Selasa, 26 Februari 2013

MANFAAT BUANG AIR DENGAN JONGKOK

Beberapa orang kadang tidak tuntas saat berkemih atau buang air kecil, padahal kencing yang tersisa bisa menimbulkan risiko tersendiri. Namun dengan berdehem dan jongkok bisa bantu menuntaskan air kencing yang keluar. Untuk mengetahui apakah air kencing yang kita keluarkan sudah tuntas atau belum biasanya bersifat subyektif, karena untuk orang yang memang tidak ada gangguan biasanya ia akan merasa puas setelah kencing. "Tapi kalau kencingnya tidak tuntas, ia akan merasa masih ada sisa atau beberapa saat kemudian ingin pipis lagi," ujar dr Rahmat Budi Santoso, SpB-U, disela-sela acara penyuluhan kanker prostat di RSK Dharmais, Jakarta, Selasa (8/11/2011). dr Santo menuturkan residu dari urin yang tidak dikeluarkan lama-lama bisa menimbulkan endapan atau batu pada kandung kemih. Selain itu jika urine yang dikeluarkan tidak lancar sementara produksi urine dari ginjal ada terus maka urine dari ginjal ini akan tertahan yang bisa menimbulkan pembengkakan ginjal. Air kencing merupakan hasil cucian dari ginjal. Jika air kencing yang ada tidak terdistribusi dengan baik ke bawah atau uretra maka akibatnya ia menumpuk di ginjal dan bisa membuat dinding ginjal menjadi lebih tipis. "Kalau dindingnya menipis maka kemampuan ginjal untuk mencuci darah yang kotor akan menurun dan lama kelamaan bisa menyebabkan gagal ginjal," ujar dokter yang menjadi Ketua Staf Medis Fungsional Urologi di RSK Dharmais. Meski begitu ada beberapa hal yang menjadi penyebab tidak tuntasnya ar kencing yang dikeluarkan oleh tubuh akibat adanya gangguan prostat seperti pembesaran prostat jinak, kanker prostat dan infeksi prostat (prostatitis). "Dengan berdehem-dehem bisa membantu menuntaskan kencing, atau jongkok juga bisa karena membantu menekan perut," ujar dokter yang berpraktek di RSK Dharmais dan MRCCC Siloam ini.

