Jumat, 25 Februari 2011

IKLIM ORGANISASI PENDIDILAN ISLAM

IKLIM ORGANISASI PENDIDIKAN ISLAM
Oleh : Hidayatullah, SHI

A. Pendahuluan
Pendidikan yang berkualitas pastilah menyangkut tentang iklim organisasi sekolah, apalagi saat ini memasuki era globalisasi yang menuntut profesioalisme kerja. Dengan adanya iklim organisasi yang sehat sudah tidak ada lagi unit struktur yang diada –adakan hanya tujuan menampung orang, bukan untuk mengakomodasi tugas pokok dan fungsi lembaga secara signifikan. Tidak ada pula unit struktur yang beban tugasnya terlalu gemuk, sehingga sulit dijalankan. Juga, tidak terjadi tumpang tindih pekerjaan.
Dalam sebuah studi tentang rekulturasi lembaga pendidikan dijelaskan, bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses holistik peningkatan mutu sekolah. Faktor – faktor tersebut adalah :
1. kolaborasi dan kolegalitas
2. kepemimpinan kepala sekolah
3. pemberdayaan sisiwa dan guru
4. karakteristik organisasi dan personal
5. pengembangan profesionalisme.
Oleh karena itu, untuk menciptakan sebuah iklim organisasi pendidikan yang sehat diperlukan suatu kerja sama yang solit dari beberapa instrumen-instrumen tersebut.
Organisasi lembaga pendidikan punya peran yang sangat penting dalam menentukan maju mundurnya suatu lembaga pendidikan. Kerja sama yang baik dalam suatu organisasi pendidikan, akan menghasilkan pendidikan yang kualitas. Sebaliknya sistem pengorganisasian yang buruk akan menghasilkan pendidikan yang kurang bermutu. Dalam dunia pendidikan islam iklim organisasinya sangatlah jauh dari kata berkualitas, meskipun ada sebagian yang sudah terjamin mutunya. Hal ini tidak lepas dari sistem manajemen paternalistik atau feodalistik. Inilah yang menyebabkan pendidikan islam kita masih ketinggalan jauh bila dibandingkan dengan pendidikan umum. Banyak persoalan yang menyebabkan iklim organisasi pendidikan islam kita terpuruk, baik itu mengenai kualitas kepala sekolah, kepemimpinannya, guru, manajemen, metode, evaluasi dan lain sebagainya.
Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang iklim organisasi pendidikan islam, upaya – upaya yang dilakukan untuk meningkatkan iklim organisasi, serta persoalan – persoalan yang menyangkut di dalamnya.

B. Pengertian Iklim Organisasi Pendidikan Islam
Kata iklim dalam bahasa Inggris, climate yang berarti iklim, cuaca atau hal yang berhubungan dengan suasana. Sedangkan kata organisasi berasal dari bahasa Inggris, organization yang berarti organisasi atau hal yang mengatur. Dalam kamus umum bahasa Indonesia, WJS Purwadarminta mengartikan organisasi sebagai susunan atauran dari berbagai bagian (orang dan sebagainya) sehingga merupakan satu kesatuan yang teratur.
Dalam bidang manajemen istilah iklim organisasi dikenal dengan sebutan organization climate, yaitu menggambarkan perasaan para pedagang menerima sesuatu dari perusahaan mereka berhubung dengan kesempatan-kesempatan, nilai – nilai dan hadiah-hadiah untuk pekerjaan mereka yang baik. Iklim organisasi di sini juga bisa dikatakan sebuah pandangan hiduo yang diakui bersama oleh suatu kelompok masyarakat yang mencakup cara berfikir, berperilaku, sikap, nilai-nilai yang tercermin baik dalam wujud fisik maupun abstrak. Bisa juga dilihat sebagai suatu kerangka kerja yang disadari terdiri dari sikap-sikap, nilai-nilai, norma-norma, perilaku-perilaku dan harapan-harapan diantara anggota organisasi. Bila sudah terbentuk maka keyakinan-keyakinan, nilai-nilai, dan harapan-harapannya cenderung relatif stabil dan memiliki pengaruh yang kuat terhadap organisasi dan orang-orang di dalamnya.
Sedangkan pengertian dari pendidikan islam secara sederhana dapat diartikan pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran islam sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an dan hadis serta dalam pemikiran para ulama dan dalam praktek sejarah umat islam. Berbagai komponen dalam pendidikan mulai tujuan, kurikulum, guru, metode, pola hubungan guru murid, evaluasi sarana prasarana, lingkungan dan evaluasi pendidikan harus didasarkan pada nilai-nilai ajaran islam. Jika berbagai komponen tersebut satu dana lainnya membentuk suatu system yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran islam, maka system tersebut selanjutnya dapat disebut sebagai system pendidikan islam.
Dengan mengemukakan definisi kata demi kata tersebut di atas, kiranya dapat diambil suatu pengertian bahwa yang dimaksud dengan iklim organisasi pendidikan islam adalah suatu keadaan yang menggambarkan tentang kinerja yang sudah disusun rapi atau diatur sedemikian rupa yang ditujukan untuk mengelola dan melaksanakan berbagai kegiatan pendidikan islam secara efektif dan efesien.

C. Faktor Pendukung Terciptanya Iklim Organisasi Sekolah
Dalam kehidupan modern saat ini sebuah organisasi menjadi sangat berarti bagi setiap manusia, sehingga organisasi mendominasi dalam kehidupan manusia. Organisasi diadakan akibat keterbatasan kemampuan individu baik secara fisik maupun mental. Bahkan oleh scott’s organisasi didefinisikan sebagai hal yang bersifat kolektif, dibentuk untuk mencapai sasaran spesifik.organisasi memiliki profil yang jelas, kekhususan yang berbeda dan berkelanjutan seperti;tatanan yang normatif, tingkatan otoritas, sistem organisasi dan insentif sistem.
Organisasi secara umum dapat diartikan memberi struktur atau susunan yakni dalam penyusunan/penempatan orang-orang dalam suatu kelompok kerja sama,dengan maksud menempatkan hubungan antar orang-orang dalam kewajiban-kewajiban, hak-hak dan tanggung jawab masing-masing. Penentuan struktur, hubungan tugas dan tanggung jawab itu dimaksudkan agar tersusun suatu pola kegiatan untuk menuju ke arah tercapainya tujuan bersama. Dengan kata lain organisasi adalah aktifitas dalam membagi-bagi kerja, menggolong-golongkan jenis pekerjaan, memberi wewenang,menetapkan saluran perintah dan tanggung jawab kepada pelaksana.
Ada beberapa unsur yang mendukung terciptanya sebuah organisasi. Unsur-unsur yang dimaksud merupakan hakikat yang mempunyai nilai serta makna, diantaranya :
a. Di dalam organisasi berkumpul orang-orang sebagai sumber daya manusia yang terikat dalam hubungan kerja mencapai tujuan;
b. Di dalam organisasiterdapat berbagai macam ketentuan yang nmengatur prosedur, bagaimana orang-orang melaksanakan hubungan kerja sama;
c. Di dalam organisasi terdapat pembagian tugas secara berjenjang yang memberikan batas-batas kewenangan dan tanggung jawab seseorang atau sekelompok orang dalam melaksanakan hubungan kepemimpinan;
d. Di dalam organisasi terdapat sistem yang mengatur kesejahteraan, kebutuhan, penghargaan dalam rangka memenuhi kebutuhan fisik maupun non fisik sumber daya manusia;
e. Di dalam organisasi terdapat hubungan timbal balik atau saling ketergantungan antara sumber daya manusia sebagai pemberi ide, pengelola, pelaksana dan organisasi yang memberikan jaminan kebutuhan sumber daya manusia dalam rangka mencapai tujuan;
f. Secara total organisasi merupakan suatu sistem terbuka, yang di dalamnya tercermin adanya komponen-komponen dengan sub-sub komponen sebagai berikut:
 Input yang meliputi material, perlengkapan,fasilitas, sumber daya manusia, dana, berbagai peraturan dan ketentuan.
 Proses transformasi, yang mencakup sumber fisik dan sumber daya manusia yang diperoleh melalui lingkungan eksternal;
 Output, meliputi hasil yang berupa barang( material )atau berupa pelayanan (servis) .
Sekolah sebagai lembaga pendidikan sudah semestinya mempunyai organisasi yang baik agar tujuan pendidikan formal ini tercapai sepenuhnya. Dari situ dapat diketahui unsur personal di dalam lingkungan sekolah diantaranya; kepala sekolah, guru, karyawan, dan murid. Di samping itu sekolah sebagai lembaga pendidikan formal ada di bawah instansi atasan baik itu kantor dinas atau wilayah kantor wilayah departemen yang bersangkutan.
Ada beberapa dasar pemikiran yang melatarbelakangi perlunya organisasi pendidikan, baik di lembaga pendidikan umum maupun pendidikan islam.
Pertama, sebuah lembaga pendidikan yang bermutu sebagaimana yang diharapkan banyak orang atau masyarakat bukan hanya menjadi tanggungjawab sekolah, tetapi merupakan tanggungjawab dari semua pihak termasuk di dalamnya orang tua dan dunia usaha sebagai customer internal dan eksternal dari sebuah lembaga pendidikan. Arcaro S Jerome menyampaikan bahwa terdapat lima karakteristik sekolah yang bermutu yaitu : 1) Fokus pada pelanggan. 2) Keterlibatan total 3) Pengukuran 4) Komitmen 5) Perbaikan berkelanjutan.
Kedua, mutu produk pendidikan akan dipengaruhi oleh sejauh mana lembaga mampu mengelola seluruh potensi secara optimal mulai dari tenaga kependidikan, peserta didik, proses pembelajaran, sarana pendidikan, keuangan dan termasuk hubungannya dengan masyarakat. Pada kesempatan ini, lembaga pendidikan Islam harus mampu merubah paradigma baru pendidikan yang berorientasi pada mutu semua aktifitas yang berinteraksi di dalamnya, seluruhnya mengarah pencapaian pada mutu.
Ketiga, pemimpin lembaga pendidikan Islam, khususnya di lingkungan pesantren dan madrasah merupakan motivator, event Organizer, bahkan penentu arah kebijakan sekolah dan madrasah yang akan menentukan bagaimana tujuan-tujuan pendidikan pada umumnya direalisasikan. Untuk mewujudkan hal tersebut maka kepala sekolah yang efektif adalah kepala sekolah yang memenuhi kriteria sebagai berikut :
1) Mampu memberdayakan guru-guru untuk melaksanakan proses pembelajaran dengan baik, lancar dan pruduktif.
2) Dapat menyelesaikan tugas dan pekerjaan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.
3) Mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat sehingga dapat melibatkan mereka secara aktif dalam rangka mewujutkan tujuan sekolah dan pendidikan.
4) Berhasil menerapkan prinsip kepemimpinan yang sesuai dengan tingkat kedewasaan guru dan pengawai lain di sekolah.
5) Bekerja dengan Tim manajemen.
6) Berhasil mewujutkan tujuan sekolah secara produktif sesuai dengan ketentuan yang telah ditentukan.
Keempat, Setiap lembaga pendidikan, termasuk di dalamnya pondok pesantren, dituntut untuk memberikan pelayanan sebaik mungkin kepada “ pelanggannya “. Agar tugas ini terwujud, pesantren perlu didukung sistem manajemen yang baik. Beberapa ciri sistem manajemen yang baik adalah adanya pola pikir yang teratur (administrative thinking) pelaksanaan kegiatan yang teratur (administrative behaviour ), dan penyikapan terhadap tugas-tugas kegiatan secara baik (administrative attitude ).
Dengan adanya empat hal tersebut di atas, maka diperlukan adanya organisasi pendidikan islam yang ditujukan untuk menjawab berbagai masalah tersebut di atas. Terwujudnya cita-cita suatu pendidikan islam dalam berbagai bidang tersebut di atas adalah merupakan indikator untuk menyatakan efektif tidaknya sebuah organisasi pengelola pendidikan. Dengan kata lain oraganisasi ini harus ditujukan untuk mewujudkan cita-cita dalam pendidikan islam yaitu sebuah lembaga pendidikan yang solid, bermutu dan profesional seperti yang diamanatkan dalam undang-undang Sisdiknas no.20 tahun 2003 pada bab III pasal 4 ayat 6 menyebutkan bahwa prinsip penyelenggaraan pendidikan adalah dengan memperdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan ( Sisdiknas, 2003;no 20 ).

