Jumat, 28 Januari 2011

ANAKKU MALAS BELAJAR

Anakku Malas Belajar
Kategori Pendidikan
Oleh : Martina Rini S. Tasmin, SPsi
Jakarta, 06 Mei 2002

Anak sekolah, tentunya perlu belajar, entah mengulang kembali pelajaran yang sudah diberikan di sekolah, mengerjakan pekerjaan rumah (PR) ataupun mempelajari hal-hal lain di luar pelajaran sekolah. Pentingnya belajar tanpa harus dibicarakan panjang lebar pasti sudah disadari oleh seluruh orangtua.

Keluhan yang datang dari orangtua pada umunya lebih banyak menyangkut anaknya terlalu banyak bermain daripada orangtua yang anaknya terlalu banyak belajar. Bahkan kalau anak sangat rajin belajar, pastilah orangtua memamerkannya ke orang-orang dengan nada bangga, "Iya loh Pak Dani, anak saya itu belajarnya rajin sekali. Pulang sekolah belajar, bangun tidur siang belajar, terus malam kalau bapaknya sudah pulang ya belajar lagi. Makanya anak saya itu pintar sekali, apa-apa tahu. Kadang-kadang malah saya yang nggak tahu".

Lain lagi kalimatnya jika anak terlalu banyak bermain, "Aduuuuuuh Pak Dani, anak saya ini kerjanya main melulu.... Siang main, sore main, malam juga main. Saya dan bapaknya kalau mau menyuruh dia belajar, harus teriak-teriak dulu, mengancam dulu, baru dia mau belajar. Pusing saya jadinya. Sudah begitu perkalian saja tidak hafal".


Penyebab
Kalau anak enggak belajar, tentunya perlu dicari tahu sebab-musababnya, baru kemudian diambil suatu tindakan. Beberapa sebab mengapa anak enggan belajar, diantaranya adalah sebagai berikut:

* Kurangnya waktu yang tersedia untuk bermain
* Punya masalah di rumah (misalnya suasana di rumah sedang "kacau" misal karena ada adik baru).
* Bermasalah di sekolah (tidak suka/phobia sekolah, sehingga apapun yang berhubungan dengan sekolah jadi enggan untuk dikerjakan).
* Sedang sakit.
* Sedang sedih (bertengkar dengan teman baik, kehilangan anjing kesayangan)
* Tidak ada masalah atau sakit apapun, juga tidak kurang waktu bermain (malahan kebanyakan), hanya memang MALAS.


Malas
Dalam Kamus Bahasa Indonesia oleh Muhammad Ali, malas dijabarkan sebagai tidak mau berbuat sesuatu, segan, tak suka, tak bernafsu. Malas belajar berarti tidak mau, enggan, tak suka, tak bernafsu untuk belajar.

Kalau anak-anak tidak suka belajar dan lebih suka bermain, itu berarti belajar dianggap sebagai kegiatan yang tidak menarik buat mereka, dan mungkin tanpa mereka sadari juga dianggap sebagai kegiatan yang tidak ada gunanya/untungnya karena bagi ana-anak tidak secara langsung dapat menikmati hasil belajar. Berbeda dengan kegiatan bermain, jelas-jelas kegiatan bermain menarik buat anak-anak, dan keuntungannya dapat mereka rasakan secara langsung (perasaan senang yang dialami ketika bermain adalah suatu keuntungan).


Motivasi
Dalam dunia psikologi, dorongan yang dirasakan seseorang untuk melakukan sesuatu disebut sebagai motivasi. Motivasi tersebut dapat berasal dari dalam maupun dari luar diri seseorang.

Morgan (1986) dalam bukunya Introduction To Psychology, menjelaskan beberapa teori motivasi:

1. Teori insentif
Dalam teori insentif, seseorang berperilaku tertentu untuk mendapatkan sesuatu. Sesuatu ini disebut sebagai insentif dan adanya di luar diri orang tersebut. Contoh insentif yang paling umum dan paling dikenal oleh anak-anak misalnya jika anak naik kelas akan dibelikan sepeda baru oleh orangtua, maka anak belajar dengan tekun untuk mendapatkan sepeda baru. Insentif biasanya hal-hal yang menarik dan menyenangkan, sehingga anak tertarik mendapatkannya. Insentif, bisa juga sesuatu yang tidak menyenangkan, maka orang berperilaku tertentu untuk menghindar mendapatkan insentif yang tidak menyenangkan ini. Dapat juga terjadi sekaligus, orang berperilaku tertentu untuk mendapatkan insentif menyenangkan, dan menghindar dari insentif tidak menyenangkan.

2. Pandangan hedonistik
Dalam pandangan hedonistik, seseorang didorong untuk berperilaku tertentu yang akan memberinya perasaan senang dan menghindari perasaan tidak menyenangkan. Contohnya: anak mau belajar karena ia tidak ingin ditinggal ibunya ke pasar/supermarket.

Dari uraian di atas, dapat diasumsikan anak yang malas tidak merasa adanya insentif yang menarik bagi dirinya dan ia pun tidak merasakan perasaan menyenangkan dari belajar.


Memberikan Dorongan Agar Anak Mau Belajar
Sehubungan dengan teori motivasi di atas tentunya bisa dikatakan dengan mudah, ayo kita berikan dorongan agar anak mau belajar. Tapi dorongan seperti apa yang dapat diberikan kepada anak?

Berikut ini adalah beberapa buah saran:

1. Berikan insentif jika anak belajar. Insentif yang dapat diberikan ke anak tidak selalu harus berupa materi, tapi bisa juga berupa penghargaan dan perhatian. Pujilah anak saat ia mau belajar tanpa mesti disuruh (peristiwa ini mungkin jarang terjadi, tapi jika saat terjadi orangtua memperhatikan dan menunjukkannya, hal tersebut bisa menjadi insentif yang berharga buat anak). Pujian selain merupakan insentif langsung, juga menunjukkan penghargaan dan perhatian dari orangtua terhadap anak. Anak seringkali haus perhatian dan senang dipuji. Jadi daripada memberikan perhatian ketika anak tidak mau belajar dengan cara marah-marah, dan ketika belajar tanpa disuruh orangtua tidak memberikan komentar apapun, atau hanya komentar singkat tanpa kehangatan, akan lebih efektif perhatian orangtua diarahkan pada perilaku-perilaku yang baik.
2. Terangkan dengan bahasa yang dimengerti anak, bahwa belajar itu berguna buat anak. Bukan sekedar supaya raport tidak merah, tapi misalnya dengan mengatakan "Kalau Ade rajin belajar dan jadi pintar, nanti kalau ikut kuis di tv bisa menang loh, dapat banyak hadiah. Kan kalau anak pintar, bisa menjawab pertanyaan-pertanyaannya".
3. Sering mengajukan pertanyaan tentang hal-hal yang diajarkan di sekolah pada anak (bukan dalam keadaan mengetes anak, tapi misalnya sembari mengisi tts atau ikut menjawab kuis di tv). Jika anak bisa menjawab, puji dia dengan menyebut kepintarannya sebagai hasil belajar. Kalau anak tidak bisa, tunjukkan rasa kecewa dan mengatakan "Yah Ade nggak bisa jawab, nggak bisa bantu Mama deh. Ade, di buku pelajarannya ada nggak sih jawabannya? Kita lihat yuk sama-sama". Dengan cara ini, anak sekaligus akan merasa dipercaya dan dihargai oleh orangtua, karena orangtua mau meminta bantuannya.

Banyak lembaga pra-sekolah yang mengajarkan kepada anak pelajaran-pelajaran dengan metode active learning atau learning by doing, atau learning through playing, salah satu tujuannya adalah agar anak mengasosiasikan belajar sebagai kegiatan yang menyenangkan. Tapi seringkali untuk anak-anak SD, hal ini agak sulit dipraktekkan, karena mulai banyak pelajaran yang harus dipelajari dengan menghafal. Untuk keadaan ini, hal minimal yang dapat dilakukan adalah mensetting suasana belajar. Jika setiap kali pembicaraan mengenai belajar berakhir dengan omelan-omelan, ia akan mengasosiasikan suasana belajar sebagai hal yang tidak memberi perasaan menyenangkan, dengan demikian akan dihindari.


Membuat Suasana Belajar Lebih Menyenangkan
Selain tidak sering-sering memarahi anak ketika belajar, ada beberapa hal lain yang perlu diperhatikan agar suasana belajar lebih menyenangkan dan anak mau belajar. Hal-hal tersebut adalah:

1. Anak cenderung meniru perilaku orangtua, karena itu jadilah contoh buat anak. Ketika menyuruh dan mengawasi anak belajar, orangtua juga perlu untuk terlihat belajar (misalnya membaca buku-buku). Sesekali ayah-ibu perlu berdiskusi satu sama lain, mengenai topik-topik serius (suasana seperti anak sedang kerja kelompok dan diskusi dengan teman-teman, jadi anak melihat kalau orangtuanya juga belajar). Dengan demikian, anak melihat bahwa orangtuanya sampai tua pun tetap belajar.
2. Pilih waktu belajar terbaik untuk anak, ketika anak merasa segar. Mungkin sehabis mandi sore. Anak juga bisa diajak bersama-sama menentukan kapan waktu belajarnya.
3. Anak butuh suatu kepastian, hal-hal yang dapat diprediksi. Jadi jadikan belajar sebagai rutinitas yang pasti. Misalnya ketika sudah ditentukan, waktu belajar adalah 2 jam setiap hari, pukul 17.00-19.00, maka pada jam tersebut harus digunakan secara konsisten sebagai waktu belajar. Kecuali disebabkan hal-hal yang mendesak, misalnya anak baru sampai rumah pukul 16.30, tentunya tidak bijaksana memaksa anak harus belajar pukul 17.00, karena masih lelah.
4. Anak punya daya konsentrasi dan rentang perhatian yang berbeda-beda. Misalnya ada anak yang bisa belajar terus-menerus selama 1 jam, ada yang hanya bisa selama setengah jam. Kenali pola ini dan susunlah suatu jadwal belajar yang sesuai. Bagi anak yang hanya mampu berkonsentrasi selama 30 menit, maka berikan waktu istirahat 5-10 menit setelah ia belajar selama 30 menit. Demikian untuk anak yang mampu belajar lebih lama.
5. Dalam artikel di Tabloid Nova edisi Maret 2002, disarankan agar orangtua menemani anak ketika belajar. Dalam hal ini orangtua tidak perlu harus terus-menerus berada di samping anak karena mungkin Anda sebagai orangtua memiliki pekerjaan. Namun paling tidak ketika anak mengalami kesulitan, Anda ada di dekatnya untuk membantu.

Demikian hal-hal yang dapat disarankan untuk membantu orangtua memberikan motivasi anak agar mau belajar. Semoga berguna dan dapat berhasil diterapkan. Orangtua senang, tidak lelah berteriak-teriak dan marah-marah, anak pun senang tidak dimarahi dan merasa menyukai kegiatan belajar.

MEMPERKOKOH PONDASI PERSONAL

Memperkokoh Fondasi Personal
Kategori Individual
Oleh : Ubaydillah, AN
Jakarta, 16 Januari 2003

Dalam sebuah tanya jawab di televisi, ada penelpon yang meresahkan kondisi masyarakat di mana kejahatan telah mengubah citra bangsa yang dikenal peramah; epidemi KKN yang tidak dapat diberangus oleh kekuasaan; professionalitas dan etos kerja produktif hanya sebuah human talk, bukan human commitment. "Padahal", kata si penelpon "kurang apa lagi kita, warisan budaya leluhur telah banyak mengajarkan pemahaman berbasis agama maupun pengetahuan, di samping juga negeri ini subur dan kaya sumber daya". Intinya, penelpon tadi menanyakan dimanakah letak Pancasila dalam kehidupan bangsa ini.
“Benar", kata sang nara sumber menanggapi pertanyaan tersebut "tetapi memang masih ada kelemahan mendasar di tingkat gaya hidup masyarakat di mana sumber-sumber nilai masih dipahami secara parsial. Manajemen hanya dipahami ketika di dalam kantor, leadership hanya di politik, Tuhan hanya disanjung ketika di tempat ibadah, dan Pancasila saat upacara. Inilah split personality, kepribadian yang tanpa format, kocar-kacir. Oleh karena itu perlu dicanangkan kampanye budaya gaya hidup sinergis dan integrative melalui program pemberdayaan". Sayangnya, nara sumber tadi tidak diberi waktu untuk menjelaskan apa itu gaya hidup sinergis atau integrative dan bagaimana memulainya.