BAHAYA MAKAN SAMBIL BERDIRI

Akhir-akhir ini banyak kita melihat acara-acara yang dilaksanakan menggunakan konsep standing party, ya’ standing party adalah makan dan minum dengan cara berdiri yang bertujuan untuk memaksimalkan jumlah undangan pada ruangan yang kecil. Rasionalisasi yang diberikan memang menjadi sesuatu yang sepertinya dapat memberikan solusi bagi kita yang ingin mengundang banyak tamu namun terkendala dengan ruangan yang sempit. Islam sebagai Agama yang mulia yang mengatur segala aspek kehidupan umatnya tentu juga telah mengatur adab makan dan minum, karena ini memang sesuatu yang urgen. Apakah ajaran Islam ini sejalan dengan konsep standing party yang lagi trend??? Jawaban mengenai pertanyaan ini dapat kita lihat secara tersirat pada hadits yang artinya sebagai berikut : Dari Anas bin Malik ra dari Rasulullah saw bahwasanya beliau melarang seseorang untuk minum dengan berdiri. Qatadah bertanya kepada Anas, “Bagaimana kalau makan ?” Anas menjawab, “Kalau makan dengan berdiri itu lebih jelek dan lebih buruk.” (HR Muslim) dan juga Dari Abu Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah saw pernah bersabda, “Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kamu sekalian minum dengan berdiri. Barangsiapa yang terlupa maka hendaklah ia memuntahkannya.” (HR Muslim) Dari konteks hadits di atas jelaslah bahwa Rasulullah melarang kita makan dan minum dengan cara berdiri, artinya konsep standing party yang akhir-akhir ini makin menjamur di kalangan masyarakat, khususnya menengah ke atas, adalah sesuatu yang keliru dan tidak seharusnya dilakukan oleh seorang muslim. Tentu saja apa yang disampaikan, menyangkut larangan makan dan minum berdiri, oleh Rasulullah mempunyai hikmah yang besar. Hal ini yang kemudian melatar belakangi para pakar di bidang ini untuk mengkaji lebih dalam tentang hal tersebut. Alhasil salah seorang dokter bernama Dr. Abdurrazzaq Al-Kailani berkata: “Minum dan makan sambil duduk, lebih sehat,lebih selamat, dan lebih sopan, karena apa yang diminum atau dimakan oleh seseorang akan berjalan pada dinding usus dengan perlahan dan lembut. Adapun minum sambil berdiri, maka ia akan menyebabkan jatuhnya cairan dengan keras ke dasar usus, menabraknya dengan keras, jika hal ini terjadi berulang-ulang dalam waktu lama maka akan menyebabkan melar dan jatuhnya usus, yang kemudian menyebabkan disfungsi pencernaan. berikut ini kami kutip dari http://blog.ub.ac.id perkataan Dr. Ibrahim Al-Rawi bahwa jika manusia pada saat berdiri, ia dalam keadaan tegang. Organ keseimbangan dalam pusat syaraf sedang bekerja keras, supaya mampu mempertahankan semu otot pada tubuhnya, sehingga bisa berdiri stabil dan sempurna. Hal ini kata beliau merupakan kerja yang sangat teliti yang melibatkan semua susunan syaraf terpenting pada saat makan da minum. Sehingga untuk mendapatkan ketenangan itu kata beliau adalah pada saat duduk, dimana syaraf berada dalam keadaan tenang dan tidak tegang, sehingga system pencernaan dalam keadaan siap untuk nerima makanan dan minuman dengan cara cepat. Bahkan Dr. Al-rawi menekankan bahwa makanan dan minuman yang disantap pada saat berdiri, bisa berdampak pada refleksi saraf yang dilakukan oleh reaksi saraf kelana (saraf otak kesepuluh) yang banyak tersebar pada lapisan endotel yang mengelilingi usus. Refleksi ini apabila terjadi secara keras dan tiba-tiba, bisa-bisa menyebabkan tidak berfungsinya saraf (Vagal Inhibition) yang cukup parah, untuk menghantarkan detak mematikan bagi jantung, sehingga menyebabkan pingsan atau mati mendadak. Ternyata bisa separah ini lho akibat dari makan dan minum berdiri itu. Begitu pula makan dan minum berdiri secara terus-menerus terbilang membahayakan dinding usus dan memungkinkan terjadinya luka pada lambung. Para dokter melihat bahwa luka pada lambung 95% terjadi pada tempat-tempat yang biasa bebenturan dengan makanan atau minuman yang masuk. picture from : http://blog.ub.ac.id/ gambar di atas juga memberikan gambaran kepada kita bagaimana air yang masuk ke dalam lambung ketika minum dengan duduk akan tersaring oleh sfringer. sfringter sendir adalah suatu struktur maskuler (berotot) yang bisa membuka (sehingga air kemih bisa lewat) dan menutup (http://blog.ub.ac.id/). Demikianlah hikmah besar dibalik perintah dan larangan Rasulullah Muhammad saw. Apa lagi yang menghalangi kita untuk segera melaksanakan sunnah tersebut. Selain Insya Allah kita akan mendapat karunia berupa kesehatan, kita juga akan mendapat pahala dari aktivitas makan dan minum yang kita lakukan. Hal ini karena kita meniatkannya untuk mencontoh nabi kita Muhammad saw.

