Senin, 17 Januari 2011

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

KERAGAMAN DAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Oleh : Hidayatullah, SHI

A. Pendahuluan
Perkembangan pembangunan nasional dalam era industrialisasi di Indonesia telah memunculkan side effect yang tidak dapat terhindarkan dalam masyarakat. Konglomerasi dan kapitalisasi dalam kenyataannya telah menumbuhkan bibit-bibit masalah yang ada dalam masyarakat seperti ketimpangan antara yang kaya dan yang miskin, masalah pemilik modal dan pekerja, kemiskinan, perebutan sumber daya alam dan sebagainya. Di tambah lagi kondisi masyarakat Indonesia yang plural baik dari suku, agama, ras dan geografis memberikan kontribusi terhadap masalah-masalah sosial seperti ketimpangan sosial, konflik antar golongan, antar suku dan sebagainya.
Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama serta status sosial memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan dinamika dalam masyarakat. Jumlah pulaunya sekitar 13.000 buah. Populasi penduduknya lebih 220 juta jiwa, terdiri dari 300 suku yang menggunakan hampir 200 bahasa berbeda, menganut agama dan aliran kepercayaan yang beragam. Kondisi yang demikian memungkinkan terjadinya benturan antar budaya, antar ras, etnik, agama dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Kasus Ambon, Sampit, konflik antara FPI dan kelompok Achmadiyah, dan sebagainya telah menyadarkan kepada kita bahwa kalau hal ini terus dibiarkan maka sangat memungkinkan untuk terciptanya disintegrasi bangsa.
Selama ini ada kebanggaan tersendiri bagi bangsa Indonesia yang beragam, yang dikatakan menyimpan potensi bagus bila digali. Namun, keragaman ini, diakui atau tidak, dapat menimbulkan berbagai persoalan seperti yang sekarang dihadapi bangsa ini. Perseteruan politik, kekerasan dan kerusuhan massal, separatisme, serta hilangnya rasa kemanusiaan untuk selalu menghormati hak-hak orang lain, adalah bentuk nyata konsekuensi multikulturalisme itu.
Untuk itu dipandang sangat penting memberikan porsi pendidikan multikultural sebagai wacana baru dalam sistem pendidikan di Indonesia terutama agar peserta didik memiliki kepekaan dalam menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial yang berakar pada perbedaan kerena suku, ras, agama dan tata nilai yang terjadi pada lingkungan masyarakatnya. Hal ini dapat diimplementasi baik pada substansi maupun model pembelajaran yang mengakui dan menghormati keanekaragaman budaya.

B. Pengertian Multikultural
Secara etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), Kultur (budaya) dan isme (aliran/paham). Secara hakiki dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitas dengan kebudayaannya masing-masing yang unik. Sedangkan wacana tentang pendidikan multikultural, secara sederhana pendidikan multikultural dapat didefenisikan sebagai "pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan".
Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire, pendidikan bukan merupakan "menara gading" yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagi akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.
Multikulturalisme secara etimologis marak digunakan pada tahun 1950-an di Kanada. Menurut Longer Oxford Dictionary istilah "multiculturalism" merupakan deviasi dari kata "multicultural" Kamus ini menyitir kalimat dari surat kabar Kanada, Montreal Times yang menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat "multicultural dan multi-lingual".
Dengan demikian, setiap individu merasa dihargai sekaligus merasa bertanggung jawab untuk hidup bersama komunitasnya. Menurut Abraham A. Maslow, bahwa salah satu kebutuhan dasar manusia (basic needs) adalah pengakuan atau penghargaan. Pengingkaran masyarakat terhadap kebutuhan untuk diakui merupakan akar dari ketimpangan di berbagai kehidupan. Multikulturalisme adalah ideologi dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaan, maka konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia.
Kontak antar etnis di Indonesia
Banyak stereotip positif maupun negatif yang tersebar di masyarakat, contohnya adalah “Orang Ambon suaranya bagus-bagus, orang Cina (Tionghoa) dan Padang itu pintar dagang, orang Jawa itu bicaranya pelan atau halus, orang Batak sifatnya keras” dan lain sebagainya. Seperti dinyatakan oleh Smith (1999) di atas bahwa stereotip ini merupakan penilaian atau taksiran suatu kelompok oleh kelompok lain. Karena itu tidak menggambarkan sifat riil kelompok yang dinilai, maka wajar jika ada orang yang terkejut jika menemukan orang Batak yang lemah lembut.