D. Realitas Iklim Organisasi Pendidikan Islam
Diakui bahwa model pendidikan islam dalam hal ini madrasah di dalam perundang-undangan negara, memunculkan dualisme sistem Pendidikan di Indonesia. Dualisme pendidikan di Indonesia telah menjadi dilema yang belum dapat diselesaikan hingga sekarang. Dualisme ini tidak hanya berkenaan dengan sistem pengajarannya tetapi juga menjurus pada keilmuannya. Pola pikir yang sempit cenderung membuka gap antara ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum. Seakan-akan muncul ilmu Islam dan ilmu bukan Islam (kafir). Padahal dikhotomi keilmuan ini justru menjadi garapan bagi para pakar pendidikan Islam untuk berusaha menyatukan keduanya.
Dualisme pendidikan Islam juga muncul dalam bidang manajerialnya, khususnya di lembaga swasta. Lembaga swasta umumnya memiliki dua top manager yaitu kepala madrasah dan ketua yayasan (atau pengurus). Meskipun telah ada garis kewenangan yang memisahkan kedua top manager tersebut, yakni kepala madrasah memegang kendali akademik sedangkan ketua yayasan (pengurus) membidangi penyediaan sarana dan prasarana, sering di dalam praktik terjadi overlapping. Masalah ini biasanya lebih buruk jika di antara pengurus yayasan tersebut ada yang menjadi staf pengajar. Di samping ada kesan mematai-matai kepemimpinan kepala madrasah, juga ketika staf pengajar tersebut melakukan tindakan indisipliner (sering datang terlambat), kepala madrasah merasa tidak berdaya menegumya.
Praktek manajemen di madrasah sering menunjukkan model manajemen tradisional, yakni model manajemen paternalistik atau feodalistik. Dominasi senioritas semacam ini terkadang mengganggu perkembangan dan peningkatan kualitas pendidikan. Munculnya kreativitas inovatif dari kalangan muda terkadang dipahami sebagai sikap yang tidak menghargai senior. Kondisi yang demikian ini mengarah pada ujung ekstrem negatif, hingga muncul kesan bahwa meluruskan langkah atau mengoreksi kekeliruan langkah senior dianggap tabiat su'ul adab.
Selain model manajemen yang paternalistik dan feodalistik hubungan dengan dunia pendidikan umum juga masih setengah hati. Hubungan antara pendidikan umum dengan pendidikan islam masih bersifat nominal, belum lagi merupakan hubungan fungsional. Masih ada kesan bahwa pendidikan islam di indonesia merupakan dunia tersendiri. Ia berdiri sendiri, mempunyai tujuan-tujuan tersendiri, dan tidak selalu tanggap terhadap perkembangan-perkembangan pendidikan yang terjadi di luar dirinya. Meskipun ada lembaga pendidikan islam yang menjalin hubungan akrab dengan pendidikan umum, namun masih banyak lembaga-lembaga pendidikan islam yang seolah-olah menutup diri terhadap setiap kontak dengan lembaga pendidikan non islam.
Ditambah lagi sistem pendidikan yang ada di lembaga-lembaga pendidikan islam khususnya madarasah sangat terbatas cakupannya, dan banyak pihak yang berpendapat bahwa kegiatan itu sebenarnya sulit untuk disebut sebagai kegiatan pendidikan, dan lebih tepat kalau disebut sebagai kegiatan pengajaran atau pentransferan ilmu belaka.

E. Upaya –Upaya Mewujudkan Organisasi Pendidikan Islam yang Efektif
Mengacu kepada realitas diatas, dapat ditegaskan bahwa mutu pendidikan nasional saat ini sedang menghadapi problem yang pelik dan komplek, bukan saja problem-problem rutin-administrasi, namun pula hadirnya kemampuan ketrampilan manajerial pimpinan lembaga pendidikan, perubahan prilaku dan pola hidup pimpinan lembaga pendidikan khususnya di lembaga pendidikan Islam, rendahnya partisipasi dan tanggung jawab secara komprehensip tenaga pendidik dan kependidikan, niat yang kurang tulus dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi ( TUPOKSI ) yang diemban olehnya atau Tim Work Tenaga pendidik dan Kependidikan, para pelanggan pengguna lulusan menuntut profesionalisme terhadap teori, skill, dan pengalaman yang mereka miliki sesuai dengan tuntutan lapangan, masih carut marutnya pemahaman dan aplikasi teori belajar dan pembelajaran yang dimiliki oleh para guru maupun dosen. Dan Evaluasi kebijakan pendidikan dan evaluasi pembelajaran yang masih labil dan berubah-ubah akan mempengaruhi kegoncangan pemahaman dan ketidaknyamanan pendidik dan tenaga kependidikan.
Untuk mewujudkan iklim organisasi pendidikan islam yang efektif dapat ditempuh melalui kerjasama tim merupakan unsur yang sangat penting dalam Manajemen Mutu Terpadu. Tim adalah sekelompok orang bekerja secara bersama-sama dan memiliki tujuan bersama yaitu untuk memberikan kepuasan kepada seluruh stakeholders. Kerja tim dalam sebuah organisasi merupakan komponen penting dalam TQM, mengingat kerja tim akan meningkatkan kepercayaan diri, komunikasi dan mengembangkan kemandirian. Kerjasama tim dalam menangani proyek perbaikan atau pengembangan mutu pendidikan merupakan salah satu bagian dari pemberdayaan (empowerment) pegawai dan kelompok kerjanya dengan pemberian tanggung jawab yang lebih besar. Eksistensi kerjasama dalam sebuah lembaga pendidikan sebagai modal utama dalam meraih mutu dan kepuasan stakeholders melalui proses perbaikan mutu secara ber-kesinambungan.
Fungsi kerjasama tim sebagai berikut:
1. Bertanggungjawab pada mutu pembelajaran.
2. Bertanggungjawab pada pemanfaatan waktu para guru, material serta ruang yang dimanfaatkan.
3. Menjadi sarana untuk mengawasi, mengevalusai dan meningkatkan mutu.
4. Bertindak sebagai penyalur informasi kepada pihak manajemen tentang perubahan-perubahan yang dalam proses peningkatan mutu tim.
Di dalam studi mutu tentang restrukturisasi dan kultur organisasi sekolah (restructuring and organization culture in schools) dijelaskan bahwa para pemimpin sekolah ( school leaders), khususnya dalam kapasitasnya menjalankan fungsi kepala sekolah sangat berperan penting terutama dalam dua hal: Pertama, mengonseptualisasikan visi untuk perubahan. Kedua, memiliki pengetahuan,ketrampilan dan pemahaman untuk mentransformasikan visi menjadi etos dan kultur sekolah ke dalam aksi riil.
Pembelajaran guru (teacher learning), karenanya menjadi prioritas dan kepala sekolah memiliki andil besar untuk mewujudkannya. Guru harus diberi peluang dan mereka harus mau meluangkan diri untuk untuk melakukan diferensiasi pekerjaan dan mengasumsikan peran-peran dan tanggung jawab baru. Kapasitas ini hanya dimiliki oleh kepala sekolah yang mempunyai gaya kepemimpinan transformasional dan konstruktivistik.
Perubahan gaya kerja kepemimpinan tradisional ke gaya transformasional dan konstruktivistik lakasana sebuah petualangan bagi perbaikan sekolah, yaitu membumikan kepemimpinan ke dalam organisasi. Perubahan gaya kepemimpinan semacam itu bersifat monumental. Untuk itu kepala sekolah harus mampu memainkan peran-peran penting seperti :
a. Keluar dari tradisi gaya kerja kepemimpinan tradisional.
b. Merangsang partisipasi komunitas pembelajar.
c. Merangsang komitmen guru untuk tumbuh secara professional.
d. Mendorong partisipasi guru dan staf sekolah dalam proses-proses kepemimpinan.
Selain kepemimpinan yang professional dari seorang kepala sekolah, solidnya kerja sama tim pengelola sekolah juga sangat diperlukan demi mendukung terwujudnya lembaga pendidikan yang maju. Ada tiga komponen saling berkaitan yang mempengaruhi kinerja dalam produktifitas suatu tim, yaitu sebagai berikut:
1. Organisasi secara keseluruhan
Budaya atau kultur suatu organisasi akan menentukan sikap, perilaku dan cara berfikir seluruh anggota dalam mencapai misi dan tujuan yang dipengaruhi oleh filosofi organisasi, norma, kode etik, system penghargaan dan harapan dari para anggota organisasi.
2. Tim Kerja
Tim kerja mampu mencapai kinerja atau produktivitas yang diharapkan apabila dilakukan dengan adanya peranan dan tanggungjawab yang jelas, mampu melaksanakan manajemen konflik, adanya prosedur operasi yang jelas dan simple, serta pencapaian misi tim.
3. Para individu anggota tim
Sifat individu anggota tim harus memiliki beberapa persyaratan agar kinerja atau produktivitas meningkat, yaitu : memiliki kesadaran dini untuk bekerjasama dalam mencapai tujuan tim, memiliki apresiasi terhadap perbedaan individual, bersikap empati dan perhatian yang besar dalam penyampaian tugas masing-masing individu anggota tim.

F. Penutup
Sebagai kunci utama yang harus ditumbuh-kembangkan pada semua lapisan organisasi adalah rasa cinta pada lembaga. Cinta atau dalam bahasa lainnya adalah integritas tinggi, merupakan kunci keberhasilan. Membangun cinta dapat dimulai dari proses mengenali (ta^aruf) yang akan menghasilkan pemahaman. Pemahaman yang mendalam akan melahirkan suasana penghormatan (tadhomun) atau menghargai dan selanjutnya akan tumbuh suasana mencintai.
Islam sesungguhnya membangun tradisi ta^aruf yang sedemikian kukuh lewat berbagai aktivitas spiritual maupun social. Pertanyaannya adalah, adakah kesediaan para pemimpin dan manager lembaga pendidikan Islam membagi-bagikan cita dan kasih sayangnya secara menyeluruh dan mendalam termasuk menumbuh-kembangkannya kepada semua komponen yang ada (para dosen, guru dan karyawan) lewat tradisi yang diajarkan Islam melalui bebagai kegiatan spiritual dan sosial itu.
Sikap mental yang harus dibangun selanjutnya adalah keikhlasan. Memanage lembaga pendidikan Islam harus didudukkan dalam konteks beribadah kepada Allah secara penuh dan mendalam. Konsep ini dalam bahasa Islam adalah lillah. Suasana batin yang mengarahkan kegiatannya hanya semata-mata didasari oleh niat untuk memenuhi kebutuhan pribadi atau kelompok dalam berbagai bentuknya tidak akan mengantarkan yang bersangkutan memiliki integritas yang tinggi. Jiwa ikhlas yang tumbuh dan berkembang dari seorang pimpinan lembaga pendidikan Islam, akan melahirkan suasana ruhhul jihad. Jika suasana ini mampu ditumbuh-kembangkan, lembaga pendidikan telah memiliki kekuatan yang kukuh yang diperlukan olehnya.















Daftar Pustaka

Syafrudin, Manajemen Mutu Terpadu Dalam Pendidikan Konsep, Strategi dan Aplikasi, PT.Grasindo Jakarta, 2002,
John M.Echols dan Hasan Sadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta Gramedia, 1980, cet. VIII.
WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta:Balai Pustaka, 1991.cet.XII
Drs.Moekijat, Kamus Manajemen, (Bandung; Mandar Maju,1990)
Ahmad Tafsir, Epistimologi Untuk Pendidikan Islam, Bandung IAIN Sunan Gunung Jati;1995
Drs. Suryo Subroto, Manajemen Pendidikan Di Sekolah, Reneka Cipta Jakarta: 2004,
Mohammad Nasir , Manajemen Mutu Terpadu di Lembaga Pendidikan Islam www.okis site. Com, 17/12/2008
Prof.Dr.Sudarman Danim. Menjadi Komunitas Pembelajar, Bumi Aksara, Jakarta; 2003
Dr. Mochtar Bashori, Spektrum Problematika Pendidikan di Indonesia,Tiara Wacana, Yogyakarta;1994,
Mulyasa, E, Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik, dan Implementasi, PT. Remaja Rosdakarya ; Bandung, 2002
Wahjosumijo, Kepemimpinan Kepala Sekolah, Jakarta, Grafindo Persada: 2004

EPISTIMOLOGI PRAGMATISME JHON DEWEY

EPISTIMOLOGI PRAGMATISME JOHN DEWEY
Oleh : Hidayatullah, SHI

A. Pendahuluan
Pada awal kelahiran filsafat apa yang disebut filsafat itu sesungguhnya mencakup seluruh ilmu pengetahuan. Kemudian, filsafat itu berkembang sedemikian rupa menjadi semakin rasional dan sistematis. Seiring dengan perkembangan itu, wilayah pengetahuan manusia semakin luas dan bertambah banyak, tetapi juga semakin mengkhusus.lalu lahirlah berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang satu per satu memisahkan diri dari filsafat.Kendati berbagai disiplin ilmu pengetahuan telah memisahkan diri dari filsafat, tidak berarti filsafat telah menjadi miskin sehingga tinggal terarah hanya kepada satu permasalahan pokok, dengan wilayah pengetahuan yang semakin sempit dan pada suatu saat akan lenyap sama sekali.
Salah satu cabang dari filsafat yang berkaitan dengan teori pengetahuan adalah epistimologi. Istilah epistimologi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata, yaitu episme (pengetahuan dan logos (kata, pemikiran, percakapan, atau ilmu). Jadi epistemology berarti kata, pikiran,percakapan tentang pengetahuan atau ilmu pengetahuan.
Berangkat dari teori epistimologi tersebut, muncul tokoh – tokoh filsafat yang berbicara ilmu pengetahuan, salah satunya adalah John Dewey. Pemikiran epistimologi pragmatisme John Dewey banyak mengilhami dalam dunia pendidikan. Pragmatisme Dewey merupakan sintensis pemikiran-pemikiran Charles S. Pierce dan William James. Dewey mencapai popularitasnya di bidang logika, etika epistemologi, filsafat politik, dan pendidikan.
Selanjutnya dalam makalah ini akan dibahas mengenai epistimologi pragmatisme John Dewey dan pemikiran – pemikirannya. Termasuk juga tentang pandangannya bila dikaitkan dengan ilmu-ilmu pendidikan.