Rabu, 20 Februari 2013

Pengaruh Maksiat dan Dosa Besar terhadap Manusia

1) Pengaruhnya terhadap Hati. Maksiat dan dosa menyebabkan hati terasa asing, gelap, hina, sakit, dan menghalangi seorang hamba dari Allah. 2) Pengaruhnya terhadap Agama. Seperti pengaruhnya terhadap hati, menghalanginya untuk melakukan ketaatan, juga menghalangi dari do’a Rasulullah SAW, Malaikat dan orang-orang yang beriman. 3) Pengaruhnya terhadap Rezeki. Menghalangi dari rezeki, menghilangkan nikmat, dan menghapus keberkahan harta. 4) Pengaruh terhadap individu. Menghilangkan keberkahan umur, menyebabkan kesulitan dalam hidup, dan kerumitan dalam segala urusan. 5) Pengaruhnya terhadap amal perbuatan. Menghalangi diterimanya amal perbuatan tersebut. 6) Pengaruhnya terhadap Masyarakat. Menghilangkan rasa aman, menyebabkan kenaikan harga, berkuasanya para penguasa dan musuh, terhalangnya turun hujan, dan sebagainya. Ibnu Jauzi r.a berkata: Hukuman yang paling besar yaitu bilamana pelaku maksiat tidak merasakan hukuman tersebut, yang lebih parah dari itu adalah jika ia merasa senang dengan adanya hukuman tersebut, seperti orang yang bahagia dengan harta dari hasil yang haram, dan bergelimang dalam dosa.