Stereotip ini juga memicu prasangka antar kelompok, misalnya orang Jawa yang memiliki atasan orang Batak bisa merasa sangat cemas jika berbuat kesalahan meski kecil, karena ia berprasangka bahwa atasannya pasti akan marah besar. Stereotip dan prasangka inilah yang ingin diminimalisasikan oleh Allport dengan hipotesis kontaknya. Namun ternyata ada beberapa kondisi yang harus diperhatikan untuk menciptakan kontak positif.
Ilustrasi di awal tulisan bisa menjadi alat untuk mengurangi dan mengubah stereotip yang berkembang dan mengurangi prasangka. Kehadiran etnis Tionghoa di media elektronik dan cetak secara suka rela dan setara dengan etnis lain akan sangat membantu apresiasi masyarakat Indonesia terhadap etnis itu sendiri. Sekali lagi media massa berperan penting dalam mengubah atau membentuk persepsi masyarakat. Inilah yang disebut oleh Moscovici (1988, dalam Liu dan Lawrence, 2001) sebagai representasi sosial, suatu wacana yang secara dinamis dibagi bersama di masyarakat. Menurut Moscovici, individu-individu dalam masyarakat saling berdialog tentang sesuatu yang tampil dalam media lalu media menangkap sebagai wacana masyarakat dan kembali dikonsumsi oleh masyarakat, begitu seterusnya. Anderson (dalam Brookes,1999) menyatakan bahwa surat kabar memainkan peran kunci pemahaman suatu bangsa dalam kurun waktu dan tempat.
Strategi re-kategorisasi Gaertner, dkk., (2000) bisa saja diterapkan, namun tidak sepenuhnya dengan mengubah kategorisasi kelompok-kelompok yang dalam hal ini adalah etnis di Indonesia. Kategori bersama sebagai Indonesia adalah kategori yang harus dipegang saat prasangka atau konflik timbul di antara dua atau lebih kelompok etnis.

C. Pendidikan Multikultural
Di Indonesia pendidikan multikultural termasuk wacana relatif baru, dan dipandang sebagai suatu pendekatan yang lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen, terlebih masa otonomi dan desentralisasi yang dilakukan sejak tahun 1999/2000. Kebijakan otonomi daerah tersebut berdampak pada dunia pendidikan untuk menciptakan otonomi pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan multikultural yang dikembangkan di Indonesia sejalan dengan pengembangan demokrasi yang di jalankan seiring dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Apabila tidak dilaksanakan
dengan hati-hati kebijakan ini justru akan menjerumuskan kita kedalam disintegrasi bangsa.
Menurut Azyumardi Azra, pada level nasional dengan berakhirnya sentralisme kekuasaan yang pada rezim orde baru memaksa ”monokulturalisme” yang nyaris seragam, memunculkan reaksi balik, yang tidak mengandung implikasi- implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan indonesia yang multikultural. Berbarengan dengan proses otonomi dan desentralisasi kekuasan pemerintah, terjadi peningkatan gejala provinsialisme yang hampir tumpang tindih etnisitas.
Kecenderungan ini jika tidak terkendali akan dapat menimbulkan tidak hanya disintegrasi sosio-kultural yang amat parah, tetapi juga disintegrasi politik, bangsa dan negara kesatuan republik Indonesia. Sejak awal fouding fathers bangsa Indonesia telah menyadari keberagaman bahasa, budaya, agama, suku dan etnis, yang berarti bangsa multicultural yang menganut semangat Bhineka Tunggal Ika (unity in diversity). Hal ini untuk memujudkan persatuan yang menjadi obsesi rakyat kebanyakan, yang kembangkan lewat ”toleransi” untuk memujudkan cita-cita tersebut.
Sedangkan menurut undang-undang sistem pendidikan nasional No. 20 Tahun 2003 yang bertujuan untuk berkembangnya peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Ada beberapa fungsi perspektif pendidikan, yaitu pertama secara mikro untuk membantu perkembangan jasmani dan rohani peserta didik, kedua secara makro pendidikan untuk mengembangkan pribadi, warga negara, kebudayaan dan bangsa.Ketiga pendidikan berfungsi sebagai investasi jangka panjang dalam bidang sumber daya manusia.