B. Riwayat Hidup John Dewey
John Dewey merupakan filosof, psikolog, pendidik dan kritikus sosial Amerika. Ia dilahirkan di Burlington, Vermont, tepatnya tanggal 20 Oktober 1859. Pada tahun 1875, Dewey masuk kuliah di University of Vermont dengan spesifikasi bidang filsafat dan ilmu-ilmu sosial. Setelah tamat, ia mengajar sastra klasik, sains, dan aljabar di sebuah sekolah menengah atas di Oil City, Pensylvania tahun 1879-1881. Bersama gurunya, H.A.P. Torrey, Dewey juga menjadi tutor pribadi di bidang filsafat. Selain itu, Dewey juga belajar logika kepada Charles S. Pierce dan C.S. Hall, salah seorang psikolog eksperimental Amerika. Selanjutnya, Dewey melanjutkan studinya dan meraih gelar doktor dari John Hopkins University tahun 1884 dengan disertasi tentang filsafat Kant.
Dewey kemudian mengajar di University of Michigan (1884-1894), menjadi kepala jurusan filsafat, psikologi dan pendidikan di University of Chicago tahun 1894. Pada tahun 1899, Dewey menulis buku The School and Society, yang memformulasikan metode dan kurikulum sekolah yang membahas tentang pertumbuhan anak. Dewey banyak menulis masalah-masalah sosial dan mengkritik konfrontasi demokrasi Amerika, ikut serta dalam aktifitas organisasi sosial dan membantu mendirikan sekolah baru bagi Social Reseach tahun 1919 di New York.
Sebagian besar kehidupan Dewey dihabiskan dalam dunia pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan yang disinggahi Dewey adalah University of Michigan, University of Colombia dan University of Chicago. Tahun 1894 Dewey memperoleh gelar Professor of Philosophy dari Chicago University. Dewey akhirnya meninggal dunia tanggal 1 Juni 1952 di New York dengan meninggalkan tidak kurang dari 700 artikel dan 42 buku dalam bidang filsafat, pendidikan, seni, sains, politik dan pembaharuan sosial.
Diantara karya-karya Dewey yang dianggap penting adalah Freedom and Cultural, Art and Experience, The Quest of Certainty Human Nature and Conduct (1922), Experience and Nature (1925), dan yang paling fenomenal Democracy and Education (1916).
Gagasan filosofis Dewey yang terutama adalah problem pendidikan yang kongkrit, baik yang bersifat teoritis maupun praktis. Reputasinya terletak pada sumbangan pemikirannya dalam filsafat pendidikan progresif di Amerika. Pengaruh Dewey di kalangan ahli filsafat pendidikan dan filsafat umumnya tentu sangat besar. Namun demikian, Dewey juga memiliki sumbangan di bidang ekonomi, hukum, antropologi, politik serta ilmu jiwa.

C. John Dewey dan Pragmatisme
Pragmatisme berasal dari kata pragma yang artinya guna. Pragma berasal dari kata Yunani. Maka pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar adalah apa saja yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan akibat-akibat yang bermanfaat secara praktis. Misalnya, berbagai pengalaman pribadi tentang kebenaran mistik, asalkan dapat membawa kepraktisan dan bermanfaat.Artinya, segala sesuatu dapat diterima asalkan bermanfaat bagi kehidupan.
Membicarakan pragmatisme sebagai sebuah paham dalam filsafat, tentu tidak dapat dilepaskan dari nama-nama seperti Charles S. Pierce, William Jamess dan John Dewey. Meskipun ketiga tokoh tersebut dimasukkan dalam kelompok aliran pragmatisme, namun diantara ketiganya memiliki fokus pembahasan yang berbeda. Charles S. Pierce lebih dekat disebut filosof ilmu, sedangkan William James disebut filosof agama dan John Dewey dikelompokkan pada filosof sosial.
Pragmatisme sebagai suatu interpretasi baru terhadap teori kebenaran oleh Pierce digagas sebagai teori arti. Dalam kaitan dengan ini, dinyatakan: According to the pragmatic theory of truth, a proposition is true in so far as it works or satisfies, working or satisfying being described variously by different exponent on the view (Menurut teori pragmatis tentang kebenaran, suatu proposisi dapat disebut benar sepanjang proposisi itu berlaku [works] atau memuaskan [satisfies], berlaku dan memuaskannya itu diuraikan dengan berbagai ragam oleh para pengamat teori tersebut).
Sementara itu, James menominalisasikan pragmatisme sebagai teori cash value. James kemudian menyatakan: "True ideas are those that we can assimilate, validate, corrobrate, and verify. False ideas are those that we can not" (Ide-ide yang benar menurut James adalah ide-ide yang dapat kita serasikan, kita umumkan berlakunya, kita kuatkan dan kita periksa. Sebaliknya ide yang salah adalah ide yang tidak demikian).
Untuk membedakan dengan dua pendahulunya tersebut, Dewey menamakan pragmatisme sebagai instrumentalisme. Instrumentalisme sebenarnya sebutan lain dari filsafat pragmatisme, selain eksperimentalisme. Pierce memaksudkan pragmatisme untuk membuat pikiran biasa menjadi ilmiah, tetapi James memandangnya sebagai sebuah filsafat yang dapat memecahkan masalah-masalah metafisik dan agama. Bahkan lebih jauh, James menganggapnya sebagai theory of meaning dan theory of truth.

D. Dasar Epistimologi Pragmatisme John Dewey
Dewey merumuskan esensi instrumentalisme pragmatis sebagai to conceive of both knowledge and practice as means of making good excellencies of all kind secure in experienced existence. Demikianlah, Dewey memberikan istilah pragmatisme dengan instrumentalism, operationalism, functionalism, dan experimentalism. Disebut demikian karena menurut aliran ini bahwa ide, gagasan, pikiran, dan inteligent merupakan alat atau instrumen untuk mengatasi kesulitan atau persoalan yang dihadapi manusia.
Secara garis besar, pemikiran filsafat John Dewey terdapat dalam konsepsi-konsepsi yang dibangunnya, dan dituangkannya ke dalam wacana-wacana yang dapat dipahami secara mudah oleh kalangan awam. John Dewey mewarnai gagasannya secara konstruktif dan dinamis melalui fenomena-fenomena hidup dan maknanya yang dituangkan dalam berbagai konsepsi filosofis, yang memiliki relevansi kental dengan situasi saat ini.
Menurut Dewey, dunia ini penciptaannya belum selesai. Segala sesuatu berubah, tumbuh, berkembang, tidak ada batas, tidak statis, dan tidak ada finalnya. Bahkan, hukum moral pun berubah, berkembang menjadi sempurna. Tidak ada batasan hukum moral dan tidak ada prinsip-prinsip abadi, baik tingkah laku maupun pengetahuan.
Pengalaman (experience) adalah salah satu kunci dalam filsafat instrumentalisme. Pengalaman merupakan keseluruhan aktivitas manusia yang mencakup segala proses yang saling mempengaruhi antara organisme yang hidup dalam lingkungan sosial dan fisik. Filsafat instrumentalisme Dewey dibangun berdasarkan asumsi bahwa pengetahuan berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan bergerak kembali menuju pengalaman. Untuk menyusun kembali pengalaman-pengalaman tersebut diperlukan pendidikan yang merupakan transformasi yang terawasi dari keadaan tidak menentu ke arah keadaan tertentu.
Sebagai tokoh pragmatisme, Dewey memberikan kebenaran berdasarkan manfaatnya dalam kehidupan praktis, baik secara individual maupun kolektif. Oleh karenanya, ia berpendapat bahwa tugas filsafat memberikan garis-garis arahan bagi perbuatan. Filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran metafisik yang sama sekali tidak berfaedah. Filsafat harus berpijak pada pengalaman dan menyelidiki serta mengolah pengalaman tersebut secara aktif dan kritis. Dengan cara demikian, filsafat menurut Dewey dapat menyusun norma-norma dan nilai-nilai.
Menurut Heinemann (1996) terdapat empat konsep fundamental dalam pemikiran filsafat Dewey yakni pengalaman, pertumbuhan, transaksi dan penyelidikan (inquiry).
Ada perbedaan pandangan tentang pengalaman antara pemikiran ortodoksi dan pemikiran kekinian yang cocok untuk menggambarkan kondisi sekarang.
Pertama, pandangan ortodoksi mendeskripsikan pengalaman sebagai suatu yang berkaitan dengan pengetahuan, sedangkan kekinian memandang pengalaman sebagai hubungan timbal balik yang erat antara fisik dan lingkungannya.
Kedua, pandangan ortodoksi menyatakan bahwa (sedikitnya pada awalnya) merupakan sesuatu fisik yang dipengaruhi oleh subyektivitas, yang menurut pandangan kekinian pengalaman merupakan dunia nyata yang masuk ke dalam tindakan manusia dan dimodifikasi melalui respon-respon mereka.
Ketiga, pengalaman terikat pada apa yang telah ada atau diberikan, namun kini bentuk vital pengalaman merupakan eksperimen, suatu usaha untuk mengubah apa yang telah diberikan; yang ditandai oleh proyeksi, penjelajahan yang tidak diketahui, berhubungan dengan masa depan, dan merupakan ciri khas.
Keempat, dulu pengalaman itu diperuntukkan pada kekhususan, namun sekarang pengalaman di bawah kendali lingkungan dan perjuangan untuk mengendalikannya.
Kelima, dalam pandangan tradisional pengalaman dan pemikiran merupakan permasalahan antitetika, namun pengalaman berdasarkan pemahaman kekinian penuh dengan kesimpulan di mana secara nyata, tidak ada pengalaman nyata tanpa kesimpulan, refleksi alami dan tetap.
Dua hal telah memberikan sumbangan suatu konsepsi baru tentang pengalaman dan suatu konsepsi baru tentang hubungan antara alasan terhadap pengalaman, atau istilah yang lebih akurat, sebagai tempat atau posisi alasan dalam pengalaman. Faktor terpenting adalah perubahan yang telah mengambil tempat dalam pengalaman yang aktual, isi dan metodenya, sebagaimana saat ini hidup. Faktor lain menyangkut perkembangan psikologi berdasarkan biologi di mana memungkinkan formulasi pengetahuan baru tentang sifat dasar pengalaman.

E. Pemikiran John Dewey Tentang Pendidikan
Pola pemikiran Dewey tentang pendidikan sejalan dengan konsepsi instrumentalisme yang dibangunnya, dimana konsep-konsep dasar pengalaman (experience), pertumbuhan (growth), eksperimen (experiment), dan transaksi (transaction) memiliki kedekatan yang akrab, sehingga Dewey mendeskripsikan filosofi sebagai teori umum pendidikan dan pendidikan sebagai laboran yang di dalamnya perbedaan-perbedaan filosofis menjadi kongkrit dan diuji.
Menurut Garforth (1966) terdapat tiga pengaruh pemikiran Dewey dalam pendidikan yang dirasakan sangat kuat hingga saat ini:
Pertama,Dewey melahirkan konsepsi baru tentang kesosialan pendidikan, di sini dijelaskan bahwa pendidikan memiliki fungsi sosial yang dinyatakan oleh Plato dalam bukunya, Republic, dan selanjutnya oleh banyak penulis disebutkan sebagai teori pendidikan yang umum. Tetapi Dewey lebih dari itu, bahwa pendidikan adalah instrumen potensial tidak hanya sekedar untuk konservasi masyarakat, melainkan juga untuk pembaharuannya. Ini ternyata menjadi doktrin yang akhirnya diakui sebagai demokrasi, dimana Dewey memperoleh kredit yang tinggi dalam hal ini. Selanjutnya, hubungan yang erat antara pendidikan dan masyarakat bahwa dalam pendidikan harus terefleksikan dalam manajemennya dan dalam kehidupan di sekolah terefleksi prinsip-prinsip dan gagasan-gagasan yang memotivasi masyarakat. Pendapat ini mengalami pengabaian dalam masa yang lama, meskipun akhirnya secara berangsur dapat diterima. Akhirnya, proses pembelajaran adalah lebih tepat disuasanakan sebagai aktivitas sosial, sehingga iklim kerjasama dan timbal balik menggeser suasana kompetisi dan keterasingan dalam memperoleh pengetahuan. Dengan ketiga penekanan dalam pendidikan tersebut, telah memberikan udara segar terhadap konsep pendidikan sebagai suatu proses sosial terkait erat dengan kehidupan masyarakat secara luas di luar sekolah; dan sebaliknya hal ini juga memberikan kontribusi terhadap peningkatan kehidupan masyarakat di sekolah, dan hubungan antara guru dan pengajaran.
Kedua, Dewey memberikan bentuk dan substansi baru terhadap konsep keberpusatan pada anak (child-centredness). Bahwa konsep pendidikan adalah berpusat pada anak, telah sejak lama dilontarkan, bahkan oleh Aristoteles. Namun, selama berabad-abad tenggelam dalam keformalitasan asumsi-asumsi psikologi klasik pada konsep klasik. Jika Rousseau, Pestalozzi, dan Froebel telah melakukan banyak untuk membebaskan anak dari duri miskonsepsi kewenangan, maka Dewey juga telah memberikan sumbangan yang sama terhadap dunia modern. Dalam hal ini Dewey mendasarkan konsep keberpusatan pada anak pada landasan-landasan filosofis, sehingga lebih kuat jika dibandingkan dengan para pendahulunya. Demikian pula, pada sebuah penelitiannya tentang anak, menjadi lebih menyakinkan dengan dukungan pendekatan keilmuan dan tidak terkesan sentimental.
Ketiga, Proyek dan problem-solving yang mekar dari sentral konsep Dewey tentang Pengalaman telah diterima sebagai bagian dalam teknik pembelajaran di kelas. Meskipun bukan sebagai pencetus, namun Dewey membangunnya sebagai alat pembelajaran yang lebih sempurna dengan memberikan kerangka teoritik dan berbasis eksperimen. Dengan demikian Dewey lah yang telah membawa orang menjadi tertarik untuk menerapkannya dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari di sekolah, termasuk digalakkannya kegiatan berlatih menggunakan inteligensi dalam rangka penemuan.