Tujuan Hidup



Pada umumnya kelemahan mendasar dari gaya hidup di sejumlah negara berkembang dan terbelakang adalah individu atau pribadi yang tidak memiliki tatanan personal yang kokoh dan lebih banyak menggunakan senjata blaming others atau kambing hitam, menuding pihak lain sebagai penyebab kekacauan, cenderung menunggu kebijakan atau undang-undang dari penguasa, sehingga perubahan di tingkat individu ke arah yang lebih baik sulit tercipta. Padahal jika saja individu mau menyadari bahwa akan selalu ada hal-hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi suatu kondisi terburuk sekalipun, maka menuding pihak lain sebagai penyebab kekacauan mungkin dapat dihindarkan.

Ralp Marston dalam artikel yang berjudul Choose Your Response (Greatday 2001), menulis "selalu tersisa pekerjaan yang bisa anda lakukan sebagai bagian dari solusi dalam keadaan apapun". Intinya ia mau mengatakan bahwa pasti ada sesuatu yang bisa anda lakukan untuk memperbaiki hidup anda sendiri. Kampanye nasional budaya gaya hidup sinergis dan integrative mungkin hanya merupakan kewenangan penguasa dan mungkin membutuhkan dana besar yang saat ini sangat sulit diperoleh. Oleh karena itu, mungkin saja penantian terhadap kampanye tersebut, kebijakan atau perpu hanya merupakan pekerjaan yang sia-sia. Dengan kondisi demikian maka anda sebaiknya tidak menunggu apapun atau siapa pun untuk memperbaiki hidup anda. Mulailah dari dalam diri sendiri dan lakukan sekarang juga. Bentuklah tatanan pribadi anda dengan baik sehingga andamenjadi pribadi yang tahan uji dan mampu keluar dari berbagai krisis yang menimpa.

Pertanyaannya adalah apa yang dapat dijadikan dasar untuk memperkokoh tatanan pribadi atau pondasi personal dan darimana harus memulainya? Jawabnya adalah dengan memiliki rumusan tentang tujuan hidup yang dipahami sebagai gaya hidup, komitmen atau karakter pribadi.


Definisi



Dalam prakteknya, tujuan hidup diletakkan dalam satu keranjang sampah dengan khayalan, mimpi dan akivitas. Oleh karena itu anda perlu memahami definisi yang membedakannya secara jelas. Dalam Reader’s Digest Oxford Dictionary dijelaskan bahwa goal (tujuan) adalah obyek personal yang menjadi sasaran utama suatu usaha atau cita-cita. Goal is destination, kawasan dimana kaki anda mendarat. Sementara dream (khayalan atau lamunan) adalah suatu gambar atau peristiwa yang melintas di alam fantasi pikiran anda - bukan sasaran [ Hillary Jones and Frank Gilbert, dalam Choosing Better Life, Oxford 1999]. Sementara aktivitas merupakan media dari goal atau destination. contoh: keberangkatan anda ke bandara untuk mereservasi tiket dengan memilih pesawat tertentu adalah aktivitas dan kota dimana anda akan berhenti itulah yang menjadi tujuan.

Mengacu pada definisi di atas segera anda dapat menyimpulkan bahwa nilai hidup seluhur apapun ketika masih dipahami sebagai dream, maka tentu saja ia tidak bisa bekerja mengubah konstruksi realitas. Begitu juga aktivitas. Sangat mustahil membawa rumusan Paretto tentang kerja cerdas di mana 20 % effort mestinya menghasilkan 80 % required result ke dalam budaya kerja anda, selama anda memahami aktivitas sebagai tujuan.


Alasan Mendasar



Ada tiga alasan mendasar, mengapa rumusan tentang tujuan hidup perlu anda miliki yaitu: kontrol diri, umpan daya tarik, dan sinergi kekuatan. Dalam kehidupan sehari-hari, terkadang muncul secara tiba-tiba baik dari dalam atau ajakan dari luar, sesuatu yang mestinya tidak memiliki hubungan apapun dengan apa yang benar-benar anda inginkan tetapi menyita banyak energi, waktu dan pikiran. Itulah distraksi - sesuatu yang menggoda anda meninggalkan perhatian pada tujuan. Oleh karena itu diperlukan kontrol diri.

Jika anda menyaksikan dunia ini bekerja, mengapa orang kaya malah gampang mendapat kekayaan, orang pintar gampang mendapat kedudukan, dst. Bukan nasib dalam pengertian gift tetapi daya tarik dalam makna achievement. Bahkan mengapa orang yang sudah jahat merasa kesulitan untuk berbuat baik meskipun hanya dengan senyuman yang gratis? Tujuan yang telah anda rumuskan untuk membidik satu objek akan menarik anda secara 'tersembunyi' ke arah yang anda maksudkan. Dengan satu syarat: setelah anda memiliki persiapan sempurna untuk menerimanya!

Semua orang menggantungkan harapan kepada dunia yang bisa dikatakan sama: hidup terhormat, memiliki kemakmuran, meninggalkan warisan yang cukup, dan mati masuk surga. Sama sekali tidak salah dengan harapan itu, sebab semua manusia sudah diberi potensi dasar untuk mencapainya. Anda memiliki imajinasi, pikiran, tindakan, dan perangkat lain. Tetapi persoalannya, bagaimana menyatukan perangkat tersebut menjadi satu kekuatan utuh untuk mencapai sasaran? Tujuan yang telah anda rumuskan akan menjadi media efektif bagi anda untuk menyatukan seluruh kekuatan yang anda miliki.


Merumuskan



Dari sekian banyak referensi tekhnis tentang cara merumuskan tujuan hidup, anda dapat mengacu pada formula berikut:



1. Konseptualisasi



Mulailah dengan menyusun rumusan secara tertulis tentang apa yang benar-benar anda inginkan. Rumusan tersebut selain tertulis di atas kertas putih, kertas pikiran, juga dinyatakan ke dalam bentuk kalimat positif. Lukislah tujuan anda dengan imajinasi untuk memberi otak kanan anda bekerja secara adil.



2. Keterkaitan Rasional



Rumusan tersebut harus memiliki keterkaitan rasional dengan kemampuan dan keberadaan anda saat ini. Sebab jika tidak, akan muncul masa frustrasi yang melelahkan. Keterkaitan rasional adalah sesuatu yang attainable (paling mungkin diraih) berdasarkan kemampuan, keahlian dan kekuatan anda.



3. Spesifik



Tujuan harus dirumuskan menjadi bentuk representasi padanan fisik yang khusus dan jelas. Tidaklah cukup hanya dengan menulis bahwa anda ingin kaya atau terhormat karena hal itu tidak memenuhi unsur kejelasan dan spesifik. Dengan kata lain, spesifik yang dimaksudkan disini adalah bahwa rumusan tujuan hidup anda harus memiliki tolok ukur (ada suatu standard yang ingin dicapai)dan measurable (dapat diukur sejauh mana perkembangan anda dalam mendekatakn diri pada tujuan).



4. Bermakna



Tujuan hidup harus berupa sesuatu yang relevan dengan kondisi diri anda. Artinya sesuatu tersebut harus berupa objek yang berguna bagi anda. Jika anda sedang menganggur, maka tujuan hidup yang paling bijak adalah mendapatkan atau menciptakan pekerjaan.



5. Batas Waktu



Tulislah batas waktu yang jelas, kapan tujuan hidup anda bisa dicapai dengan pentahapannya. Klasifikasikan tujuan hidup anda menjadi tiga: jangka pendek - menengah - jangka panjang.



Dengan memahami rumusan tekhnis di atas, bisa saja dielaborasi sesuai kepentingan, cobalah mengaplikasikannya ke dalam wilayah - wilayah sentral. Umumnya manusia memiliki sejumlah wilayah sentral tertentu: karir, keluarga, kesehatan fisik, format lingkungan yang anda pilih, pengembangan SDM, kematangan spiritual dan moral, status social dan budaya.


Realisasi



Untuk dapat merealisasikan tujuan hidup anda maka diperlukan beberapa langkah sebagai berikut:



1. Pentahapan



Jangan tergoda untuk menjalankan seluruh keinginan sekali dalam satu projek hanya karena nafsu ingin cepat yang hakekatnya malah memperlambat. Pikiran anda hanya akan bekerja untuk satu objek tunggal yang spesifik. Yakinilah, jika anda bisa menyelesaikan persoalan dari bagian yang paling kecil berarti anda mampu menyelesaikan banyak hal yang besar. Persoalannya terkadang langkah pentahapan berdasarkan kemampuan yang sering anda lupakan. Kesuksesan dengan kata lain adalah proses realisasi ide-ide perbaikan secara terus-menerus berdasarkan pentahapan.



2. Visualisasi



Visualisasi adalah membendakan sesuatu yang masih gaib melalui penglihatan mental. Lihatlah model rumah yang anda inginkan di kepala anda secara lengkap dengan taman atau letak kamar mandinya. Peganglah erat-erat, semua kreasi diciptakan melalui dua tahap, yaitu tahapan mental dan terakhir tahapan fisik. Visualisasikan sesuatu yang anda inginkan sampai benar-benar mengalami kristalisasi mental atau feel of becoming or having - merasakan seakan-akan anda sudah menjadi atau memiliki sesuatu yang anda inginkan. Berilah imajinasi anda bekerja untuk membantu bukan melawan anda.



3. Inspirasi



Inspirasi adalah percikan ide-ide kreatif yang waktu dan tempatnya jarang anda kenali, kecuali anda sudah melatih-diri dengan pembiasaan. Inspirasi adalah akibat-hasil dari proses pengembangan diri. Inspirasi merupakan penemuan momentum of "Aha!". Inspirasi dapat anda munculkan dengan ‘conditioning’. Caranya? Temukan momen khusus yang menjadi kebiasaan untuk membuka dialog-diri, misalnya tengah malam atau di kamar mandi, atau lain. Agendakan untuk bertemu kenalan tanpa konsekuensi atau interest apapun selain silaturrohim. Pelajari sebanyak mungkin prestasi yang dihasilkan.



4. Target



Buatlah target pencapaian dari apa yang benar-benar anda inginkan. Memenuhi target bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu, pertama deadline matematis di mana anda menjadikan target sebagai tujuan mikro dengan waktunya yang detail. Kedua dengan cara kristalisasi mental di mana anda SEKARANG ini seakan-akan sudah merasakan vibrasi fisiknya dari apa yang anda inginkan. Jangan sekali-kali mengundang kehadiran virus "NANTI" karena ia seringkali menawarkan bujukan yang berarti tidak pernah terjadi. Dengan berpikir NANTI, anda telah kehilangan daya tarik ke arah "Menjadi" atau "Memiliki" saat ini.



5. Keyakinan



Keyakinan menentukan karakter hidup terutama ketika anda menghadapi tantangan. Karakter sukses diciptakan dari keyakinan sukses dan begitu sebaliknya. Di tengah anda menjalani proses realisasi, mudah sekali virus muncul dan hanya bisa dilawan dengan keyakinan anda. Virus itu adalah rasa ragu-ragu, pesimisme, rasa tidak berdaya melawan tantangan, rasa malas, rasa putus asa, dan pasrah terhadap kemauan realitas. Oleh karena itu, ciptakan keyakinan sukses dengan mendatangkan sejumlah alasan yang bisa diterima oleh keyakinan anda.



6. Kesadaran Proses



Kalau anda menyaksikan bahwa ada seseorang yang hanya berjualan air putih bisa hidup mandiri tetapi kemudian anda dapatkan pemegang gelar akademik tidak mandiri, maka pembedanya tidak lain adalah kesadaran proses. Penjual itu telah menempuh proses yang memungkinkan terbentuknya sistem hidup mulai dari mana ia mengambil air lalu kepada siapa ia menjualnya, dst. Sistem bergerak stabil. Keahlian, ketrampilan, atau ijazah akademik tidak bisa mengganti peranan proses oleh karena itu siapa pun anda, maka anda harus tetap menempuh tangga proses yang sudah menjadi undang-undang hukum alam.