Selanjutnya James Banks (1994) menjelaskan bahwa pendidikan multikultural memiliki lima dimensi yang saling berkaitan:
- Content integration
mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu.
- The Knowledge Construction Process
Membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin)
- An Equity Paedagogy
Menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun sosial.
- Prejudice Reduction
Mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka
- Melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik.
Dalam aktifitas pendidikan manapun, peserta didik merupakan sasaran (obyek) dan sekaligus sebagai subyek pendidikan. Oleh sebab itu dalam memahami hakikat peserta didik, para pendidik perlu dilengkapi pemahaman tentang ciri-ciri umum peserta didik. Setidaknya secara umum peserta didik memiliki empat ciri yaitu;
1. Peserta didik dalan keadaan sedang berdaya, maksudnya ia dalam keadaan berdaya untuk menggunakan kemampuan, kemauan dan sebagainya.
2. Mempunyai keinginan untuk berkembang ke arah dewasa.
3. Peserta didik mempunyai latar belakang yang berbeda.
4. Peserta didik melakukan penjelajahan terhadap alam sekitarnya dengan potensi-potensi dasar yang dimiliki secara individu.
Sedangkan pendidikan multikultural mempunyai ciri-ciri sebagaimana berikut:
1. Tujuannya membentuk manusia yang berbudaya dan masyarakat yang beradap
2. Materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai bangsa dan nilai-nilai kelompok etnis kultural
3. Metode demokratis, yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis multikultural
4. Evaluasi ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik yang meliputi persepsi, apresiasi dan tindakan terhadap budaya lainnya.
Mengenai fokus pendidikan multikultural, Tilaar mengungkapkan bahwa dalam program pendidikan multikultural, focus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan kultural domain atau mainstream. Fokus seperti ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan interkultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas terhadap budaya mainstream yang dominan, yang pada akhirnya menyebabkan orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream. Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap "peduli" dan mau mengerti (difference), atau "politics of recognition" politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas.
D. Implementasi Pendidikan Multikultural
Uraian sebelumnya telah mempertebal keyakinan kita betapa paradigma pendidikan multikulturalisme sangat bermanfaat untuk membangun kohesifitas, soliditas dan intimitas di antara keragamannya etnik, ras, agama, budaya dan kebutuhan di antara kita.
Paparan di atas juga memberi dorongan dan spirit bagi lembaga pendidikan nasional untuk mau menanamkan sikap kepada peserta didik untuk menghargai orang, budaya, agama, dan keyakinan lain. Harapannya, dengan implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural, akan membantu siswa mengerti, menerima dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya dan nilai kepribadian.
Lewat penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah, akan menjadi medium pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras, etnis dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara damai. Agar proses ini berjalan sesuai harapan, maka seyogyanya kita mau menerima jika pendidikan multikultural disosialisasikan dan didiseminasikan melalui lembaga pendidikan, serta, jika mungkin, ditetapkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan di berbagai jenjang baik di lembaga pendidikan pemerintah maupun swasta. Apalagi, paradigma multikultural secara implisit juga menjadi salah satu /concern/ dari Pasal 4 UU N0. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
Pada konteks ini dapat dikatakan, tujuan utama dari pendidikan multikultural adalah untuk menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda. Lebih jauh lagi, penganut agama dan budaya yang berbeda dapat belajar untuk melawan atau setidaknya tidak setuju dengan ketidak-toleranan (/l’intorelable/) seperti inkuisisi (pengadilan negara atas sah-tidaknya teologi atau ideologi), perang agama, diskriminasi, dan hegemoni budaya di tengah kultur monolitik dan uniformitas global.