F. Implikasi dengan dunia pendidikan
Tujuan pendidikan adalah efisiensi sosial dengan cara memberikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan demi pemenuhan kepentingan dan kesejahteraan bersama secara bebas dan maksimal. Tata susunan masyarakat yang dapat menampung individu yang memiliki efisiensi di atas adalah sistem demokrasi yang didasarkan atas kebebasan, asas saling menghormati kepentingan bersama, dan asas ini merupakan sarana kontrol sosial. Mengenai konsep demokrasi dalam pendidikan, Dewey berpendapat bahwa dalam proses belajar siswa harus diberikan kebebasan mengeluarkan pendapat. Siswa harus aktif dan tidak hanya menerima pengetahuan yang diberikan oleh guru. Begitu pula, guru harus menciptakan suasana agar siswa senantiasa merasa haus akan pengetahuan.
Karena pendidikan merupakan proses masyarakat dan banyak terdapat macam masyarakat, maka suatu kriteria untuk kritik dan pembangunan pendidikan mengandung cita-cita utama dan istimewa. Masyarakat yang demikian harus memiliki semacam pendidikan yang memberikan interes perorangan kepada individu dalam hubungan kemasyarakatan dan mempunyai pemikiran yang menjamin perubahan-perubahan sosial.
Dalam kaitan dengan dunia pendidikan, kaum pragmatisme menghendaki pembagian yang tetap terhadap persoalan yang bersifat teoritis dan praktis. Pengembangan terhadap yang teoritis akan memberikan bekal yang bersifat etik dan normatif, sedangkan yang praktis dapat mempersiapkan tenaga profesional sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Proporsionalisasi yang teoritis dan praktis itu penting agar pendidikan tidak melahirkan materialisme terselubung ketika terlalu menekankan yang praktis. Pendidikan juga tidak dapat mengabaikan kebutuhan praktis masyarakat, sebab kalau demikian yang terjadi berarti pendidikan tersebut dapat dikatakan disfungsi, tidak memiliki konsekuansi praktis.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa epistimologi pragmatisme John Dewey implikasinya dengan dunia pendidikan dapat digolongkan sebagai berikut :
1. Pendidikan adalah proses konservasi dan perubahan
2. Sekolah adalah sebagai miniatur masyarakat
3. Pengajaran dan pembelajaran dalam dunia pendidikan adalah bentuk eksperimentalis
4. Pertumbuhan adalah tujuan dari pendidikan
5. Kurikulum eksperiensial yang meliputi :
a) Making and doing
b) History and geography
c) Organized scienteces

G. Penutup
Dari pemaparan di atas dapat di simpulkan bahwa pragmatisme John Dewey adalah instrumentalism, operationalism, functionalism, dan experimentalism. Disebut demikian karena menurut aliran ini bahwa ide, gagasan, pikiran, dan inteligent merupakan alat atau instrumen untuk mengatasi kesulitan atau persoalan yang dihadapi manusia.
Filsafat tidak dapat dipisahkan dari pendidikan, karena filsafat pendidikan merupakan rumusan secara jelas dan tegas membahas problema kehidupan mental dan moral dalam kaitannya dengan menghadapi tantangan dan kesulitan yang timbul dalam realitas sosial dewasa ini. Problema tersebut jelas memerlukan pemecahan sebagai solusinya. Pikiran dapat dipandang sebagai instrumen yang dapat menyelesaikan problema dan kesulitan tersebut.
Di dalam filsafat John Dewey disebutkan adanya experimental continum atau rangkaian kesatuan pengalaman, yaitu proses pendidikan yang semula dari pengalaman menuju ide tentang kebiasaan (habit) dan diri (self) kepada hubungan antara pengetahuan dan kesadaran, dan kembali lagi ke pendidikan sebagai proses sosial. Kesatuan rangkaian pengalaman tersebut memiliki dua aspek penting untuk pendidikan, yaitu hubungan kelanjutan individu dan masyarakat serta hubungan kelanjutan pikiran dan benda.








Daftar Pustaka

Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat (Yogyakarta : Kanisius, 1998)
Tauhid Bashori, Pragmatisme Pendidikan, www.blog tauhid bashori. or.id, 2/11/2008
Drs. Asmoro achmadi, Filsafat Umum (Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2001)
www. Mimbar Demokrasi. Com.( Pendidikan Menurut John Dewey), 2/11/2008
www. Mimbar Demokrasi. Com.( Pemikiran Filsafat John Dewey), 2/11/2008
Dr. Alim Roswantoro, Mag , Epistimilogi Pragmatisme John Dewey , Materi Kuliah Filsafat Ilmu Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga, tanggal 11 November 2008

Rabu, 23 Februari 2011

MANAJEMEN KULTUR PESANTREN

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PERKOTAAN YOGYAKARTA
Oleh : Hidayatullah, SHI
A.Pendahuluan
Sejak tahun 1960, lahir sebuah konsep pemberdayaan komunitas yang disebut Community Development (selanjutnya disebut CD). CD adalah sebuah proses pembangunan jejaring interaksi dalam rangka meningkatkan kapasitas dari sebuah komunitas, mendukung pembangunan berkelanjutan, dan pengembangan kualitas hidup masyarakat (United States Departement of Agriculture, 2005). CD tidak bertujuan untuk mencari dan menetapkan solusi, struktur penyelesaian masalah atau menghadirkan pelayanan bagi masyarakat. CD adalah bekerja bersama masyarakat sehingga mereka dapat mendefinisikan dan menangani masalah, serta terbuka untuk menyatakan kepentingan-kepentingannya sendiri dalam proses pengambilan keputusan (StandingConference for Community Development, 2001).1
Empowering atau pemeberdayaan merupakan konsep mutakhir. Konsep terdahulu barulah sebatas liberation atau pembebasan, atau sebatas independency atau kebebasan. Ketiga konsep tersebut teerkait dengan development atau pembangunan.pembangunan pada konsep awal identik dengan modernization yang diasosiasikan dengan westernization. Dengan konsep yang lebih all inclunsive konsep development dapat dan sebaiknya diganti dengan social change atau perubahan sosial.
Dalam konsep ilmu politik, pemeberdayaan masyarakat merupakan upaya politik untuk memberikan otoritas kepada masyarakat membuat berbagai keputusan dan berbagai social action, dan biasa disebut dengan desentralisasi. Desentralisasi berngkat dari paradigma pemikiran bahwa yang memiliki otoritas adalah pemerintah pusat atau central government. Desentralisasi memiliki ragam implementasi yang berbeda-beda antara dekonsentrasi, delegasi, devolusi, otonomi dan privatisasi.2
Program pemberdayaan masyarakat miskin perkotaan dirumuskan dan dilaksanakan dengan pendekatan bottom up, dimana pada pelaksanaan kegiatan di lapangan dilakukan atas inisiatif dan aspirasi dari masyarakat, mulai dari kegiatan perencanaan, pelaksanaan sampai dengan pengawasan pelaksanaan pembangunan. Masyarakat memiliki peran yang sangat penting dan dituntut untuk terlibat secara aktif dalam pelaksanan program pembangunan ini, berhasil atau tidaknya pelaksanan program ioni ditentukan oleh partisipasi masyarakat itu sendiri.
Dalam makalah ini akan dipaparkan tentang bagaimana pemberdayaan masyarakat miskin perkotaan khususnya kota Yogyakarta. Sehingga akhirnya dapat dirumuskan pola pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat miskin kota.
B.Pembahasan
Kemiskinan adalah suatu hal yang tidak bisa lepas dari kehidupam kita. Kemiskinan merupakan salah satu problem sosial yang amat serius. Guna membahas masalah ini perlu dilakukan identifikasi apa yang dimaksud dengan miskin atau kemiskinan dan bagaimana cara mengukurnya.
Sedikitnya ada dua macam perspektif yang lazim dipergunakan untuk mendekati masalah kemiskinan, yaitu perspektif kultural (cultural perspective) dan perspektif struktural atau situasional (situational perspective).3
Masing-masing perspektif memiliki tekanan, acuan dan metodologi tersendiri, dalam menganalisis kemiskinan. Perspektif kultural mendekati masalah kemiskinan pada tiga tingkat analisis, individu, keluarga dan masyarakat. Pada tingkat individu kemiskinan ditandai dengan sifat yang lazim disebut “a strong feeling of marginality” seperti apatisme, fatalisme atau pasrah pada nasib, boros, tergantung dan inferior.
Pada tingkat keluarga, kemiskinan ditandai dengan jumlah anggota keluarga yang besar dan free union or consensual marriages. Pada tingkat masyarakat, kemiskinan terutama ditunjukkan oleh tindakan terintegrasinya kaum miskin dengan institusi-institusi masyarakat secara efektif. Mereka seringkali memperoleh perlakuan sebagai obyek yang perlu digarap dari pada sebagai subyek yang perlu diberi peluang untuk berkembang.4
Berkaitan dengan hal tersebut pemberdayaan masyarakat miskin terutama yang ada di kota perlu untuk penanganan lebih serius. Hal ini berkaitan dengan program pemerintah tentang pengentasan kemiskinan. Pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat miskin perkotaan di Yogyakarta merupakan salah satu upaya meningkatkan kondisi permukiman dan sosial di Yogyakarta, di mana penanganan dilakukan secara terpadu, baik dalam hal perbaikan fisik lingkungan maupun kondisi sosial ekonomi masyarakat di lingkungan perkampungan tersebut. 5
Kota Yogyakarta yang berpredikat sebagai kota pelajar dan kota budaya berhak mengklaim sebagai kota besar yang maju dan otonom, sesungguhnya harus berkaca pada dua hal yaitu :
Pertama, sejauh mana kota itu ikut berpasrtisipasi dalam proses pemberdayaan penduduknya, khususnya penduduk miskin yang belum mempunyai akses dan xcenderung menyebabkan berbagai macam masalah dan diantaranya adalah masalah kumuh.
Kedua, sejauh mana penduduk kota tergolong marginal telah berhasil dientas dari kungkungan kemiskinan, dan sejauh mana kesenjangan sosial telah tereliminasi. Namun demikian, pemerintah sebenarnya telah melaksanakan berbagai macam upayauntuk mengurangimasalah sosial tetapi hasilnya belum optimal. Ini terbukti masih ada kawasan kumuh baik yang katagori kumuh kota, dan kumuh pinggiran yang masih perlu pembenahan. 6
C.Sekilas Tentang Sejarah Kota Yogyakarta
Semasa Kerajaan Mataram dipimpin Sri Susuhunan Paku Buwono II dan berkedudukan di Kartasuro, tahun 1742 terjadi pemberontakan oleh orang-orang Thionghoa yang kemudian terkenal sebagai Geger Patjina. Pemberontakan dipimpin Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa, putra Pangeran Mangkubumi. Pada saat pemberontakan terjadi, Paku Buwono (PB) II menyelamatkan diri ke Ponorogo bersama penasehatnya Van Hohendorff dan Wakil Gubernur Jenderal Van Imhoff. Dengan bantuan VOC pemberontakan berhasil ditumpas, dan dalang pemberontakan Raden Mas Said diasingkan ke Ceylon.
Setelah kekacauan mereda PB II meminta bantuan VOC merebut kembali ibukota Mataram di Kartasura. Maka ditandatanganilah perjanjian Ponorogo (1743) yang murni merupakan kontrak politik, bukan lagi sekedar kontrak dagang seperti seperti perjanjian-perjanjian yang dibuat sebelumnya. Ketika menandatangani perjanjian ini PB II sama sekali tidak berkonsultasi dengan para pembesar keraton termasuk Pangeran Mangkubumi.
Peristiwa tersebut kemudian memicu perselisihan dikalangan keluarga keraton, terutama antara PB II dengan Pangeran Mangkubumi. Sementara itu PB II juga menempuh langkah besar dengan memindahkan ibukota kerajaan dari Kartasura ke Surakarta (1745) karena ibukota lama porak poranda akibat geger Patjina.
Atas usulan VOC, perselisihan didalam keraton didamaikan dengan dibuatnya Perjanjian Gianti pada 13 Februari 1755. Inti dari perjanjian yang ditandatangani di Gianti, Salatiga tersebut adalah pembagian kerajaan Mataram menjadi dua. (Itu sebabnya perjanjian Gianti disebut juga Palihan Nagari). Sebagian kerajaan dikuasai Sri Susuhunan PB II dan sebagian lagi dikuasai Sri Susuhunan Kabanaran yang kemudian berganti gelar menjadi Sri Sultan Hamengku Buwana I Senopati Ing Alaga’Abdu’rachman Sajidin Panata Gama Kalifa’tulah I.
Sebulan setelah perjanjian Gianti ditandatangani, 13 Maret 1755, Sri Sultan HB I mengumumkan nama Ngajogjakarta Hadiningrat sebagai kerajaan Mataram yang baru dan dipilih nama Ngajogjakarta sebagai ibukota. Pembangunan ibukota dimulai dengan membangun keraton. Selama keraton dibangun, HB I tinggal sementara di pesangrahan Ambarketawang yang terletak di Gamping, kurang lebih 5 km sebelah barat keraton yang sedang dibangun.
HB I mulai memasuki keraton pada 7 Oktober 1756. Tangggal dan tahun ini akhirnya disepakati sebagai hari jadi Kota yogyakarta.
Bersama dengan pembangunan keraton HB I memerintahkan membangun kampung disekeliling keraton. Kampung-kampung tersebut kemudian diberi nama menurut profesi orang-orang yang diperbolehkan tinggal dikampung-kampung itu. Kampung Bintaran untuk tinggal para Pangeran Bintara, Kampung Surokarsan untuk tinggal prajurit Surokarsan, Dagen untuk tinggal para undagi atau tukang kayu dan sebagainya.
Tahun 1813 lahir pemerintah Kadipaten Pakualaman yang dipimpin oleh Bendoro Pangeran Notokusumo, putra HB I yang oleh Sri Sultan III diangkat menjadi Pangeran Merdeka dengan gelar kanjeng Gusti Pangeran Adipati Pakualaman I. Sejak berdirinya Kadipaten pakualaman ini pemerintah di Ngajogjakarta berubah sedikit karena Kadipaten Pakualaman memiliki wilayah kekuasaannya sendiri.
Pada saat itu orang-orang Belanda kebanyakan tinggal dikampung Lojikecil, kemudian meluas ke Cokrodiningratan, Jetis dan Kotabaru. Orang Arab tinggal dikampung Sajidan dan Orang Thionghoa tinggal disekitar Kranggan.
Stasiun KA pertama di Yogya adalah Stasiun Lempuyangan yang dibuka pertama kali pada 2 Maret 1872 dan melayani rute Semarang-Yogya. Stasiun Tugu baru mulai dioperasikan 2 Mei 1887. Pertumbuhan kota yogyakarta tumbuh pesat sejak dibukanya dua stasiun ini.
Tahun 1890 berdiri kongsi Gas untuk pertama kalinya di Kampung Pathuk. Penerangan kota dilayani oleh Kongsi Gas ini. Listrik baru mulai dibangun jaringannya tahun 1917.
Sebelum ada penerangan gas, pengairan ledeng sudah lebih dulu dibangun, yakni bersamaan dengan dibangunnya Benteng Vredenburg (1765). Mata air berada di Desa karanggayam yang sampai sekarang masih berfungsi sebagai sumber air bersih yang dikelola Perusahaan Daerah Air Minum atau PDAM.
Hampir bersamaan dengan dibangunnya pengairan ledeng, juga dibangun saluran pembuangan air limbah dan kotoran di dalam tanah (riool). Yogya merupakan kota ketiga di Indonesia yang mempunyai anak sungai didalam tanah yang berfungsi sebagai pembuangan limbah. Penyaring limbah yang pertama dibangun ada dikampung Ngasem, dekat keraton. Tetapi pada jaman pendudukan Jepang, pengolah limbah ini dihancurkan.
Ngajogjakarta pernah mengukir sejarah penting sebagai wilayah pertama yang menyatakan diri bergabung dengan pemerintah RI segera setelah diproklamasikan pada 17 agustus 1945.
Kota Yogyakarta semakin padat penduduknya sejak secara tidak terduga menjadi ibukota RI. Untuk sementara pindah ke kota ini pada 4 Januari 1946, yakni pada saat Belanda melancarkan agresi militernyayang pertama. Serta merta kota menjadi semakin padat karena bukan hanya pegawai pegawai pemerintahan saja yang berbondong-bondong pindah ke Yogya tetapi juga penduduk sipil yang merasa tidak aman tinggal di Jakrta. DiYogyakarta pula uang RI untuk pertama kalinya dicetak dan diedarkan yakni pada 26 Oktober 1946.
Meskipun kemudian pada tanggal 6 Juli 1949 ibukota kembali ke Jakarta, tetapi banyak dari penduduk sipil yang tidak kembali ke Jakarta. Sejak inilah sekolah-sekolah dan perguruan tinggi bermunculan. Sampai sekarang, Yogyakarta selalu ramai dikunjungi para pelajar dan mahasiswa yang ingin belajar di Yogyakarta.7

