Jumat, 27 Mei 2011

Wudhu Batin

Isam bin Yusuf adalah seorang ahli ibadah yang terkenal wara' (hati-hati), tawadhu' (rendah hati), taat beribadah, dan senantiasa khusyuk dalam shalatnya. Karena kehati-hatiannya, ia selalu khawatir bila ibadahnya tidak diterima oleh Allah SWT. Karenanya, Isam senantiasa menjaga dirinya dari hal-hal yang menyebabkan ibadahnya tertolak. Sebab, akan sia-sialah apa yang dikerjakannya, bila ibadahnya tidak diterima Allah SWT.

Suatu hari, Isam menghadiri pengajian yang diajarkan sufi ternama, Hatim al-Asham. Kesempatan ini digunakannya untuk menggali ilmu dari Hatim. "Wahai Abu Abdurrahman, bagaimanakah cara Anda shalat?"

Hatim menjawab, "Apabila waktu shalat telah tiba, maka aku berwudhu secara lahir dan batin." Isam bertanya lagi. "Bagaimanakah wudhu batin itu?"
"Wudhu lahir adalah membersihkan anggota wudhu sebagaimana yang diajarkan Alquran dan hadis Nabi SAW."

Sedangkan wudhu batin itu, kata Hatim, membasuh anggota badan dengan tujuh cara, yakni
(1) senantiasa bertobat kepada Allah atas segala dosa;
(2) kemudian menyesali segala dosa-dosa yang dikerjakan dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi.
(3) Membersihkan diri dari cinta dunia (hubbuddunya);
(4) menghindarkan diri dari segala pujian manusia;
(5) meninggalkan sifat bermegah-megahan;
(6) tidak berkhianat dan menipu;
(7) serta menjauhi perbuatan iri dengki.

"Kemudian, aku pergi ke masjid, lalu kuhadapkan wajahku ke arah kiblat dan hatiku kepada Allah. Selanjutnya, aku berdiri dengan penuh rasa malu di hadapan Allah. Aku bayangkan bahwa Allah ada di hadapanku dan sedang mengawasiku. Sementara surga ada di sebelah kananku, neraka di sebelah kiriku, malaikat maut di belakangku. Dan aku membayangkan pula, seolah-olah aku berada di atas jembatan Shirat al-Mustaqim. Dan aku anggap shalat yang akan aku kerjakan adalah shalat terakhir bagiku."

"Kemudian aku bertakbir, dan setiap bacaan dalam shalat, senantiasa aku pahami maknanya. Aku juga rukuk dan sujud dengan menganggap diriku sebagai makhluk yang paling kecil dan tak punya kemampuan apa pun di hadapan Allah. Selanjutnya aku akhiri dengan tasyahud (tahiyat) dengan penuh penghambaan dan pengharapan kepada Allah, lalu aku memberi salam. Demikianlah shalatku selama 30 tahun terakhir ini," ujar Hatim.

Mendengar penjelasan Hatim ini, Isam bin Yusuf pun tertunduk lesu dan menangis. Ia membayangkan bahwa ibadahnya selama ini masih belum seberapa dibandingkan dengan ibadah yang dikerjakan Hatim al-Asham. Segala sesuatunya dilaksanakan dengan penuh pengharapan dan ridha Allah, serta selalu diawali dengan kesucian lahir batin.

Wudhu merupakan pintu masuk menuju ibadah yang terbaik, yakni shalat dan berdialog dengan Allah SWT. Sebab, wudhu merupakan bentuk kesucian lahir. Tanpa kesucian lahir, mustahil pula akan tercapai kesucian batin. "Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya." (QS al-Kahfi [18]: 110). Wallahu a'lam.

Oleh Syahruddin El-Fikri
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/11/05/03/lklrsl-wudhu-batin

Berbicara Di Depan Umum

Oleh : Ubaydillah, AN
Jakarta, 20 Februari 2007

JAM TERBANG

Konon, selain kematian, beberapa hal yang kerap ditakuti orang salah satunya adalah berbicara di depan umum. Benar nggak begitu? Banyak orang yang merasa dak-dik-duk, gemetar, bingung setengah mati ketika diminta atau punya tugas harus berbicara di depan umum. Pertanyaannya adalah, apakah perasaan demikian itu wajar? Untuk membahas ini mari kita perhatikan hal-hal di bawah ini:



Pertama, siapa pun orangnya, mau dia pembicara publik sekelas Hermawan Kertajaya, Rheinald Khasali, Andi Wongso, atau pak ketua RT di tempat kita, memiliki perasaan yang bisa disebut dengan bahasa dak-dik-duk ketika hendak berbicara di depan umum. Hanya memang kadar dan durasinya berbeda. Selain itu, jam terbang juga ikut andil besar di sini.



Orang seperti Hermawan Kertajaya dan lain-lain tetap merasa dak-dik-duk tapi kadarnya mungkin sedikit, durasinya hanya berlangsung beberapa detik. Dengan pengalamannya dalam menghadapi publik selama ini (jam terbang), rasa dak-dik-duk itu segera bisa dialihkan menjadi hal-hal yang dapat menghangatkan suasana.



Kedua, penguasaan materi. Kalau kita tiba-tiba ditodong untuk berbicara tanpa persiapan, ini akan berpotensi membuat kita gelagapan. Bedanya, kalau kita sudah punya jam terbang tinggi, situasi dan kondisi demikian bisa kita cairkan dengan cepat. Tapi bila tidak, ini bisa membuat kita stress yang ditandai dengan keinginan untuk ke toilet, sakit perut, jantung berdetak terlalu cepat dan lain-lain.



Begitu juga kalau kita dimintai berbicara tentang hal-hal yang kita sendiri tidak menguasainya. Meski kita sudah diberi waktu agak cukup untuk menyusun persiapan, tetapi kalau memang itu bukan bidang kita, mau tidak mau ini kerap membikin kita bingung. Untuk orang yang sudah punya jam terbang tinggi, kebingungan ini biasanya bisa diatasi dengan penyiasatan-penyiasatan kreatif.



Ketiga, audien dan suasana. Banyak orang yang merasa minder, dak-dik-duk atau bingung ketika harus berbicara di depan orang yang misalnya saja: lebih senior, lebih tua, lebih pintar, atau lebih segala-galanya. Persepsi kita tentang audien juga ikut mempengaruhi. Kalau kita mempersepsikan audien sebagai seperti macan, sementara kita mempersepsikan diri sendiri sebagai seperti kucing, ya mana mungkin ada kucing yang tidak minder menghadapi macan. Jadi, baik fakta dan persepsi juga ikut berperan.



Begitu juga dengan suasana. Setiap suasana baru membutuhkan adaptasi baru. Ini berlaku untuk semua manusia. Orang yang biasa menghadapi massa dalam jumlah kecil, butuh adaptasi baru ketika diminta untuk berbicara di depan massa yang jumlahnya banyak. Orang yang biasa mengajar di depan siswa atau mahasiswa, tetap butuh adaptasi baru ketika diminta untuk berbicara di depan masyarakat yang tidak ada segmentasinya. Orang yang biasa berbicara dalam suasana yang alami, tetap butuh adaptasi baru ketika diminta berbicara dalam suasana yang benar-benar sophisticated, misalnya disorot kamera, direkam, ditayangkan melalui jaringan teve, dan lain-lain.



Jadi, merasa dak-dik-duk saat baru sekali atau dua kali berbicara di depan umum, saat menghadapi audien dengan segmentasi baru atau saat menghadapi suasana baru, itu semua wajar. Persiapan, penguasaan materi dan pengalaman menjadi kata kunci yang membedakan apakah kewajaran itu mengganggu atau tidak.



Perlu disadari bahwa sebagian besar kita punya kepentingan untuk meningkatkan kemampuan dalam hal berbicara ini. Ini terlepas apakah kita menjadikan kemampuan ini sebagai profesi (public speaker) atau tidak. Kenapa? Ini karena banyak proses pekerjaan yang menuntut kita harus berbicara di depan umum (orang banyak), misalnya presentasi, mengajar, mengarahkan, melaporkan, mendiskusikan, dan lain-lain. Karena itu, kalau membaca hasil survei CCL (Researh Summary Report, 2003), ada 45 % responden yang menyatakan ingin atau sangat ingin mendapatkan pengembangan di sejumlah area, termasuk salah satunya adalah public speaking atau presentasi.





PRINSIP, GAYA & ETIKA

Ada sedikitnya tiga hal yang perlu kita bedakan saat hendak berbicara di depan umum. Ketiga hal itu adalah: a) prinsip, b) gaya dan c) etika. Ketika disebut prinsip, maka yang dimasudkan adalah serangkaian kaidah yang harus kita jalankan atau taati. Kalau tidak, ini bakal menciptakan konsekuensi salah-benar. Beberapa prinsip umum yang perlu kita taati antara lain:



Pertama, visualisasi. Ini masuk dalam persiapan. Visualisasi adalah membayangkan materi yang kita sampaikan, sistematika penyampaian, respon yang mungkin timbul dari audien, suasana yang kita harapkan untuk terjadi, dan lain-lain. Untuk orang yang sudah punya jam terbang tinggi, visualisasi ini barangkali cukup dilakukan dengan mengandalkan naluri atau alam bawah sadarnya. Pikirannya sudah terprogram untuk melakukan visualisasi secara otomatik (reflek).



Tapi, untuk pemula atau yang belum punya jam terbang tinggi, visualisasi ini perlu dilakukan dengan cara yang khusus. Banyak yang menyarankan agar ditulis, dihafalkan, dipraktekkan, dan dilakukan gladi kotor sampai gladi resik di tempat tertentu, misalnya kamar mandi, ruangan sepi atau kamar tidur. Terserah cara apapun yang pas buat anda, tetapi prinsipnya visualisasi ini harus dilakukan.



Bahkan ada pengalaman saya yang mungkin bisa dijadikan pelajaran. Dalam sebuah acara, saya kebetulan duduk di samping pembicara utama. Semua orang yang hadir si situ tahu kalau pembicara ini sudah punya jam terbang tinggi. Tapi, lima-sepuluh menit sebelum naik podium, beliau tetap membutuhkan waktu untuk melakukan visualisasi ulang. Ini yang sudah punya jam terbang tinggi, apalagi yang belum.



Kedua, tahu audien. Ini juga prinsip. Kenapa? Tahu audien akan membuat kita tahu materi yang bermanfaat untuk mereka. Tidak tahu audien akan membuat kita hanya berpikir untuk diri kita sendiri, padahal kita harus berbicara di depan umum. Secara prinsip dapat dikatakan bahwa orang akan tertarik pada hal-hal yang memang bermanfaat untuk dirinya. Kalau kita hanya berbicara tentang hal-hal yang hanya menarik untuk kita tetapi tidak menarik buat mereka, 'wah' ini bisa gawat.



Tahu audien akan membuat kita tahu strategi yang pas buat kita. Ada strategi yang berbeda antara kita harus berbicara di depan orang yang lebih atas, yang sama / selevel dan yang lebih bawah. Strategi ini akan kita temukan kalau kita tahu siapa audien kita, kelompok mana audien kita, orang seperti apa audien kita, dan seterusnya.



Ketiga, kualitas diri. Kualitas diri ini tentu luas pengertiannya. Saya ingin menggambarkan misalnya saja tingkat kepercayaan-diri. Agar kita bisa bicara lantang di depan orang (audien), tentu saja dibutuhkan tingkat kepercayaan-diri yang bagus. Darimana ini bisa digali? Kepercayaan diri ini tidak bisa dibuat-buat. Seperti yang sudah kita bahas di sini, kepercayaan diri ini terkait dengan bagaimana kita merasakan, menilai diri sendiri dan bukti prestasi yang kita miliki. Artinya, semakin bagus kualitas diri kita (dalam pengertian yang seluas-luasnya), akan semakin bagus pula kualitas kita dalam berbicara di depan umum: lebih pede, lebih jelas, lebih kokoh, lebih siap, dan seterusnya.



Lalu bagaimana dengan gaya? Gaya adalah seni bagaimana kita mendeliverikan, mempresentasikan atau mengekspresikan materi. Gaya ini biasanya terkait dengan konsekuensi enak dan tidak enak. Bagi kita yang tidak memilih profesi sebagai public speaker, gaya ini mungkin bisa penting dan bisa tidak. Gaya ini biasanya selalu berubah, tergantung pengalaman, selera, jam terbang, penguasaan, kepribadian, karakter personal, dan lain-lain.



Meski gaya ini variatif dan "suka-suka" kita memilihnya, tetapi ada semacam rambu-rambu umum yang perlu kita perhatikan. Ini antara lain:



Pertama, berbicara ngelantur kemana-mana. Ibarat masakan, terkadang kita butuh bumbu-bumbu yang ikut menambah kenikmatan dan kelezatan. Tapi bila bumbunya ini terlalu banyak, nasib menunya bisa lain. Begitu juga dengan berbicara. Terkadang kita butuh bumbu-bumbu, misalnya contoh, data, dalil, humor dan lain-lain. Tapi bila itu kebanyakan, ini akan mengalahkan materi utama yang ingin kita sampaikan. Apalagi misalnya sampai ngelanturnya itu mengkorupsi waktu orang lain. Silahkan bergaya apa saja tetapi jangan sampai ngelantur.



Kedua, berbicara terlalu cepat atau terlalu lambat. Terlalu cepat dapat membuat audien tidak mengerti dan tidak bisa mengikuti jalan pikiran dan materi yang kita paparkan. Jika ini menyangkut angka atau data penting, ini bisa gawat. Begitu juga kalau terlalu lambat. Ini bisa membuat orang ngelamun atau kurang semangat mengikuti kita. Idealnya, kita perlu memperkirakan antara 80-100 kata dalam satu menit.



Ketiga, suara terlalu tinggi atau terlalu rendah. Jangan meninggikan suara sampai dapat menganggu audien tetapi juga jangan terlalu merendahkan suara sampai tidak jelas didengar. Sebisa mungkin, kita perlu mengatur nada, irama dan tekanan. Artinya, ada beberapa hal yang perlu kita keraskan, datarkan dan rendahkan. Untuk yang sudah punya jam terbang tinggi, ini biasanya terjadi secara otomatik. Tetapi untuk pemula, ini perlu kita latih dalam visualisasi.