Dalam sejarahnya, pendidikan multikultural sebagai sebuah konsep atau pemikiran tidak muncul dalam ruangan kosong, namun ada interes politik, sosial, ekonomi dan intelektual yang mendorong kemunculannya. Wacana pendidikan multikultural pada awalnya sangat bias Amerika karena punya akar sejarah dengan gerakan hak asasi manusia (HAM) dari berbagai kelompok yang tertindas di negeri tersebut. Banyak lacakan sejarah atau asal-usul pendidikan multikultural yang merujuk pada gerakan sosial Orang Amerika keturunan Afrika dan kelompok kulit berwarna lain yang mengalami praktik diskrinunasi di lembaga-lembaga publik pada masa perjuangan hak asasi pada tahun 1960-an. Di antara lembaga yang secara khusus disorot karena bermusuhan dengan ide persamaan ras pada saat itu adalah lembaga pendidikan. Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, suara-suara yang menuntut lembaga-lembaga pendidikan agar konsisten dalam menerima dan menghargai perbedaan semakin kencang, yang dikumandangkan oleh para aktivis, para tokoh dan orang tua. Mereka menuntut adanya persamaan kesempatan di bidang pekerjaan dan pendidikan. Momentum inilah yang dianggap sebagai awal mula dari konseptualisasi pendidikan multikultural.
Tahun 1980-an agaknya yang dianggap sebagai kemunculan lembaga sekolah yang berlandaskan pendidikan multikultural yang didirikan oleh para peneliti dan aktivis pendidikan progresif. James Bank adalah salah seorang pioner dari pendidikan multikultural. Dia yang membumikan konsep pendidikan multikultural menjadi ide persamaan pendidikan. Pada pertengahan dan akhir 1980-an, muncul kelompok sarjana, di antaranya Carl Grant, Christine Sleeter, Geneva Gay dan Sonia Nieto yang memberikan wawasan lebih luas soal pendidikan multikultural, memperdalam kerangka kerja yang membumikan ide persamaan pendidikan dan menghubungkannya dengan transformasi dan perubahan sosial.
Didorong oleh tuntutan warga Amerika keturunan Afrika, Latin/Hispanic, warga pribumi dan kelompok marjinal lain terhadap persamaan kesempatan pendidikan serta didorong oleh usaha komunitas pendidikan profesional untuk memberikan solusi terhadap masalah pertentangan ras dan rendahnya prestasi kaum minoritas di sekolah menjadikan pendidikan multikultural sebagai slogan yang sangat populer pada tahun 1990-an. Selama dua dekade konsep pendidikan multikultural menjadi slogan yang sangat populer di sekolah-sekolah AS. Secara umum, konsep ini diterima sebagai strategi
penting dalam mengembangkan toleransi dan sensitivitas terhadap sejarah dan budaya dari kelompok etnis yang beraneka macam di negara ini.
Ide pendidikan multikulturalisme akhirnya menjadi komitmen global sebagaimana direkomendasi UNESCO pada bulan Oktober 1994 di Jenewa. Rekomendasi itu di antaranya memuat empat pesan. Pertama, pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam kebhinnekaan pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan budaya serta mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi, berbagi dan bekerja sama dengan yang lain. Kedua, pendidikan hendaknya meneguhkan jati diri dan mendorong konvergensi gagasan dan penyelesaian-penyelesaian yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan dan solidaritas antara pribadi dan masyarakat. Ketiga, pendidikan hendaknya meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai dan tanpa kekerasan. Karena itu, pendidikan hendaknya juga meningkatkan pengembangan kedamaian dalam diri diri pikiran peserta didik sehingga dengan demikian mereka mampu membangun secara lebih kokoh kualitas
toleransi, kesabaran, kemauan untuk berbagi dan memelihara.
Konsep pendidikan multikultural dalam perjalanannya menyebar luas ke kawasan di luar AS, khususnya di negara-negara yang memiliki keragaman etnis, ras, agama dan budaya seperti Indonesia. Sekarang ini, pendidikan multikultural secara umum mencakup ide pluralisme budaya. Tema umum yang dibahas meliputi pemahaman budaya, penghargaan budaya dari kelompok yang beragam dan persiapan untuk hidup dalam masyarakat pluralistik.
Pada konteks Indonesia, perbincangan tentang konsep pendidikan multikultural semakin memperoleh momentum pasca runtuhnya rezim otoriter-militeristik Orde Baru karena hempasan badai reformasi. Era reformasi ternyata tidak hanya membawa berkah bagi bangsa kita namun juga memberi peluang meningkatnya kecenderungan primordialisme. Untuk itu, dirasakan kita perlu menerapkan paradigma pendidikan multikultur untuk menangkal semangat primordialisme tersebut.