D.Komponen kegiatan
Program pemberdayaan masyarakat miskin perkotaan di kota Yogyakarta merupakan program pembangunan berdasarkan partisipasi masyarakat (community based decvolepment). Pelaksanaan program diarahkan untuk melakukan pemberdayaan kepada warga masyarakat kampung setempat agar dapat meningkatkan kondisi sosial ekonomi dan lingkunghannya secara mandiri dan berkelanjutan. Adapun Program pemberdayaan masyarakat miskin kota meliputi :8
1. Pengembangan sumber daya manusia yang meliputi pelatihan ketrampilan. Pelaksanaan kegiatan yang berkaitan dengan upaya pemberdayaan masyarakat dan peningkatan sumber daya manusia (SDM), yaitu meliputi antara lain pelatihan manajemen kelembagaan, dan pelatihan ketrampilan (komputer, menjahit membuat kue, memasak dll)
2.Penguatan lembaga pengelola program di masyarakat dengan bentuk unit pembinaan keluarga miskin (UPKM) di setiap kelurahan yang bertugas untuk mengelola dan membina keluarga miskin.
3.Pengembagan usaha kecil menengah. Pelaksanaan kegiatan sebagai upaya untuk pengembangan usaha kecil menengah, membuka peluang/kesempatan kerja dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat, meliputi antara lain pelatihan industri kecil, dan pemberian kredit untuk modal usaha.
4.Perbaikan rumah. Kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas rumah tinggal, baik fisik maupun kejelasan status perizinannya, antara lain meliputi perbaikan dapur, KM/WC, dan komponen rumah lainnya.
5.Perbaikan prasarana lingkungan. Pelaksanaan perbaikan fisik lingkungan (prasarana) permukiman kampung, meliputi antara lain perbaikan jalan lingkungan, saluran, fasilitas, persampahan dan MCK umum.
Berdasarkan lingkup kegiatan program yang ditangani, maka pelaksanaan pemberdayaan masyarakat miskin perkotaan meliputi : daya manusia (pengembangan sumber daya manusia) daya usaha (pengembangan usaha kecil dan menengah) dan daya lingkungan (peningkatan kondisi fisik lingkungan dan permukiman.
E.Model pelaksanaan
Untuk menjaga efektifitas pelaksanaan pemeberdayaan masyarakat miskin perkotaan, digunakan metode pelaksanaan yang kegiataannya meliputi :
1)Pemberian pendampingan kepada warga
Tujuan dari pendampingan masyarakat ini adalah :
Agar pelaksanaan program dengan pola pendampingan dan pendekatan bottom up dapat terlaksana dengan baik dan sekaligus mampu menumbuhkan motifasi dan peran serta masyarakat kampung dalam mensukseskan pelaksanaan kegiatan rehabilitasi sosial sesuai dengan target dan sasaran yang telah ditentukan.
2)Memberikan fasilitas jasa dan pelayanan kepada masyarakat dalam bentuk arahan/bimbingan teknis tentang prosedur dan mekanisme pelaksanaan kegiatan rehabilitasi sosial pada masing-masing kampung.
3)Mengoptimalkan peran lembaga masyarakat dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mendukung dan menyukseskan pelaksanaan pembangunan di wilayahnya.
4)Menjalin suatu kerja sama dengan segenap potensi yang ada di masyarakat (profesional, perguruan tinggi, LSM dll)terutama dalam hal alih pengalaman, ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka peningkatan dan pengembangan program pembangunan sosial.
5)Menumbuhkan motivasi danm upaya kemandirian warga masyarakat dalam pelaksanaan program pembangunan agar pada masa mendatang masyarakat tersebut dapat melaksanakan pembangunan secara mandiri, terbuka bertanggung jawab, dan berkelanjutan.9
F.Pendampingan Masyarakat
Pelaksanaan program pemberdyaan masyarakat miskin perkotaan adalah pembangunan yang bertumpu pada masyarakat, di mana pola pendekatan yang akan digunakan adalah bottom up, dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat itu sendiri, sehingga dalam pelaksanaan program di kampung tim pendampingan akan lebih banyak berperan sebagai motivator dan fasilitator. Sebagai motivator, tim pendamping harus berusaha untuk dapat menumbuhkan motivasi dan inisiatif masyarakat ini turut berpartisipasi secara aktif dalam mendukung pelaksanaan rehabilitasi sosial. Selain itu, tim pendamping ini juga harus menanamkan semangat kemandirian agar pada saatnya nanti masyarakat dapat melaksanakan pembangunan secara mandiri, bertanggung jawab, dan berkelanjutan. Dalam perannya sebagai fasilitator, tim pendamping akan membantu masyarakat, terutamadalam memberikan arahan dan bimbingan teknis prosedur pelaksanaan program, mulai dari sosialisasi dan pengenalan manfaat program, penguatan kelembagaan, penyususnan rencana kegiatan, pencairan dana, implemaentasi program sampai pengawasan.10
1)Tugas tim pendampingan masyarakat adalah sebagai berikut :11
i)Melakukan kajian dan verifikasi terhadap data-data penduduk miskin khususnya yang menjadi sasaran kegiatan, melaksanakan pengamatan lingkungan pada masing-masing lokasi kampung untuk pengenalan lapangan,identifikasi awal, dan pengumpulan data tentang kondisi fisik lingkungan.
ii)Memberikan pelatihan kepada lembaga pengelola kegiatan di masyarakat.
iii)Memfasilitasi pelaksanaan pemberian pelatihan ketrampilan bagi warga.
iv)Memberikan bimbingan teknis kepada warga untuk melaksanakan kegiatan pembangunan fisik (rumah dan prasarana lingkungan)
v)Memfasilitasi pelaksanaan pembinaan/pengembangan KUBE (kelompok usaha bersama) pemberdayaan masyarakat pekotaan.
vi)Melakukan monitoring dan evaluasi selama pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat miskin perkotaan 2009
vii)Menyusun buku laporan pelaksanaan kegiatan program pemberdayaan masyarakat miskin perkotaan.

2)Kewajiban Tim Pendamping
Dalam pelaksanaan tugas-tugas pendampingan masyarakat pada masing-masing kampung tim pendamping harus mampu bekerja sama dengan segenap pihak yang terlibat dalam kegiatan program pemeberayaan masyarakat miskin perkotaan.
Tim pendampingan ini memiliki peran dan posisi yang strategis dalam mendukung pelaksanaan program, turut menentukan berhasil tidaknya implementasi program pada masing-masing kampung. Kepada masyarakat kampung, secara moral tim pendamping memiliki tanggung jawab agar kegiatan pendampingan dan pemberdayaan masyarakat dapat berjalan dengan baik, sehingga mampu menumbuhkan motivasi dan inisiatif masyarakat untuk berperan serta dalam mensukseskan program ini. Sedangkan kepada pemerintah kota Yogyakarta (dinas sosial dan pemberdayaan perempuan) tim pendamping ini secara teknis dan administrasi juga memiliki tanggung jawab untuk meksanankan kegiatan pendampingan dengan baik, agar pelaksanaan kegiatan pada masing-masing kampung dapat mencapai sasaran dan target yang telah ditetapkan.
Berkaitan dengan tanggung jawab tersebut tim pendamping masyarakat ini memiliki kewajiban antara lain :
a)Melaksanakan tugas – tugas pendampingan masyarakat dengan penuh tanggung jawab.dan memberikan laporan-laporan pelaksanaan kegiatan pendampingan pada masing-masing kampung sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
b)Terlibat secara aktif dalam kegiatan-kegiatan proyek, baik kegiatan di lapangan maupubn kegiatan-kegiatan dalam rangka koordinasi dengan pihak-pihak terkait yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan program pemberdayaan masyarakat miskin perkotaan.
c)Terlibat secara aktif dalam kegiatan monitor, evaluasi dan pengewasan terhadap perkembangan pelaksanaan pada masiong-masing kampung.
d)Mendukung pemerintah kota Yogyakarta dan masyarakat dalam upaya mencari pemecahan masalah yang berkaitan dengan proses pelaksanaan kegiatan di lapangan.12

G.Pemberian Pelatihan
Untuk jenis pelatihan yang akan dilaksanakan antara lain :
1)Pelatihan kolektif untuk menyiapakan program kegiatan yang dilakukan secara kolektif atau kelompok anggota masyarakat meliputi ;
Lingkungan, rumah, dan keluarga sehat.
10 program pokok PKK
Kewirausahaan
2)Pelatihan individual untuk menyiapkan program kegiatan yang dilakukan secara individual atau kelompok kecil masyarakat.
3)Bentuk pelatihan penghayatan SDM yang terdiri dari :
Pelatihan Sumber Daya Manusia (individual)
Memasak, dengan diutamakan untuk gakin yang mempunyai usaha di bidang makanan, dan berminat pada ketrampilan memasak.
Menjahit, dengan peserta diutamakan untuk gakin yang mempunyai usaha di bidang menjahit.
Membuat kue, dengan diutamakan untuk gakin yang mempunyai usaha di bidang makanan dan berminat pada ketrampilan membuat kue.
Perbengkelan/montir, dengan diutamakan untuk gakin yang mempunyai usaha di bidang makanan dan berminat pada ketrampilan perbengkelan/montir
Kursus mengemudi, dengan diutamakan untuk gakin yang mempunyai di bidang makanan dan berminat pada ketrampilan mengemudikursus komputer, dengan diutamakan untuk gakin yang mempunyai usaha di bidang makanan dan berminat di bidang komputer
Pelatihan Sumber Daya Manusia (kolektif)
Ada lima materi yang akan diberikan dalam pelatihan kolektif ini, yaitu pelatihan rumah sakit dan lingkungan sehat, keluarga sehat, dan pelatihan kewirausahaan.
Penguatan pengelola
Penguatan pengelola sebaiknya diberikan kepada pada saat para pelaksanaan dan pada pelaksanaan program kegiatan yang bertujuan untuk memberikan, juga meningkatan ketrampilan mengelola kegiatan program pemberdayaan masyarakat miskin perkotaan.
Kegiatan ini meliputi penguatan dalam perencanaan kegiatan, sosialisasi dan advokasi,pengadministrasian kegiatan program, serta monitoring dan evaluasi, dan lain-lain.
Program daya usaha yang terdiri dari:
Stimulan modal usaha untuk keluarga miskin melalui pinjaman bantuan yang bergulir di mana besar pinjaman akan ditentukan melalui rapat penyandang dana dengan pengelola program.
Pengelola bantuan ini dilaksanakan oleh kelompok usaha ekonomi bersama (KUBE) yang telah dibentuk oleh masyarakat.
Program daya lingkungan yang terdiri dari :
Perbaikan rumah dan perbaikan lingkungan. Dana untuk perbaikan rumah dan lingkungan diberikan kepada keluarga miskin dan lingkungannya.Besarnya dana ditentukan oleh penyandang dana dan penglola.13
H.Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi
Kegiatan pemanfaatan dana monitor dengan format-format monitoring yang disusun oleh KUBE-KOBE, dinilai oleh pengelola dana (UPKM), dan diketahui oleh konsultan pendamping. Monitoring ini akan dilengkapi dengan rekaman visual (foto) dan keadaan 0%, 25%, 50% 75% hingga 100 %.
Kegiatan evaluasi dan monitoring ini akan terus dilaksanakan oleh masyarakat selama dana masih bergulir, meskipun secara kontrakltual konsultan pendamping telah selesai masa kerjanya.
Untuk mendukung pelaksanaan program-program pemberdayaan masyarakat miskin perkotaan pada masing-masing lokasi kampung. Pemerintah kota Yogyakarta dalam hal ini dinas sosial dan pemberdayaan perempuan diharapkan berperan sebagai motivator dan fasilitator agar implementasi program-program pada masing-masing kawasan kumuh dapat sesuai dengan target dan sasaran yang telah ditetapkan. Kegiatan pendampingan ini lebih bersifat sebagai kegiatan untuk memotivasi masyarakat kampung, agar mereka lebih peduli terhadap perencanaan dan pelaksanaan program pemberdauyaan masyarakat miskin perkotaan.14
H.Penutup
Pendekatan dalam pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari sudut pandang Deficit based dan Strength Based. Pendekatan Deficit-based terpusat pada berbagai macam permasalahan yang ada serta cara-cara penyelesaiannya. Keberhasilannya tergantung pada adanya identifikasi dan diagnosis yang jelas terhadap masalah, penyelesaian cara pemecahan yang tepat, serta penerapan cara pemecahan tersebut. Dalam pelaksanaannya, pendekatan ini bisa menghasilkan sesuatu yang baik, tetapi tidak tertutup kemungkinan terjadinya situasi saling menyalahkan atas masalah yang terjadi.
Di sisi lain, pendekatan Strengh Based (Berbasis kekuatan) dengan sebuah produk metode Appreciative Inquiry terpusat pada potensi-potensi atau kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh individu atau organisasi untuk menjadikan hidup lebih baik. Appreciative Inquiry merupakan sebuah metode yang mentransformasikan kapasitas sistem manusia untuk perubahan yang positif dengan memfokuskan pada pengalaman positif dan masa depan yang penuh dengan harapan.15