Keempat, terlalu banyak gerak atau terlalu diam. Gaya apapun yang kita pilih, itu suka-suka kita. Tetapi, hendaknya kita perlu menghindari praktek "overacting" atau "underacting" (terlalu diam) sehingga terkesan seolah-olah tidak ada interaksi antara kita dengan audien. Karena itu ada saran agar kita bisa menatap satu persatu dalam hitungan detik supaya muncul interaksi.



Kelima, terlalu rumit atau terlalu banyak poin yang penting. Gaya apapun yang kita pilih hendaknya perlu kita desain agar dapat membantu menyederhanakan persoalan yang kita sampaikan. Jika ada istilah-istilah asing yang tidak umum, kita pun perlu menjelaskannya dengan bahasa yang kira-kira bisa dipahami oleh audien. Ini bisa kita lakukan dengan contoh, analogi, penjelasan dari kita, dan lain-lain.



Begitu juga dengan poin-poin yang kita anggap penting itu. Belum tentu apa yang kita anggap penting itu akan penting juga bagi audien. Belum tentu apa yang penting bagi kita dan audien akan dianggap penting oleh mereka. Karena itu perlu ada pengarahan dan penyiasatan yang didukung oleh gaya bicara. Jika kita harus menjelaskan persoalan yang banyak sekali poin-poin yang penting, ini butuh metode yang kira-kira bisa diikuti, misalnya dengan nomor: pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya atau dengan istilah seperti judul, sub judul, sub-sub judul, dan lain-lain.



Selanjutnya adalah etika. Etika ini terkait dengan kepantasan dan ketidakpantasan; kesopanan dan ketidaksopanan. Beberapa hal yang sering dianggap etika umum dalam berbicara di depan publik itu antara lain:



Pertama, salah menyebut orang atau menyebut orang dengan sebutan / sapaan yang berpotensi dirasakan tidak enak, misalnya: ibu yang gendut itu, mas yang kurus, bapak yang berkacamata, mbak yang berkulit hitam, dan seterusnya. Akan lebih safe kalau kita menyebut namanya saja ditambah dengan kata-kata yang memuliakan, seperti: pak, bu, mas, dan seterusnya.



Kedua, memberikan contoh yang menyinggung atau menyakiti orang, terutama dari audien. Pilihlah contoh, anekdot atau kiasan yang kira-kira dapat membantu penjelasan kita, tetapi juga perlu kita pikirkan efeknya bagi orang lain.



Ketiga, menganggap audien sebagai orang yang bodoh dan menganggap kita lebih jago. Ini biasanya tidak kita ucapkan lewat mulut, tetapi kita praktekkan melalui tanggapan atau penjelasan. Di depan orang banyak, pertanyaan seperti apapun perlu kita tanggapi secara bijak dan dengan logika-logika yang positif. Untuk menekan perasaan demikian, hindari motif-motif untuk menonjolkan diri, misalnya ingin dianggap orang hebat, orang pintar, dan lain-lain. Batasi pikiran untuk hanya berkesimpulan bahwa di situ kita hanya menjelaskan sesuatu dan bila ada yang kurang kita perbiki. Titik.



Keempat, tidak "melek sponsor". Ini biasanya digunakan untuk menyebut artis, penyanyi, mc, atau pembicara yang tidak menyebut atau mempromosikan sponsor yang menyelenggarakan acara. Meski kita bukan artis atau penyanyi tetapi akan lebih etis kalau kita mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang menurut kita telah memberikan kontribusi.



Kelima, jauhi mannerisms, seperti garuk-garuk kepala, merapikan baju, mengusap muka, hidung, telinga, melihat dasi atau sepatu, dan lain-lain. Intinya, kita perlu mengkondisikan diri se-informal mungkin tetapi perlu menghindari hal-hal kecil yang berpotensi dianggap sebagai ketabuan atau ketidakpantasan.



Terakhir, kata sejumlah pembicara yang saya simpulkan: "Jangan menanyakan honor di depan!" Honor itu kita butuhkan. Ini tentu anda juga sepakat. Tetapi masalahnya, ketika honor itu kita dahulukan, di sini muncul masalah etika.





TIP PERBAIKAN

Ada sejumlah tip yang perlu kita terapkan sebelum naik bicara. Itu antara lain:



Pertama, apakah materi yang akan kita jelaskan itu akurat atau belum. Lebih-lebih jika menyangkut soal angka atau uang. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah diprotes berhari-hari karena (catatan : menurut versi pemrotes) beliau membacakan data kemiskinan yang tidak akurat.



Kedua, apakah materi yang akan kita sampaikan itu sudah jelas atau belum. Jelas di sini artinya menutup celah kesalahpahaman (misunderstanding) atau salah tafsir (misinterpretation).



Ketiga, apakah materi yang kita sampaikan itu mengena atau tidak. Mengena di sini sesuai dengan tujuan. Kalau yang kita maksudkan itu tindakan, ya perlu diarahkan pada tindakan. Begitu juga kalau yang kita inginkan adalah penjelasan, pemahaman, pemikiran atau keadaan. Ini perlu kita cek agar bisa mengena sasaran.



Keempat, apakah cocok dengan keadaan atau tidak. Protes, penolakan dan reaksi emosional memang kerap kali muncul tetapi hendaknya kita perlu menyusun materi yang dapat menghindarkan kita dari situasi demikian. Perlu menyusun materi yang sesuai dengan keadaan. Kalau perkiraan kita masih fifty-fifty, ya kita perlu persiapan menghadapi kejutan itu.



Kelima, apakah materi kita sudah relevan atau belum. Relevan di sini adalah bermanfaat untuk orang lain. Bermanfaat ini pengertiannya luas tetapi hendaknya kita perlu mendesain materi setelah mempertimbangkan kepentingan orang lain, audien.



Keenam, apakah materi kita sudah simpel atau belum. Kalau masih ruwet, kita perlu cari akal untuk membuatnya menjadi materi yang mudah dipahami orang lain. Kata Einstein, sebelum anda menyampaikan teori baru, jelaskan dulu di depan anak-anak. Kalau mereka tidak paham, teori anda masih ruwet.



Ketujuh, apakah bahan kita masih mengandung "hidden context" atau tidak. Hidden context di sini artinya beberapa hal yang masih tersembunyi (tidak diketahui oleh orang lain) dan bila ini tidak dijelaskan, akan berpotensi melahirkan pemahaman yang kurang, entah kurang utuh atau kurang kuat. Mudah-mudahan ini bermanfaat.

Bagaimana Agar Bisa Konsisten Meraih Sukses

Banyak yang mengatakan, konsisten adalah sesuatu yang paling berat. Tetapi kita tidak punya pilihan lain, jika Kita ingin sukses dalam jangka panjang, konsisten harus menjadi bagian hidup Kita. Tidak bisa tidak.

Konsisten menjadi kata yang paling ditakuti. Banyak orang yang menghindari kata ini, mereka ingin sukses secara instan tanpa harus melewati kata konsisten. Sayangnya itu tidak ada.

Kosistensi juga sering menjadi penghambat sukses. Banyak orang yang memiliki ilmu banyak, namun dia tetap tidak berhasil karena dia tidak konsisten mengamalkan ilmunya. Lalu, bagaimana agar bisa konsisten meraih sukses?

Mulailah Konsisten Dari Yang Kecil

Amalan-amalan yang paling disukai Allah ialah yang lestari (langgeng atau berkesinambungan) meskipun sedikit. (HR. Bukhari)

Jangan disalahartikan, kata sedikit disini bukan berarti menyuruh sedikit. Kata ustadz, hadist ini menekankan pada berkesinambungannya. Artinya amal yang dilakukan secara lestari itu disukai Allah. Tentu saja, apa lagi jika kita melakukan amal yang banyak dan berkesinambungan.

Tetapi untuk langsung menjalankan amal yang banyak dan kontinyu akan sulit sekali. Utamakan dulu keberlangsungannya meski sedikit. Setelah terbiasa dengan yang sedikit, insya Allah akan lebih mudah untuk melakukan amal yang lebih banyak.

Begitu juga untuk mencapai keberhasilan. Kita bisa memulai melakukan sesuatu yang kecil dulu, tetapi lakukanlah dengan konsisten. Jika Kita ingin sukses ngeblog misalnya, mulailah dengan melakukan komentar pada blog orang lain sepatah dua patah kata secara konsisten. Suatu saat, Kita akan menjadi seorang blogger besar.

Jika Kita ingin menjadi pebisnis, mulailah melakukan hal kecil dulu secara konsisten. Misalnya baca artikel tentang bisnis. Atau bisa juga mulai menjual produk, meski sedikit tetapi Kita konsisten menjual. Lama kelamaan, kemampuan dan mental Kita akan terbentuk menjadi pebisnis yang hKital.

Jadi, agar Kita bisa konsisten, mulailah dengan yang kecil dulu.
Ingatlah Nilai Tindakan Kita Sekecil Apa Pun

Saat Kita membaca Al Quran, setiap huruf akan mendapatkan balasan dari Allah. Ya, setiap huruf. Artinya sekecil apa pun ibadah itu akan bernilai. Agama mengajarkan agar kita merasakan dan mengingat nilai amal kita sekecil apa pun. Manfaatnya, sampai sekarang lantunan ayat suci Al Quran tidak pernah berhenti. Banyak orang yang secara konsisten membaca Al Quran.

Begitu juga untuk meraih sukses lainnya. Jika Kita melakukan sesuatu yang akan membawa kepada keberhasilan, maka ingatlah setiap langkah Kita akan mendekatkan kepada sukses. Jika Kita sedang berkerja, ingatlah setiap ketikan Kita di komputer akan membawa hasil. Jika Kita menabung untuk menunaikan ibadah haji, setiap setoran akan mendekatkan Kita ke tanah suci.

Jika Kita seorang penjual, setiap Kita menawarkan produk, artinya Kita akan semakin dekat ke pembeli. Meski pun Kita mendapatkan penolakan, artinya Kita akan semakin dekat dengan orang yang membutuhkan produk Kita. Jika Kita seorang pebisnis, ingatlah setiap usaha pemasaran akan menumbuhkan bisnis Kita.

Setiap langkah, setiap tindakan, dan setiap ucapan yang benar adalah bernilai dan akan mengantarkan Kita kepada keberhasilan. Jika Kita mengingat itu, maka sekecil apa pun manfaatnya, bahkan tidak dirasakan secara langsung, Kita akan tetap konsisten melakukannya.

Agar Konsisten, Pengawasan Sering Diperlukan

Jika Kita masih sulit untuk konsisten, mungkin Kita perlu bantuan orang lain untuk mengawasi Kita. Jika Kita seorang pekerja, Kita tentu diawasi oleh atasan Kita. Jika kurang diawasi, Kita bisa meminta untuk diawasinya. Aneh memang, banyak orang yang menghindar dari pengawasan atasan, tetapi jika Kita ingin sukses, mintalah diawasi.

Bisa juga pasangan hidup, istri atau suami Kita. Mintalah pasangan Kita untuk mengingatkan jika Kita tidak konsisten melakukan sesuatu. Bahkan, anak pun bisa mengawasi kita. Jika masih punya orang tua, orang tua pun bisa mengawasi konsistensi Kita.

Jika perlu, milikilah seorang mentor. Kita bisa mendapatkan pengawasan dari seorang mentor. Bahkan, jika perlu Kita bisa mencari seorang “komKitan” yang mengawasi tindakan Kita dan mampu memberikan hukuman bagi Kita. Kenapa tidak?

Jadi ada tiga Hal agar Kita bisa konsisten, yaitu mulailah dari yang kecil, mengingat nilai dari setiap tindakan sekecil apa pun, dan jika perlu mintalah seseorang untuk mengawasi Kita.

http://www.motivasi-islami.com/bagaimana-agar-bisa-konsisten-meraih-sukses/

Kisah Empat Lilin

Ada empat lilin menyala,
Sedikit demi sedikit habis meleleh.
Suasana begitu sunyi hingga terdengarlan suara mereka.

Lilin pertama berkata:
“Aku adalah damai
Namun manusia tak mampu menjagaku
Maka lebih baik aku mematikan diriku saja!”
Demikian sedikit demi sedikit lilin padam.

Lilin kedua berkata:
“Aku adalah Iman
Sayang aku tak berguna lagi
Manusia tak mau mengenaliku lagi
Untuk itulah tak ada gunanya aku mnyala.”
Begitu selesai bicara, tiupan angin memadamkannya.

Dengan sedih lilin ketiga bicara:
“Aku adalah Cinta
Tak mampu lagi aku tetap menyala
Manusia tak lagi memandang dan menganggapku berguna.
Mereka saling membenci, bahkan membenci mereka yang mencintainya.”
Tanpa menunggu waktu lama, maka matilah lilin ketiga.

Tanpa terduga, seorang anak masuk kedalam kamar dan melihat ketiga lilin telah padam.
Karena tekut akan kegelapan, ia berkata:
“Ekh apa yang terjadi?!! kalian harus tetap menyala, aku takut akan kegelapan”
Lalu ia menangis tersedu-sedu.

Lalu dengan haru lilin keempat berkata:
“Jangan takut…Jangan menangis…
Selama aku masih ada dan menyala, kita tetap dapat selalu menyalakan ketiga lilin lainnya.
Akulah HARAPAN…”

Dengan mata bersinar, sang anak mengmbil LILIN HARAPAN, lalu menyalakan kembali ketiga lilin lainnya. Apalah yang tidak pernah mati hanyalah HARAPAN yang ada dalam hati kita


Sumber: http://kisahkita-tiarmaulidia.blogspot.com/

Hikmah : Teologi Ujian

Dua firman Allah berikut, sungguh relevan bagi orang-orang yang diuji.

Pertama, firman Allah di dalam QS Al-Baqarah [2] ayat 155: "Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. "

Kedua, firman Allah yang terdapat di dalam QS An-Naml [27] ayat 40: "Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al-Kitab: "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip". Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, ia pun berkata: "Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia".

Di dua ayat itu, Allah SWT menanamkan pemahaman di alam bawah sadar manusia, bahwa istilah bala’ (ujian/cobaan) yang dipakai-Nya di dalam Alquran ternyata mempunyai dua sisi makna, yaitu musibah dan nikmat.

