mulai berkurang, dan seorang remaja akan lebih sering untuk menghabiskan waktunya dengan teman-temannya. Pada masa remaja, teman-teman (peer) menjadi figur contoh yang penting dan merupakan hal yang menjadi penekanan sosial bagi remaja, lebih dari orang tua.

You Know The Answer

Melalui tulisan, saya mendapatkan banyak pengalaman menarik termasuk kawan baru. Beberapa menghubungi untuk 'berkonsultasi', yang sebenarnya lebih tepat disebut sharing tentang penelitian. Salah satu pertanyaan sederhana namun menjadi dialog menarik yang pernah terlontar melalui sarana chat online ialah 'Bagaimana caranya menyusun teori pada bab 2?'



Jawaban yang saya berikan, tentu sangat standar bahkan saya berani jamin kurang lebih sama dengan dosen pembimbingnya atau kuliah metodologi di kelas. "Bab literatur ditentukan pada bab awal sebagai peta utama penelitian, penyusunan berdasarkan kebutuhan, bukan copy-paste buku teori, telusuri jurnal penelitian dan buku-buku, pelajari pola penulisan di kampus melalui tulisan ilmiah senior di perpustaan karena setiap kampus punya ciri khas sendiri" dan lain sebagainya yang bisa Anda tambahkan sendiri. Kawan baru di seberang sana menjawab dengan derai tawa, "Hehe.....iya sih...teknisnya saya sudah tahu, tapi kok susaaah ya.."



Kalimat terakhirlah yang sesungguhnya merupakan isu utama. Jemari saya pun menari di keyboard menyusun kalimat di layar monitor untuknya, "Kalau begitu, baca, baca dan baca sampai 'muntah' denger musik, baca komik, minum susu dan tidur"



Alur pertanyaan di atas telah masuk dalam prediksi, bukan karena saya cenayang. Saya, begitu juga ia yang bertanya sesungguhnya sudah mengetahui jawabannya secara objektif. Bukan 'menelusuri literatur', 'berdiskusi materi dengan dosen/ kawan' atau jawaban objektif lainnya. Pertanyaan yang sesungguhnya adalah 'Bagaimana melepaskan/ mengendurkan ketegangan untuk dapat bertindak?'


Pertanyaan 'baru' itu pun sesungguhnya tidak terlampau mengejutkan. Lalu mengapa seringkali kita menjadi terpaku seakan membatu, tidak tahu apa yang semestinya dilakukan? Kejadian ini tidak hanya terjadi pada Anda yang sedang dikejar deadline pekerjaan, atau akademik, percayalah, episode ini akan selalu terjadi pada kita as long as we live.





Client-Centered Therapy

Tokoh psikologi humanis, Carl R. Rogers (Feist & Feist, 2002) meyakini adanya kekuatan dalam diri setiap orang untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Asumsi dasar dari terapi Rogerian adalah formative tendency dan actualizing tendency.



Rogers memandang semua organisme (tidak hanya manusia) memiliki kecenderungan untuk bergerak dari yang sederhana menuju kompleksitas (kecenderungan formatif). Organisme kompleks yang tersusun dari sel soliter, kesadaran manusia yang berkembang dari ketidaksadaran primitif menjadi kesadaran terorganisasi tingkat tinggi.



Sementara itu, manusia juga memiliki kecenderungan dalam dirinya untuk bergerak guna memenuhi potensinya (kecenderungan aktualisasi). Dalam diri tiap individu terdapat kekuatan kreatif untuk menyelesaikan masalah, membenahi konsep diri, dan meningkatkan kemampuan dalam mengarahkan diri sendiri. Kecenderungan ini yang kemudian menjadi landasan terpenting dalam terapi Rogerian.



Terkait dengan konsep dasar di atas, Rogers juga membahas Diri dan Aktualisasi Diri. Dalam pandangannya, aktualisasi diri merupakan kecenderungan untuk beraktualisasi seperti yang ia bayangkan tentang dirinya. Ketika seorang individu memiliki hubungan harmoni antara diri dan bayangan dirinya, maka kedua aktualisasi itu menjadi sama/ identik. Namun jika ia melihat dirinya tidak seperti yang ia bayangkan, berarti terdapat perbedaan antara diri dan bayangan dirinya.



Bayangan diri ini disebut dengan ideal self, sebuah subsistem tentang pandangan tentang diri yang diinginkan. Sementara, self-concept merupakan segala hal yang dialami secara sadar (meski tidak selalu akurat) oleh individu.



Pada saat saya memiliki diri ideal sebagai orang yang memiliki popularitas di kalangan rekan kantor, sementara (pada kenyataannya) konsep diri saya ternyata tertutup, tidak berani tampil di muka umum. Dalam pandangan Rogerian, saya tidaklah harmoni dengan diri saya sendiri. Perbedaan ini, dalam variasinya bisa menjadi sumber ketidakpuasan, kecemasan, rendahnya self-esteem, dan lainnya.





Untuk Apa Terapis?

Lalu apa gunanya terapis? Jangan lupa, bahwa yang dikemukakan di atas adalah kecenderungan, potensi. Artinya hal itu ada di dalam tiap diri seperti yang dikemukakan Rogers, tetapi belum tentu teraktualisasikan.



Pembahasan terapis, di kalangan Rogerian sering dianalogikan dengan cermin. Terapis berperan sebagai cermin untuk membantu memantulkan bayangan individu. Cara ini yang akan 'memancing' potensi individu untuk mampu menyelesaikan masalahnya sendiri, setelah melihat masalah dengan lebih terang. Maka dalam Rogerian, salah satu mantra utamanya adalah klien menjadi terapis untuk dirinya sendiri.



Kita tidak akan membahas dengan sangat detil bagaimana metode yang digunakan. Namun kurang lebih ada beberapa prinsip yang sebetulnya sering kita kenakan ketika berinteraksi dengan sahabat. Dalam istilah Roger adalah; congruence dan unconditional positive regard.



Kondisi kongruen hanya akan terjadi jika pihak yang terlibat (klien-terapis) di dalamnya saling menyadari keberadaan masing-masing dan disertai kemampuan dan kemauan (kesungguhan) untuk mengekspresikan perasaan secara terbuka. Kondisi kongruen berarti 'sesungguhnya', tidak ada kepura-puraan (faking) di sini. Baik terapis maupun klien tidak menyimpan ekspresi (termasuk respon) dengan beragam emosi. Rogers menyatakan;



"A congruence conselor, then, is not simply a kind and friendly person but rather a complete human being with feelings of joy, anger, frustration, confusion, and so on."



Selanjutnya, penghargaan positif bermakna disukai, dihargai atau diterima oleh orang lain. Ketika kondisi ini bisa terjadi tanpa syarat, itulah yang disebut dengan penghargaan positif tak bersyarat. Sikap terapis hendaknya tanpa mendominasi, tanpa evaluasi, tanpa syarat, untuk ini Rogers menyatakan;



"Therapists have unconditional positive regard when they are ‘experiencing a warm, positive and accepting attitude toward what is the client"



Satu poin lagi yang tidak kalah penting disebutkan oleh Rogers yakni; emphatic listening. Bagi Rogers, empati bermakna; "temporarily living in the other's life, moving about in it delicately without making judgment"



Seperti sering dituliskan dalam beberapa kesempatan, bahwa empati bukanlah simpati. Rogers menegaskan perbedaan ini dengan menyatakan bahwa empati merupakan perasaan terapis dengan klien, sementara simpati merupakan perasaan terapis untuk klien. Simpati sama sekali bukan terapi, karena merupakan evaluasi eksternal dan biasanya mengarah ke perasaan mengasihani diri sendiri pada klien. Lebih jelas, Rogers menyatakan sebagai berikut;



"A therapist has an emotional as well as a cognition reaction to a client's feelings, but the feelings belong to client, not the therapist. A therapist does not take ownership of a client’s experiences but is able to convey to the client an understanding of what it means to be the client at that particularly moment."





Sahabat sebagai Cermin

Jika Jacques Lacan, tokoh psikoanalisis Perancis (new-Freudian-Struktualis) terkenal dengan cermin-nya sebagai media kastrasi antara individu dan diri (yang lain). Suatu proses di mana seorang anak manusia pertama kalinya melihat 'orang lain' yang sama dengan dirinya di sebuah cermin. Peristiwa penting dalam kehidupan yang menyadarkan individu akan keberadaannya, eksistensinya. Bukan lagi 'menyatu' dengan individu lain yakni ibu.



Dalam pembahasan ini, rumor bahwa sahabat atau pasangan adakalanya sebagai 'tempat sampah' akan lebih tepat sebagai cermin. Yang diperlukan ketika seseorang mencurahkan isi hatinya (curhat) adalah; self-acceptance dan self-support, sehingga potensi yang dinyatakan oleh Rogers akan keluar. Kondisi kongruen, penghargaan positif tak bersyarat, dan mendengarkan dengan empati lah yang berperan aktif di dalamnya.



Kembali pada dialog antara saya dan kawan saat itu, mungkin setelah offline, ia akan mengikuti saran saya; membaca, minum susu dan tidur. Mungkin dengan cara lain seperti berjalan-jalan, menonton film, atau justru membuka lembaran tugasnya kemudian menyusun bab 2 dengan lancar. Saya sendiri tidak jarang mengalami pola demikian dengan warna berbeda. Mendiskusikan masalah di pagi hari dengan sahabat, kemudian ia memberikan beberapa pandangan yang pada saat itu terlihat aneh meski tidak asing. Tetapi malam harinya saya mengiriminya pesan singkat, "Thanks, I got the insight!!" , ia pun membalas "You know the best for your self"



Semoga Bermanfaat!