Daftar Pustaka
United States Depatment of Agriculture (2005). Community Development Technical Assistance: Handbook. http://ocdi.usda.gov, 17/06/2009
Lubis, Theresiah. Makalah : Community Development dan Nilai-Nilai yang Mendasari. Dipresentasikan pada Temu Ilmiah Dalam Rangka LUSTRUM IX Fakultas Psikologi Unpad. Tahun 2006 Internet 17/06/2009
http://id.teguh.web.id/pemberdayaan-masyarakat-miskin
http://www.jawapalace.org , 17/06/2009
A Halim dkk, Model-Model Pemberdayaan Masyarakat, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005,
http://fiqihsantoso.wordpress.com/2008/06/17/konsep-dan-metode-pemberdayaan-masyarakat-indonesia/
Prof. Dr. H Noeng Muhadjir, Kebijakan dan Perencanaan Social, Yogyakarta, Rake Sarasin, 2000.
Drs. H. Roesmidi, MM, http://id.teguh.web.id/pemberdayaan-masyarakat-miskin, 15/06/2009

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PEDESAAN

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PERKOTAAN YOGYAKARTA
Oleh : Hidayatullah, SHI
A.Pendahuluan
Sejak tahun 1960, lahir sebuah konsep pemberdayaan komunitas yang disebut Community Development (selanjutnya disebut CD). CD adalah sebuah proses pembangunan jejaring interaksi dalam rangka meningkatkan kapasitas dari sebuah komunitas, mendukung pembangunan berkelanjutan, dan pengembangan kualitas hidup masyarakat (United States Departement of Agriculture, 2005). CD tidak bertujuan untuk mencari dan menetapkan solusi, struktur penyelesaian masalah atau menghadirkan pelayanan bagi masyarakat. CD adalah bekerja bersama masyarakat sehingga mereka dapat mendefinisikan dan menangani masalah, serta terbuka untuk menyatakan kepentingan-kepentingannya sendiri dalam proses pengambilan keputusan (StandingConference for Community Development, 2001).1
Empowering atau pemeberdayaan merupakan konsep mutakhir. Konsep terdahulu barulah sebatas liberation atau pembebasan, atau sebatas independency atau kebebasan. Ketiga konsep tersebut teerkait dengan development atau pembangunan.pembangunan pada konsep awal identik dengan modernization yang diasosiasikan dengan westernization. Dengan konsep yang lebih all inclunsive konsep development dapat dan sebaiknya diganti dengan social change atau perubahan sosial.
Dalam konsep ilmu politik, pemeberdayaan masyarakat merupakan upaya politik untuk memberikan otoritas kepada masyarakat membuat berbagai keputusan dan berbagai social action, dan biasa disebut dengan desentralisasi. Desentralisasi berngkat dari paradigma pemikiran bahwa yang memiliki otoritas adalah pemerintah pusat atau central government. Desentralisasi memiliki ragam implementasi yang berbeda-beda antara dekonsentrasi, delegasi, devolusi, otonomi dan privatisasi.2
Program pemberdayaan masyarakat miskin perkotaan dirumuskan dan dilaksanakan dengan pendekatan bottom up, dimana pada pelaksanaan kegiatan di lapangan dilakukan atas inisiatif dan aspirasi dari masyarakat, mulai dari kegiatan perencanaan, pelaksanaan sampai dengan pengawasan pelaksanaan pembangunan. Masyarakat memiliki peran yang sangat penting dan dituntut untuk terlibat secara aktif dalam pelaksanan program pembangunan ini, berhasil atau tidaknya pelaksanan program ioni ditentukan oleh partisipasi masyarakat itu sendiri.
Dalam makalah ini akan dipaparkan tentang bagaimana pemberdayaan masyarakat miskin perkotaan khususnya kota Yogyakarta. Sehingga akhirnya dapat dirumuskan pola pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat miskin kota.
B.Pembahasan
Kemiskinan adalah suatu hal yang tidak bisa lepas dari kehidupam kita. Kemiskinan merupakan salah satu problem sosial yang amat serius. Guna membahas masalah ini perlu dilakukan identifikasi apa yang dimaksud dengan miskin atau kemiskinan dan bagaimana cara mengukurnya.
Sedikitnya ada dua macam perspektif yang lazim dipergunakan untuk mendekati masalah kemiskinan, yaitu perspektif kultural (cultural perspective) dan perspektif struktural atau situasional (situational perspective).3
Masing-masing perspektif memiliki tekanan, acuan dan metodologi tersendiri, dalam menganalisis kemiskinan. Perspektif kultural mendekati masalah kemiskinan pada tiga tingkat analisis, individu, keluarga dan masyarakat. Pada tingkat individu kemiskinan ditandai dengan sifat yang lazim disebut “a strong feeling of marginality” seperti apatisme, fatalisme atau pasrah pada nasib, boros, tergantung dan inferior.
Pada tingkat keluarga, kemiskinan ditandai dengan jumlah anggota keluarga yang besar dan free union or consensual marriages. Pada tingkat masyarakat, kemiskinan terutama ditunjukkan oleh tindakan terintegrasinya kaum miskin dengan institusi-institusi masyarakat secara efektif. Mereka seringkali memperoleh perlakuan sebagai obyek yang perlu digarap dari pada sebagai subyek yang perlu diberi peluang untuk berkembang.4
Berkaitan dengan hal tersebut pemberdayaan masyarakat miskin terutama yang ada di kota perlu untuk penanganan lebih serius. Hal ini berkaitan dengan program pemerintah tentang pengentasan kemiskinan. Pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat miskin perkotaan di Yogyakarta merupakan salah satu upaya meningkatkan kondisi permukiman dan sosial di Yogyakarta, di mana penanganan dilakukan secara terpadu, baik dalam hal perbaikan fisik lingkungan maupun kondisi sosial ekonomi masyarakat di lingkungan perkampungan tersebut. 5
Kota Yogyakarta yang berpredikat sebagai kota pelajar dan kota budaya berhak mengklaim sebagai kota besar yang maju dan otonom, sesungguhnya harus berkaca pada dua hal yaitu :
Pertama, sejauh mana kota itu ikut berpasrtisipasi dalam proses pemberdayaan penduduknya, khususnya penduduk miskin yang belum mempunyai akses dan xcenderung menyebabkan berbagai macam masalah dan diantaranya adalah masalah kumuh.
Kedua, sejauh mana penduduk kota tergolong marginal telah berhasil dientas dari kungkungan kemiskinan, dan sejauh mana kesenjangan sosial telah tereliminasi. Namun demikian, pemerintah sebenarnya telah melaksanakan berbagai macam upayauntuk mengurangimasalah sosial tetapi hasilnya belum optimal. Ini terbukti masih ada kawasan kumuh baik yang katagori kumuh kota, dan kumuh pinggiran yang masih perlu pembenahan. 6
C.Sekilas Tentang Sejarah Kota Yogyakarta
Semasa Kerajaan Mataram dipimpin Sri Susuhunan Paku Buwono II dan berkedudukan di Kartasuro, tahun 1742 terjadi pemberontakan oleh orang-orang Thionghoa yang kemudian terkenal sebagai Geger Patjina. Pemberontakan dipimpin Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa, putra Pangeran Mangkubumi. Pada saat pemberontakan terjadi, Paku Buwono (PB) II menyelamatkan diri ke Ponorogo bersama penasehatnya Van Hohendorff dan Wakil Gubernur Jenderal Van Imhoff. Dengan bantuan VOC pemberontakan berhasil ditumpas, dan dalang pemberontakan Raden Mas Said diasingkan ke Ceylon.
Setelah kekacauan mereda PB II meminta bantuan VOC merebut kembali ibukota Mataram di Kartasura. Maka ditandatanganilah perjanjian Ponorogo (1743) yang murni merupakan kontrak politik, bukan lagi sekedar kontrak dagang seperti seperti perjanjian-perjanjian yang dibuat sebelumnya. Ketika menandatangani perjanjian ini PB II sama sekali tidak berkonsultasi dengan para pembesar keraton termasuk Pangeran Mangkubumi.
Peristiwa tersebut kemudian memicu perselisihan dikalangan keluarga keraton, terutama antara PB II dengan Pangeran Mangkubumi. Sementara itu PB II juga menempuh langkah besar dengan memindahkan ibukota kerajaan dari Kartasura ke Surakarta (1745) karena ibukota lama porak poranda akibat geger Patjina.
Atas usulan VOC, perselisihan didalam keraton didamaikan dengan dibuatnya Perjanjian Gianti pada 13 Februari 1755. Inti dari perjanjian yang ditandatangani di Gianti, Salatiga tersebut adalah pembagian kerajaan Mataram menjadi dua. (Itu sebabnya perjanjian Gianti disebut juga Palihan Nagari). Sebagian kerajaan dikuasai Sri Susuhunan PB II dan sebagian lagi dikuasai Sri Susuhunan Kabanaran yang kemudian berganti gelar menjadi Sri Sultan Hamengku Buwana I Senopati Ing Alaga’Abdu’rachman Sajidin Panata Gama Kalifa’tulah I.
Sebulan setelah perjanjian Gianti ditandatangani, 13 Maret 1755, Sri Sultan HB I mengumumkan nama Ngajogjakarta Hadiningrat sebagai kerajaan Mataram yang baru dan dipilih nama Ngajogjakarta sebagai ibukota. Pembangunan ibukota dimulai dengan membangun keraton. Selama keraton dibangun, HB I tinggal sementara di pesangrahan Ambarketawang yang terletak di Gamping, kurang lebih 5 km sebelah barat keraton yang sedang dibangun.
HB I mulai memasuki keraton pada 7 Oktober 1756. Tangggal dan tahun ini akhirnya disepakati sebagai hari jadi Kota yogyakarta.
Bersama dengan pembangunan keraton HB I memerintahkan membangun kampung disekeliling keraton. Kampung-kampung tersebut kemudian diberi nama menurut profesi orang-orang yang diperbolehkan tinggal dikampung-kampung itu. Kampung Bintaran untuk tinggal para Pangeran Bintara, Kampung Surokarsan untuk tinggal prajurit Surokarsan, Dagen untuk tinggal para undagi atau tukang kayu dan sebagainya.
Tahun 1813 lahir pemerintah Kadipaten Pakualaman yang dipimpin oleh Bendoro Pangeran Notokusumo, putra HB I yang oleh Sri Sultan III diangkat menjadi Pangeran Merdeka dengan gelar kanjeng Gusti Pangeran Adipati Pakualaman I. Sejak berdirinya Kadipaten pakualaman ini pemerintah di Ngajogjakarta berubah sedikit karena Kadipaten Pakualaman memiliki wilayah kekuasaannya sendiri.
Pada saat itu orang-orang Belanda kebanyakan tinggal dikampung Lojikecil, kemudian meluas ke Cokrodiningratan, Jetis dan Kotabaru. Orang Arab tinggal dikampung Sajidan dan Orang Thionghoa tinggal disekitar Kranggan.
Stasiun KA pertama di Yogya adalah Stasiun Lempuyangan yang dibuka pertama kali pada 2 Maret 1872 dan melayani rute Semarang-Yogya. Stasiun Tugu baru mulai dioperasikan 2 Mei 1887. Pertumbuhan kota yogyakarta tumbuh pesat sejak dibukanya dua stasiun ini.
Tahun 1890 berdiri kongsi Gas untuk pertama kalinya di Kampung Pathuk. Penerangan kota dilayani oleh Kongsi Gas ini. Listrik baru mulai dibangun jaringannya tahun 1917.
Sebelum ada penerangan gas, pengairan ledeng sudah lebih dulu dibangun, yakni bersamaan dengan dibangunnya Benteng Vredenburg (1765). Mata air berada di Desa karanggayam yang sampai sekarang masih berfungsi sebagai sumber air bersih yang dikelola Perusahaan Daerah Air Minum atau PDAM.
Hampir bersamaan dengan dibangunnya pengairan ledeng, juga dibangun saluran pembuangan air limbah dan kotoran di dalam tanah (riool). Yogya merupakan kota ketiga di Indonesia yang mempunyai anak sungai didalam tanah yang berfungsi sebagai pembuangan limbah. Penyaring limbah yang pertama dibangun ada dikampung Ngasem, dekat keraton. Tetapi pada jaman pendudukan Jepang, pengolah limbah ini dihancurkan.
Ngajogjakarta pernah mengukir sejarah penting sebagai wilayah pertama yang menyatakan diri bergabung dengan pemerintah RI segera setelah diproklamasikan pada 17 agustus 1945.
Kota Yogyakarta semakin padat penduduknya sejak secara tidak terduga menjadi ibukota RI. Untuk sementara pindah ke kota ini pada 4 Januari 1946, yakni pada saat Belanda melancarkan agresi militernyayang pertama. Serta merta kota menjadi semakin padat karena bukan hanya pegawai pegawai pemerintahan saja yang berbondong-bondong pindah ke Yogya tetapi juga penduduk sipil yang merasa tidak aman tinggal di Jakrta. DiYogyakarta pula uang RI untuk pertama kalinya dicetak dan diedarkan yakni pada 26 Oktober 1946.
Meskipun kemudian pada tanggal 6 Juli 1949 ibukota kembali ke Jakarta, tetapi banyak dari penduduk sipil yang tidak kembali ke Jakarta. Sejak inilah sekolah-sekolah dan perguruan tinggi bermunculan. Sampai sekarang, Yogyakarta selalu ramai dikunjungi para pelajar dan mahasiswa yang ingin belajar di Yogyakarta.7

D.Komponen kegiatan
Program pemberdayaan masyarakat miskin perkotaan di kota Yogyakarta merupakan program pembangunan berdasarkan partisipasi masyarakat (community based decvolepment). Pelaksanaan program diarahkan untuk melakukan pemberdayaan kepada warga masyarakat kampung setempat agar dapat meningkatkan kondisi sosial ekonomi dan lingkunghannya secara mandiri dan berkelanjutan. Adapun Program pemberdayaan masyarakat miskin kota meliputi :8
1. Pengembangan sumber daya manusia yang meliputi pelatihan ketrampilan. Pelaksanaan kegiatan yang berkaitan dengan upaya pemberdayaan masyarakat dan peningkatan sumber daya manusia (SDM), yaitu meliputi antara lain pelatihan manajemen kelembagaan, dan pelatihan ketrampilan (komputer, menjahit membuat kue, memasak dll)
2.Penguatan lembaga pengelola program di masyarakat dengan bentuk unit pembinaan keluarga miskin (UPKM) di setiap kelurahan yang bertugas untuk mengelola dan membina keluarga miskin.
3.Pengembagan usaha kecil menengah. Pelaksanaan kegiatan sebagai upaya untuk pengembangan usaha kecil menengah, membuka peluang/kesempatan kerja dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat, meliputi antara lain pelatihan industri kecil, dan pemberian kredit untuk modal usaha.
4.Perbaikan rumah. Kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas rumah tinggal, baik fisik maupun kejelasan status perizinannya, antara lain meliputi perbaikan dapur, KM/WC, dan komponen rumah lainnya.
5.Perbaikan prasarana lingkungan. Pelaksanaan perbaikan fisik lingkungan (prasarana) permukiman kampung, meliputi antara lain perbaikan jalan lingkungan, saluran, fasilitas, persampahan dan MCK umum.
Berdasarkan lingkup kegiatan program yang ditangani, maka pelaksanaan pemberdayaan masyarakat miskin perkotaan meliputi : daya manusia (pengembangan sumber daya manusia) daya usaha (pengembangan usaha kecil dan menengah) dan daya lingkungan (peningkatan kondisi fisik lingkungan dan permukiman.
E.Model pelaksanaan
Untuk menjaga efektifitas pelaksanaan pemeberdayaan masyarakat miskin perkotaan, digunakan metode pelaksanaan yang kegiataannya meliputi :
1)Pemberian pendampingan kepada warga
Tujuan dari pendampingan masyarakat ini adalah :
Agar pelaksanaan program dengan pola pendampingan dan pendekatan bottom up dapat terlaksana dengan baik dan sekaligus mampu menumbuhkan motifasi dan peran serta masyarakat kampung dalam mensukseskan pelaksanaan kegiatan rehabilitasi sosial sesuai dengan target dan sasaran yang telah ditentukan.
2)Memberikan fasilitas jasa dan pelayanan kepada masyarakat dalam bentuk arahan/bimbingan teknis tentang prosedur dan mekanisme pelaksanaan kegiatan rehabilitasi sosial pada masing-masing kampung.
3)Mengoptimalkan peran lembaga masyarakat dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mendukung dan menyukseskan pelaksanaan pembangunan di wilayahnya.
4)Menjalin suatu kerja sama dengan segenap potensi yang ada di masyarakat (profesional, perguruan tinggi, LSM dll)terutama dalam hal alih pengalaman, ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka peningkatan dan pengembangan program pembangunan sosial.
5)Menumbuhkan motivasi danm upaya kemandirian warga masyarakat dalam pelaksanaan program pembangunan agar pada masa mendatang masyarakat tersebut dapat melaksanakan pembangunan secara mandiri, terbuka bertanggung jawab, dan berkelanjutan.9
F.Pendampingan Masyarakat
Pelaksanaan program pemberdyaan masyarakat miskin perkotaan adalah pembangunan yang bertumpu pada masyarakat, di mana pola pendekatan yang akan digunakan adalah bottom up, dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat itu sendiri, sehingga dalam pelaksanaan program di kampung tim pendampingan akan lebih banyak berperan sebagai motivator dan fasilitator. Sebagai motivator, tim pendamping harus berusaha untuk dapat menumbuhkan motivasi dan inisiatif masyarakat ini turut berpartisipasi secara aktif dalam mendukung pelaksanaan rehabilitasi sosial. Selain itu, tim pendamping ini juga harus menanamkan semangat kemandirian agar pada saatnya nanti masyarakat dapat melaksanakan pembangunan secara mandiri, bertanggung jawab, dan berkelanjutan. Dalam perannya sebagai fasilitator, tim pendamping akan membantu masyarakat, terutamadalam memberikan arahan dan bimbingan teknis prosedur pelaksanaan program, mulai dari sosialisasi dan pengenalan manfaat program, penguatan kelembagaan, penyususnan rencana kegiatan, pencairan dana, implemaentasi program sampai pengawasan.10
1)Tugas tim pendampingan masyarakat adalah sebagai berikut :11
i)Melakukan kajian dan verifikasi terhadap data-data penduduk miskin khususnya yang menjadi sasaran kegiatan, melaksanakan pengamatan lingkungan pada masing-masing lokasi kampung untuk pengenalan lapangan,identifikasi awal, dan pengumpulan data tentang kondisi fisik lingkungan.
ii)Memberikan pelatihan kepada lembaga pengelola kegiatan di masyarakat.
iii)Memfasilitasi pelaksanaan pemberian pelatihan ketrampilan bagi warga.
iv)Memberikan bimbingan teknis kepada warga untuk melaksanakan kegiatan pembangunan fisik (rumah dan prasarana lingkungan)
v)Memfasilitasi pelaksanaan pembinaan/pengembangan KUBE (kelompok usaha bersama) pemberdayaan masyarakat pekotaan.
vi)Melakukan monitoring dan evaluasi selama pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat miskin perkotaan 2009
vii)Menyusun buku laporan pelaksanaan kegiatan program pemberdayaan masyarakat miskin perkotaan.

2)Kewajiban Tim Pendamping
Dalam pelaksanaan tugas-tugas pendampingan masyarakat pada masing-masing kampung tim pendamping harus mampu bekerja sama dengan segenap pihak yang terlibat dalam kegiatan program pemeberayaan masyarakat miskin perkotaan.
Tim pendampingan ini memiliki peran dan posisi yang strategis dalam mendukung pelaksanaan program, turut menentukan berhasil tidaknya implementasi program pada masing-masing kampung. Kepada masyarakat kampung, secara moral tim pendamping memiliki tanggung jawab agar kegiatan pendampingan dan pemberdayaan masyarakat dapat berjalan dengan baik, sehingga mampu menumbuhkan motivasi dan inisiatif masyarakat untuk berperan serta dalam mensukseskan program ini. Sedangkan kepada pemerintah kota Yogyakarta (dinas sosial dan pemberdayaan perempuan) tim pendamping ini secara teknis dan administrasi juga memiliki tanggung jawab untuk meksanankan kegiatan pendampingan dengan baik, agar pelaksanaan kegiatan pada masing-masing kampung dapat mencapai sasaran dan target yang telah ditetapkan.
Berkaitan dengan tanggung jawab tersebut tim pendamping masyarakat ini memiliki kewajiban antara lain :
a)Melaksanakan tugas – tugas pendampingan masyarakat dengan penuh tanggung jawab.dan memberikan laporan-laporan pelaksanaan kegiatan pendampingan pada masing-masing kampung sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
b)Terlibat secara aktif dalam kegiatan-kegiatan proyek, baik kegiatan di lapangan maupubn kegiatan-kegiatan dalam rangka koordinasi dengan pihak-pihak terkait yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan program pemberdayaan masyarakat miskin perkotaan.
c)Terlibat secara aktif dalam kegiatan monitor, evaluasi dan pengewasan terhadap perkembangan pelaksanaan pada masiong-masing kampung.
d)Mendukung pemerintah kota Yogyakarta dan masyarakat dalam upaya mencari pemecahan masalah yang berkaitan dengan proses pelaksanaan kegiatan di lapangan.12

G.Pemberian Pelatihan
Untuk jenis pelatihan yang akan dilaksanakan antara lain :
1)Pelatihan kolektif untuk menyiapakan program kegiatan yang dilakukan secara kolektif atau kelompok anggota masyarakat meliputi ;
Lingkungan, rumah, dan keluarga sehat.
10 program pokok PKK
Kewirausahaan
2)Pelatihan individual untuk menyiapkan program kegiatan yang dilakukan secara individual atau kelompok kecil masyarakat.
3)Bentuk pelatihan penghayatan SDM yang terdiri dari :
Pelatihan Sumber Daya Manusia (individual)
Memasak, dengan diutamakan untuk gakin yang mempunyai usaha di bidang makanan, dan berminat pada ketrampilan memasak.
Menjahit, dengan peserta diutamakan untuk gakin yang mempunyai usaha di bidang menjahit.
Membuat kue, dengan diutamakan untuk gakin yang mempunyai usaha di bidang makanan dan berminat pada ketrampilan membuat kue.
Perbengkelan/montir, dengan diutamakan untuk gakin yang mempunyai usaha di bidang makanan dan berminat pada ketrampilan perbengkelan/montir
Kursus mengemudi, dengan diutamakan untuk gakin yang mempunyai di bidang makanan dan berminat pada ketrampilan mengemudikursus komputer, dengan diutamakan untuk gakin yang mempunyai usaha di bidang makanan dan berminat di bidang komputer
Pelatihan Sumber Daya Manusia (kolektif)
Ada lima materi yang akan diberikan dalam pelatihan kolektif ini, yaitu pelatihan rumah sakit dan lingkungan sehat, keluarga sehat, dan pelatihan kewirausahaan.
Penguatan pengelola
Penguatan pengelola sebaiknya diberikan kepada pada saat para pelaksanaan dan pada pelaksanaan program kegiatan yang bertujuan untuk memberikan, juga meningkatan ketrampilan mengelola kegiatan program pemberdayaan masyarakat miskin perkotaan.
Kegiatan ini meliputi penguatan dalam perencanaan kegiatan, sosialisasi dan advokasi,pengadministrasian kegiatan program, serta monitoring dan evaluasi, dan lain-lain.
Program daya usaha yang terdiri dari:
Stimulan modal usaha untuk keluarga miskin melalui pinjaman bantuan yang bergulir di mana besar pinjaman akan ditentukan melalui rapat penyandang dana dengan pengelola program.
Pengelola bantuan ini dilaksanakan oleh kelompok usaha ekonomi bersama (KUBE) yang telah dibentuk oleh masyarakat.
Program daya lingkungan yang terdiri dari :
Perbaikan rumah dan perbaikan lingkungan. Dana untuk perbaikan rumah dan lingkungan diberikan kepada keluarga miskin dan lingkungannya.Besarnya dana ditentukan oleh penyandang dana dan penglola.13
H.Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi
Kegiatan pemanfaatan dana monitor dengan format-format monitoring yang disusun oleh KUBE-KOBE, dinilai oleh pengelola dana (UPKM), dan diketahui oleh konsultan pendamping. Monitoring ini akan dilengkapi dengan rekaman visual (foto) dan keadaan 0%, 25%, 50% 75% hingga 100 %.
Kegiatan evaluasi dan monitoring ini akan terus dilaksanakan oleh masyarakat selama dana masih bergulir, meskipun secara kontrakltual konsultan pendamping telah selesai masa kerjanya.
Untuk mendukung pelaksanaan program-program pemberdayaan masyarakat miskin perkotaan pada masing-masing lokasi kampung. Pemerintah kota Yogyakarta dalam hal ini dinas sosial dan pemberdayaan perempuan diharapkan berperan sebagai motivator dan fasilitator agar implementasi program-program pada masing-masing kawasan kumuh dapat sesuai dengan target dan sasaran yang telah ditetapkan. Kegiatan pendampingan ini lebih bersifat sebagai kegiatan untuk memotivasi masyarakat kampung, agar mereka lebih peduli terhadap perencanaan dan pelaksanaan program pemberdauyaan masyarakat miskin perkotaan.14
H.Penutup
Pendekatan dalam pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari sudut pandang Deficit based dan Strength Based. Pendekatan Deficit-based terpusat pada berbagai macam permasalahan yang ada serta cara-cara penyelesaiannya. Keberhasilannya tergantung pada adanya identifikasi dan diagnosis yang jelas terhadap masalah, penyelesaian cara pemecahan yang tepat, serta penerapan cara pemecahan tersebut. Dalam pelaksanaannya, pendekatan ini bisa menghasilkan sesuatu yang baik, tetapi tidak tertutup kemungkinan terjadinya situasi saling menyalahkan atas masalah yang terjadi.
Di sisi lain, pendekatan Strengh Based (Berbasis kekuatan) dengan sebuah produk metode Appreciative Inquiry terpusat pada potensi-potensi atau kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh individu atau organisasi untuk menjadikan hidup lebih baik. Appreciative Inquiry merupakan sebuah metode yang mentransformasikan kapasitas sistem manusia untuk perubahan yang positif dengan memfokuskan pada pengalaman positif dan masa depan yang penuh dengan harapan.15















Daftar Pustaka
United States Depatment of Agriculture (2005). Community Development Technical Assistance: Handbook. http://ocdi.usda.gov, 17/06/2009
Lubis, Theresiah. Makalah : Community Development dan Nilai-Nilai yang Mendasari. Dipresentasikan pada Temu Ilmiah Dalam Rangka LUSTRUM IX Fakultas Psikologi Unpad. Tahun 2006 Internet 17/06/2009
http://id.teguh.web.id/pemberdayaan-masyarakat-miskin
http://www.jawapalace.org , 17/06/2009
A Halim dkk, Model-Model Pemberdayaan Masyarakat, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005,
http://fiqihsantoso.wordpress.com/2008/06/17/konsep-dan-metode-pemberdayaan-masyarakat-indonesia/
Prof. Dr. H Noeng Muhadjir, Kebijakan dan Perencanaan Social, Yogyakarta, Rake Sarasin, 2000.
Drs. H. Roesmidi, MM, http://id.teguh.web.id/pemberdayaan-masyarakat-miskin, 15/06/2009

KEPEMIMPINAN KYAI DI PESANTREN

KEPEMIMPINAN ALA KYAI PESANTREN 
Oleh : Hidayatullah, S.H.I

Pembicaraan tentang pesantren adalah persoalan yang sangat menarik untuk diikuti. Karena tradisi pesantren berbeda dengan lembaga pendidikan pada umumnya tradisi yang masih berbau feodal, gaya pemimpinan kyai yang otoriter atau pola hidup santri yang nyleneh, merupakan sesuatu yang menarik bagi orang awam. Pesantren adalah suatu lembaga pendidikan khas Indonesia yang dikenal sebagai tempat mencetak ahli-ahli agama (Islam). Istilahnya Tafaqquh fid diin. Umumnya para pengamat dan penulis tentang pesantren terlalu sederhana dalam mengamati dan menganggap bahwa jenis pesantren itu hanya satu. Memang secara umum, pesantren memiliki tipologi yang sama. Sebuah lembaga yang dipimpin dan diasuh oleh kyai dalam satu komplek yang bercirikan adanya masjid atau surau sebagai pusat pengajaran dan asrama sebagai tempat tinggal para santri, disamping rumah tempat tinggal kyai, dengan kitab kuning sebagai buku wajib/pegangan. Disamping ciri lahiriah itu, masih ada ciri umum yang menandai karkteristik pesantren, yaitu kemandirian dan ketaatan santri kepada kyai yang sering ditanggapi sinis sebagai pengkultusan.
Kalupun ada yang lebih teliti, paling-paling hanya menyinggung adanya dua model pesantren, yakni tradisional (atau yang biasa disebut salaf) dan modern. Ini bisa dimaklumi, karena pengamatan biasanya didasarkan pada sampel ‘ayyinah’, beberapa pesantren yang ghalibnya diambil dari pesantren-pesantren yang terkenal. Padahal meski mempunyai tipologi umum yang sama, pesantren juga sangat ditentukan karakternya oleh kyai yang memimpinnya.
Memang lazimnya kyai pesantren berasal dari jebolan pesantren pula. Para kyai yang berasal dari jebolan pesantren sama, umumnya akan memilki kemiripan satu sama lain dalam memimpin pesantrennya. Namun harus diingat bahwa lazimnya para kyai tidak berguru hanya pada satu pesantren, tapi berpindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren yang lain. Bahkan sebagai contoh, almarhum Kyai Machrus Ali Lirboyo Kediri (yang sudah banyak menjelajahi banyak pesantren di Jawa) ketika putra-putranya sudah menjadi kyai, Kyai Machrus masih terus berguru ke pesantren lain meskipun hanya di bulan Ramadhan.
Kecenderungan dan pribadi kyai sendiri biasanya jarang dijadikan variabel. Padahal sebagai pendiri dan ‘pemilik’ pesantren (terutama yang salaf) dalam menentukan corak pesantrennya, yang tidak terlepas dari karakter dan kecenderungan pribadinya. Pesantren yang kyainya cenderung kepada politik, misalnya, akan berbeda dengan pesantren yang kyainya tidak suka politik. Kyai yang sufi corak pesantrennya berbeda dengan pesantren yang dipimpin oleh ‘kyai syariat’. (Kyai sufi dan Kyai syareat ini inipun masih berbeda sesuai dengan aliran-aliran masing-masing). Pesantren yang dipimpin oleh hikmah berbeda dengan pesantren yang kyainya sama sekali tidak tertarik pada ilmu hikmah. Demikian seterusnya. Maka, meskipun ciri kyai/pesantren sama-sama ingin memberi manfaat kepada umat/masyarakat, kita bisa melihat tampilan-tampilannya yang berbeda.
Ada lagi yang luput dari pengamatan ‘orang luar’ termasuk para pengamat, yaitu tentang hubungan kyai-santri. Khususnya kepatuhan santri terhadap kyai yang mereka anggap berlebih-lebihan, berbau feodal, pengkultusan, dan sebagainya. Inipun bisa dimaklumi, karena mereka hanya melihat mazhahir luar ditambah perilaku ikut-ikutan dari masyarakat yang tidak mengerti hakikat hubungan kyai-santri itu dan adanya ‘kyai-kyai’ baru yang memanfaatkan keawaman masyarakat tersebut.

Tipologi Kyai
Secara bahasa Kata "Kyai" berasal dari bahasa jawa kuno "kiya-kiya" yang artinya orang yang dihormati. Sedangkan secara terminologis menurut Manfred Ziemnek pengertian kyai adalah "pendiri dan pemimpin sebuah pesantren sebagi muslim "terpelajar" telah membaktikan hidupnya "demi Allah" serta menyebarluaskan dan mendalami ajaran-ajaran dan pandangan Islam melalui kegiatan pendidikan Islam. Namun pada umumnya di masyarakat kata "kyai" disejajarkan pengertiannya dengan ulama dalam khazanah Islam. Namun seiring dengan perkembangan zaman kyai pada era sekarang bukan saja orang yang hidupnya hanya berkutat dalam dunia ilmu, dan mengurusi santri saja, akan tetapi ada beberapa kyai yang sibuk dalam urusan dakwah, dan terjun dalam dunia politik. Tipe kyai model terakhir inilah yang banyak mengundang pro dan kontra di masyarakat. Sehingga dipastikan akan banyak orang yang mempertanyakan, “Ngapain kyai-kyai itu kok ikut-ikut berpolitik?”
Selain itu menurut Abdurrahman Mas'ud (2004, 236-237) ada beberapa tipe gaya kyai, ia memasukkan kyai kedalam lima tipologi:
(1) Kyai (ulama) encyclopedi dan multidisipliner yang mengonsentrasikan diri dalam dunia ilmu; belajar, mengajar, dan menulis, menghasilkan banyak kitab, seperti Nawai al-Bantani.
(2) Kyai yang ahli dalam salah satu spesialisasi bidang ilmu pengetahuan Islam. Karena keahlian mereka dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan, pesantren mereka terkadang dinamai sesuai dengan spesialisasi mereka, misalnya pesantren al-Qur'an.
(3) Kyai karismatik yang memperoleh karismanya dari ilmu pengetahuan keagamaan, khususnya dari sufismenya, seperti KH. Kholil Bangkalan Madura.
(4) Kyai Dai keliling, yang perhatian dan keterlibatannya lebih besar melalui ceramah dalam menyampaikan ilmunya sebagai bentuk interaksi dengan publik bersamaan dengan misi sunnisme atau aswaja dengan bahasa retorikal yang efektif.
(5) Kyai pergerakan, karena peran dan skill kepemimpinannya yang luar biasa, baik dalam masyarakat maupun organisasi yang didirikannya, serta kedalaman ilmu keagamaan yang dimilikinya, sehingga menjadi pemimpin yang paling menonjol, seperti KH. Hasyim Asy'ari.
Dari tipelogi kyai dia atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa kyai adalah manusia biasa yang mengabdikan dirinya untuk kepentingan ilmu, berdakwah, pergerakan, yang kesemuanya berasal dari masyarakat. Karena status kyai bukan pribadi kyai sendiri yang menciptakan tapi berasal dari masyarakat. Berbeda dengan predikat ustatz yang bisa di buat sendiri meskipun masyarakat sendiri belum tentu mau menerima istilah tersebut.jadi jangan heran kalau nantinya banyak sekali bermunculan ustad - ustad baru terutama saat bulan Ramadhan tiba. Istilah kerennya mendadak ustad. Inilah yang membedakan antara kyai dan ustad.
Menurut Abdur Rozaki ( 2004, 87-88) karisma yang dimiliki kyai merupakan salah satu kekuatan yang dapat menciptakan pengaruh dalam masyarakat. Ada dua dimensi yang perlu diperhatikan. Pertama, karisma yang diperoleh oleh seseorang (kyai) secara given, seperti tubuh besar, suara yang keras dan mata yang tajam serta adanya ikatan genealogis dengan kyai karismatik sebelumnya. Kedua, karisma yang diperoleh melalui kemampuan dalam penguasaan terhadap pengetahuan keagamaan disertai moralitas dan kepribadian yang saleh, dan kesetiaan menyantuni masyarakat. Inilah yang sering dilupakan orang awam tentang sosok kyai.
Ada beberapa persoalan yang sering dipermasalahkan di masyarakat awam yaitu tentang hubungan kyai-santri. Khususnya kepatuhan santri terhadap kyai yang mereka anggap berlebih-lebihan, berbau feodal, pengkultusan, dan sebagainya. Inipun bisa dimaklumi, karena mereka hanya melihat mazhahir luar ditambah perilaku ikut-ikutan dari masyarakat yang tidak mengerti hakikat hubungan kyai-santri itu dan adanya ‘kyai-kyai’ baru yang memanfaatkan keawaman masyarakat tersebut.
Mazhahir luar itulah yang menjebak para pengamat, menganggap bahwa kepatuhan santri kepada kyai itu merupakan sesuatu yang sengaja ditekankan di pesantren. Karena hanya melihat mazhahir luar itu saja, ada pengamat yang berkesimpulan bahwa kepatuhan yang ‘berlebih-lebihan’ ini merupakan gabungan dua hal yaitu kepatuhan doktrinal dan kesadaran mitologis. Maksudnya, kepatuhan yang dibentuk oleh-peraturan-peraturan pesantren dan kesadaran yang dibentuk oleh melalui konstruk pemikiran-pemikiran dengan memupuk kepercayaan-kepercayaan magis dan kekuatan-kekuatan adikodrati.
Pengamatan sederhana atau anggapan sederhana itu merupakan gebyah uyah, generalisasi dan secara tidak lagsung mendiskretkan kyai-kyai yang mukhlis yang menganggap tabu beramal lighoirillah, beramal tidak karena Allah tapi agar dihormati orang.

Kepemimpinan Kyai Pesantren
Sebagai orang yang mempimpin pesantren sekaligus panutan ummat gaya kepemimpinan seorang kyai berbeda dengan gaya kepemimpinan pada umumnya. Posisi kepemimpinan kyai di pesantren lebih menekankan pada aspek kepemilikan saham pesantren dan moralitas serta kedalaman ilmu agama, dan sering mengabaikan aspek manajerial. Keumuman kyai bukan hanya sekedar pimpinan tetapi juga sebagai sebagai pemilik persantren. Posisi kyai juga sebagai pembimbing para santri dalam segala hal, yang pada gilirannya menghasilkan peranan kyai sebagai peneliti, penyaring dan akhirnya similator aspek-aspek kebudayaan dari luar, dalam keadaan seperti itu dengan sendirinya menempatkan kyai sebagai cultural brokers (agen budaya). (Dawam Rahajo, 1995: 46-47).
Menurut Dadi Permadi (2000: 46-47) bahwa ada empat gaya kepemimpinan yang sering dilpergunakan oleh para pimpinan khususnya pimpinan lembaga pendidikan diantaranya; Telling, Consultating, Participating dan Delegating. Keempat gaya tersebut merupakan dasar kepemimpinan situasional.
Di dalam pesantren santri, ustadz dan masyarakat sekitar merupakan individu-individu yang langsung ataupun tidak langsung dipengaruhi oleh perilaku pemimpin (kyai) tersebut. Kepemimpinan di Pesantren lebih menekankan kapada proses bimbingan, pengarahan dan kasih sayang. Menurut Mansur (2004) Gaya kepemimpinan yang ditampilkan oleh pesantren bersifat kolektif atau kepemimpinan institusional. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa gaya kepemimpinan di pesantren mempunyai ciri paternalistik, dan free rein leadership, dimana pemimpin pasif, sebagai seorang bapak yang memberikan kesempatan kepada anaknya untuk berkreasi, tetapi juga otoriter, yaitu memberikan kata-kata final untuk memutuskan apakah karya anak buah yang bersangkutan dapat diteruskan atau tidak.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa Kyai sebagai pimpinan pesantren dalam membimbing para santri atau masyarakat sekitarnya memakai pendekatan situasional. Hal ini nampak dalam interaksi antara kyai dan santrinya dalam mendidik, mengajarkan kitab, dan memberikan nasihat, juga sebagai tempat konsultasi masalah, sehingga seorang kyai kadang berfungsi pula sebagai orang tua sekaligus guru yang bisa ditemui tanpa batas waktu. Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa kepemimpinan kyai penuh tanggung jawab, penuh perhatian, penuh daya tarik dan sangat berpengaruh. Dengan demikian perilaku kyai dapat diamati, dicontoh, dan dimaknai oleh para pengikutnya (secara langsung) dalam interaksi keseharian.