Sungguh, akidah atau teologi mengenai bala’ yang terdapat di dalam Alquran ini di luar dugaan kita sebelumnya yang mengaitkan bala’ pada musibah saja. Untuk bala’ yang berarti musibah, di ayat 155 surat Al-Baqarah itu, Allah menyatakan dengan tegas bahwa Dia akan memberikan cobaan kepada kita semua, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan.

Sementara bala’ yang bermakna nikmat, Anda bisa melihatnya di dalam QS. An-Naml: 40. Ayat ini semacam penegasan dari ayat-ayat sebelumnya yang dimulai sejak ayat 15, di mana rangkaian firman Allah itu menceritakan kenikmatan-kenikmatan yang diberikan kepada Nabi Sulaiman, yaitu ilmu, bala tentara dari jin-manusia-burung, kemampuan mendengarkan bahasa semut, dan yang paling fantastik ialah tatkala Sulaiman melihat singgasana Ratu Balqis sekejap mata sudah terletak di hadapannya.

Nah, di ayat 40 itulah, Sulaiman menyadari melalui ungkapan tauhid rububiyahnya, bahwa semua kenikmatan yang diterimanya itu semata-mata merupakan anugerah Rabb (Tuhan)-nya, sekaligus ’ujian’ (bala’) baginya: apakah dia bersyukur atau kufur. Coba, para pembaca, Anda perhatikan, ayat ini menyebut kenikmatan sebagai bala’ juga!

Apa yang kita dapatkan dari teologi bala’ (ujian) tersebut? Ya, para pembaca, kehidupan ini memang berisi dua hal itu, musibah dan nikmat. Tidak ada yang lain. Kalau tidak tertimpa musibah, seseorang itu dalam hidupnya menerima nikmat. Keduanya datang silih berganti seperti silih bergantinya malam dan siang (QS Ali Imran [3]: 190). Karena itu, manusia harus menyadari bahwa keduanya merupakan ujian.

Allah sendiri pun sejak awal telah menyadarkan kita akan dua macam bala’ (ujian) itu: Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (QS Al-Anbiyaa’ [21]: 35).

Musibah disebut ujian, karena memang banyak manusia yang tidak sabar ketika musibah mulai menimpa dirinya. Ketidaksabaran itu karena saking tidak kuatnya menanggung musibah. Ada yang mengeluh dan ada pula yang sampai nekad bunuh diri.

Sementara itu, kenikmatan yang dirasakan oleh sebagian manusia juga bisa disebut ujian, alasannya sama dengan musibah tadi, yaitu semata-mata karena sikap manusia yang menerima kenikmatan itu. Jika dalam menghadapi musibah banyak orang yang tidak sabar, maka dalam menghadapi kenikmatan banyak orang yang tidak bisa bersyukur. Tandanya bisa kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka yang serba cukup banyak yang jatuh dalam dosa atau kemaksiatan kepada Allah, Sang Pemberi nikmat (al-Mun’im) itu sendiri. Wallahu a’lam.

Oleh: Achmad Sjamsudin
Sumber: http://www.republika.co.id/

Jangan Katakan YA jika ingin berkata TIDAK

Oleh : Ubaydillah, AN
Jakarta, 30 September 2009

Format Komunikasi Ideal

Kalau kita mengikuti kursus atau membaca buku komunikasi, biasanya kita akan didoktrin untuk belajar mengatakan TIDAK pada hal-hal yang memang tidak kita kehendaki. Slogan yang kerap dipakai adalah: "jangan mengatakan YA jika Anda ingin mengatakan TIDAK". Secara teori, ini memang format komunikasi yang ideal. Kenapa?



Kalau kita mengatakan YA, padahal hati kita sebetulnya ingin mengatakan TIDAK, maka YA yang kita ucapkan itu menyisakan ganjalan di hati. Bentuknya antara lain: menggerutu, merasa diri sebagai korban, atau akan menyimpan kenangan negatif terhadap orang yang memaksa kita itu. Perasaan seperti ini akan menjadi perampok kebahagiaan.



Bahkan jika itu sudah menjadi kebiasaan / sifat, maka ungkapan YA di situ akan menjadi titik lemah. Ini karena ucapan YA di situ, lebih-lebih jika kita seorang pemimpin, pembuat kebijakan atau orang yang diserahi tanggung jawab, akan membawa konsekuensi yang panjang dan luas, misalnya konsekuensi waktu, biaya, tenaga, dan lainnya. Ya-nya kita akan menjadi incaran pemanfaatan.



Pada tingkat pribadi, kalau kita terlalu sering sudah terlanjur mengatakan YA, padahal kita menginginkan TIDAK, itu bisa menimbulkan gangguan internal atau bahkan bisa sampai taraf penyimpangan. Hal itu sudah mencabut fokus dari sesuatu yang semestinya kita tekuni, hanya karena adanya tuntutan untuk melayani. Ini karena, ungkapan YA itu bisa mengundang konsekuensi dalam bentuk “tyranny of oughts” (tuntutan yang mengharuskan kita) atau menghilangkan self-connectedness (keterkaitan dengan diri) yang dapat melemahkan kekuatan dan kemampuan.





Sesuaikah Dengan Kultur Kita?

Meski secara teori sangat mudah dipahami dan diamini, tapi dalam prakteknya kerap memunculkan pertanyaan. Misalnya, apa bisa itu kita terapkan di kantor? Apa ada atasan atau organisasi yang mau mendengarkan kata TIDAK dari kita? Apa bisa itu kita terapkan pada orang yang tingkat hubungannya dengan kita sudah memasuki level intimasi personal (semacam sahabat karib, teman dekat, mitra yang sudah seperti saudara, dll) dan apakah kejujuran selalu harus di nomerduakan.



Seorang kenalan saya yang sudah merasakan betapa slogan di atas tak bisa dipraktekkan sembarangan di kantor langsung menyimpulkan bahwa ”Don’t say YES if you want to say NO” itu adalah budaya Barat yang tidak bisa begitu saja di praktekkan di Timur. Teman saya ini membeberkan sejumlah contoh. Misalnya, kata You di Barat itu digunakan juga untuk seorang anak kepada ayahnya. Coba kalau itu diterapkan di Timur, apa kata orang?



Dipikir-pikir, kenalan saya ini ada benarnya juga. Terlalu frontal berterus terang dengan kata TIDAK di tempat kerja atau dalam hubungan pertemanan bisa mengundang pelabelan eksplisit atau implisit yang dapat berdampak kurang sehat pada hubungan kita. Ini misalnya antara lain:



Pertama, kita akan dicap sebagai orang yang resistant (keras kepala / maunya sendiri / sulit didekati). Tempat kerja membutuhkan orang yang fleksibel dan supportive terhadap perubahan agar bisa berperan optimal. Kalau kita resisten dengan sikap yang serba-TIDAK, tentu akan ada dampak tersendiri. Lebih-lebih itu kita nyatakan tanpa memandang orang dan kebutuhan.



Ki Hajar Dewantoro menawarkan panduan yang fleksibel dan supportive yang bisa di terapkan dalam kehidupan, baik di tempat kerja maupun di lingkungan keluarga. Apa panduannya? Ki Hajar merumuskan, kalau kita depan, kita harus menjadi contoh / teladan. Kalau kita di tengah, kita harus menjadi orang yang memunculkan inisiatif-inisiatif positif. Tapi kalau kita di belakang, kita harus menjadi orang yang menyemangati. Jadi, di kultur Indonesia, mengatakan TIDAK juga butuh kebijaksanaan, kedewasaan serta kepekaan roso; tahu kapan, dimana, bagaimana mengatakan TIDAK dan apa implikasinya. Sebaliknya, TIDAK yang dinyatakan membabi buta, justru mencerminkan ketidakmatangan pribadi kita.



Kedua, kita akan dicap sebagai orang yang konfrontatif (tidak bersahabat, atau sulit diajak kerjasama). Cap ini mungkin akan menjadi ganjalan bagi karier kita. Kenapa? Dalam prakteknya, tempat kerja itu tak hanya butuh kompetensi kita semata. Selain kompetensi, mereka juga membutuhkan semangat kooperasi atau teamwork. Ini pasti tak hanya butuh YA dan TIDAK secara hitam putih. Tidak mau mendengarkan pendapat orang lain, atau menolak informasi yang bertentangan dengan pengalaman kita, bisa jadi berbahaya karena bisa berarti kita menutup pintu perubahan buat diri sendiri. Banyak orang jadi radikal karena begitu yakin dan percaya diri bahwa YA atau TIDAK miliknya, sudah di dasari oleh logika yang dilandasi nilai universal.



Teamwork sangat dinamis. Adakalanya butuh kooperasi, butuh konsensus, butuh konsesi, dan butuh kompromi. Bahkan dalam transaksi bisnis pun leluhur kita melarang secara gegabah mengatakan TIDAK terhadap transaksi yang tidak menguntungkan. Adakalanya kita hanya untung di relasi meskipun kita tidak untung di transaksi, untung ing konco meski tak untung ing bondo.



Ketiga, sudah banyak cerita dari kisah nyata betapa sikap saklek mempersulit karir. Apalagi, jika kita masuk dalam organisasi yang iklim politiknya sangat kental. Meski dunia kerja itu dikenal sangat mendewakan kompetensi, tapi dalam prakteknya di beberapa hal, tak sedikit keputusan yang dilandasi oleh kalkulasi personal yang bukan lagi kompetensi.



Jika sudah bicara kalkulasi personal ini, maka rumus yang akan dipakai secara alam bawah sadar adalah: orang akan lebih cenderung melibatkan orang lain yang menurut pengetahuannya lebih loyal, lebih mendukung, atau lebih siap untuk mengatakan YA. Kalau kita terlalu sering mengatakan TIDAK secara sembarangan, bisa-bisa akan membahayakan karier kita. Sebaliknya, mengatakan YA tapi sebenarnya TIDAK, tidak bisa dianggap sebagai pengejawantahan pepatah jawa, ”wani ngalah luhur wekasane”, yang artinya, berani mengalah mulia budi pekertinya, mulia di kemudian hari.



Lebih Pada Keahlian

Ternyata, untuk bisa mengatakan TIDAK yang baik itu bukan soal kita produk budaya Barat atau Timur, suku Jawa, Sunda atau Sumatra, tetapi lebih karena keahlian. Karena itu, dalam literaturnya, kata TIDAK itu dibedakan menjadi berbagai macam, antara lain:



Kata TIDAK yang asertif. Ini adalah kata TIDAK yang kita ucapkan dengan bahasa / ungkapan yang tidak menganggu hubungan, dengan cara yang baik (sesuai kultur / ma’ruuf), dan didukung dengan alasan yang kuat. Alasan ini mungkin berupa pertimbangan pribadi, kebaikan atau kemaslahatan. Kata TIDAK yang asertif ini bisa saja tidak harus ternyatakan dalam kalimat secara vulgar, tergantung dengan siapa kita berbicara.



Kata TIDAK yang asertif inilah yang merupakan produk dari keahlian sehingga dinilai paling baik. Keahlian di sini merujuk pada pengertian bahwa tidak ada orangtua, suku, atau bangsa yang mampu melahirkan bayi dengan bawaan langsung asertif secara otomatik. Orang menjadi asertif karena belajar, entah dengan belajar dari buku, belajar dari kesalahan, atau belajar dengan melihat orang lain.



Kata TIDAK yang agresif-egoistik. Kata TIDAK seperti ini terlontarkan secara agresif (menyerang, menyalahkan, atau menguasai) dan itu dilandasi motif untuk memenangkan kepentingan pribadi yang egois, tanpa mempertimbangkan suasana batin orang lain. Kata TIDAK seperti ini tidak seluruhnya jelek. Dalam beberapa hal tertentu dan terhadap orang tertentu, terkadang ini dibutuhkan. Cuma, secara umum, kata TIDAK seperti ini kurang cocok digunakan untuk / terhadap orang yang punya kedekatan tertentu dengan kita, entah itu kedekatan personal atau profesional, lebih-lebih kedekatan istimewa.



Ada juga yang disebut kata TIDAK yang pasif-manipulatif. Kata ini mungkin kita ucapkan dengan kata TIDAK atau YA, tetapi tujuan kita mungkin hanya untuk memanipulasi, atau terungkapkan dengan cara yang politis dan manipulatif. Secara umum, lebih-lebih kepada orang yang punya kedekatan tertentu dengan kita, YA atau TIDAK yang manipulatif dan politis itu jelas tidak baik untuk hubungan jangka panjang. Cepat atau lambat, pertentangan di batin akan muncul dalam sikap; ketidaksinkronan antara hati – pikiran menyebabkan ketidaksinkronan antara apa yang diucapkan dengan tindakan.



Mengasah Keahlian

Dengan kata lain, kesesuaian slogan komunikasi itu bukan tergantung pada kebenaran slogannya. Kenapa? Kalau soal kebenarannya sudah tak perlu diperdebatkan lagi. Cuma, supaya kebenaran itu membawa kebaikan dan kemaslahatan saat dipraktekkan, maka dibutuhkanlah keahlian. Beberapa proses yang penting untuk mengasah keahlian itu antara lain:



Pertama, kita perlu belajar melihat konteks dan kepentingan. Hubungan kita dengan orang lain, lebih-lebih di tempat kerja, tak akan cukup diakomodasi oleh YA dan TIDAK. Ada kalanya kita harus mengatakan YA (padahal mestinya TIDAK), tapi itu untuk kebaikan jangan panjang. Adakalanya kita harus mengatakan TIDAK (padahal mestinya YA), tapi itu untuk kemaslahatan yang lebih besar. Intinya, kita perlu belajar melihat konteks dan kemaslahatannya, tidak main asal TIDAK atau asal YA.



Kedua, kita perlu belajar menggunakan cara-cara mengungkapkan isi hati menurut orang yang kita ajak bicara. Di sini, kemampuan empati sangat penting untuk bisa menakar situasi. Secara umum, ada beberapa petunjuk yang bisa kita pilih untuk mengungkapkan isi hati itu:


Ungkapan yang jelas YA dan TIDAK-nya. Biasanya ini pas untuk orang yang lebih yunior dari kita
Ungkapan yang lemah lembut, baik itu YA atau TIDAK. Biasanya ini pas untuk atasan atau senior, lebih berkuasa
Ungkapan yang mudah dimengerti antara YA dan TIDAK-nya. Biasanya ini untuk orang yang menurut kita awam tentang urusan yang kita bicarakan.
Ungkapan dengan sikap menghargai, baik YA atau TIDAK-nya. Biasanya ini untuk orang yang lebih tua, secara pengalaman atau usia
Ungkapan yang tegas, antara YA dan TIDAK-nya. Biasanya ini cocok untuk transaksi jangka pendek dengan orang yang kepentingannya dengan kita sekedar transaksi.
Ungkapan yang baik, antara YA dan TIDAK-nya. Biasanya ini pas untuk orang yang sedang susah dan sangat berharap bantuan dari kita.



Ketiga, kita perlu belajar menggunakan ”Ilmu Titen” (observasi dan menyimpulkan) dari efek kata YA dan TIDAK terhadap orang lain. Nenek moyang kita dulu mengetahui watak alam bukan dari teori, tetapi dari mengamatinya secara intensif dan intim. Cara belajar seperti inipun perlu kita terapkan untuk melatih keahlian dalam mengatakan TIDAK yang baik dengan meniteni pengalaman pribadi atau pengalaman orang lain.



Tapi, hasil Ilmu Titen itu jangan sampai kita pedomani sebagai kebenaran mutlak yang sudah final. Ini malah bisa membatasi diri dengan pengalaman pribadi. Jadikan hasilnya itu sebagai petunjuk yang mengandung sebagian kebenaran saja, namun tetap membuka diri terhadap pengalaman dan perubahan baru. Ini agar kita tetap waspada dan juga tetap dinamis.



”Belajarlah menjadi kuat tetapi jangan keras. Belajarlah menjadi baik

tetapi jangan lemah. Belajarlah menjadi tegas tetapi jangan menggunakan gertakan.

Belajarlah menjadi rendah hati tetapi jangan jadi penakut.

Belajarlah menjadi percaya-diri, tetapi jangan sombong.”

(Jim Rohn)



Memahami Batasan

Jadi jelas bahwa slogan di atas tak bisa kita praktekkan secara sembarangan kalau tidak ingin hasil yang sembarangan. Perlu memperhatikan konteks kultur, suasana batin orang, dan keadaan, atau tetap butuh batasan. Leluhur kita mengajari batasan itu dengan ungkapan yang sangat bagus: ”Begitu ya begitu, tapi jangan begitu”.


”Silahkan Anda mengatakan YA atau TIDAK menurut Anda dan demi kepentingan Anda, tapi jangan terlalu / selalu menurut Anda”, kira-kira begitu kalau dijabarkan. Mengetahui batasan inilah yang merupakan kebijaksanaan paling tinggi. Semua orang akan bisa belajar mengetahui batasan itu asalkan bisa mengontrol musuhnya, yaitu: AMBISI pribadi yang berlebihan, IRI DENGKI yang salah, dan AMARAH yang tak terkontrol. Semoga bermanfaat

Menghadiri Undangan Resepsi Pernikahan

Setiap muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Setiap muslim memiliki hak bagi saudaranya yang lain. Hak sesama muslim ini sangatlah banyak sebagaimana terdapat dalam banyak hadits. Di antaranya Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam pernah bersabda yang artinya, “Hak muslim pada muslim yang lain ada enam yaitu: (1) Apabila engkau bertemu, berilah salam padanya, (2) Apabila engkau diundang, penuhilah undangannya, (3) Apabila engkau dimintai nasihat, berilah nasihat padanya, (4) Apabila dia bersin lalu mengucapkan ’alhamdulillah’, doakanlah dia (dengan mengucapkan ’yarhamukallah’, pen), (5) Apabila dia sakit, jenguklah dia, dan (6) Apabila dia meninggal dunia, iringilah jenazahnya.” (HR. Muslim)

Syariat Islam yang indah sangat memperhatikan terciptanya hubungan yang harmonis antara sesama muslim, Hukum Memenuhi Undangan Walimah (resepsi pernikahan) adalah Wajib.

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda yang artinya, ”Apabila seseorang di antara kalian diundang untuk menghadiri walimatul ’ursy (resepsi pernikahan), penuhilah.” (HR. Muslim) dan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam juga bersabda yang artinya, ”Barang siapa yang tidak menghadiri undangan walimah/pernikahan, sungguh dia telah durhaka pada Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Muslim).

Dari dua hadits ini terlihat jelas bahwasanya hukum memenuhi undangan walimah adalah wajib, jika memenuhi 3 syarat di atas. Undangan tersebut juga wajib dipenuhi jika undangan tersebut adalah undangan pertama dan pada hari pertama (jika walimahnya lebih dari sehari, yang wajib dipenuhi hanya hari pertama saja).

Bukan sekedar memenuhi undangan, syariat kita juga mengatur tentang adab seputar menghadiri pernikahan. Jika agenda resepsi pernikahan senantiasa berulang setiap saat, maka penting bagi kita untuk memperhatikan beberapa adab yang ada, agar kehadiran kita menjadi lebih berkah dan bernilai amal kebaikan. Berikut sebagian kecil adab menghadiri resepsi pernikahan :

Pertama : Meniatkan Kebaikan dalam menghadiri Resepsi

Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya Setiap amal bergantung dari niatnya” ( HR Bukhori Muslim). Karenanya mari kita niatkan menghadiri resepsi untuk membahagiakan hati saudara kita yang mengundang, sekaligus memenuhi kewajiban ukhuwah dalam Islam. Jangan sampai ada sebersit keterpaksaan dalam hati kita saat melangkah menghadiri sebuah undangan. Jangan pula terkotori dengan keinginan pamer kesombongan dan lain sebagainya.

Bayangkan saja jika kita adalah tuan rumah yang punya hajat, tentu kedatangan para tamu menjadi sebuah kebahagiaan tersendiri sekaligus kesempurnaan jalannya acara. Karenanya, Islam sangat menekankan kita untuk menghadiri undangan . Bahkan pada saat berpuasa pun, kita tetap dianjurkan untuk datang. Rasulullah SAW bersabda : “ Jika salah seorang dari kalian diundang, maka hadirilah. Jika ia berpuasa maka hendaknya ia (datang dan) mendoakan, kalau tidak maka makanlah “ (HR Muslim). Para ulama menyebutkan, sekiranya kita menyadari bahwa kalau kita makan itu akan membahagiakan tuan rumah, maka hendaknya kita membatalkan puasa kita. Bahkan dalam sebuah riwayat pun disebutkan, suatu ketika ada sahabat yang mengundang jamuan Rasulullah dan para sahabat, tapi ternyata ada salah seorang yang menyendiri terpisah dari tamu lainnya. Saat ditanya ia mengatakan : “saya sedang berpuasa”. Maka Rasulullah SAW pun menyindir secara tegas : “ Saudaramu telah berkorban untukmu (dengan menyiapkan makanan), lalu engkau mengatakan : “ saya sedang puasa “ ?. (HR Darimi)

Kedua : Menjaga Adab Islami dalam Pakaian dan Pergaulan

Salah satu yang menjadi ciri dalam kebanyakan resepsi pernikahan hari ini adalah cara berpakaian yang berlebihan dan agenda acara yang memungkinkan pencampuran antara laki-laki dan perempuan. Bahkan dalam beberapa komunitas, ada yang mengharuskan dirinya ke salon terlebih dahulu satu dua jam sebelum berangkat ke resepsi pernikahan. Kiranya dua hadits berikut ini bisa memberikan kita gambaran yang lebih jelas, bagaimana seharusnya kita menata tampilan kita saat pernikahan :

Di riwayatkan dari Aisyah RA, katanya ketika Rasulullah S.A.W sedang duduk beristirahat di masjid, tiba tiba ada seorang perempuan golongan muzainah terlihat memamerkan dandanannya di masjid sambil menyeret nyeret busana panjangnya Rasulullah S.A.W bersabda:"Hai sekalian manusia, laranglah istri istrimu (termasuk anak anak remaja perempuan yang mereka miliki) mengenakan dandanan seraya berjalan angkuh di dalam masjid. Sesungguhnya Bani Israil tidak akan dilaknati sehingga kaum perempuan mereka dandanan menyolok (berlebihan) dan berjalan di dalam masjid. (HR Ibnu majah)

Rasulullah S.A.W bersabda : " perempuan mana saja yang mengenakan wewangian, kemudian keluar rumah lalu melewati orang banyak dengan maksud agar mereka mencium bau harumnya, maka perempuan itu termasuk golongan perempuan yang berzian dan setiap mata yang memandang itu melakukan zina (HR Al Hakim)

Karena itulah, hendaknya kita memakai pakaian yang baik dan wajar, tidak berlebihan apalagi mengumbar aurat. Begitu pula dalam acara resepsi, hendaknya kita menghindari pencampuran total antara tamu pria dan wanita sebagaimana syariat Islam yang indah mengajarkan. Ini semua agar pandangan kita lebih terjaga dan hatipun tidak ternoda. Allah SWT berfirman : “ Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman : "Hendaklah mereka menahan pandangannya" (QS An-Nuur: 30)

Ketiga : Tidak Makan Berlebihan atau mencela Makanan

Kata walimah sendiri identik dengan jamuan, karenanya Rasulullah SAW memerintahkan kepada Abdurrahman bin Auf : “ Adakanlah walimah, meski hanya dengan seekor kambing “(HR Abu Daud). Maka saat ini pun hidangan resepsi pernikahan menjadi bagian terpenting dari keseluruhan rangkaian acara resepsi, bahkan bisa jadi menjadi sesuatu yang dinanti-nanti tamu yang hadir. Namun, meskipun makanan yang hidangan begitu rupa ada di hadapan, marilah kita tetap menahan diri untuk tidak berlebihan menikmatinya. Allah SWT telah mengingatkan dalam firmannya : “Makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguh Allah tdk menyukai orang-orang yg berlebih-lebihan (QS Al-A’raaf : 31).

Begitu pula, terkadang juga kita para tamu mendapati makanan yang kurang disuka atau terasa tidak enak di lidah, maka marilah kita menahan diri untuk mencela makanan tersebut sebagaimana Rasulullah SAW mencontohkan. Dari Abu Hurairah r.a beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak pernah mencela makanan. Jika beliau menyukai satu makanan, maka beliau memakannya. Jika beliau tidak suka, maka beliau meninggalkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Keempat : Mendoakan Kedua Mempelai

Yang terakhir hendaklah kita menyempatkan untuk mengucapkan doa keberkahan kepada kedua mempelai secara khusus, sebagaimana sabda Rasulullah SAW : “Apabila salah seorang dari saudaramu menikah, ucapkanlah “ baarakallahu laka, wa baaraka’alaika wa jama’a bainakuma fii khair” (semoga Allah mencurahkan berkah atasmu, dan atas kalian berdua, serta mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan) (HR Abu Daud dan Tirmidzi). Doa sepenuh keikhlasan, akan lebih lengkap ditambah satu dua kalimat nasehat dan harapan agar menjadi pasangan yang hebat dalam ibadah dan dakwah.

Selain doa, sebuah hal yang baik jika kita bisa memberikan hadiah sesederhanan apapun, sepanjang diikuti ketulusan hati dan kecintaan, sebagaimana Ummu Sulaim juga pernah menghadiahkan kepada Rasulullah SAW berupa makanan sejenis bubur, saat pernikahan beliau dengan Zainab.

Akhirnya, marilah kita jadikan momentum resepsi pernikahan sebagai sarana penguat ukhuwah, menyambung silaturahmi, dan juga kesempatan untuk bertukar nasehat dalam kebaikan dan kesabaran. Semoga Allah SWT memudahkan. Wallahu a’lam bisshowab.

Sumber :
Hatta Syamsuddin : Dosen Mahad Abu Bakar UMS Solo, dan Trainer Motivasi Keislaman dan Keluarga Romantis

Menghadiri Undangan Resepsi Pernikahan

Setiap muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Setiap muslim memiliki hak bagi saudaranya yang lain. Hak sesama muslim ini sangatlah banyak sebagaimana terdapat dalam banyak hadits. Di antaranya Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam pernah bersabda yang artinya, “Hak muslim pada muslim yang lain ada enam yaitu: (1) Apabila engkau bertemu, berilah salam padanya, (2) Apabila engkau diundang, penuhilah undangannya, (3) Apabila engkau dimintai nasihat, berilah nasihat padanya, (4) Apabila dia bersin lalu mengucapkan ’alhamdulillah’, doakanlah dia (dengan mengucapkan ’yarhamukallah’, pen), (5) Apabila dia sakit, jenguklah dia, dan (6) Apabila dia meninggal dunia, iringilah jenazahnya.” (HR. Muslim)

Syariat Islam yang indah sangat memperhatikan terciptanya hubungan yang harmonis antara sesama muslim, Hukum Memenuhi Undangan Walimah (resepsi pernikahan) adalah Wajib.

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda yang artinya, ”Apabila seseorang di antara kalian diundang untuk menghadiri walimatul ’ursy (resepsi pernikahan), penuhilah.” (HR. Muslim) dan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam juga bersabda yang artinya, ”Barang siapa yang tidak menghadiri undangan walimah/pernikahan, sungguh dia telah durhaka pada Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Muslim).

Dari dua hadits ini terlihat jelas bahwasanya hukum memenuhi undangan walimah adalah wajib, jika memenuhi 3 syarat di atas. Undangan tersebut juga wajib dipenuhi jika undangan tersebut adalah undangan pertama dan pada hari pertama (jika walimahnya lebih dari sehari, yang wajib dipenuhi hanya hari pertama saja).

Bukan sekedar memenuhi undangan, syariat kita juga mengatur tentang adab seputar menghadiri pernikahan. Jika agenda resepsi pernikahan senantiasa berulang setiap saat, maka penting bagi kita untuk memperhatikan beberapa adab yang ada, agar kehadiran kita menjadi lebih berkah dan bernilai amal kebaikan. Berikut sebagian kecil adab menghadiri resepsi pernikahan :

Pertama : Meniatkan Kebaikan dalam menghadiri Resepsi

Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya Setiap amal bergantung dari niatnya” ( HR Bukhori Muslim). Karenanya mari kita niatkan menghadiri resepsi untuk membahagiakan hati saudara kita yang mengundang, sekaligus memenuhi kewajiban ukhuwah dalam Islam. Jangan sampai ada sebersit keterpaksaan dalam hati kita saat melangkah menghadiri sebuah undangan. Jangan pula terkotori dengan keinginan pamer kesombongan dan lain sebagainya.

Bayangkan saja jika kita adalah tuan rumah yang punya hajat, tentu kedatangan para tamu menjadi sebuah kebahagiaan tersendiri sekaligus kesempurnaan jalannya acara. Karenanya, Islam sangat menekankan kita untuk menghadiri undangan . Bahkan pada saat berpuasa pun, kita tetap dianjurkan untuk datang. Rasulullah SAW bersabda : “ Jika salah seorang dari kalian diundang, maka hadirilah. Jika ia berpuasa maka hendaknya ia (datang dan) mendoakan, kalau tidak maka makanlah “ (HR Muslim). Para ulama menyebutkan, sekiranya kita menyadari bahwa kalau kita makan itu akan membahagiakan tuan rumah, maka hendaknya kita membatalkan puasa kita. Bahkan dalam sebuah riwayat pun disebutkan, suatu ketika ada sahabat yang mengundang jamuan Rasulullah dan para sahabat, tapi ternyata ada salah seorang yang menyendiri terpisah dari tamu lainnya. Saat ditanya ia mengatakan : “saya sedang berpuasa”. Maka Rasulullah SAW pun menyindir secara tegas : “ Saudaramu telah berkorban untukmu (dengan menyiapkan makanan), lalu engkau mengatakan : “ saya sedang puasa “ ?. (HR Darimi)

Kedua : Menjaga Adab Islami dalam Pakaian dan Pergaulan

Salah satu yang menjadi ciri dalam kebanyakan resepsi pernikahan hari ini adalah cara berpakaian yang berlebihan dan agenda acara yang memungkinkan pencampuran antara laki-laki dan perempuan. Bahkan dalam beberapa komunitas, ada yang mengharuskan dirinya ke salon terlebih dahulu satu dua jam sebelum berangkat ke resepsi pernikahan. Kiranya dua hadits berikut ini bisa memberikan kita gambaran yang lebih jelas, bagaimana seharusnya kita menata tampilan kita saat pernikahan :

Di riwayatkan dari Aisyah RA, katanya ketika Rasulullah S.A.W sedang duduk beristirahat di masjid, tiba tiba ada seorang perempuan golongan muzainah terlihat memamerkan dandanannya di masjid sambil menyeret nyeret busana panjangnya Rasulullah S.A.W bersabda:"Hai sekalian manusia, laranglah istri istrimu (termasuk anak anak remaja perempuan yang mereka miliki) mengenakan dandanan seraya berjalan angkuh di dalam masjid. Sesungguhnya Bani Israil tidak akan dilaknati sehingga kaum perempuan mereka dandanan menyolok (berlebihan) dan berjalan di dalam masjid. (HR Ibnu majah)

Rasulullah S.A.W bersabda : " perempuan mana saja yang mengenakan wewangian, kemudian keluar rumah lalu melewati orang banyak dengan maksud agar mereka mencium bau harumnya, maka perempuan itu termasuk golongan perempuan yang berzian dan setiap mata yang memandang itu melakukan zina (HR Al Hakim)

Karena itulah, hendaknya kita memakai pakaian yang baik dan wajar, tidak berlebihan apalagi mengumbar aurat. Begitu pula dalam acara resepsi, hendaknya kita menghindari pencampuran total antara tamu pria dan wanita sebagaimana syariat Islam yang indah mengajarkan. Ini semua agar pandangan kita lebih terjaga dan hatipun tidak ternoda. Allah SWT berfirman : “ Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman : "Hendaklah mereka menahan pandangannya" (QS An-Nuur: 30)

Ketiga : Tidak Makan Berlebihan atau mencela Makanan

Kata walimah sendiri identik dengan jamuan, karenanya Rasulullah SAW memerintahkan kepada Abdurrahman bin Auf : “ Adakanlah walimah, meski hanya dengan seekor kambing “(HR Abu Daud). Maka saat ini pun hidangan resepsi pernikahan menjadi bagian terpenting dari keseluruhan rangkaian acara resepsi, bahkan bisa jadi menjadi sesuatu yang dinanti-nanti tamu yang hadir. Namun, meskipun makanan yang hidangan begitu rupa ada di hadapan, marilah kita tetap menahan diri untuk tidak berlebihan menikmatinya. Allah SWT telah mengingatkan dalam firmannya : “Makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguh Allah tdk menyukai orang-orang yg berlebih-lebihan (QS Al-A’raaf : 31).

Begitu pula, terkadang juga kita para tamu mendapati makanan yang kurang disuka atau terasa tidak enak di lidah, maka marilah kita menahan diri untuk mencela makanan tersebut sebagaimana Rasulullah SAW mencontohkan. Dari Abu Hurairah r.a beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak pernah mencela makanan. Jika beliau menyukai satu makanan, maka beliau memakannya. Jika beliau tidak suka, maka beliau meninggalkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Keempat : Mendoakan Kedua Mempelai

Yang terakhir hendaklah kita menyempatkan untuk mengucapkan doa keberkahan kepada kedua mempelai secara khusus, sebagaimana sabda Rasulullah SAW : “Apabila salah seorang dari saudaramu menikah, ucapkanlah “ baarakallahu laka, wa baaraka’alaika wa jama’a bainakuma fii khair” (semoga Allah mencurahkan berkah atasmu, dan atas kalian berdua, serta mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan) (HR Abu Daud dan Tirmidzi). Doa sepenuh keikhlasan, akan lebih lengkap ditambah satu dua kalimat nasehat dan harapan agar menjadi pasangan yang hebat dalam ibadah dan dakwah.

Selain doa, sebuah hal yang baik jika kita bisa memberikan hadiah sesederhanan apapun, sepanjang diikuti ketulusan hati dan kecintaan, sebagaimana Ummu Sulaim juga pernah menghadiahkan kepada Rasulullah SAW berupa makanan sejenis bubur, saat pernikahan beliau dengan Zainab.

Akhirnya, marilah kita jadikan momentum resepsi pernikahan sebagai sarana penguat ukhuwah, menyambung silaturahmi, dan juga kesempatan untuk bertukar nasehat dalam kebaikan dan kesabaran. Semoga Allah SWT memudahkan. Wallahu a’lam bisshowab.

Sumber :
Hatta Syamsuddin : Dosen Mahad Abu Bakar UMS Solo, dan Trainer Motivasi Keislaman dan Keluarga Romantis

Hakikat Takut kepada Allah

Kalau dinasihati untuk jangan melakukan kejahatan, karena semua perbuatan dicatat malaikat, tetap saja kejahatan demi kejahatan dilakukan. Akan tetapi kalau ada tanda peringatan bahwa kamera CCTV memantau Anda, barulah takut untuk berbuat salah.

Masih banyaknya manusia yang melakukan kejahatan dan kemaksiatan adalah disebabkan oleh tingkatan imannya yang masih rendah dan belum mencapai kepada tahap keyakinan total kepada perkara-perkara yang gaib. Seseorang lebih takut kepada CCTV yang memantaunya secara temporer dan kondisional daripada takut kepada malaikat pencatat amal yang memantaunya setiap saat, tanpa batas waktu, dan tempat; malaikat.

Orang lebih menjaga dari perilaku kejahatan atau perbuatan dosa yang apabila diketahui oleh publik akan menimbulkan efek yang tidak menguntungkan bagi pelakunya. Seseorang akan merasa lebih takut apabila dosa dan kejahatannya itu diketahui oleh orang lain, daripada takut diketahui oleh Allah.

Namun, adanya rasa malu pada jiwa seseorang disebabkan perbuatan dosanya diketahui oleh orang lain masih lebih baik daripada melakukan dosa atau kejahatan secara terang-terangan, tanpa rasa malu. Karena perasaan malu mengindikasikan adanya keimanan pada diri orang tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis, "Malu itu adalah cabang daripada iman." (HR Bukhari).

Hakikatnya, iman yang kuat akan mendorong seseorang untuk lebih bertaqwa atau takut kepada Allah, sehingga segala godaan untuk melakukan laranganNya dan godaan untuk meninggalkan perintahNya dapat dikalahkan. Sebaliknya iman yang lemah akan menjadikan seseorang lebih liar, dan bahkan rasa takutnya kepada Allah dapat dilumpuhkan oleh selainNya, sehingga segala rayuan Syaitan yang datang kepadanya tidak dapat dihindarkan. Perintah agama diabaikan sedangkan larangannya dikerjakan.

Semua kenyataan ini kembali kepada kata kunci atau muaranya, yaitu kualitas iman dan takwa kepada Allah SWT.

Orang-orang yang takut kepada Allah ialah golongan yang selamat dari keinginan untuk melakukan aksi jahat dan berbuat maksiat. Alquran sudah menegaskan, bahwa orang yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya tidak lain adalah orang-orang yang berilmu. (QSFathir:28)

Diriwayatkan dari Abu Hayyan At-Taimy, bahwa dia berkata, "Orang-orang yang berilmu terdiri dari tiga golongan: Pertama, orang yang mengetahui Allah namun tidak mengenal perintah Allah. Kedua, orang yang mengetahui perintah Allah namun tidak mengenal Allah. Ketiga, orang yang mengetahui Allah dan juga mengetahui perintah Allah." (Kitabul Iman, Imam Ibn Taimiyah).

Sedangkan Imam Ibn Taimiyah menegaskan, "Selagi seseorang melakukan sesuatu, sementara dia juga mengetahui bahwa sesuatu itu mendatangkan mudharat kepadanya, maka orang seperti ini layaknya orang yang tidak berakal. Sebab, ketakutan kepada Allah mengharuskan ilmu tentang Allah, maka ilmu tentang Allah juga mengharuskan ketakutan kepadaNya. Dan takut kepada Allah harus melahirkan ketaatan kepadaNya. Orang-orang yang takut kepada Allah adalah orang-orang yang mengerjakan perintah-perintahNya serta menghindari segala bentuk larangan-Nya." Wallahu'alam bisshowab.

Oleh: Imron Baehaqi Lc, adalah Ketua Bidang Dakwah & Tarjih Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Kuala Lumpur

Selasa, 24 Mei 2011

Mengorek Akar Kecemburuan

Oleh : Ubaydillah, AN
Jakarta, 05 Maret 2010
Happen-to Dan Happen-in
Cemburu, atau yang sering kita kenal dengan istilah jeles (jealous), adalah sikap emosi kita terhadap orang yang kita anggap sebagai rival atau ancaman. Cemburu juga merupakan keadaan takut atau was-was atas hilangnya seseorang yang kita anggap penting. Reaksinya bisa aversif (tak mau didekati) atau protektif (menjadi seperti polisi).
Cemburu bisa terjadi pada urusan cinta asmara remaja, hubungan suami-istri, atau keinginan yang memiliki nilai tertentu, seperti jabatan atau penghasilan. Ketika kita cemburu, luapan emosi yang muncul antara lain adalah:

§ Takut kehilangan
§ Was-was terhadap munculnya penghianatan
§ Merasa kurang berguna atau sedih
§ Hidup terasa seperti tidak jelas dan merasa sendiri
§ Tidak percaya
§ Jengkel, marah atau gregetan

Dalam prakteknya, kecemburuan itu sedikitnya bisa memainkan dua fungsi. Fungsi pertama bisa dibaca sebagai tanda adanya rasa cinta. Laki-laki atau perempuan yang malu mengatakan cintanya secara langsung, terkadang menggunakan sikap atau pernyataan cemburu sebagai utusan.

Sedangkan fungsi yang kedua, kecemburuan bisa dirasakan sebagai perusak cinta. Kecemburuan seperti inilah yang diebut cemburu buta atau cemburu yang oleh para ahli disebut pathological jealousy (cemburu tidak sehat). Orang yang menjadi sasaran cemburu seperti ini, biasanya malah ingin mengganggalkan harapan si pencemburu, misalnya malah ingin jauh, risih, atau jengkel.

Beberapa tanda yang bisa kita rasakan adanya kecemburuan yang tidak sehat itu antara lain adalah: ketika sebab-sebabnya tidak faktual atau tidak ada petunjuk untuk cemburu, dirundung ketakutan dan kegelisahan yang lama, intensitas kecermburuannya sudah menganggu aktivitas lain karena pikiran kita terancam oleh “jangan-jangan”, memunculkan perasaan putus asa atau minder.

Pada cemburu yang sehat, masalahnya secara umum bersumber dari orang lain yang kita anggap kurang menaati kode etik, kurang membaca rasa, atau kurang mengindahkan hubungan. Tetapi, pada cemburu yang sudah tidak sehat, kemungkinan besar masalahnya ada di dalam diri kita. “It’s not about what happen to you, but about what is happening in you”

Rasa Takut
Apa yang menyebabkan seseorang cemburu secara pathologis? Dilihat dari sumber motifnya, banyak kajian yang berhasil mengungkap bahwa sebab penentunya (determinant) adalah rasa takut dan resah (feeling of fear and feeling of inadequacy). Rasa takut yang sudah menjadi motif hidup berbeda dengan rasa takut yang tidak / belum menjadi motif.

Bila kita takut ke luar rumah karena petir dan angin sedang mengamuk, maka takut seperti ini tidak menjadi motif. Kita takut karena ada sesuatu yang pantas untuk ditakuti. Takut seperti ini sehat dan kita butukan supaya tidak terlalu nekat, konyol atau sembrono. Bayangkan jika kita tak takut bahaya atau kerugian, apa akibatnya?

Takut yang sudah menjadi motif hidup terkait dengan kecemasan, kecurigaan, dan rasa terancam oleh “jangan-jangan” yang tak terkendalikan oleh kita (obsesif-kompulsif) sehingga mengganggu “kenormalan” kita, termasuk yang terkait dengan hubungan kita dengan pasangan atau dengan yang lain.

Sumbernya yang paling fundamental adalah kita merasa tidak punya pegangan, baik itu nilai-nilai, pemikiran, keyakinan, penilaian atau skill tertentu yang membuat kita punya alasan kuat bahwa kita “pede” atau mampu menguasai keadaan, terutama keadaan internal di dalam diri kita.

Sebagai reaksi atas perasaan itu, kita memunculkan mekanisme untuk menciptakan rasa aman. Salah satu mekanisme yang kita pilih adalah cemburu secara tidak sehat atau menolak mengambil inisiatif yang sehat untuk menyelesaikan problem, misalnya mengajak diskusi atau sharing dengan pasangan atau calon. Kita uring-uringan sendiri, was-was sendiri, beku sendiri.

Jika sudah menjadi motif, sumber itu tidak muncul secara tiba-tiba. Secara umum, ada rentetan panjang yang menjadi latar belakangnya. Mungkin dari pola pengasuhan waktu kecil yang terlalu memberi batasan atau kekhawatiran (rigid parenting) sehingga kesempatan kita untuk menjajal berbagai pengalaman dan ketrampilan sangat minim (mental construction).

Atau bisa juga muncul dari interpretasi kita atas kejadian masa lalu yang traumatik, baik yang menimpa kita langsung atau tidak langsung, misalnya menimpa sang kakak, adik, orangtua atau keluarga. Trauma yang gagal kita netralisir, dapat membuat kita terkuasai sehingga obsesif-kompulsif, alias tersiksa oleh rasa dan terbelenggu oleh cemburu.

Keresahan
Resah pun demikian. Ada keresahan yang memang masih pantas untuk diresahkan atau yang biasa disebut duka, sedih atau kecewa. Misalnya kita kehilangan pekerjaan, kehilangan orang tercinta, kegagalan mengikuti tes PNS padahal sudah membayar sana-sini. Sebagai reaksi sesaat, kesedihan dan kedukaan itu normal, alias manusiawi.

Tapi, ada resah yang memang sudah menjadi motif atau sudah menjadi virus yang menyerang sistem di dalam jiwa kita. Resah seperti ini muncul dari kebingungan yang tak terselesaikan (depresi) sehingga memunculkan keputusasaan dan patah harapan yang merupakan konsekuensi logis dari melemahnya kreativitas dalam menghadapi masalah.

Seperti apa yang pernah ditulis Abraham Maslow, jika alat yang engkau miliki hanya palu, maka engkau akan menganggap semua benda bagai paku. Karena kita melihat persoalan hanya satu perspektif, maka cara yang akan kita tempuh untuk menghadapinya juga satu. Biasanya, jika kreativitas kita rendah atau dalam keadaan depresi, kita akan cenderung memilih cara yang tak perlu berpikir panjang, seperti cemburu secara tidak sehat.

Laporan hasil studi APA (American Psychological Association: 2010) mengungkap bahwa kerentanan seseorang terhadap kecemburuan itu terkait dengan self-worth (pede, bahagia, optimisme, dst). Artinya, semakin rendah sef-worth seseorang, akan semakin rentan dia untuk cemburu. Kecemburuan itu bisa agresif, seperti marah dengan penyerangan. Atau juga bisa pasif, seperti ngambek dan menarik diri di kamar.

Darimana Mulai Bekerja?
Semua orang berhak untuk cemburu karena memang ada porsi yang dibutuhkan untuk menandai hubungan kita dengan orang tertentu yang menurut kita penting, seperti pasangan atau pacar. Hal lain lagi yang perlu kita sadari juga bahwa semua orang pada dasarnya memiliki kerentanan untuk cemburu secara patologis, seperti juga kita rentan terhadap penyakit.

Alasannya adalah, siapa yang tak punya potensi ketakutan dan keresahan? Hanya memang ketika porsinya sudah kebabalsan (akut) dan dampaknya sudah merugikan, maka tindakan kuratifnya (pengobatan) harus segera kita lakukan. Tindakan kuratif ini perlu ada yang didasarkan pada outcome (hasil) yang nyata di depan mata dan ada yang perlu didasarkan pada outcome yang tidak nyata.

Bentuk tindakan yang outcome-nya nyata itu antara lain misalnya saja:

§ Melakukan aktivitas yang hasilnya dapat membuat kita feeling good, seperti merapikan perabot rumah, persiapan kerja atau sekolah, care terhadap orang lain, dll
§ Menjalankan agenda pengembangan-diri sesuai keadaan dan kebutuhan, misalnya menambah skill, ketrampilan tertentu, atau kebisaan tertentu sampai membuat kita meyakini punya pegangan
§ Menempuh berbagai cara dengan motivasi yang tinggi untuk mewujudkan agenda pengembangan-diri itu.
§ Berdiskusi dengan pasangan mengenai hal-hal yang perlu kita capai agar pikiran tidak beku
§ Bergaul atau berkumpul dengan orang-orang yang membuat pikiran kita terus dinamis

Intinya, tindakan yang nyata itu adalah berbagai tindakan yang hasilnya nantii dapat mengurangi ketakutan yang ada di dalam diri kita karena merasa kurang (feeling of lack) atau merasa tidak punya pegangan (feeling of empty). Atau juga tindakan yang melatih pikiran kita untuk kreatif dalam menghadapi masalah supaya tidak gampang resah (feeling of contented).

Supaya tindakan itu memiliki pondasi yang kuat, maka perlu ada aksi-aksi batin (spiritualitas) untuk menggali vitalitas hidup. Banyak orang yang sudah tahu dan sangat ingin melakukan tindakan kuratif mengatasi masalahnya. Tetapi prakteknya, keinginan dan pengatahuan itu kurang berguna karena dikalahkan oleh kemalasan dan kesulitan.

Ini pun dapat terjadi pada kita jika pondasi spiritualnya (keimanan) tidak ada atau tidak kuat. Untuk membangun pondasi itu, hal-hal yang penting untuk kita lakukan antara lain:

§ Temukan pemikiran yang membuat Anda lebih “pede”, lebih kuat atau lebih bahagia dalam menghadapi hidup, dari bacaan, ajaran atau orang lain
§ Temukan keyakinan yang membuat Anda lebih tegar, dari orang lain, bacaan, atau ajaran
§ Hentikan atau alihkan semua pemikiran yang membuat Anda makin merasa tidak pede, merasa ringkih atau hancur
§ Bangun kedekatan dengan Tuhan melalui jalan keimanan

Iman adalah sebuah kesimpulan batin yang membimbing kita untuk meyakini (hati, lisan dan tindakan) adanya Tuhan atau kekuatan yang di luar lingkaran kita dan orang-orang yang kita cemburui itu. Kesimpulan itu idealnya dibangun dari pembelajaran, pengetahuan dan pengalaman, supaya dapat mengurangi rasa takut dan rasa gelisah (laa khoufun alaihim walaa hum yahzanuun).

Misalnya, kita tersiksa oleh kecemburuan terhadap seseorang yang keberadaannya di luar kontrol kita, katakanlah bekerja di luar negeri atau di luar kota. Apa yang akan kita jadikan pegangan? Akal? Tehnologi? Atau perasaan? Itu semua dibutuhkan, tetapi tak sanggup mengalahkan ketakutan dan kegelisahan sehingga perlu pegangan lain yang sifatnya spiritual.

Sama juga misalnya kita dikhianati orang secara nyata. Jika hanya berpedoman pada akal, mungkin kita akan terlibat dalam saling menuntut, saling membalas, saling menghukum. Terkadang ini diperlukan asalkan proporsional. Kalau kebablasan, ini akan merusak kita. Begitu juga dengan perasaan. Jika kita jadikan pedoman tunggal, maka akan melibatkan kita pada merasa hancur atau kecewa.

Supaya tidak sampai kebablasan, maka larinya harus ke pegangan hidup yang sifatnya spiritual atau nilai-nilai abstrak yang membuat hidup kita tetap punya ketahanan (keimanan). Oleh Napolen Hill, iman itu disebutnya dengan istilah The Infinitive Intelligence atau kecerdasan yang sanggup membuat kita melihat kenyataan di balik kenyataan.

Intinya, untuk mengatasi kecemburuan yang patologis itu perlu melibatkan empat kapasitas inti dalam diri, yaitu tindakan nyata (pengembangan-diri), nalar (kalkulasi), perasaan (membedakan sensitivitas), dan keimanan (keyakinan yang membebaskan kita dari rasa takut dan gelisah).

Jangan Mau Dilemahkan Dan Dimanfaatkan
Dalam keadaan kreativitas lagi turun atau diliputi ketakutan, mungkin kita butuh orang lain untuk membantu. Mungkin guru, psikolog, ustadz, spiritualis, trainer, atau orang tertentu yang menurut kita berwibawa dan pas untuk dijadikan tempat curhat.

Sejauh kita melihat apa yang dilakukannya itu adalah memacu kita menggunakan 4 kapasitas di atas dan relatif bebas saran-sarannya dari self-interest (hawa nafsu), itu semua sangat OK. Kita dibantu menjadi orang yang lebih kuat menghadapi hidup. Berterima kasihlah. Soal itu bayar atau tidak, ini lain urusan.

Tapi, jika hanya membuat kita makin lama makin tergantung (lemah), makin takut atau makin jauh dari kenyataan, lebih-lebih cara yang digunakannya aneh-aneh, di sini biasanya rawan pelanggaran atau penyimpangan. Kita telah menyediakan diri untuk dilemahkan atau dimanfaatkan.

Semoga bermanfaat.

Facebook dan Gejala Autisme Sosial Remaja

Oleh : Ubaydillah, AN
Jakarta, 05 Maret 2010
Dimanakah Bahayanya FB?
Di awal tahun 2010 ini, kita dikejutkan oleh pemberitaan miring seputar penyimpangan sejumlah remaja yang gara-garanya Facebook (FB). Seorang remaja putri di Jawa Timur, nekat lari ke Jakarta, meninggalkan orangtuanya, setelah berkenalan dengan teman baru dari Tangerang melalui FB. Kata polisi, mereka telah melakukan perbuatan yang jauh belum saatnya.

Kasus yang sama menimpa remaja A di Jawa Tengah. Setelah sering menggunakan seluler untuk FB-an, remaja itu menghilang entah kemana. Ada semakin banyak orangtua yang menggelisahakan aktivitas putra-putrinya sehabis sekolah. Mereka tidak pulang. Mereka mampir di warnet untuk FB-an.

Bahkan, di jam-jam yang mestinya mereka masuk kelas pun, mereka kedapatan nongkrong di warnet, seperti yang terjadi di Depok. Setelah dilihat apa yang mereka lakukan, ternyata isinya balik lagi ke YM dan FB. Di Lampung, 4 pelajar remaja diberhentikan dari sekolahnya karena dinilai telah menghina guru mereka melalui FB.

Berdasarkan kasus-kasus itu, muncul pro-kontra dalam masyarakat. Ada yang berpendapat, FB harus diharamkan karena madhorot-nya. Tapi, kenyataan di lapangan sepertinya kurang bisa menerima secara plong pendapat ini. Alasannya, menurut pendapat yang tidak setuju, “ Kan bukan FB-nya yang salah. Yang salah kan otak manusianya?”, begitu kira-kira.

Alasan lainnya, FB tidak otomatik memberikan madhorot. Bahkan sempat terbukti memberikan maslahat, minimalnya untuk kelompok atau orang tertentu. Katakanlah di sini dukungan untuk Pak Bibit-Chanda, dukungan untuk pulau Komodo, dan lain-lain. Malah sekarang ini, FB telah dijadikan tren menggalang dukungan.

Terlepas pro-kontra itu, tetapi faktanya FB itu sudah ada di depan mata dan nyata. Sebagai produk tehnologi, dia hanya enabler (perangkat yang membuat kita mampu), bukan creator (perangkat yang berinisiatif sendiri). Karena enabler, dia bisa berbahaya dan juga bisa bermafaat, tergantung di tangan siapa. Man behind the gun.

Autisme Sosial Remaja
Sebut saja di sini keluarga Pak Djodi yang secara ekonomi masuk di kelas menengah. Karena ayah dan ibu bekerja di luar rumah, keluarga ini punya agenda memanfaatkan waktu liburnya untuk kumpul keluarga: ayah, ibu, dan kedua anaknya yang remaja.

Tapi apa yang terjadi selama di kendaraan dan di restoran? Kedua anaknya sibuk memainkan hape untuk sms-an atau FB-an dengan temannya yang entah di mana. Walhasil, hanya kelihatannya saja itu acara keluarga. Batin anaknya tidak involve 100% di proses acara keluarga itu. Malah terkesan buru-buru ingin meninggalkan acara karena ada urusan di luar lewat hape.

Ilustrasi di atas rasa-ranya sudah bukan fiktif lagi saat ini. Itu sudah menjadi fakta. Anak-anak remaja saat ini menghadapi banyaknya pilihan dan godaan yang ditawarkan layar kaca dan dunia maya, dari mulai hape, internet, game, dan lain-lain. Mungkin, orangtuanya dulu menghadapi tantangan berupa sedikitnya pilihan dan banyaknya keterbatasan.

Pertanyaannya, tantangan manakah yang sebetulnya lebih berat? Tantangan yang kita hadapi dulu atau tantangan yang dihadapi anak-anak kita sekarang ini? Namanya tantangan, pasti sama-sama berat. Karena itu, terkadang tidak seluruhnya tepat kalau kita mengatakan kepada anak, misalnya begini: “Kan hidupmu sudah enak, tidak seperti ayah-ibu dulu?”

Layar kaca dan dunia maya adalah tantangan generasi sekarang. Jika sikap mentalnya tidak tepat, misalnya berlebihan atau disalahgunakan, akan memberikan bahaya yang ekstrimnya seperti pada kasus-kasus di atas. Bahaya lain yang kelihatannya tidak ekstrim, tetapi tidak bisa dianggap remeh adalah melumpuhnya ketrampilan sosial (autisme sosial).

Padahal itu sangat dibutuhkan bagi kehidupannya di alam nyata, di sekolah, di tempat kerja, di keluarga, di masyarakat, dan seterusnya. Beberapa gejala kelumpuhan sosial yang perlu kita amati itu antara lain:

§ Rendahnya kemampuan bertatakrama, tatasusila dan etika dalam berkomunikasi.
§ Rendahnya kemampuan membaca bahasa batin dalam berkomunikasi
§ Melemahnya kepekaan terhadap kenyataan sehingga tidak mampu menyelami “What is happening” dan “What to do”
§ Membudayanya berpikir yang serba tehnik dalam menghadapi hidup karena terbiasa menghadapi tehnologi sehingga kurang bisa “soft” atau bijak
§ Rendahnya kemampuan menyelesaikan konflik dalam interaksi
Itu semua akan terjadi apabila penggunaan layar kaca dan dunia maya berlebihan atau tidak berkonsep, misalnya hanya untuk hahak-huhuk atau hanya karena desakan tren dan distraksi (gangguan pengembangan-diri) yang jauh dari sesuatu yang important (penting) atau priority (sangat penting).

Lain soal kalau digunakan untuk menjalankan konsep, seperti mahasiswa di Malang yang berhasil menciptakan game kelas internasional karena sering di warnet dekat rumahnya. Atau juga untuk mengkaji dan menambah pengetahuan, seperti yang dilakukan anak MAN di Bandung yang ilmunya lebih bagus dari gurunya gara-gara internet.

Pentingnya Interaksi Langsung
Sejak zaman dulu, peradaban manusia telah menawarkan berbagai cara untuk berkomunikasi, tidak selalu langsung berhadapan dan bergesekan. Misalnya saja surat-menyurat yang sudah dikenal sejak dula kala. Kemudian muncul tehnologi dengan menggunakan telepon. Dan kini muncul yang lebih canggih, chating atau FB.

Ada fakta menarik yang kerap luput dari kesadaran kita bahwa meski kemajuan zaman itu menawarkan sekian cara berkomunikasi, tetapi untuk kepentingan learning (mendewasakan manusia), belum ada yang bisa menggantikan atau mengungguli peranan komunikasi langsung (interaksi).

Malah kalau menurut laporan riset mengenai social learning (belajar dengan melihat orang lain), ternyata pengaruh interaksi melebihi pengajaran di kelas, seminar, atau belajar dari internet, terutama untuk pembelajaran perilaku. Adapun untuk menambah pengetahuan (pembelajaran intelektual) memang sekolah tidak ada duanya.

Kalau logika ini kita kaitkan dengan masalah yang mengancam kemampuan sosial remaja di atas, maka beberapa poin penting yang perlu kita sadari adalah:

§ Semakin berlebihan dia berinteraksi dengan kaca dan maya, akan semakin berkurang kesempatannya untuk belajar bertatakrama, tatasusila dan beretika. Dunia maya hanya mengajarkan apa yang ditulis. Soal tatakrama, tentu sangat minim. Seorang mahasiswa yang kebetulan asyik sms-an lalu menabrak dosennya, mungkin hanya akan bilang sori, dengan muka yang biasa-biasa. Padahal, secara tatakramanya mestinya tidak begitu.
§ Semakin berlebihan dia berinteraksi dengan kaca dan maya, akan semakin sedikit kesempatannya membaca suara batin orang lain. Kemampuan membaca suara yang tidak terdengar dalam komunikasi hanya bisa digali dari interaksi langsung. Menurut Peter Drucker dan juga praktek hidup yang kita alami, kemampuan membaca menjadi kunci dan tertinggi kualitasnya.
§ Semakin berlebihan dia berinteraksi dengan kaca dan maya, akan semakin kecil kesempatannya untuk merasakan dan menangkap apa yang terjadi nyata di sekelilingnya, seperti pada kasus ilustrasi keluarga Pak Djodi di atas. Atau juga bisa menjadikan FB sebagai pelampiasan mengatasi rasa malu dengan cara melarikan diri dari realitas, bukan work on reality.
§ Semakin berlebihan dia berinteraksi dengan kaca dan maya, akan semakin kecil kesempatannya untuk menggunakan pikirannya bagaimana berkreasi secara kreatif menghadapi konflik dalam praktek hubungan. Di dunia maya, begitu kita tidak cocok dengan seseorang, tulis aja atau delete aja. Tapi, dalam praktek hidup, itu tidak bisa.

Kalau dilihat dari konsep pendidikannya, dunia maya dan layar kaca pun dibutuhkan dalam mendewasakan manusia. Tetapi, jangan sampai itu menggantikan interaksi langsung, kecuali untuk ruang dan jarak yang tak bisa ditembus. Kenapa?

Dunia maya dan layar kaca hanya sampai pada memberi sumbangan dalam bentuk data, informasi, dan pengetahuan. Untuk praktek hidup, ini perlu ditambah lagi dengan wisdom. Darimana ini digali? Wisdom digali dari praktek, dari interaksi, dari konflik, dari gesekan, dan dari pemaknaan.

“DATA – INFORMATION – KNOWLEDGE – WISDOM”

Manajemen Layak Kaca & Maya Di Sekolah Dan Rumah
Akhirnya, mau tidak mau, kita harus berurusan dengan manajemen (pengaturan dan pengelolaan) untuk anak-anak kita yang sedang gandrung-gandrungnya FB dan Hape. Cara yang paling simpel, namun biasanya kurang ngefek itu adalah yang ekstrim, misalnya melarang atau membiarkan.

Ini karena pada setiap perkembangan manusia itu memunculkan watak ganda. Pada remaja, satu sisi dia harus tahu perkembangan zaman dan terlibat di dalamnya agar dia bisa bersikap. Kalau kita memaksa dia harus seperti kita, mungkin dia akan manjadi manusia terkuno di zamannya nanti.

Tetapi di sisi lain, konsistensi dia dalam memegangi ajaran moral dan mental itu masih labil, belum terkonstruksi secara kuat, layaknya orang dewasa. Karena itu, memberi cek kosong kepercayaan pada remaja, seringkali membuahkan penyesalan di kemudian hari.

Nah, manajemen di sini berguna untuk bagaimana kita tetap memberi kesempatan kepada mereka terlibat dalam perkembangan zaman, namun tidak sampai termakan oleh asumsi bahwa anak kita pasti sudah bisa menjaga dirinya sehingga kita terlalu membiarkan.

Agar manajemen ini bekerja, tentu dibutuhkan aksi, entah itu sosialisasi pemahaman, regulasi penggunaan, atau antisipasi penyalahgunaan. Untuk tehniknya, pasti kita punya cara sendiri yang lebih membumi. Hanya, secara umum, tehnik yang bisa kita acu itu antara lain:

§ Memberi bekal pengetahuan dan penyadaran mengenai hebatnya tehnologi dan potensi bahaya yang bisa ditimbulkannya. Anak kita sudah tahu itu, tetapi ucapan kita tetap diperlukan
§ Mengorek sikap anak terhadap kasus-kasus remaja terutama yang ditudingkan ke FB untuk memperkuat konstruksi sikapnya dalam menghadapi hidup
§ Beradu kompetisi untuk menemukan data, informasi, dan pengetahuan melalui internet dengan anak atau minimalnya belajar dari anak atau belajar bersama dia.
§ Perlu memonitor apa yang dilakukan anak selama berinteraksi dengan hape atau FB untuk memberikan ide-ide evaluasi konstruktif (membangun).

§ Perlu untuk tidak memberikan privacy yang berlebihan pada anak, misalnya kamarnya dikunci, di lantai II, bebas main internet tanpa pantauan, sms-an sampai tengah malam, pulang sekolah seenaknya, dan seterusnya.
§ Tetap memberi ruang untuk berinteraksi dengan kita secara nyata, face-to-face, dan real life agar terjadi gesekan, social learning, dan dinamika.

Yang Baik Pun Kalau Berlebihan Menjadi Kurang
Sampai pun kita tahu bahwa anak kita menggunakan internet itu untuk kebaikan, namun kalau berlebihan, misalnya berjam-jam di depan komputer, itu bisa menjadi kekurangan buat dia. Membaca buku itu sangat bagus, tetapi kalau berlebihan, terkadang menciptakan kekurangan, misalnya tidak bisa ngomong secara flow (mengalir), kurang tahan menghadapi kenyataan, atau keseimbangan fisiknya kurang.

Selama masih usia remaja, akan lebih bagus kalau dia merasakan berbagai pengalaman hidup, lebih-lebih pengalaman yang sedang ngetren di zamannya, namun tetap kita arahkan untuk memfokusi beberapa bidang yang nantinya berguna untuk dia, sambil bekerjasama untuk memantangkan mental dan moralnya.

Semoga bermanfaat.

Indahnya Kesepian

Oleh : Jacinta F. Rini
Jakarta, 12 Mei 2011
Setiap orang dalam hidupnya pasti pernah merasa kesepian. Yang membuat perbedaan adalah kadarnya, lamanya, penyebabnya dan tentu saja penanganannya. Kebanyakan orang menghindari kesepian karena kesepian berkonotasi negatif, atau paling tidak menimbulkan perasaan tidak menyenangkan.

Kini, banyak orang mempunyai account facebook dan twitter, untuk tetap terhubung satu sama lain, untuk bisa tahu apa yang tengah dilakukan temannya atau komunitasnya. BbM, YM, intant messenger menjadi sarana penghubung yang tak kenal cuaca, waktu (waktu kerja, waktu keluarga maupun waktu berdoa, bahkan - waktu tidur sekali pun). Memang tidak semua orang ber - account twitter dan facebook maupun melakukan online chat adalah orang-orang kesepian. Premisnya tidaklah demikian. Namun faktanya, hampir semua orang sepertinya ingin menyapa dan disapa, berkomentar dan dikomentari; ingin menjadi bagian dari komunitas. Mall, cafe dan resto makin ramai dikunjungi bukan sekedar untuk mengenyangkan perut, namun sebagai kesempatan untuk networking, reuni dan menyambung rasa. Keinginan untuk keep in touch menjadi kebutuhan yang tidak ada hentinya.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan hal ini, namun persoalannya, ternyata banyak orang yang tetap merasa kesepian di tengah kongkow-kongkow, di tengah keramaian maupun di tengah tingginya frekuensi lalu lintas komunikasi via chatting online. Kesepian tidak dialami orang yang tinggal di puncak gunung atau desa terpencil, karena mereka yang hidup di kota besar yang padat penduduk dan hingar bingar hiburan pun ternyata lebih banyak yang merasa kesepian.


Perasaan Kesepian
Menurut definisi wikipedia, "Loneliness is an unpleasant feeling in which a person experiences a strong sense of emptiness and solitude resulting from inadequate levels of social relationships. However, it is a subjective experience.[1] Loneliness has also been described as social pain - a psychological mechanism meant to alert an individual of undesired isolation and motivate her/him to seek social connections.[2]

Perasaan kesepian memang sering di korelasikan dengan tiadanya teman dan kurangnya kasih sayang. Menurut James Park, seorang filsuf beraliran eksistensialis mengatakan bahwa perasaan kesepian tidak selalu disebabkan oleh kurangnya cinta dan teman, namun karena sering disalahartikan dan tidak dipahami, maka segala jenis kesepian lantas diatasi dengan cara bersosialisasi, pacaran, menikah, dsb yang semua berkaitan dengan interpersonal relationship. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini ada uraian singkat mengenai penyebab kesepian yang ternyata bukan melulu urusan cinta.


Penyebab Kesepian
Anak-anak, remaja, orang muda hingga manula, pernah mengalami rasa kesepian. Anak-anak merasa kesepian ketika ditinggal pergi orangtua mereka. Istri/suami yang kesepian karena kehilangan pasangan, akibat kematian atau perpisahan. Seorang gadis atau pemuda kesepian setelah putus dari pacar. Ibu yang kesepian karena anak-anaknya tinggal di luar kota. Atau seseorang yang karena sakit harus tinggal di rumah atau di rumah sakit, terisolasi dari teman-teman dan keluarga. Pindah rumah atau pindah sekolah bisa juga menyebabkan kesepian karena tercabut dari komunitasnya dan harus menghadapi komunitas baru.

Kesepian yang disebabkan perubahan sosial atau pun perubahan kondisi eksternal dikatakan bersifat temporer dan relatif lebih mudah diatasi. Sementara itu ada jenis kesepian lain yang disebutkan di atas, yakni merasa kesepian di tengah keramaian, berada di pesta, sedang berkumpul dengan teman, berada di tengah keluarga. Jadi dalam situasi dan lingkupan apapun, perasaan kesepian itu tetap ada. Inilah yang dikatakan existential loneliness. Seseorang yang mengalami eksistensial loneliness, tidak peduli sebanyak dan setinggi apapun frekuensi outing, dating dan chatting-nya, akan tetap merasa kesepian. Menurut artikel dari Associate Press, "quantity of contact does not translate into quality of contact".[3]


Existential Loneliness/kesepian eksistensial
Kesepian eksistensial kerap menjadi sesuatu yang bersifat kronis karena sudah terjadi dalam jangka waktu lama tanpa disadari atau memang sengaja diabaikan. Artinya, perasaan kesepian itu disadari namun tidak ditindaklanjuti karena berpikir perasaan itu disebabkan karena faktor lingkungan.

Kesepian yang bersifat kronis ini menimbulkan perasaan hampa yang menyedihkan, sehingga banyak yang tidak tahan dan mengalami depresi. Kehampaan yang bersumber dari dalam jiwa ini terjadi karena sebab yang bermacam-macam, bisa karena hidup tanpa arah dan tujuan, sehingga dari hari ke hari seperti robot, hanya mengikuti irama rutinitas. Ada yang belum menemukan makna, karena hidupnya sangat terbatas, bukan miskin - tapi terlalu steril, flat, datar karena terlalu takut mengambil resiko sehingga tidak berani mengarungi kesempatan dan kemungkinan. Ada pula yang merasa kosong, karena tidak menemukan hal baik dan positif dari dirinya, sehingga tidak tahu apa gunanya dia dilahirkan, apa gunanya kehidupan ini dan apa gunanya ia bagi orang lain.

Ada yang berusaha menghilangkan rasa sepi, hampa dan kosong dengan bergaul sebanyak dan sesering mungkin. Ada pula yang mencari cinta, karena dipikirnya, cinta seseorang akan melengkapi kekosongan jiwa. Seperti kata Tom Cruise dalam film Jerry McGuire, yang berkata "you complete me". Secara filosofis dan psikologis, kehampaan jiwa tidak mungkin diatasi dengan menanam cinta/import cinta dari luar, dan hal ini menurut para filsuf adalah tindakan ilusi yang "tidak nyambung". Maka, ganti pasangan, mencari cinta baru yang dianggap dan diharapkan bisa mengatasi kekosongan - adalah tindakan mustahil. Karena solusinya tidak bisa dengan menambal kehampaan dari luar. Pertumbuhan itu harus dari dalam.


Dampak dari kesepian
Perasaan kesepian jika berkepanjangan bisa menimbulkan berbagai persoalan lanjutan. Problem adaptasi sosial, sulit berteman, suka menyendiri bahkan hambatan akademik yang membuat prestasinya jauh dari optimal, merupakan dampak dari perasaan kesepian panjang yang dialami oleh anak-anak. Bahkan, menurut Marano, anak-anak kesepian karena social rejection, diabaikan dan disingkirkan dari lingkungan sosial (ataupun keluarga), merupakan salah satu penyebab putus sekolah; karena dalam kesehariannya, mereka cenderung menunjukkan perilaku agresif, dan apa yang diistilahkan sebagai kenakalan, serta bentuk perilaku antisosial lainnya. Di kalangan dewasa, kesepian dikatakan sebagai penyebab depresi serta adiksi, baik itu adiksi terhadap relationship (co-dependent), sex, belanja (shopaholic), kerja (workaholic), alkohol /minuman keras, maupun obat-obatan terlarang (substant abuse).

Secara medis juga memperlihatkan dampak kesepian terhadap kesehatan. John Cacioppo dari University of Chicago meneliti dampak kesepian ini dan secara mengejutkan menemukan bahwa:
Orang yang kesepian dilaporkan mempunyai tingkat stress yang lebih tinggi, bahkan di saat rileks dibandingkan dengan orang-orang yang tidak kesepian.
Kesepian meningkatkan sirkulasi hormon stress dan meningkatkan tekanan darah. Pengaruhnya kepada sistem sirkulasi jantung yang bekerja lebih keras dan menghadapi potensi kerusakan akibat tekanan yang tidak stabil.
Kesepian mengganggu kualitas dan efektivitas tidur sehingga menghambat proses restorasi fisik maupun psikologis yang diperlukan tubuh. Orang-orang yang mengalami kesepian lebih sering terbangun malam hari dan tidur lebih sedikit dibandingkan mereka yang tidak kesepian.

Indahnya kesepian
Kesepian tidak selalu berdampak buruk. Kesepian eksistensial, yakni kesepian yang tidak disebabkan persoalan interpersonal merupakan alarm dari situasi yang harus segera di hadapi atau diselesaikan.

A person enters the state of loneliness when some compelling, essential aspect of life is suddenly challenged, realized, threatened, altered, or denied; the individual is confronted with the awareness of choice and the possibility of meaning or its lack. When positively embraced and confronted, loneliness has a salutary role: the integration and deepening of self. Through loneliness, the individual "discovers life, who he is, what he really wants, the meaning of his existence, [and] the true nature of his relation with others. (Moustakas, 1961)

Dengan demikian, perasaan kesepian yang dialami perlu di pertanyakan. Tidak semua bisa di obati dengan cara bersosialisasi atau pun mencari cinta yang baru. Perasaan kesepian bisa jadi pertanda bahwa ada kebutuhan mendesak yang harus kita tanggapi dalam diri sendiri, entah itu untuk menyelesaikan persoalan yang tertunda, menanggapi tantangan hidup, harus mengembangkan potensi diri, membuat keputusan akan masa depan dan menjalaninya dengan berani, atau untuk menginggalkan pola hidup selama ini yang tidak produktif, dsb. Intinya, perasaan kesepian adalah awal dari pertumbuhan. Maka, adalah keliru jika orang berusaha menghindari kesepian karena dalam sepi lah kita bisa bertemu dengan diri sendiri dan berdialog secara jujur untuk menemukan apa yang terbaik dan harus kita lakukan saat ini dan di masa mendatang. Persoalan berikutnya adalah, bagaimana menjalankan apa yang sudah seharusnya dan sudah saatnya untuk kita laksanakan. Semakin ditunda, semakin jauh kita dari perjalanan menemukan diri dan menumbuhkan kepribadian yang sesuai dengan tujuan & panggilan hidup kita.


Bibiliography
1. Peplau, L.A. & Perlman, D. (1982). Perspectives on loneliness. In L. A. Peplau & D. Perlman (Eds.), Loneliness: A sourcebook of current theory, research and therapy. (pp. 1-18). New York: John Wiley and Sons.
2. Cacioppo, John; Patrick, William, Loneliness: Human Nature and the Need for Social Connection, New York : W.W. Norton & Co., 2008. ISBN 978-0-393-06170-3. Science of Loneliness.com
3. Lonely Nation: Americans Try to Connect in a Country Where Isolation Is Common. Associated Press. 2006-08-06. Retrieved 2009-05-03

Rabu, 04 Mei 2011

Mengajak Orang Lain Berubah

Oleh : Ubaydillah, AN
Jakarta, 07 Mei 2007

Dua Diri Di Dalam Diri

Disadari atau tidak, seringkali kita terlibat ke dalam urusan untuk ingin mengubah orang lain. Keinginan itu ada yang kita sampaikan melalui harapan, saran, atau bahkan tindakan yang bentuknya mungkin bisa "the must do" atau "the must not do". Terkadang juga keinginan itu ada yang didasari pertimbangan / kepentingan rasional, tapi ada juga yang didasari oleh hasrat-subyektivitas kita.



Kalau melihat ke literaturnya, memang ada banyak penjelasan terkait dengan topik kita ini. Ada yang mengatakan bahwa seseorang itu tidak bisa diubah oleh siapapun, kecuali oleh dirinya. Setiap orang, dalam kondisi apapun, ia punya kebebasan untuk menentukan dirinya. Sampai ada yang bilang, biarpun kita menodongkan postol di kepala orang itu, ia tetap saja punya kebebasan menolak atau menerima ajakan kita. Ibarat kuda, bisa saja kita memaksanya untuk sampai ke pinggir sungai, tapi untuk memaksanya minum air sungai, nanti dulu.



Pendapat lain mengatakan yang sebaliknya. Manusia itu adalah makhluk yang rentan perubahan. Teori pendidikan, teori motivasi, teori pembentukan karakter dan lain-lain berangkat dari pemikiran ini. Banyak riset dan kajian ilmu pengetahuan yang berkesimpulan, manusia itu adalah bentukan dari dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal, faktor gen dan faktor lingkungan, faktor individual dan faktor sosial. Menurut George Herbert Mead, setiap orang itu punya "dua diri". Yang satu hasil bentukan dirinya dan yang satu lagi hasil bentukan dari luar (impulsive dan restrained).



Ada pendapat lain yang mencoba mencairkan kedua ekstrimitas di atas. Menurut pendapat ini, di dalam diri manusia itu ada bagian yang bisa diubah dengan mudah, tapi ada juga yang sulit diubah. Kata “sulit diubah� ini mengarah pada dua pengertian, yaitu: a) sulit dalam arti harus dilakukan berkali-kali atau yang di dalam teori pendidikannya disebut pembiasaan atau paksaan, dan b) sulit dalam arti harus melibatkan kesadaran atau inisiatif yang bersangkutan.



Pendapat di atas bisa kita lihat di teori kompetensi atau konsep pengembangan SDM. Contoh yang mudah diubah itu misalnya skill, pengetahuan, pandangan, dan semisalnya. Kalau kita ingin mengubah orang dari yang semula tidak tahu ke manjadi tahu, ini lebih mudah. Cukup dikasih buku atau diajari. Sedangkan contoh yang sulit diubah itu misalnya adalah sifat-sifat bawaan, bakat bawaan, sikap mental, konsep-diri, operant trait, kebiasaan, karakter, dan semisalnya. Lembaga pendidikan yang mahal sekali pun terkadang belum sepenuhnya membuktikan kesanggupannya dalam mengubah karakter atau sikap mental seseorang.



Menurut teori kompetensi, yang sulit diubah itu disebut "core personality", yang letaknya di layar paling dalam dari diri kita. Ada lagi yang menyebut dengan istilah "trait" untuk hal-hal yang sulit diubah dan "state" untuk hal-hal yang mudah diubah. Trait adalah karakteristik bawaan yang melekat pada kita (operant trait), sedangkan state adalah karakteristik tertentu yang muncul akibat kondisi tertentu dari luar (respondent trait)



Intinya, masih ada peluang bagi kita untuk mengajak orang lain berubah. Hanya saja memang di sana ada bagian yang langsung bisa diubah dengan mudah dan ada yang butuh waktu, tidak langsung dan sulit. Karana itu, dulu, ada petuah pendidikan yang mengatakan, mendidik manusia itu sama seperti menaman kelapa. Kalau kita mananam sekarang, hasilnya baru ketahuan duapuluh tahun kemudian. Petuah ini terkait dengan sesuatu di dalam diri manusia yang sulit diubah dalam waktu singkat.



Terlepas dari itu, kalau melihat penjelasan dalam konsep kompetensi, ternyata keinginan kita untuk mengajak orang lain berubah itu termasuk dalam kompetensi di tempat kerja. Karena merupakan kompetensi, maka di sana ada semacam peringkatan (skala). Skala yang paling rendah adalah ketika kita menunjukkan sikap arogansi lalu menuntut orang lain harus berubah sesuai kita dengan cara yang kasar. Skala menengahnya adalah ketika kita melakukan langkah persuasi yang langsung. Sedangkan skala yang paling tinggi adalah ketika kita sudah bisa menerapkan "strategi-halus" dimana seseorang akhirnya berubah tanpa merasa diubah oleh kita (Competence At Work, 1993)



Kenapa berubah & kenapa menolak berubah?

Hampir bisa dipastikan bahwa tidak ada penjelasan yang mengarah adanya single factor tentang kenapa orang itu berubah dan kenapa seseorang menolak berubah. Kalau mengacu pada beberapa pendapat di atas, di bawah ini ada beberapa hal yang bisa kita jadikan acuan untuk memahami alasan-alasan itu. Secara garis besar, alasan itu bisa kita bagi menjadi dua, yaitu:



- Alasan internal.

- Alasan eksternal



Yang termasuk alasan internal itu adalah, antara lain:



Pertama, manfaat. Orang akan berubah kalau tahu / merasakan manfaatnya (result knowledge). Sebaliknya, orang akan masa bodoh kalau manfaatnya tidak jelas. Karena itu, dalam manajemen dikenal sebuah istilah What-Is-In-It-For-Me. Istilah ini perlu dijadikan pegangan untuk mengajak orang lain berubah. Manfaat ini tentunya banyak: mungkin finansial, mungkin emosional, mungkin intelektual, dan seterusnya.



Kedua, kesadaran. Ini bisa berbentuk sebuah momen internal yang menjadi titik balik di dalam diri seseorang. Orang akan berubah kalau dirinya mengalami proses yang disebut "altered state of consciousness", punya kesadaran baru untuk melakukan sesuatu. Sebagai contoh misalnya ada seseorang yang diberhentikan dari tempat kerja karena punya temparemen yang tidak terkontrol. Sejauh orang itu sadar akan kekurangan yang dimiliki dan bahaya yang nyata, orang itu dipastikan akan menempuh proses perubahan menuju ke arah yang lebih baik. Tapi kalau kesadaran itu tidak muncul, perubahan pun sulit terjadi.



Ketiga, harapan. Orang akan berubah kalau punya harapan baru atau punya harapan yang lebih jelas. Karena itu ada yang mengatakan, orang akan tetap "hidup" selama harapannya masih hidup. Harapan baru bisa mengubah orang menjadi kreatif, semangat, inovatif dan seterusnya. "Ketika anda mengubah harapan, maka sikap anda akan berubah", begitu kata Jhon Maxwell.



Keempat, keberanian. Orang juga akan berubah begitu punya keberanian untuk melawan ketakutannya selama ini. Keberanian di sini mungkin ada yang berasaskan pada moral, mental atau alasan-alasan lain yang mendukung. Keputusan orang untuk menikah umumnya terkait dengan soal keberanian ini.



Kelima, sasaran. Sasaran di sini adalah sesuatu yang benar-benar ingin diraih seseorang. Bentuknya mungkin bisa goal, target, objective, vision, dan lain-lain. Orang akan berubah ke arah yang lebih baik kalau sasarannya diperbaiki, diperjelas, dikoreksi, diriilkan, dan seterusnya. Perubahan itu biasanya berupa langkah yang lebih fokus, lebih giat, lebih berdisiplin, lebih matang dan lain-lain.



Itulah sebagian dari sekian yang bisa kita paparkan di sini. Intinya, ada sekian alasan internal yang melatarbelakangi perubahan seseorang. Alasan-alasan itulah yang berfungsi untuk mendorong (to drive), menyeleksi (to select) dan mempertahankan (to defend).



Sedangkan yang termasuk alasan eksternal itu pada umumnya terkait dengan orang (people) dan keadaan (condition). Aristotle mengatakan, di antara yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu itu adalah: perubahan, keadaan alam, paksaan, kebiasaan, visi (alasan mendasar), dorongan dari dalam (semangat atau motivasi, keinginan atau kemauan). Contoh yang dari manusia itu misalnya, pengarahan, kebijakan, paksaan, pendidikan, pemrograman dan lain-lain. Sedangkan contoh yang dari realitas itu misalnya adalah perubahan keadaan atau perubahan alam.



Pendeknya, manusia itu berubah karena realitas di dalam dirinya berubah atau karena realitas di luar dirinya berubah. Riset keilmuan lebih banyak menyimpulkan bahwa perubahan yang datangnya dari dalam diri itu jauh lebih permanen dibanding dengan perubahan yang datangnya dari luar (people and condition). Perubahan dari dalam disebut penentu (determinant), sedangkan yang dari luar disebut pemicu (trigger).



Beberapa Pendekatan

Seperti yang sudah kita singgung, memang agak sulit menemukan adanya single factor yang menjadi alasan kenapa seseorang itu berubah. Karena itu, cara yang perlu kita gunakan untuk mengajak pun perlu di-variatif-kan. Dari sekian pendekatan yang ada di dunia ini, sebagiannya kira-kira di bawah ini:



Pertama, power hubungan. Untuk mengajak orang lain berubah, kita perlu bertanya apakah kita punya power dalam hubungan itu atau tidak. Power di sini bentuknya bisa bermacam-macam: mungkin senioritas, kharisma, atoritas, jabatan, kematangan moral, kematangan mental, dan lain-lain.



Kenapa ini penting? Pengetahuan kita tentang power