Secara generik, pendidikan multikultural memang sebuah konsep yang dibuat dengan tujuan untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya. Salah satu tujuan penting dari konsep pendidikan multikultural adalah untuk membantu semua siswa agar memperoleh pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperlukan dalam menjalankan peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat demokrasi-pluralistik serta diperlukan untuk berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dengan warga dari kelompok beragam agar tercipta sebuah tatanan masyarakat bermoral yang berjalan untuk kebaikan bersama.
Dalam implementasinya, paradigma pendidikan multikultural dituntut untuk
berpegang pada prinsip-prinsip berikut ini:
* Pendidikan multikultural harus menawarkan beragam kurikulum yang
merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang.
* Pendidikan multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak
ada penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah.
* Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif
dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda-beda.
* Pendidikan multikultural harus mendukung prinsip-prinisip pokok
dalam memberantas pandangan klise tentang ras, budaya dan agama.
Pendidikan multikultural mencerminkan keseimbangan antara pemahaman persamaan dan perbedaan budaya mendorong individu untuk mempertahankan dan memperluas wawasan budaya dan kebudayaan mereka sendiri.
Beberapa aspek yang menjadi kunci dalam melaksanakan pendidikan multikultural dalam struktur sekolah adalah tidak adanya kebijakan yang menghambat toleransi, termasuk tidak adanya penghinaan terhadap ras, etnis dan jenis kelamin. Juga, harus menumbuhkan kepekaan terhadap perbedaan budaya, di antaranya mencakup pakaian, musik dan makanan kesukaan. Selain itu, juga memberikan kebebasan bagi anak dalam merayakan hari-hari besar umat beragama serta memperkokoh sikap anak agar merasa butuh terlibat dalam pengambilan keputusan secara demokratis.


III. Penutup
Paradigma multikultural yang marak didengungkan sebagai langkah alternatif dalam mengelola masyarakat
multikultural seperti Indonesia tampaknya masih menjadi wacana baik di pemerintah maupun masyarakat dalam
memecahkan masalah konflik horisontal maupun vertikal yang dibingkai dalam perbedaan suku, ras, dan agama serta
golongan, ironis memang, perbedaan yang seharusnya tidak dijadikan halangan untuk bersatu, namun justru dijadikan
alasan untuk bermusuhan atas nama perbedaan. Toleransi hanya mungkin terjadi apabila orang rela merelativisasikan
klaim-klaimnya sebagaimana pendapat filsuf neo-pragmatis. Penghargaan atas yang lain sebagaimana dibayangkan
dalam toleransi memang dibutuhkan, namun terjebak pada ego-sentrisme, yaitu sikap saya mentolerensi yang lain demi
saya sendiri. Artinya, setiap perbedaan mengakui perbedaan lain demi menguatkan dan mengawetkan perbedaan
sendiri (I am what I am not). Apa yang terjadi justru adalah ko-eksistensi bukannya pro-eksistensi yang menuntut
kreativitas dari tiap individu yang berbeda untuk meredakan dan merajut tali temali kebersamaan. Tak aneh kalau
kemudian yang muncul bukannya situasi rukun tetapi situasi acuh tak acuh (indefference). Maka, peneguhan
paradigama multikultural harus ditekankan pada kompetensi kebudayaan sehingga tidak berkutat pada aspek kognitif
saja melainkan beranjak pada ke aspek psikomotorik dan afektif.

Referensi:
Chairul Mahfud, Pendidikan Multikultural, 2008, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
James D.Adam, Pendidikan Multikulturalisme dan Paket Multikulturalisme, www.ntt-academia.org/opini/JADAM-04-O-
2007.doc
Program Pascasarjana||UIN Malang
Muhaemin el-Ma'hady, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural, http://re-searchengines.com/muhaemin6-04.html
Tilaar, HAR, Kekuasaan dan Pendidikan; suatu Tinjauan ddari perspektif studi kultural, 2003. Bandung: Remaja
Rosdakarya
Pendidikan Multikultural tanamkan sikap menghargai keberagaman, http://www.atmajaya.ac.id/content.asp?f=0&id=3197
Undang-undang Republik Indonesia No.20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional 2003. Jakarta: Cemerlang
*) Kasubag Administrasi Akademik PPs UIN Malang, Alumni Fak. Psikologi UMM dan Univ. Yarsi Jakarta serta sekarang
melanjutkan studi di PPs Univ. Negeri Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar