Kamis, 24 Mei 2012

Aku Ingin Anak ku Menirumu

Ketika lahir, anak lelakiku gelap benar kulitnya, Lalu kubilang pada ayahnya: “Subhanallah, dia benar-benar mirip denganmu ya!” Suamiku menjawab: “Bukankah sesuai keinginanmu? Kau yang bilang kalau anak lelaki ingin seperti aku.” Aku mengangguk. Suamiku kembali bekerja seperti biasa. Ketika bayi kecilku berulang tahun pertama, aku mengusulkan perayaannya dengan mengkhatamkan Al Quran di rumah Lalu kubilang pada suamiku: “Supaya ia menjadi penghafal Kitabullah ya,Yah.” Suamiku menatap padaku seraya pelan berkata: “Oh ya. Ide bagus itu.” Bayi kami itu, kami beri nama Ahmad, mengikuti panggilan Rasulnya. Tidak berapa lama, ia sudah pandai memanggil-manggil kami berdua: Ammaa. Apppaa. Lalu ia menunjuk pada dirinya seraya berkata: Ammat! Maksudnya ia Ahmad. Kami berdua sangat bahagia dengan kehadirannya. Ahmad tumbuh jadi anak cerdas, persis seperti papanya. Pelajaran matematika sederhana sangat mudah dikuasainya. Ah, papanya memang jago matematika. Ia kebanggaan keluarganya. Sekarang pun sedang S3 di bidang Matematika. Ketika Ahmad ulang tahun kelima, kami mengundang keluarga. Berdandan rapi kami semua. Tibalah saat Ahmad menjadi bosan dan agak mengesalkan. Tiba-tiba ia minta naik ke punggung papanya. Entah apa yang menyebabkan papanya begitu berang, mungkin menganggap Ahmad sudah sekolah, sudah terlalu besar untuk main kuda-kudaan, atau lantaran banyak tamu dan ia kelelahan. Badan Ahmad terhempas ditolak papanya, wajahnya merah, tangisnya pecah, Muhammad terluka hatinya di hari ulang tahunnya kelima. Sejak hari itu, Ahamad jadi pendiam. Murung ke sekolah, menyendiri di rumah. Ia tak lagi suka bertanya, dan ia menjadi amat mudah marah. Aku coba mendekati suamiku, dan menyampaikan alasanku. Ia sedang menyelesaikan papernya dan tak mau diganggu oleh urusan seremeh itu, katanya. Tahun demi tahun berlalu. Tak terasa Ahmad telah selesai S1. Pemuda gagah, pandai dan pendiam telah membawakan aku seorang mantu dan seorang cucu. Ketika lahir, cucuku itu, istrinya berseru sambil tertawa-tawa lucu: “Subhanallah! Kulitnya gelap, Mas, persis seperti kulitmu!” Ahmad menoleh dengan kaku, tampak ia tersinggung dan merasa malu. “Salahmu. Kamu yang ingin sendiri, kan. Kalau lelaki ingin seperti aku!” Di tanganku, terajut ruang dan waktu. Terasa ada yang pedih di hatiku. Ada yang mencemaskan aku. Cucuku pulang ke rumah, bulan berlalu. Kami, nenek dan kakeknya, datang bertamu. Ahmad kecil sedang digendong ayahnya. Menangis ia. Tiba-tiba Ahmad anakku menyergah sambil berteriak menghentak, “Ah, gimana sih, kok nggak dikasih pampers anak ini!” Dengan kasar disorongkannya bayi mungil itu. Suamiku membaca korannya, tak tergerak oleh suasana. Ahmad, papa bayi ini, segera membersihkan dirinya di kamar mandi. Aku, wanita tua, ruang dan waktu kurajut dalam pedih duka seorang istri dan seorang ibu. Aku tak sanggup lagi menahan gelora di dada ini. Pecahlah tangisku serasa sudah berabad aku menyimpannya. Aku rebut koran di tangan suamiku dan kukatakan padanya: “Dulu kau hempaskan Ahmad di lantai itu! Ulang tahun ke lima, kau ingat? Kau tolak ia merangkak di punggungmu! Dan ketika aku minta kau perbaiki, kau bilang kau sibuk sekali. Kau dengar? Kau dengar anakmu tadi? Dia tidak suka dipipisi. Dia asing dengan anaknya sendiri!” Allahumma Shali ala Muhammad. Allahumma Shalli alaihi wassalaam. Aku ingin anakku menirumu, wahai Nabi. Engkau membopong cucu-cucumu di punggungmu, engkau bermain berkejaran dengan mereka Engkau bahkan menengok seorang anak yang burung peliharaannya mati. Dan engkau pula yang berkata ketika seorang ibu merenggut bayinya dari gendonganmu, “Bekas najis ini bisa kuseka, tetapi apakah kau bisa menggantikan saraf halus yang putus di kepalanya?” Aku memandang suamiku yang terpaku. Aku memandang anakku yang tegak diam bagai karang tajam. Kupandangi keduanya, berlinangan air mata. Aku tak boleh berputus asa dari Rahmat-Mu, ya Allah, bukankah begitu? Lalu kuambil tangan suamiku, meski kaku, kubimbing ia mendekat kepada Ahmad. Kubawa tangannya menyisir kepala anaknya, yang berpuluh tahun tak merasakan sentuhan tangan seorang ayah yang didamba. Dada Ahmad berguncang menerima belaian. Kukatakan di hadapan mereka berdua, “Lakukanlah ini, permintaan seorang yang akan dijemput ajal yang tak mampu mewariskan apa-apa: kecuali Cinta. Lakukanlah, demi setiap anak lelaki yang akan lahir dan menurunkan keturunan demi keturunan. Lakukanlah, untuk sebuah perubahan besar di rumah tangga kita! Juga di permukaan dunia. Tak akan pernah ada perdamaian selama anak laki-laki tak diajarkan rasa kasih dan sayang, ucapan kemesraan, sentuhan dan belaian, bukan hanya pelajaran untuk menjadi jantan seperti yang kalian pahami. Kegagahan tanpa perasaan. Dua laki-laki dewasa mengambang air di mata mereka. Dua laki-laki dewasa dan seorang wanita tua terpaku di tempatnya. Memang tak mudah untuk berubah. Tapi harus dimulai. Aku serahkan bayi Ahmad ke pelukan suamiku. Aku bilang: “Tak ada kata terlambat untuk mulai, Sayang.” Dua laki-laki dewasa itu kini belajar kembali. Menggendong bersama, bergantian menggantikan popoknya, pura-pura merancang hari depan si bayi sambil tertawa-tawa berdua, membuka kisah-kisah lama mereka yang penuh kabut rahasia, dan menemukan betapa sesungguhnya di antara keduanya Allah menitipkan perasaan saling membutuhkan yang tak pernah terungkapkan dengan kata, atau sentuhan. Kini tawa mereka memenuhi rongga dadaku yang sesak oleh bahagia, syukur pada-Mu Ya Allah! Engkaulah penolong satu-satunya ketika semua jalan tampak buntu. Engkaulah cahaya di ujung keputusasaanku. Tiga laki-laki dalam hidupku aku titipkan mereka di tangan-Mu. Kelak, jika aku boleh bertemu dengannya, Nabiku, aku ingin sekali berkata: Ya, Nabi. aku telah mencoba sepenuh daya tenaga untuk mengajak mereka semua menirumu! Amin, Alhamdulillah

Minggu, 20 Mei 2012

AYAH, ANAK SERTA BURUNG GAGAK

Di suatu sore hari pada suatu desa kecil, ada seorang yang sudah tua duduk bersama anak nya yang masih muda yang baru saja diwisuda akan kelulusannya pada perguruan tinggi ternama di kota itu. Mereka duduk berbincang-bincang di halaman sambil memperhatikan suasana di sekitar mereka. Saat mereka berbincang-bincang, datang seekor burung hinggap di ranting pohon. Si ayah lalu menuding jari ke arah burung itu sambil bertanya, “Nak, apakah benda hitam itu?” “Burung gagak”, jawab si anak. Ayah mengangguk-anggukkan kepala, namun tak berapa lama kemudian, ayah mengulangi pertanyaan yang sama. Si anak menyangka ayahnya kurang mendengar jawabannya tadi, lalu menjawab dengan sedikit keras. “Itu burung gagak, Ayah!” Tetapi kemudian tak berapa lama si ayah kembali bertanya dengan pertanyaan yang sama. Si anak merasa sedikit bingung dengan pertanyaan yang sama diulang-ulang, lalu menjawab dengan lebih kuat, “BURUNG GAGAK!!” Si ayah terdiam seketika. tidak lama kemudian, sang ayah sekali lagi mengajukan pertanyaan yang serupa hingga membuat si anak hilang kesabaran dan menjawab dengan nada tinggi dan kesal kepada sang ayah, “Itu gagak, Ayah.” Tetapi agak mengejutkan si anak, karena si ayah sekali lagi membuka mulut hanya untuk bertanya hal yang sama. Dan kali ini si anak benar-benar hilang sabar dan menjadi marah. “Ayah!!! Saya tak tahu Ayah paham atau tidak. Sudah 5 kali Ayah bertanya soal hal tersebut dan saya sudah juga memberikan jawabannya. Apa lagi yang Ayah mau saya katakan???? Itu burung gagak Ayah….., burung gagak”, kata si anak dengan nada yang begitu marah. Kemudian si ayah lalu bangun menuju ke dalam rumah meninggalkan si anak yang kebingungan.Kemudian si ayah keluar dengan sebuah buku di tangannya. Dia mengulurkan buku itu kepada anaknya yang masih geram dan bertanya-tanya. Ternyata buku tersebut adalah sebuah diary lama. Sambil menunjuk pada suatu lembaran pada buku si ayah berkata, “Coba kau baca apa yang pernah Ayah tulis di dalam diary ini,”. Si anak setuju dan membaca paragraf yang berikut. “Hari ini aku di halaman melayani anakku yang genap berumur lima tahun. Tiba-tiba seekor gagak hinggap di pohon. Anakku terus menunjuk ke arah gagak dan bertanya, “Ayah, apa itu?” Dan aku menjawab, “Burung gagak.” Walau bagaimana pun, anakku terus bertanya soal yang serupa dan setiap kali aku menjawab dengan jawaban yang sama. Sehingga 25 kali anakku bertanya demikian, dan demi rasa cinta dan sayangku, aku terus menjawab untuk memenuhi perasaan ingin tahunya. Aku berharap hal ini menjadi suatu pendidikan yang berharga untuk anakku kelak.” Setelah selesai membaca paragraf tersebut si anak mengangkat muka memandang wajah si Ayah yang kelihatan sayu. Si Ayah dengan perlahan bersuara, “Hari ini Ayah baru bertanya kepadamu soal yang sama sebanyak 5 kali, dan kau telah hilang kesabaran serta marah. Engkau telah dewasa anakku. Asahlah kesabaranmu. karena itu adalah salah satu kunci meraih suksesmu” Lalu si anak seketika memerah karena malu. Ia bersimpuh di kedua kaki ayahnya meminta maaf atas apa yg telah ia perbuat. Sahabat Resensi.net.. Dalam hidup, kesabaran adalah salah satu point penting untuk meraih kesuksesan. Anda ingin sukses dalam pendidikan, maka sabarlah dalam belajar. Cernalah pelajaran satu demi satu. Ingin sukses dalam berkarir, bersabarlah dalam menyumbangkan yang terbaik. Ingin sukses dalam kehidupan dunia agar berhadiahkan surga? maka bersabarlah dalam mentaati perintah Allah dan bersabar dalam beribadah kepadaNYa. Semoga cerita motivasi diatas bermanfaat.. amin..