Minggu, 10 Februari 2013

Membangun Akhlakul Karimah

“Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh”. (Al-A’raaf: 199) Ayat ini menurut Az-Zamaksyari dan Ibnu Asyur termasuk kategori “Ajma’u Ayatin fi Makarimil Akhlak ”, ayat yang paling komprehensif dan lengkap tentang bangunan akhlak yang mulia, karena bangunan sebuah akhlak yang terpuji tidak lepas dari tiga hal yang disebutkan oleh ayat diatas, yaitu mema’afkan atas tindakan dan prilaku yang tidak terpuji dari orang lain, senantiasa berusaha melakukan dan menyebarkan kebaikan, serta berpaling dari tindakan yang tidak patut. Imam Ar-Razi pula memahami ayat ini sebagai manhaj yang lurus dalam bermu’amalah dengan sesama manusia yang jelas menggambarkan sebuah nilai akhlak yang luhur sebagai cermin akan keluhuran ajaran Islam, terutama di tengah ketidak menentuan bangunan akhlak umat ini. Secara tematis, mayoritas tema surah Al-A’raaf memang berbicara tentang prilaku dan perbuatan tidak bermoral dan jahil orang-orang musyrik, maka menurut Ibnu ‘Asyur, sesungguhnya ayat ini merupakan solusi yang ditawarkan oleh Al-Qur’an atas perilaku umumnya orang-orang musyrik. Bahkan posisi ayat ini yang berada di akhir surah Al-A’raaf sangat tepat dijadikan sebagai penutup surah dalam pandangan Sayid Quthb dalam tafsir Fi Dzilalil Qur’an karena merupakan arahan dan taujih langsung Allah swt kepada Rasul-Nya Muhammad saw dan orang-orang yang beriman bersama beliau saat mereka berada di Makkah dalam menghadapi kebodohan dan kesesatan orang-orang jahiliyah di Makkah pada periode awal perkembangan Islam. Berdasarkan tematisasi ayat yang berbicara tentang akhlak mema’afkan, maka ayat yang mengandung perintah mema’afkan ternyata ditujukan khusus untuk Rasulullah SAW sebagai teladan dalam sifat ini. Dalam surah Al-Baqarah: 109 misalnya, Allah swt memerintahkan Nabi Muhammad saw agar tetap menjunjung tinggi akhlak mema’afkan kepada setiap yang beliau temui dalam perjalanan dakwahnya. Allah swt berfirman, “Maka ma’afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. Bahkan dalam surah Ali Imran: 159, Allah menggambarkan rahasia sukses dakwah Rasulullah saw yang dianugerahi nikmat yang teragung dari Allah swt yaitu nikmat senantiasa bersikap lemah lembut, lapang dada dan mema’afkan terhadap perilaku kasar orang lain , “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. Secara redaksional, perintah mema’afkan dalam ayat Makarimil Akhlak di atas bersifat umum dalam segala bentuknya. Ibnu ‘Asyur menyimpulkan hal tersebut berdasarkan analisa bahasa pada kata “Al-Afwu” yang merupakan lafadz umum dalam bentuk “ta’riful jinsi” (keumuman dalam jenis dan bentuk mema’afkan). Mema’afkan disini bisa diartikan sebagai sikap berlapang dada, tidak membalas prilaku buruk orang, bahkan mendoakan kebaikan untuk mereka. Namun tetap keumuman Al-Afwu disini tidak mutlak dalam setiap keadaan dan setiap waktu, seperti terhadap orang yang membunuh sesama muslim dengan sengaja tanpa alasan yang benar, atau terhadap orang yang melanggar aturan Allah swt secara terang-terangan berdasarkan nash Al-Qur’an dan hadits yang mengecualikan keumuman tersebut. Demi keutamaan dan keagungan kandungan ayat diatas, Rasulullah saw menjelaskannya sendiri dalam bentuk tafsir nabawi yang tersebut dalam musnad Imam Ahmad dari Uqbah bin Amir, bahwa Rasulullah saw pernah memberitahukan kepadanya tentang kemuliaan akhlak penghuni dunia. Rasulullah saw berpesan: “Hendaklah kamu menghubungkan tali silaturahim dengan orang yang justru berusaha memutuskannya, memberi kepada orang yang selalu berusaha menghalangi kebaikan itu datang kepadamu, serta bersedia mema’afkan terhadap orang yang mendzalimimu”. Penafsiran Rasulullah saw terhadap ayat diatas sangat jelas korelasinya. Seseorang yang menghubungkan silaturahim kepada orang yang memutuskannya berarti ia telah mema’afkan. Seseorang yang memberi kepada orang yang mengharamkan pemberian berarti ia telah datang kepadanya dengan sesuatu yang ma’ruf. Serta seseorang yang memaafkan kepada orang yang telah berbuat aniaya berarti ia telah berpaling dari orang-orang yang jahil. Bahkan secara aplikatif, perintah ayat ini mampu membendung emosi Umar bin Khattab saat mendengar kritikan pedas Uyainah bin Hishn atas kepemimpinan Umar. Uyainah berkata kepada Umar, “Wahai Ibnu Khattab, sesungguhnya engkau tidak pernah memberi kebaikan kepada kami dan tidak pernah memutuskan perkara kami dengan adil”. Melihat reaksi kemarahan Umar yang hendak memukul Uyainah, Al-Hurr bin Qays yang mendampingi saudaranya Uyainah mengingatkan umar dengan ayat Makarimil Akhlak, “Ingatlah wahai Umar, Allah telah memerintahkan nabi-Nya agar mampu menahan amarah dan mema’afkan orang lain. Sungguh tindakan engkau termasuk prilaku orang-orang jahil”. Kemudian Al-Hurr membacakan ayat ini. Seketika Umar terdiam merenungkan ayat yang disampaikan oleh saudaranya. Dan semenjak peristiwa ini, Umar sangat mudah tersentuh dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang menegur tindakan atau prilakunya yang kurang terpuji. (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas). Sungguh dalam keseharian kita, di sekeliling kita, tipologi orang-orang jahil, orang-orang yang mengabaikan aturan, norma dan nilai-nilai kebaikan Islam akan sering kita temui. Jika sikap yang kita tunjukkan kepada mereka juga mengabaikan aturan Allah swt, maka bisa jadi kita memang termasuk kelompok orang-orang jahil seperti mereka. Namun kita berharap, mudah-mudahan nilai spritualitas dan moralitas yang telah tertanam selama proses madrasah Ramadhan masih tetap membekas dan mewarnai sikap dan prilaku kehidupan kita, sehingga tampilan akhlak yang mulia senantiasa menyertai ucapan, sikap dan tindakan kita terhadap sesama, untuk kebaikan bersama umat. Allahu A’lam. Sumber: http://www.dakwatuna.com/2007/11/315/membangun-akhlakul-karimah/#ixzz2K7VFIi4c