7. Interaksi



Anda tidak mungkin sukses meraih tujuan tujuan itu seorang diri. Ibarat baterai, sebesar apapun kandungan watt-nya maka selamanya tidak akan menciptakan cahaya selama tidak diinteraksikan dengan perangkat lain yang menjadi pasangannya. Sama juga dengan tujuan anda. Seni bagaimana tujuan anda diinteraksikan kepada pihak lain yang menjadi pesangannya harus anda miliki. Mengapa seni itu diperlukan? Terkadang anda mencipatakan interaksi tujuan bukan dengan pasangannya sehingga melahirkan dua kemungkinan yaitu interaksi tersebut tidak bekerja atau malah merusak tatanan.



Uraian singkat di atas setidaknya bisa memberi gambaran bahwa ibarat mendirikan bangunan gedung, maka fondasilah yang pertama kali harus dipikirkan. Tak ubahnya juga dengan hidup anda. Jika anda sudah memahami bahwa setiap hari berpikir untuk mengubah tatanan konstruksi bagian atas, bahkan bisa jadi berniat untuk mengubah bangunan menjadi gedung bertingkat, sudahkah anda memikirkan tentang pondasi personal anda? Semoga berguna.

Senin, 24 Januari 2011

GELAR PALSU DAN KEPRIBADIAN

Gelar Palsu & Kepribadian
Kategori Sosial
Oleh : Johanes Papu
Jakarta, 20 September 2002

Seringkali kita terheran-heran ketika seseorang yang kebetulan kita kenal dan sebelumnya tidak memiliki gelar apa-apa tiba-tiba sudah menyandang gelar setingkat Magister atau Doktor. Lebih heran lagi jika hal itu terjadi pada individu yang tinggal di kota dimana tidak ada Universitas resmi yang menyelenggarakan program setingkat S2 (magister) atau S3 (doktor). Komentar yang keluar dari sebagian orang adalah: kapan kuliahnya? Kok gampang amat dapat gelar doktor? Tesisnya tentang apa ya? Kok bisa dia dapat gelar itu padahal dia khan cuma tamatan SMU?

Komentar-komentar tersebut tentu amat wajar dan beralasan mengingat bahwa untuk meraih gelar S2 (magister) atau S3 (doktor) sungguhan bukanlah sesuatu hal yang mudah. Sebagai contoh: untuk lulus seleksi dan masuk ke jenjang pendidikan di tingkat S2 memerlukan berbagai persyaratan, seperti jumlah IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) ditingkat S1 harus mencapai 3,00 (dgn score tertinggi: 4,00), Score TOEFL harus mencapai 500 atau lebih, Score Test Potensi Akademik (TPA) harus mencapai 550 ke atas, dsb. Lulus seleksi juga belum menjamin bahwa seseorang akan bisa meraih gelar yang diingingkannya karena ia masih harus mengikuti kuliah dengan jumlah SKS tertentu, membuat makalah, melakukan penelitian dan membuat tesis. Semua ini membutuhkan kerja keras dan ketekunan yang menyita waktu bertahun-tahun. Mereka yang pernah melewati proses ini pasti tahu apa artinya pengorbanan yang harus dilakukan untuk memperoleh sebuah gelar akademik yang pantas. Membaca berbagai buku teori, melakukan penelitian, menguji hipotesis, mempresentasikan karya ilmiah di depan dosen-dosen penguji merupakan beberapa contoh kegiatan dalam proses pendidikan yang panjang dan melelahkan yang harus dilalui para penuntut ilmu. Rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk jenjang pendidikan S2 adalah antara 3 s/d 5 tahun, sementara S3 di luar negeri adalah 4 s/d 8 tahun, bahkan ada juga yang baru berhasil menyelesaikan kuliah setelah menjalaninya selama 10 tahun. Lamanya waktu yang harus ditempuh tersebut , bagi orang dewasa apalagi jika kuliah sambil bekerja, bukanlah suatu hal yang mudah. Oleh karena itu tidak jarang bahwa beberapa mahasiswa tidak berhasil menyelesaikan kuliahnya.

Kondisi tersebut amat berbeda dengan program S2 atau S3 yang ditawarkan banyak "lembaga pendidikan" model "instant" yang membuka program-program di hotel-hotel berbintang atau bahkan kuliah di tempat kerja (kantor) peserta. Untuk masuk ke program yang ditawarkan, peserta hanya cukup mengisi formulir, memilih gelar yang diinginkan, lalu membayar biaya jutaan rupiah( contoh: Rp 5 juta s/d Rp 10 Juta untuk gelar MM, MSc, MBA, BBA dan Rp 20 juta s/d 30 juta untuk gelar Doktor atau Profesor) dan selanjutnya tinggal menunggu konfirmasi dari pihak penyelenggara kapan ada "pertemuan" dan jadwal wisuda. Mahasiswa yang mengikuti program ini cukup mengikuti beberapa kali perkuliahan atau menyelesaikan beberapa modul yang biasanya dikirim ke rumah, menyetor sejumlah uang , mengikuti widusa (terkadang di luar negeri) lalu memperoleh ijazah dan segera menyandang gelar. Gampang dan cepat, ibarat membuat Mie Instant. Praktek seperti inilah yang sekarang kita kenal dengan istilah "jual beli gelar". Jual beli gelar ini nampaknya tidak pernah surut bahkan semakin banyak peminatnya. Gelar kehormatan seperti Doktor Honouris Causa yang seharusnya hanya diberikan kepada seseorang yang telah berjasa dan memiliki prestasi luar biasa di suatu bidang tertentu (terutama untuk pengembangan ilmu pengetahuan) pun tidak luput dari praktek jual beli ini. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika suatu saat kita menemukan ternyata salah seorang rekan atau kenalan kita tiba-tiba sudah menyandang gelar doktor tersebut, sementara kita tahu dengan pasti orang tersebut tidak memiliki prestasi luar biasa di masa sekolah atau pun di masyarakat.

Beberapa pertanyaan yang perlu kita kemukakan untuk menyikapi fenomena jual beli gelar ini diantaranya adalah faktor apakah yang menyebabkan individu berlomba-lomba untuk memperoleh gelar sampai-sampai harus menggunakan jalan pintas dengan cara membeli gelar tersebut. Lalu bagaimana sebenarnya karakteristik para pembeli gelar tersebut jika dilihat dari kacamata psikologi. Tidakkah ada rasa malu dan tenggangrasa dari para pembeli gelar tersebut terhadap para individu yang benar-benar memperoleh gelar dengan cara menuntut ilmu dan mengikuti kaidah keilmuan yang berlaku? Apakah mereka mengalami suatu gangguan kepribadian? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang ingin saya jawab dalam artikel ini.

Penyebab
Gelar adalah Lambang Status

Di sebagian masyarakat Indonesia yang cenderung masih memiliki pola pikir feodalistik, gelar (degree) merupakan suatu kebanggaan luarbiasa dan sekaligus lambang status sosial pemiliknya di dalam masyarakat. Tidaklah mengherankan jika seseorang yang telah berhasil menyelesaikan studi dan memperoleh gelar akan disambut oleh pihak keluarga bagaikan pahlawan yang baru kembali dari medan perang. Serangkaian upacara dan selamatan/syukuran dengan mengundang relasi atau bahkan orang sekampung dilakukan untuk menyambut sang sarjana/magister/doktor tersebut. Tidak sebatas itu saja, ucapan selamat pun mengalir dan dipamerkan di koran-koran atau majalah.

Tidak ada yang salah dengan tradisi tersebut diatas, asalkan memang sang penerima gelar benar-benar memperolehnya dengan cara yang layak. Sambutan maupun ucapan selamat merupakan suatu hal yang wajar dan pantas diterima sebab untuk memperoleh gelar yang asli memang ibarat memenangkan pertempuran. Bayangkan saja, berapa banyak peserta program S2 atau S3 yang harus berpisah dengan anggota keluarganya, tak jarang ia harus menggadaikan harta benda miliknya dan berjuang seorang diri demi memperoleh gelar dari sebuah universitas ternama di dalam maupun di luar negeri. Oleh karena itu sangatlah wajar jika mereka menganggap bahwa gelar yang diperolehnya merupakan suatu prestise dan kebanggaan tersendiri karena dihasilkan melalui kerja keras dan ketekunan selama bertahun-tahun. Sayangnya jika tradisi seperti ini juga berlaku untuk penerima gelar palsu (gelar belian) maka esensi suatu gelar yang seharusnya lebih mengutamakan bobot ilmu dan karakter pribadi yang dimiliki oleh sang pemegang gelar tersebut, daripada sekedar ijazah atau nama gelar yang mentereng, menjadi luntur.

Mutu Pendidikan Nasional

Masyarakat sudah sangat paham dengan mutu pendidikan di negeri ini. Posisi SDM dan peringkat perguruan tinggi kita merosot amat rendah dibanding dengan negara-negara tetangga seperti Singapura maupun Malaysia. Oleh karena itu, bagi orang-orang berkantong tebal dan berpikir praktis mungkin akan timbul pemikiran untuk apa capek-capek meraih kesarjanaan formal yang hasilnya juga tidak membuat "lebih pintar", tidak siap kerja, lama selesainya, dan biaya yang dikeluarkan pun tidak jauh berbeda dengan "sarjana yang dibeli". Orang-orang seperti inilah yang kemudian tanpa ragu dan malu, memejeng gelar palsu. Hal ini bisa terjadi karena masyakarat terkadang sulit membedakan mutu antara gelar sarjana sungguhan dengan gelar sarjana belian.

Tuntutan Dunia Kerja

Tuntutan dunia kerja yang lebih menggantungkan penilaian pada sertifikat, ijazah dan gelar juga semakin menguatkan pendapat bahwa ijazah dan gelar merupakan jaminan kesuksesan dalam berkarir. Tidaklah menjadi rahasia lagi bahwa di Instansi-instansi tertentu, ijazah dan gelar adalah modal utama untuk kenaikan pangkat dan penghargaan (terlepas dari apakah itu gelar formal atau palsu) dibandingkan dengan performa kerja pegawai. Oleh karena itu jangan heran jika para pejabat di instansi tersebut tiba-tiba beramai-ramai mengikuti program S2 atau S3 kelas jauh dari universitas tertentu dalam rangka untuk mendapat promosi jabatan.

Kepribadian Sang Individu

Adanya gangguan kepribadian tertentu yang dialami seseorang dapat menyebabkan individu tersebut tidak merasakan adanya suatu yang salah dengan perilaku membeli gelar. Bagi mereka hal ini merupakan suatu kesempatan untuk meraih impian yang diinginkanya dengan cara tercepat dan termudah.

Kepribadian Narsisistik
Jika kita bertanya pada masing-masing individu maka saya yakin sebagian besar akan menjawab bahwa gelar "tidak bisa dibeli dengan uang". Gelar hanya dapat dibeli dengan ketekunan, kerja keras, kejujuran akademik, kematangan berpikir, kedewasaan, sikap pantang menyerah, berkutat dengan teori dan data, persisten, dan tidak ada jalan pintas. Tak ada gelar yang ditawarkan begitu saja. Proses seleksinya sangat ketat, bukan masuk tanpa test dan cukup mengisi formulir saja. Teman-teman yang telah melalui proses ini pasti merasakan betapa sulitnya menuntut ilmu dan memperoleh gelar akademik.

Meski semua orang tahu bahwa gelar merupakan suatu yang membanggakan dan lambang status sosial, namun banyak juga individu yang justru tidak mau tahu dengan gelar yang diperolehnya. Bagi individu semacam ini gelar atau ijazah tidak lebih dari sebatas tanda penghargaan dan pengakuan atas jasa atau hasil jerih payahnya selama menuntut ilmu sebagai persyaratan memperoleh gelar tersebut. Individu-individu seperti ini tidak silau dengan gelar, bahkan sedapat mungkin mereka tidak akan mencantumkan gelar di depan atau dibelakang namanya. Bagi mereka ilmu pengetahuan yang diperoleh merupakan segala-galanya. Oleh karena itu mereka lebih banyak memperlihatkan karya nyata di bidang keilmuannya dengan cara memberikan pemikiran-pemikiran baru dan berusaha membantu orang lain sesuai dengan kompetensinya daripada menonjolkan gelar tersebut.

Individu yang tidak silau dengan gelar seperti yang telah saya sebut diatas amat berbeda karakternya dengan mereka yang menganggap bahwa gelar adalah segala-galanya. Bagi individu seperti ini ijazah dan gelar adalah modal hidup sehingga harus diperoleh (apapun caranya) dan jika sudah didapat maka harus diketahui oleh semua orang. Bagi mereka ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak lagi merupakan suatu hal yang penting. Individu-individu jenis inilah yang dengan bangga memasang iklan-iklan ucapan selamat dengan space dan tulisan besar di koran-koran. Lucunya ucapan selamat tersebut seringkali justru datang dari dirinya sendiri. Artinya ucapan selamat tersebut jika ditelusuri lebih lanjut ternyata dikirim oleh perusahaan-perusahaan miliknya atau sanak keluarganya sendiri.

Apa sebenarnya yang terjadi dalam diri si pembeli gelar yang tanpa malu dan canggung memamerkan gelar atau ijazah tersebut di depan orang lain. Apakah mereka mengalami gangguan kepribadian? Menurut pandangan saya, jika pembelian gelar tersebut dilakukan secara sadar dengan pertimbangan matang demi memenuhi ambisi-ambisi pribadi dengan mengabaikan rasa keadilan masyarakat (terutama bagi para pemegang gelar asli) maka sudah tentu dapat dikatakan bahwa individu tersebut memang mengalami gangguan kepribadian. Namun demikian jika individu dipengaruhi oleh cara-cara yang tidak profesional atau dibohongi oleh para penyelenggara program gelar palsu maka tentu tidak adil jika dikatakan bahwa individu pembeli gelar tersebut mengalami gangguan kepribadian.

Untuk membedakan antara individu pembeli gelar karena dibohongi oleh pihak ketiga dengan individu yang dengan sadar memang ingin menempuh jalan pintas untuk memperoleh gelar demi ambisi pribadi dan mengabaikan rasa keadilan, maka saya mengajak pembaca untuk melihat salah satu karakteristik gangguan kepribadian. Gangguan kepribadian yang dimaksud adalah Gangguan Kepribadian Narsisistik atau Narcissistic Personality Disorder. Gangguan kepribadian ini ditandai dengan ciri-ciri berupa perasaan superior bahwa dirinya adalah paling penting, paling mampu, paling unik, sangat eksesif untuk dikagumi dan disanjung, kurang memiliki empathy, angkuh dan selalu merasa bahwa dirinya layak untuk diperlakukan berbeda dengan orang lain (DSM-IV). Perasaan-perasaan tersebut mendorong mereka untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan dengan cara apapun juga.

Menurut DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders - Fourth Edition) individu dapat dianggap mengalami gangguan kepribadian narsissistik jika ia sekurang-kurangnya memiliki 5 (lima) dari 9 (sembilan) ciri kepribadian sebagai berikut:

1. Merasa diri paling hebat namun seringkali tidak sesuai dengan potensi atau kompetensi yang dimiliki (has a grandiose sense of self-important). Ia senang memamerkan apa yang dimiliki termasuk gelar (prestasi) dan harta benda.
2. Percaya bahwa dirinya adalah spesial dan unik (believe that she or he is special and unique).
3. Dipenuhi dengan fantasi tentang kesuksesan, kekuasaan, kepintaran, kecantikan atau cinta sejati (is preoccupied with fantasies of unlimited success, power, briliance, beauty, or ideal love).
4. Memiliki kebutuhan yang eksesif untuk dikagumi (requires excessive admiration).
5. Merasa layak untuk diperlakukan secara istimewa (has a sense of entitlement).
6. Kurang empathy (lacks of empathy: is unwilling to recognize or identify with the feelings and needs of others).
7. Mengeksploitasi hubungan interpersonal (is interpersonally exploitative).
8. Seringkali memiliki rasa iri pada orang lain atau menganggap bahwa orang lain iri kepadanya (is often envious of others or believes that others are envious of him or her).
9. Angkuh (shows arrogant, haughty behavior or attitudes).

Meskipun mungkin tidak semua ciri tersebut diatas dimiliki oleh para pembeli gelar namun setidaknya beberapa ciri sudah cukup menunjang adanya gangguan kepribadian tersebut. Untuk lebih jelasnya maka saya mencoba memberikan beberapa ciri kepribadian yang biasanya dimiliki oleh individu-individu yang seringkali mengambil jalan pintas untuk memperoleh apa yang diinginkannya, termasuk gelar, sebagai berikut:

Merasa Diri Paling Hebat

Jika seseorang merasa dirinya paling hebat/penting (bedakan dengan orang yang benar-benar hebat/penting) maka ia tidak akan malu-malu untuk memamerkan apa saja yang bisa memperkuat citranya tersebut. Selain itu untuk mendukung citra / image yang dibentuknya sendiri, individu rela menggunakan segala cara. Oleh karena itu ketika orang tersebut berhasil memperoleh gelar (tanpa mempedulikan bagaimana cara memperolehnya) maka ia tidak akan segan atau malu-malau untuk memamerkannya kepada orang lain. Bagi mereka hal ini sangat penting agar orang lain tahu bahwa ia memang orang yang hebat. Tidak heran cara-cara seperti mengirimkan ucapan selamat atas gelar yang diperoleh secara instant (dibeli) di koran-koran oleh "diri sendiri" dianggap bukan suatu hal yang aneh.

Fantasi Kesuksesan & Kepintaran

Pintar dan sukses adalah impian setiap orang. Meski demikian hanya sedikit orang yang bisa mewujudkan impian tersebut. Pada individu pembeli gelar sangatlah mungkin mereka menganggap bahwa kesuksesan yang telah mereka capai (cth: punya jabatan) belum cukup jika tidak diikuti dengan gelar akademik yang seringkali dianggap sebagai simbol "kepintaran" seseorang. Sayangnya untuk mencapai hal ini mereka seringkali tidak memiliki modal dasar yang cukup karena adanya berbagai keterbatasan seperti tidak punya latarbelakang pendidikan yang sesuai, tidak memiliki kemampuan intelektual yang bagus atau tidak memiliki waktu untuk sekolah lagi. Hal ini membuat mereka memilih jalan pintas dengan cara membeli gelar sehingga terlihat bahwa dirinya telah memiliki kesuksesan dan kepintaran (kenyataannya hal tersebut hanyalah fantasi karena gelar seharusnya diimbangi dengan ilmu yang dimiliki).

Sangat Ingin dikagumi

Pada umumnya para pembeli gelar adalah para individu yang sangat terobsesi untuk dikagumi oleh orang lain. Oleh karena itu mereka berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan "simbol-simbol" yang dianggap menjadi sumber kekaguman, termasuk gelar akademik. Obsesi untuk memperoleh kekaguman ini sayangnya seringkali tidak seimbang dengan kapasitas (kompetensi) diri sang individu tersebut (cth: tidak memenuhi syarat jika harus mengikuti program pendidikan yang sesungguhnya). Akhirnya dipilihlah jalan pintas demi mendapatkan simbol kekaguman tersebut.

Kurang Empathy

Para pembeli gelar pastilah bukan orang yang memiliki empati, sebab jika mereka memilikinya maka mereka pasti tahu bagaimana perasaan para pemegang gelar asli yang memperoleh gelar tersebut dengan penuh perjuangan. Jika mereka memiliki empati pastilah mereka dapat merasakan betapa sakit hati para pemagang gelar sungguhan karena kerja keras mereka bertahun-tahun disamakan dengan orang yang hanya bermodal uang puluhan juta rupiah.

Merasa Layak Memperoleh Keistimewaan

Setiap individu yang mengalami gangguan kepribadian narsissistik merasa bahwa dirinya berhak untuk mendapatkan keistimewaan. Karena merasa dirinya istimewa maka dia tidak merasa bahwa untuk memperoleh sesuatu dia harus bersusah payah seperti orang lain. Oleh karena itu mereka tidak merasa risih atau pun malu jika membeli gelar karena bagi mereka hal itu merupakan suatu keistimewaan yang layak mereka dapatkan.

Angkuh dan Sensitif Terhadap Kritik

Pada umumnya para penyandang gelar palsu sangat marah dan benci pada orang-orang yang mempertanyakan hal-hal yang menyangkut gelar mereka. Bagi mereka, orang-orang yang bertanya tentang hal itu dianggap sebagai orang-orang yang iri atas keberhasilan mereka. Jadi tidaklah mengherankan jika anda bertanya pada seseorang yang membeli gelar tentang ilmu atau tesis atau desertasinya maka ia akan balik bertanya bahkan menyerang anda sehingga permasalahan yang ditanyakan tidak pernah akan terjawab. Bahkan mereka akan menghindari pembicaraan yang menyangkut hal-hal akademik.

Kepercayaan Diri yang Semu

Jika dilihat lebih jauh maka rata-rata individu yang mengambil jalan pintas dalam mendapatkan sesuatu yang diinginkan seringkali disebabkan karena rasa percaya dirinya yang semu. Di depan orang lain mereka tampak tampil penuh percaya diri namun ketika dihadapkan pada persoalan yang sesungguhnya mereka justru menarik diri karena merasa bahwa dirinya tidak memiliki modal dasar yang kuat. Para individu yang membeli gelar umumnya adalah mereka yang takut bersaing dengan para mahasiswa biasa. Mereka kurang percaya diri karena merasa bahwa dirinya tidak mampu, tidak memenuhi persyaratan dan takut gagal. Daripada mengikuti prosedur resmi dengan risiko kegagalan yang cukup tinggi (hal ini sangat ditakutkan oleh para individu narsisistik) maka lebih baik memilih jalan pintas yang sudah pasti hasilnya.

Tindakan
Dengan mempertimbangkan berbagai dampak yang mungkin timbul di masa mendatang sebagai akibat maraknya jual beli gelar, maka perlu diadakan tindakan-tindakan nyata agar negara ini tidak kebanjiran gelar yang hebat-hebat padahal isinya kosong. Beberapa tindakan yang dapat dilakukan diantaranya adalah:

Individu

Segala keputusan dan tindakan yang akan dilakukan oleh individu sebenarnya lebih banyak ditentukan oleh diri kita sendiri. Oleh karena itu individu hendaknya menyadari bahwa tidak ada jalan pintas untuk mencapai gelar kesarjanaan. Semua itu harus dicapai melalui tahapan-tahapan tertentu yang panjang. Jika anda memang tidak memiliki kapasitas sebagai seseorang yang layak untuk menyandang suatu gelar akademik (karena tidak pernah melalui tahapan yang dipersyaratkan) maka hendaklah tidak menipu diri dengan cara membeli gelar. Jika itu anda lakukan secara sadar maka hal tersebut adalah ibarat anda berjalan dengan menggunakan jubah raja yang kebesaran. Anda mungkin merasa diri hebat karena memakai jubah yang mahal dan bagus meskipun kedodoran. Tetapi jangan lupa bahwa orang lain pasti tahu bahwa jubah itu bukan untuk anda. Seandainya pun ada rekan atau relasi yang memuji atau menyanjung anda ketika menggunakan jubah tersebut, saya yakin bahwa orang tersebut tidak lebih dari seorang penjilat atau hanya mau berbasa-basi untuk menyenangkan anda. Inikah yang anda inginkan? Jika tidak maka raihlah gelar dengan cara-cara yang seharusnya.

Masyarakat

Masyarakat Indonesia memiliki peran penting terhadap maraknya jual beli gelar. Dalam hal ini masyarakat dapat dibagi dalam 4 (empat) kategori:

1.
Akademik. Masyarakat akademik dapat mempelopori pemberantasan gelar palsu dengan cara meningkatkan mutu pendidikan (ilmu pengetahuan & pembentukan kepribadian) dan tidak semata-mata berorientasi pada materi. Hal ini mengimplikasikan bahwa para pendidik yang ada di perguruan tinggi benar-benar mereka yang telah diseleksi secara ketat dan memenuhi syarat sebagai pendidik. Selain itu Pembukaan program-program S2 & S3 kelas jauh hendaknya dipertimbakan secara cermat, bukan semata-mata demi kepentingan mengejar pendapatan.
2.
Media Massa. Media massa dapat membantu upaya pemberantasan jual beli gelar dengan cara menolak menerbitkan iklan-iklan jual beli gelar yang dipasang oleh lembaga penjaja gelar palsu.
3.
Perusahaan. Dalam dunia kerja atau industri cara-cara pemberantasan gelar palsu adalah dengan tidak mengutamakan ijazah & gelar sebagai dasar kenaikan pangkat atau pun penghargaan, tetapi lebih kepada kompetensi yang dimiliki dan kinerja. Selain itu ijazah atau pun gelar yang diperoleh hendaknya diperiksa dengan ketat sehingga gelar palsu tidak disamakan dengan gelar sungguhan. Tidak mempekerjakan karyawan yang membeli gelar atau memperoleh gelar secara instant merupakan langkah jitu yang dapat dilakukan oleh perusahaan untuk mencegah "diploma diseases".
4.
Umum. Masyarakat umum dapat berperan dalam pemberantasan gelar palsu dengan cara tidak mempromosikan lembaga-lembaga penjual gelar palsu kepada teman-teman atau pun keluarga, tidak memamerkan gelar yang diperoleh oleh anggota keluarga atau sanak saudara secara berlebihan seperti memasang ucapan selamat secara besar-besaran di surat kabar, melaporkan lembaga-lembaga penjual gelar palsu kepada pihak berwenang, dll.

Pemerintah

Pemerintah dapat secara aktif melakukan tindan-tindakan baik preventif maupun kuratif untuk mencegah maraknya jual beli gelar palsu. Cara-cara yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah:

1.
Pembuatan kurikulum pendidikan nasional yang lebih seimbang antara pembentukan karakter individu dan ilmu dan pengetahuan. Selain itu rencana strategi pendidikan hendaknya lebih berorientasi pada pengisian lapangan kerja daripada hanya berhenti sampai mendapat ijazah atau gelar saja. Dengan demikian maka setiap individu yang berhasil memperoleh gelar akan mendapatkan ilmu dan ketrampilan untuk bekerja di bidangnya. Dengan demikian masyarakat pasti akan dapat membedakan dan menghargai gelar yang diperoleh seseorang sehingga gelar palsu mungkin tidak laku lagi.
2.
Menindak tegas penyelenggara-penyelenggara program S1 (sarjana), S2 (magister) dan S3 (doktor) yang menyimpang dari prosedur yang sebenarnya; seperti ketentuan jumlah SKS, tempat perkuliahan, proses belajar mengajar, dll.
3.
Menghentikan praktek-praktek jual beli gelar yang diselenggarakan melalui studi jarak jauh yang banyak terjadi di kota-kota kabupaten maupun ibukota provinsi di Indonesia.
4.
Menolak gelar-gelar yang diperoleh secara tidak pantas untuk keperluan kenaikan pangkat atau penghargaan di instansi-instansi pemerintah, sehingga para pejabat tidak berlomba-loma "mengambil" gelar.

Seandainya hal-hal tersebut diatas dapat kita laksanakan maka niscaya praktek jual beli gelar ini akan dapat dikurangi. Jika tidak maka bisa-bisa lembaga pendidikan formal kita dipenuhi oleh lembaga-lembaga penjual gelar dan setiap orang dapat memiliki gelar secara cepat. Jika sampai demikian yang terjadi, lalu apa artinya gelar itu.

Negara ini sudah terlalu lama berada dalam kondisi yang tidak sehat. Di berbagai sektor kita dapat melihat carut-marut penyelenggaraan negara kita ini. Relakah kita jika dalam dunia akademik, yang katanya menjadi ujung tombak untuk memajukan sumber daya manusia, dikotori oleh praktek-praktek jual beli gelar yang sangat memalukan dan merupakan pembodohan bangsa ini? Dan relakah kita jika negara ini dibanjiri oleh para doktor yang ternyata sebagian besar adalah doktor honoris causa dari universitas-universitas yang tidak jelas juntrungannya? Jika tidak rela, mari segera mengambil tindakan nyata. (jp)

AWAS BAHAYA BRAINWASHING

Awas Bahaya Brainwashing
Kategori Sosial
Oleh : Ubaydillah, AN
Jakarta, 21 Mei 2010
Ancaman Brainwash
Situs Wikipedia menjelaskan brainwash itu adalah serangkaian proses yang sistematik yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok, dengan metode yang barangkali tidak etis atau manipulatif, untuk merayu pihak lain supaya berjuang mengegolkan keinginan tertentu walaupun harus dengan cara yang menghancurkan pihak yang di-brainwash itu. Dalam proses brainwash, aktivitas yang terjadi antara lain: mengontrol pikiran, mencuci otak, mengkonstruksi ulang pemahaman seseorang, merayu seseorang dengan agak memaksa, menginstall pikiran seseorang dengan ideologi, fakta atau data, dan penjelasan yang sangat intens.

Meski awalnya teknik ini dipakai di dunia militer atau politik dalam mempertahankan regime, tapi pada perjalanannya, wilayah aplikasinya meluas. Banyak temuan yang berhasil mengungkap bahwa di balik aksi kekerasan yang selama ini mengancam kita, misalnya aksi bom bunuh diri dan lain-lain, terdapat keberhasilan proses brainwash yang dilakukan seseorang kepada pihak lain.

Keberhasilan brainwash memang sifatnya tidak instant. Ada upaya sistematik dalam memformulasi cerita atau pemahaman baru dari sebuah kenyataan yang disuguhkan kepada orang dengan ciri-ciri internal (profil psikologis) tertentu sehinga sangat match antara pemicu eksternal dan penentu internal. Dilihat dari karakteristik eksternal yang umum, negara kita termasuk tempat yang tidak sulit-sulit amat untuk melakukan aksi brainwash kepada pemuda untuk melakukan tindakan yang merugikan diri sendiri dan orang banyak. Dari mulai bom bunuh diri, kerusuhan massal, sampai demo anarkis memprotes hasil Pilkada.

Karakteristik eksternal itu misalnya wajah ketidakadilan sosial, penindasan, kesenjangan ekonomi, taraf pendidikan rata-rata penduduk, rendahnya kepercayaan pada pemerintah, wilayah gerak yang sangat luas, perbedaan agama, suku, ras, dan lain-lain. Ini belum lagi ditambah dengan semakin sungkannya pemerintah kita dengan isu HAM dan demokrasi.

Ini semua perlu dijadikan catatan bagi pemuda, orangtua, dan pemerintah. Pemuda perlu mewaspadai berbagai perangkap brainwash. Orangtua juga perlu memonitor kiprah anaknya di luar. Demikian juga pemeritah yang perlu terus mengurangi alasan-alasan kenapa bangsa gue mudah di-brainwash untuk menyerang tanah airnya sendiri.

Mengenali Tabiat Brainwasher
Selain pertanda di muka, aktivitas brainwash juga bisa dikenali dari tabiat dan gelagat orang-orangnya. Yang pertama-tama dilakukan para brainwasher adalah membuldoser konstruksi jatidiri, pemahaman, dan hubungan sosial korbannya, seperti rumah tua yang dirobohkan untuk rencana pembangunan gedung baru.

Tentu ada banyak cara bagaimana proses pembuldoseran itu dilaksanakan. Misalnya antara lain dengan mengeksploitasi berbagai kelemahan, kesalahan, kebodohan, dan ketidakberdayaan korban atau hal-hal negatif lainnya. Misalnya saya ingin mem-brainwash orang dari alasan agama, maka yang akan saya lakukan adalah membuktikan betapa banyaknya dosa orang itu, betapa sesatnya dia, dan seterusnya. Dengan asumsi bahwa orang itu sudah sering nangis-nangis depan saya, meminta hidayah dari saya, atau pendeknya sudah powerlessfull, maka saya mulai melakukan penawaran, seperti ahli bangunan yang menawarkan rancangan konstruksinya ke calon klien.

Sebagai brainwasher, tentu saya tidak serta merta akan menyetujui apa maunya klien. Saya akan minta syarat. Syarat yang umum biasanya antara lain: taat secara penuh, always Yes, mau mengisolasikan diri agar hubungannya dengan orang lain terputus dan mulai mengontrol hidup orang itu. Misalnya saya membuatkan rencana, agenda, dan membekalinya dengan logika yang sesuai dengan kepentingan saya.

Untuk memastikan pembuldoseran itu sukses, saya perlu menciptakan kondisi hubungan yang manipulatif. Misalnya, kalau dia mempertanyakan sesuatu, segera akan saya katakan dia keras kepala. Tapi kalau diam saja, akan saya katakan tidak kreatif. Jika dia curhat, akan saya katakan cengeng. Tapi kalau tidak mau curhat, akan saya katakan menyimpan kemunafikan. Dan seterusnya dan seterusnya.

Setelah pembuldoseran dan rekonstruksi dipastikan sukses, barulah saya mulai menggunakan jurus terakhir, dengan memujinya sebagai orang kuat, hebat, dan sudah layak untuk berbuat sesuatu. Tentu saya sudah menyiapkan agenda mengenai apa yang pas dilakukan orang itu sebagai simbol kekuatan, kemuliaan, kesetiaan, kesucian, dan lain-lain.

Jika jurus terakhir ini meragukan saya, cara lain yang akan saya lakukan adalah memperpanjang masa kebingungan, frustasi, dan ketidakberdayaan korban hingga dia siap untuk marah terhadap keadaan. Ketika amarah sudah memuncak, tentu saya akan lebih mudah mengarahkan dia melakukan sesuatu demi kepentingan saya.

Meski dalam tulisan ini bisa dijelaskan secara simpel bagaimana proses brainwash itu berlangsung, tetapi dalam prakteknya tidak semua orang bisa melakukannya dengan sukses. Ada orang-orang tertentu yang sepertinya secara talenta dibekali skill yang bagus untuk mem-brainwash orang lain.

Terlepas alasan yang dipakai itu agama, sosial, atau apapun, tapi umumnya orang itu punya approach yang lembut, tahu siapa yang bisa, dan tahu apa yang perlu disembunyikan dan apa yang perlu dinyatakan. Selain itu, dia juga “pede” (percaya diri) untuk memimpinorang lain.

Siapa yang Paling Mudah Di-brainwash?
Siapakah yang paling mudah / berpotensi kena untuk di-brainwash? Dalam prakteknya, tentu tidak mudah untuk dijabarkan secara akurat dan definitif. Penjelasan di bawah ini hanya bisa dipakai petunjuk untuk mengantisipasi agar kita tidak mudah dijadikan incaran praktek brainwash untuk melakukan aksi brutal.

Jika mengacu ke istilah dalam psikologi, yang berpotensi kena di-brainwash adalah orang yang disebutnya dengan istilah mengalami mental illness, yang terjemahan kasarnya adalah penderita penyakit mental. Istilah ini memang agak sulit ditemukan definisinya yang pas dan bisa diterima di semua standar sosial dengan kriteria yang utuh. Secara umum, kita bisa menyebutnya abnormal.

Yang termasuk mudah terkena lagi adalah orang dengan kepribadian bermasalah (personality disorder). Bentuknya antara lain:
1. Kemampuannya sangat rendah untuk mengatasi masalah secara baik, masa bodoh dengan akibat perilakunya, atau suka melakukan kenekatan yang gila
2. Mudah meledak pada tingkatan yang sangat membahayakan (explosive)
3. Diam-diam tapi menyimpan gejolak yang membayakan (passive-aggressive)
4. Kaku, menyimpan dendam, dan sempit, dengan tuntutan yang kuat agar orang lain dan dunia ini harus berjalan sesuai ego-nya
5. Punya masalah hubungan sosial, isolasi diri, sulit menerima perbedaan, atau toleransinya rendah
6. Lainnya lagi adalah orang dengan tingkat protes atau sikap pemberontakan yang tinggi namun dalam taraf yang tidak sehat (patologis), ketahanan mentalnya rendah, mudah putus asa yang membuat dia sering berpikir “mati saja”.

Bila semua karakteristik di atas mendapatkan jodoh dari faktor eksternal yang sangat memicu, apinya gampang tersulut. Misalnya, merasa pernah diperlakukan tidak adil, hidupnya semakin susah, nothing to lose, jarang bertemu dengan orang / kelompok yang mencerahkan jiwanya atau mengembangkan kapasitasnya.

Akan lebih sempurna ledakannya apabila didukung dengan pendidikan yang rendah, status sosial yang termarjinalkan, dan makin banyaknya khutbah atau ceramah yang mengajak massa untuk marah kepada kenyataan tanpa diiringi dengan saran-saran yang bijak untuk menyikapi kenyataan secara kuat dengan logika yang didukung otak.

Supaya Tidak Mudah Terkena Brainwash
Apa ada orang yang kebal terhadap brainwash orang lain? Di teorinya, kita bisa menjawabnya secara hitam-putih. Tapi, dalam prakteknya, ini tidak jelas. Artinya, semua orang dapat berpotensi kena brainwash, terlepas ada yang mudah atau ada yang sulit.

Supaya kita tidak mudah terkena brainwash orang lain yang mengajak kita melakukan aksi pengrusakan yang nekat, latihan yang perlu kita lakukan antara lain:
Pertama, sebelum perasaan atau reaksi, berpedomanlah pada nilai-nilai personal, sosial atau universal yang sudah ditanam sejak kecil. Kita perlu berlatih untuk menjadikan ajaran, prinsip, atau nilai-nilai sebagai penggerak tindakan. Jangan melulu menuruti perasaan reaktif, pemahaman benar sendiri, atau kepentingan pribadi atau kelompok, meski ini terkadang tetap harus kita lakukan sebagai bukti bahwa kita bukan robot.

Kedua, berlatih menjadi orang yang toleran dan fleksibel. Tak berarti kalau kita keras dan anti toleransi itu kuat. Seringkali malah mudah patah ketika dihadapkan pada problem atau kenyataan. Kalau tidak patah, kita bisa membabi buta. Misalnya kita keras terhadap pemahaman keagamaan tertentu. Jika kerasnya itu melebihi batas, mungkin kita malah akan melanggar nilai-nilai agama. Supaya kita bisa toleran dan fleksibel, latihannya adalah memperluas dan mem-variatifkan pergaulan agar gesekan terjadi.

Ketiga, terbuka, tidak pernah fanatik terhadap pemikiran, konsep, sistem, atau paradigma berpikir yang lahir dari proses kreatif manusia. Kita hanya perlu fanatik pada nilai etika universal, semacam kejujuran, tanggungjawab, dan semisalnya, yang jumlahnya sedikit. Hasil proses kreatif manusia itu perlu kita gunakan sebagai referensi atau alat yang kita pilih untuk menghadapi keadaan tertentu yang bisa berubah kapan saja.

Banyak aksi kekerasan yang berlatar belakang paham agama karena pelakunya gagal membedakan mana yang wahyu dan mana yang hasil “proses kreatif” pemimpin agamanya. Fanatik terhadap konsep manajemen profesor anu, malah membuat kita tidak bernilai manajemen. Fanatik terhadap sistem demokrasi malah membuat kita tidak bernilai demokrasi. Fanatisme yang salah membuat kita sengsara sendiri.

Keempat, memperkuat logika hidup, dalam arti gunakan otak secara kritis dan analitis. Ini hanya bisa dilatih ketika kita semakin tersambung hubungan kita dengan diri sendiri, misalnya kita tahu apa tujuan kita, jalur hidup kita, nilai-nilai kita, orang yang pas untuk kita, apa yang kita perjuangkan, masalah kita, dan seterusnya. Jika kita blank terhadap diri sendiri, logika hidup kita gampang jebol atau gampang larut.

Kelima, berani mengatakan “TIDAK” pada ajakan, himbauan, saran, nasehat, pendekatan yang oleh akal sehat kita aneh, yang ciri-cirinya sudah kita singgung di muka.

Ciri Brainwash Yang Baik
Meski di berbagai literatur sudah dikatakan dengan jelas bahwa brainwash itu menggunakan teknik yang kurang etis dan manipulatif, tetapi mungkin dalam prakteknya ada yang bisa kita sebut brainwash, namun tetap etis dan tidak manipulatif. Sebut saja ini bahasa sosial yang keliru. Ciri fundamental yang dapat kita pedomani antara lain:

* · Jika itu mengedukasi kita. Edukasi berarti membuat kita menjadi diri sendiri dalam bentuk dan kualitas yang lebih bagus, bukan menghancurkan diri kita atau menjadikan kita sebagai korban ego-nya.
* · Jika itu menolang kita, dengan motif yang memang untuk menolong, misalnya membantu kita dari jeratan narkoba. Bila orang itu memanipulasi motifnya, manfaatkan saja pertolongannya atau Anda menolak pertolongannya
* · Jika itu mengembangkan kapasitas positif kita, misalnya ilmu, network, pengalaman, wawasan, pemahaman, dan seterusnya. Banyak ceramah agama, orasi sosial, atau kampanye politik yang hanya mengajak kita marah terhadap kenyataan, namun dianya sendiri tidak sedikit pun mau berkorban mengembangkan kapasitas positif kita. Kalau kita mengikutinya, kita sendiri yang salah. Anggap saja itu jualan atau bualan.
* · Jika itu mengajak kita mentaati perintah Tuhan, prinsip, atau nilai-nilai yang kebenarannya diterima akal sehat seluruh dunia, bukan mengajak kita mengikuti ego, nafsu, ambisi pribadinya.


Semoga bermanfaat.

Jumat, 21 Januari 2011

LABELING

Labeling
Kategori Anak
Oleh : Martina Rini S. Tasmin, SPsi
Jakarta, 16 Mei 2002


Bodoh sekali sih kamu, begitu saja salah, tidak bisa...

Aduh anak saya ini loh pemalu sekali...

Dasar anak bandel...

Beberapa orangtua pasti tidak asing dengan kalimat-kalimat di atas, beberapa orangtua yang lain mungkin pernah mendengar (dan mengucapkan) versi-versi lain dari kalimat sejenis. Versi-versi lain itu bisa kalimat negatif seperti contoh-contoh di atas dan bisa juga kalimat-kalimat positif yang berisi pujian tentang kehebatan-kehebatan anaknya. Orangtua yang "sempurna" dan sulit menerima kesalahan dan kekurangan, mungkin akan lebih banyak mengatakan kalimat-kalimat negatif, orangtua yang "adil" mungkin pernah mengatakan kedua jenis kalimat tersebut tergantung keadaan anak, sementara orangtua lain yang selalu berpikir positif dan hanya mau melihat hal-hal positif pada anaknya mungkin hanya mengatakan kalimat-kalimat positif. Semua itu disebut sebagai labeling.


Labeling

Labeling adalah proses melabel seseorang. Label, menurut yang tercantum dalam A Handbook for The Study of Mental Health, adalah sebuah definisi yang ketika diberikan pada seseorang akan menjadi identitas diri orang tersebut, dan menjelaskan orang dengan tipe bagaimanakah dia.Dengan memberikan label pada diri seseorang, kita cenderung melihat dia secara keseluruhan kepribadiannya, dan bukan pada perilakunya satu persatu.


Dampak Terhadap Anak

Dalam teori labeling ada satu pemikiran dasar, dimana pemikiran tersebut menyatakan "seseorang yang diberi label sebagai seseorang yang devian dan diperlakukan seperti orang yang devian akan menjadi devian".Penerapan dari pemikiran ini akan kurang lebih seperti berikut "anak yang diberi label bandel, dan diperlakukan seperti anak bandel, akan menjadi bandel". Atau penerapan lain "anak yang diberi label bodoh, dan diperlakukan seperti anak bodoh, akan menjadi bodoh". Kalau begitu mungkin bisa juga seperti ini "Anak yang diberi label pintar, dan diperlakukan seperti anak pintar, akan menjadi pintar".

Pemikiran dasar teori labeling ini memang yang biasa terjadi, ketika kita sudah melabel seseorang, kita cenderung memperlakukan seseorang sesuai dengan label yang kita berikan. Misalnya, seorang anak yang diberi label bodoh cenderung tidak diberikan tugas-tugas yang menantang dan punya tingkat kesulitan di atas kemampuannya karena kita berpikir "Ah dia pasti tidak bisa kan dia bodoh, percuma saja menyuruh dia". Karena anak tersebut tidak dipacu akhirnya kemampuannya tidak berkembang lebih baik. Kemampuannya yang tidak berkembang akan menguatkan pendapat/label orangtua bahwa si anak bodoh. Lalu orangtua semakin tidak memicu anak untuk berusaha yang terbaik, lalu anak akan semakin bodoh. Anak yang diberi label negatif dan mengiyakan label tersebut bagi dirinya, cenderung bertindak sesuai dengan label yang melekat padanya. Dengan ia bertindak sesuai labelnya, orang akan memperlakukan dia juga sesuai labelnya. Hal ini menjadi siklus melingkar yang berulang-ulang dan semakin saling menguatkan terus-menerus.

Dalam buku Raising A Happy Child, banyak ahli yang setuju, bahwa bagaimana seseorang memandang dan merasakan dirinya sendiri akan menjadi dasar orang tersebut beradaptasi sepanjang hidupnya. Anak yang memandang dirinya baik akan mendekati orang lain dengan rasa percaya dan memandang dunia sebagai tempat yang aman, dan kebutuhan-kebutuhannya akan terpenuhi. Sementara anak yang merasa dirinya tidak berharga, tidak dicintai akan cenderung memilih jalan yang mudah, tidak berani mengambil resiko dan tetap saja tidak berprestasi.

Bagi banyak orang (termasuk anak-anak) pengalaman mendapatkan label tertentu (terutama yang negatif) memicu pemikiran bahwa dirinya ditolak. Pemikiran bahwa dirinya ditolak dan kemudian dibarengi oleh penolakan yang sesungguhnya, dapat menghancurkan kemampuan berinteraksi, mengurangi rasa harga diri, dan berpengaruh negatif terhadap kinerja seseorang dalam kehidupan sosial dan kehidupan kerjanya.


Saran Bagi Orangtua

Adalah penting bagi anak untuk merasa bahwa dirinya berharga dan dicintai. Perasaan ini diketemukan olehnya lewat respon orang-orang sekitarnya, terutama orang terdekat yaitu orangtua. Kalau respon orangtua positif tentunya tidak perlu dicemaskan akibatnya. Tetapi, adakalanya sebagai orangtua, tidak dapat menahan diri sehingga memberikan respon-respon negatif seputar perilaku anak. Walaupun sesungguhnya orangtua tidak bermaksud buruk dengan respon-responnya, namun tanpa disadari hal-hal yang dikatakan orangtua dan bagaimana orangtua bertindak, masuk dalam hati dan pikiran seorang anak dan berpengaruh dalam kehidupannya.


Beberapa saran bagi orangtua:

1.
Berespon secara spesifik terhadap perilaku anak, dan bukan kepribadiannya. Kalau anak bertindak sesuatu yang tidak berkenan di hati, jangan berespon dengan memberikan label, karena melabel berarti menunjuk pada kepribadian anak, seperti sesuatu yang terberi dan tidak bisa lagi diperbaiki. Contoh: Kalau anak tidak berani menghadapi orang baru, jangan katakan "Aduh kamu pemalu sekali", atau "Jangan penakut begitu dong Nak", tetapi beresponlah "Tidak kenal ya dengan tante ini, jadi tidak mau menyapa. Kalau besok ketemu lagi, mau ya menyapa, kan sudah pernah kenalan". Kalau anak nakal (naughty), jangan katakan bahwa dia nakal tapi katakan bahwa perilakunya salah (misbehave). Anak-anak sering berperilaku salah, selain karena mereka memang belum mengetahui semua hal yang baik-buruk; benar-salah; boleh-tidak boleh, mereka juga suka menguji batas-batas dari orangtuanya. Misalnya, kakak merebut mainan adik, katakan "Kakak, merebut mainan orang lain itu salah, tidak boleh begitu. Kalau main sama adik gantian ya" (dan bukan mengatakan "Kakaaaaak, nakal sekali sih merebut mainan adiknya"). Dengan demikian tidak ada pesan negatif yang masuk dalam pikiran anak, dan bahkan anak didorong untuk mau bertindak benar di waktu berikutnya.
2.
Gunakan label untuk kepentingan pribadi orangtua. Sebenarnya melabel tidak selamanya buruk, asalkan label tersebut digunakan orangtua untuk dirinya sendiri, agar lebih memahami dinamika perilaku anak. Misalnya, "Anakku A lebih bodoh daripada anakku B". Tapi label tersebut tidak dikatakan di depan anak, "A kamu itu kok lebih bodoh ya daripada adikmu si B". Dengan mengetahui dinamika anak lewat label yang ada dalam pikiran orangtua sendiri, hendaknya orangtua menggunakan label tersebut untuk menyusun strategi selanjutnya, agar kekurangan anak diperbaiki. Misalnya, setelah mengetahui A lebih bodoh daripada B, maka orangtua memberikan lebih banyak waktu untuk mengajarkan sesuatu dan mempersiapkan diri untuk lebih sabar jika menghadapi A.
3.
Menarik diri sementara jika sudah tidak sabar. Adakalanya orangtua sudah tidak sabar dan inginnya melabel anak, misalnya "Heeeeh kamu goblok banget sih, 1 + 1 saja tidak bisa-bisa". Jika kesabaran sudah diambang batas, sebelum kata-kata negatif keluar, ada baiknya orangtua menarik diri sementara dari anak, time off. Katakan pada anak, "Papa sudah lelah, mungkin kamu juga sudah lelah. Kita istirahat dulu, nanti belajar lagi sama-sama. Siapa tahu setelah istirahat kita berdua lebih berkonsentrasi dan semangat belajar".

Bagaimana cara orangtua berbicara dan menanggapi kekurangan-kekurangan anak akan sangat berpengaruh bagi anak sepanjang hidupnya. Oleh karena itu orangtua harus sangat berahti-hati dan mempertimbangkan secara matang apa yang akan diucapkan kepada anaknya. Mulutmu harimaumu, begitulah kata pepatah, yang dalam hal ini mulut orangtua bisa menjadi harimau bagi anak. Penting sekali orangtua selalu berkata-kata positif tentang anak, agar anak jadi berpikir positif tentang dirinya dan bertumbuh dengan harga diri yang tinggi dan perasaan dicintai dan diterima.

PELAJARAN MENJADI ORANG TUA

Pelajaran Menjadi Orang Tua
Kategori Anak
Oleh : Ubaydillah, AN
Jakarta, 04 Mei 2009


Seorang ayah muda akhirnya dapat membenarkan ucapan ibu mertuanya. Ayah muda ini tak tahan saat melihat anak perempuannya menangis dengan suara yang keras sambil melemparkan benda-benda mainan di sekitarnya. Karena tak tahan, biasanya yang dilakukan adalah menghindari suasana itu sebisa mungkin atau bereaksi secara agresif yang diakhir dengan penyesalan.



Kepada ibu mertuanya, si ayah muda ini bilang kalau dirinya tak tahan melihat anak kecil menangis. Tetapi apa jawab ibu mertuanya? Ibu mertuanya bilang kalau dulu dirinya juga begitu. Ketetapan hatinya menghadapi anak kecil diperoleh secara alamiah melalui proses yang tidak langsung. "Nanti kamu kalau terus belajar juga akan tahan, nak", ucap ibu mertuanya dengan santai.



Itu mungkin ucapan orangtua yang sederhana. Tetapi sebetulnya mengandung kearifan yang penting bagi pasangan muda. Ketetapan – keteguhan hati menghadapi kerewelan anak kecil itu sama seperti kekuatan dalam mengelola kesuksesan dan kegagalan. Kekuatan seseorang dalam mengelola kesuksesan itu tak diperoleh setelah orang itu menikmati kesuksesan. Kekuatan itu diperoleh jika seseorang berani, mampu dan mau berproses, menghadapi kesulitan, ganjalan, kegagalan dan lika liku perjalanan kehidupannya dengan tekun dan setia. Serangkaian "prosesi" alamiah ini yang memperkuat batin seseorang. Sama juga seperti batang pohon. Ia menguat dengan proses fotosintesis yang memperkuat daun, cabang dan ranting, seiring hempasan angin yang menerpanya.



Secara pribadi, saya kerap ditanya terkait dengan bagaimana menghadapi anak kecil dengan sabar saat menangis meminta sesuatu. Pertanyaannya sederhana, tetapi jawabannya tak ada yang sederhana. Kenapa? Ibarat orang memetik buah, jawaban itu sudah ada di atas sana dan tangganya pun sudah disediakan. Cuma, untuk memetik buah itu kita harus menaikinya sendiri. Buah itu tak jatuh dengan kata-kata, pengetahuan atau dengan menyuruh orang lain.



Kalau membaca sejumlah penjelasan ahli mengenai anak kecil, sangat wajar kalau kita sebagai orangtua itu mengalami kekagetan. Menurut Prof. Robert G. Harrington, PhD, dari University of Kansas, temper tantrum dialami seorang anak ketika usianya antara 1-4 tahun (Temper Tantrums: Guidelines for Parents: 2004),



Temper tantrum adalah problem normal pada perilaku anak kecil dalam mengungkapkan kejengkelannya ketika belum memiliki kata-kata yang memadai untuk mengungkapkan frustasinya atau belum memiliki kemampuan mengontrol dirinya atau bahkan kemampuan untuk melaksanakan keinginannya secara mandiri. Bentuknya banyak, misalnya berguling-guling saat menangis, menendang-nendang benda, atau membanting pintu saat ngambek, atau merajuk, menolak makan dan bicara.



Untuk orangtua yang sedang menghadapi perilaku seperti ini sangat disarankan agar tidak melihatnya sebagai kelainan yang luar bisa ataupun kewajaran yang luar biasa, melainkan melihatnya sebagai bagian proses tumbuh kembang yang perlu di lalui kedua pihak (orang tua dan anak). Persepsi itu menentukan tindakan orang tua, bentuknya bisa mulai dari menghukum secara luar biasa atau luar biasa toleran, karena dianggap "ah, kan masih kecil..." Proses ini mau tidak mau di lalui sebagai latihan mental orang tua maupun anak, sekaligus meletakkan dasar nilai dalam diri anak. Kalau di dalam masa ini orang tua memberikan instant gratification – kepuasan instan, demi menghentikan rengekan, kelak anak kita tidak menyadari bahwa manusia untuk bisa hidup haruslah bekerja; dan joy, contentment – merupakan dampak dari usaha optimum yang telah di keluarkan hingga mendatangkan kepuasan, regardless hasilnya.



Satu hal yang perlu di renungkan, misalkan kita tidak tahan dengan rengekan anak, lantas cepat-cepat memenuhi permintaan anak, atau pun di bribe – di sogok dengan janji-janji surga, supaya anak diam, jangan-jangan, kita sampai menjadi orang tua, belum berhasil mengatasi dorongan instant gratification diri sendiri. Maunya cepat-cepat ada, kalau perlu pakai jalan pintas. Ketidakmampuan mengelola dorongan dalam diri kita sebagai orang tua, akan terulang kembali ketika kita menghadapi anak.





Belajar bijak dan dewasa dari anak

Kalau melihat ke struktur ajaran keimanan, kesabaran itu disejajarkan dengan kesyukuran. Ketika hidup kita dalam keadaan positif maka kita diperintahkan untuk memfungsikan kesyukuran, dalam arti memunculkan ide positif, menjalankan aksi positif, cara positif, untuk meraih tujuan positif. Tapi, giliran menghadapi situasi negatif, maka kesabaranlah yang harus difungsikan. Tapi definisi kesabaran di sini berbeda dengan kesabaran patetik dan fatalistik, hanya menunggu tanpa berbuat apa-apa – dan ini setara dengan melemparkan tanggung jawab pada orang lain. Kesabaran dalam definisi ini, adalah kesabaran dalam konteks ketahanan mental yang diwujudkan dalam ketekunan kita sebagai orang tua untuk berproses. Artinya, belajar mengenal dan memperbaiki kelemahan kita dari hubungan yang terjalin dengan anak. Sebenarnya kita bisa melihat dengan sangat jelas, bahwa ada beberapa kesamaan antara sikap, karakter dan kebiasaan kita dengan anak baik dalam hal positif maupun negatif. Termasuk soal temper tantrum sebagai solusi instan untuk memperoleh keinginan.



Jadi sebetulnya, awalnya pelajaran kesabaran bukan di arahkan ke anak, tapi pada diri sendiri. Kalau kita sendiri tidak "sabar", mendengar rengekan anak, melihat kenakalan anak, melihat tindakan anak yang tidak mendukung image kita, melihat rupa anak yang tidak semanis atau secakep harapan kita – maka tidak heran jika kita ingin cepat keluar dari situasi itu, umumnya dengan sikap fatalistik. Makanya kita sering dengar ucapan "yah, mau bagaimana lagi...sudah bawan lahir dia nakal..."atau.."wajar laaah.....dia kan masih kecil"....jangan-jangan, kita sendiri yang tidak mampu mengelola dorongan-dorongan diri untuk tidak merokok, tidak nonton sinetron di kala anak belajar, tidak gossiping di saat kerja, tidak main game saat pekerjaan menumpuk, tidak shopping mania karena 70% discount.



Ada sebagian kita yang seakan-akan bijak sejak lahir. Dari lahir sudah kelihatan potensi "sabar" nya. Sebenarnya, juga produk dari sebuah proses, karena karakter orang tua serta proses hidup yang dialami turut menentukan dan mempengaruhi sifat, karakter, dan hal-hal yang bersifat "bawaan" anak.



Tapi ada juga yang seperti pohon beringin. Untuk meraih kematangan jiwanya, orang itu harus berkolaborasi dengan terpaan angin, teriknya matahari, sengatan benalu, atau torehan pisau orang iseng – semua itu proses hidup yang sebenarnya, kalau digunakan dan di tempatkan dengan benar, melahirkan kebijaksanaan yang mengalir dalam sikap tekun dan setia – sabar untuk dibentuk dan membentuk diri – sebelum membentuk orang lain. Bayangkan saja, kalau kita nya sendiri belum punya bentuk, masih foto copy pola lama, atau masih format original yang belum di up grade – alias masih mengedepankan "Id" bagaimana bisa membentuk anak?



Intinya, semua orang itu diberi potensi untuk menjadi "penyabar lan bijak". Soal potensi itu kita gunakan atau tidak, ini kita yang ditawari untuk memilih. Karena itu, perintah bersabar itu bersifat umum dan mutlak, tidak hanya ditujukan kepada orang tertentu tapi kepada tiap orang.





Beberapa Faktor Pendukung

Ketika konteksnya kita bawa untuk menjelaskan bagaimana kita bisa menjadi orangtua yang lebih sabar dan bijak, maka secara umum memang ada beberapa faktor yang bisa kita sebut sebagai pendukung untuk ke sana. Sejumlah faktor itu bisa kita sebutkan di sini, antara lain:



* Hubungan orangtua / ayah-ibu. Semakin sinergis hubungan yang terjalin antara ayah dan ibu, baik secara lahir dan batin, semakin besar potensi untuk saling memberi support dalam menghadapi tantangan menjadi "orang tua". Banyak hasil penelitian yang mengungkap bahwa anak sering jadi korban ketidakhamonisan orangtuanya. Kalau orang tua sendiri sudah berselisih paham dan nilai, atau adu kekuatan, atau bahkan yang satu menjajah yang lain, bagaimana bisa berkolaborasi untuk mendidik anak ?
* Persepsi orangtua. Orangtua yang menganggap dirinya sebagai guru dan penguasa yang serba segala-galanya di hadapan anak, mungkin lebih sulit belajar sabar lan bijak dibanding orangtua yang juga menyadari pentingnya untuk menjadi "murid" yang punya kesediaan memahami dan mempelajari prilaku anak untuk ditemukan solusinya.
* Penguasaan suasana batin. Orangtua yang lebih matang dalam mengontrol stress, akan lebih mudah belajar menjadi lebih sabar ketimbang orangtua yang selalu reaktif terhadap stress atau membawa-bawa stress-nya dalam menghadapi anak. Kalau orang tua sendiri blm mampu mengolah
* Kematangan mental. Orangtua yang pengalaman hidupnya lebih variatif, jiwanya lebih besar, pede-nya lebih tinggi, atau nilai-nilai yang ada di dadanya lebih kuat, akan lebih mudah mempelajari kesabaran.
* Penyikapan terhadap keadaan ekonomi keluarga. Ini pengertiannya bukan soal kaya atau miskin, melainkan lebih pada bagaimana penyikapan terhadap fluktuasi kondisi ekonomi keluarga di saat-saat tertentu. Sikap yang positif akan lebih mendukung untuk belajar lebih sabar ketimbang sikap yang negatif.
* Wacana dan nilai-nilai yang dikembangkan dalam keluarga. Keluarga yang masih membuka pembicaraan mengenai wacana hidup yang menggugah jiwa atau nilai-nilai kearifan yang mencerahkan, akan lebih mudah belajar kesabaran ketimbang keluarga yang materi pembicaraannya sebatas pada hal-hal yang superfisial.
* Situasi dan kondisi eksternal keluarga secara umum. Keluarga yang orang-orang di dalamnya satu hati, satu visi, dan satu irama, akan lebih mendukung untuk belajar kesabaran.



Itu semua adalah faktor pendukung. Faktor ini hanya akan aktif dukungannya apabila kita mengaktifkan faktor penentu. Siapa yang menjadi faktor penentu di sini? Faktor penentunya adalah kita dengan segala komitmen yang kita miliki untuk belajar "sabar" – ikut berproses dan bertumbuh jadi dewasa seiring dengan proses tumbuh kembang anak kita.





Beberapa Tips Menghadapi Rewelan Anak

Apa saja yang bisa kita lakukan saat menghadapi anak yang sedang rewel, ngambek, atau marah? Di bawah ini ada sejumlah cara yang mungkin bisa kita pilih salah satunya atau sebagiannya sebagai langkah menjadi orangtua yang lebih rasional:



* Belajar menguasai diri lebih dulu. Dengan menguasai diri, kalau pun kita marah, marahlah secara rasional, sehingga tidak lepas kendali.
* Ajarkan anak dari kecil untuk mengenali emosinya dan cara yang bisa dilakukan untuk mengungkapkan perasaannya.
* Abaikan reaksi emosi anak yang irrasional dan tidak logis – tapi berikan penjelasan mengapa Anda mengabaikan rengekan dan jeritannya.
* Terapkan disiplin yang logis, misalnya setiap dia ngambek, kita mengajaknya di kamar, biarkan sendiri dalam beberapa waktu sampai bisa mengendalikan diri dan setelahnya di ajak bicara dari hati ke hati dengan akal sehat.
* Terus berusaha mengungkap motif di balik perilaku yang ngambek itu, mungkin mencari perhatian, mengajukan tuntutan, atau menolak apa yang kita perintahkan. Secara umum, ke-ngambek-an yang tingkat rutinitasnya tinggi dan alasannya sangat abstrak, biasanya disebabkan oleh kurangnya kualitas hubungan / kehangatan hubungan / kedekatan, sehingga yang terjadi, orang tua mengendalikan anak, atau anak mengendalikan orang tua.
* Lebih fokuslah untuk memberikan reward atas perilaku yang positif ketimbang bereaksi negatif atas perilaku yang negatif. Misalnya, kalau dia sudah berhasil mengurangi intensitas dan frekuensi ke-ngambek-kannya, ya kita perlu mengasih reward dalam berbagai bentuk yang bisa ia tafsirkan sebagai penghargaan.
* Jangan sampai kita takut dengan perilaku anak yang ngambek lalu kita mengabulkan permintaannya. Ini akan mengajarkan sebuah teknik hidup bahwa ngambek-lah cara yang paling mulus untuk mencapai tujuan. Tapi jangan juga memunculkan kesan bahwa kalau dia tidak ngambek, permintaannya sering diabaikan.
* Terus intensifkan membuka komunikasi yang semakin heart to heart agar kita bisa memahamkan perilaku yang baik atau mendiskusikan efek buruk bagi perilaku yang buruk. Bisa juga menjadikan anak lain yang suka ngambek sebagai bahan studi kasus dengan dia, namun tetap menghindari sikap "menyerang".





Keanehan Dunia

Dunia ini sering menunjukkan keanehan. Sebagian besar kita meyakini keburukan itu hanya bisa dikalahkan dengan keburukan juga. Padahal kita tahu kebaikanlah yang sering menang melawan keburukan dengan hasil yang sangat manis. Itulah kenapa kita perlu berlatih "kesabaran" dalam menghadapi amukan topan badai anak kita. Semoga bermanfaat.

KETIKA ANAK MENONTON TV

Ketika Anak Menonton Televisi
Kategori Anak
Oleh : Martina Rini S. Tasmin, SPsi
Jakarta, 18 April 2002


Pikiran Orangtua:
Malu, mau marah dan jantung rasanya mau copot ketika tiba-tiba mendengar Edu berteriak "bajingan kau!!!". Entah belajar darimana, tapi rasanya kok sebagai orangtua tidak pernah mengatakan hal-hal kasar seperti itu, pembantu di rumah juga tidak ada yang bicara seperti itu, Wah jangan-jangan dari anak tetangga sebelah rumah. Aaaaaah ternyata Edu mendengarnya di televisi. Di televisi? Bukankah program tayangan Teletubbies kesayangan Edu tidak ada bahasa kasar seperti itu? Ooooooh ternyata Edu juga suka menonton telenovela bersama nenek. Aduh.... kan tidak mungkin melarang nenek menonton telenovela, jadi yang perlu dipikirkan sekarang adalah bagaimana caranya supaya Edu tidak ikutan menonton telenovela bersama nenek dan hanya menonton acara anak-anak saja.


Pikiran Anak:
Aduh, Mama/Papa marah nih, gara-gara Edu tadi bilang "bajingan kau!!!". Padahal kan Edu lihat ada om jagoan ganteng di televisi bilang begitu, Edu cuman meniru saja kok. Memangnya "bajingan kau" itu apa sih? Kata mama, itu kata-kata kasar, memangnya kata-kata kasar itu apa sih? Edu kan ingin seperti om jagoan ganteng di televisi itu, banyak yang suka, banyak yang sayang, nenek dan mbak saja tiap hari harus lihat om itu, mama juga kalau di rumah lihat om itu. Tapi, Edu jadi bingung sama Mama dan Papa, kalau Edu hafal cerita-cerita film yang ada di televisi, Mama dan Papa bangga. Mama dan Papa sering bilang sama om dan tante Edu: "wah Edu pintar loh, dia bisa hafal semua cerita-cerita film televisi". Kalau Edu hafal iklan-iklan di televisi Mama dan Papa juga bangga, katanya Edu pintar, terus kalau Edu lagi menirukan iklan televisi katanya Edu lucu dan menggemaskan. Tapi kalau Edu nonton televisi terus-terusan, Mama dan Papa marah, katanya Edu malas. Padahal kalau nggak nonton kan nggak bisa hafal film dan iklan yang di televisi. Aduuuuuuh Edu jadi bingung.

Sebagai orangtua, pernahkah anda mengalami situasi seperti di atas? Kadang-kadang marah karena anak menirukan adegan di televisi, tetapi seringkali juga memuji dan bangga kalau anak hafal dengan cerita-cerita atau iklan-iklan yang ada di televisi. Kalau dilihat sepintas sepertinya ada standard ganda di sini, walaupun sebenarnya tidak. Sebagai orangtua kita sudah tahu dengan pasti mana yang pantas dan mana yang tidak, mana yang baik dan mana yang buruk, sehingga kita bisa menetapkan mana program yang boleh ditonton dan ditiru dan mana yang tidak. Orangtua juga tahu kapan menonton televisi, kapan waktu belajar. Tetapi apakah anak sudah tahu dengan pasti mengenai hal baik dan buruk tersebut, apakah anak sudah mengetahui program televisi mana saja yang diperbolehkan untuk ditonton dan apakah anak sudah menyadari benar-benar mengenai pembagian waktu? Anak mungkin bingung dan tidak mengerti, ditambah lagi kalau standard yang ditetapkan oleh orangtua berbeda dengan yang ditetapkan oleh pengasuh (termasuk dalam pengasuh adalah suster, kakek-nenek dan om-tante yang ikut serta dalam pengasuhan sehari-hari). Nah, pertanyaan kita kemudian adalah bagaimana orangtua menyikapi anak dalam menonton televisi?

Darimana Anak Meniru Adegan Kekerasan?

Televisi, si kotak ajaib yang keberadaanya sudah menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari, seringkali menimbulkan kecemasan bagi orangtua yang anaknya masih kecil. Cemas kalau anak jadi malas belajar karena kebanyakan nonton televisi, cemas kalau anak meniru kata-kata dan adegan-adegan tertentu, cemas mata anak jadi rusak (minus), dan cemas anak menjadi lebih agresif karena terpengaruh banyaknya adegan kekerasan di televisi. Namun demikian harus diakui bahwa kebutuhan untuk mendapatkan hiburan, pengetahuan dan informasi secara mudah melalui televisi juga tidak dapat dihindarkan. Televisi, selain selalu tersedia dan amat mudah diakses, juga menyuguhkan banyak sekali pilihan, ada sederet acara dari tiap stasiun televisi, tinggal bagaimana pemirsa memilih acara yang dibutuhkan, disukai dan sesuai dengan selera. Sehingga walaupun semua orang mungkin sudah tahu akan dampak negatif yang bisa ditimbulkannya, keberadaan televisi tetap saja dipertahankan.

Kecemasan orangtua terhadap dampak menonton televisi bagi anak-anak memang sangat beralasan, mengingat bahwa banyak penelitian menunjukkan televisi memang memiliki banyak pengaruh baik negatif maupun positif. Misalnya penelitian yang dilakukan Liebert dan Baron, menunjukkan hasil: anak yang menonton program televisi yang menampilkan adegan kekerasan memiliki keinginan lebih untuk berbuat kekerasan terhadap anak lain, dibandingkan dengan anak yang menonton program netral (tidak mengandung unsur kekerasan).

Dalam benak banyak orang dewasa, film-film kartun dan film-film robot dianggap merupakan film anak-anak dan cocok dikonsumsi oleh mereka karena format penyajiannya disesuaikan dengan perkembangan anak-anak. Benarkah demikian? Jawabnya tidak semua film-film tersebut cocok dikonsumsi anak-anak. Contohnya Bart Simpson dan Crayon Sinchan yang cukup populer di Indonesia, sebenarnya tidak cocok untuk anak-anak, karena bercerita dalam bahasa yang kasar dan tingkah laku urakan. Tetapi diawal kemunculannya, orangtua membiarkan kedua film tersebut ditonton oleh anak-anak karena format penyajian dan jam tayangnya yang pas dengan waktu anak menonton televisi. Setelah berjalan beberapa lama barulah orangtua menyadari kalau tontonan tersebut tidak cocok dan ramai-ramai mengajukan protes kepada stasiun televisi. Akhirnya kemudian film tersebut diberi keterangan bukan untuk konsumsi anak-anak.

Kalau mau lebih teliti, sebenarnya banyak film "anak-anak" yang justru menampilkan adegan kekerasan dan kata-kata yang kasar (meski tidak sekasar film dewasa sih), walaupun banyak juga terdapat adegan-adegan kebaikan (karena biasanya film-film tersebut bercerita tentang pertentangan antara kebaikan dan kejahatan). Contoh film-film yang memiliki kedua unsur tersebut adalah film Popeye the Sailor Man, Batman & Robin, Power Puff Girls, Power Ranger dan Saras 008. Film-film ini sangat populer di dalam dunia anak-anak kita sehingga seringkali menjadi model yang ditiru oleh anak-anak. Meskipun mengandung adegan kekerasan, namun film-film ini sepertinya tidak menimbulkan kecemasan bagi orangtua, karena para orangtua sampai sekarang merasa aman meninggalkan anak-anak ketika menonton film-film ini. Sementara itu kalau ada film dewasa, baik yang menampilkan adegan kekerasan maupun tidak, anak-anak seringkali tidak diperbolehkan menonton. Hal ini sudah menunjukkan standard ganda yang diberikan orangtua kepada anak. Adegan kekerasan dalam film dewasa tidak boleh ditonton, tetapi adegan kekerasan dalam film anak-anak boleh ditonton, jadi kekerasan boleh atau tidak? Lalu apakah tidak ada kemungkinan bahwa anak justru dapat juga meniru adegan kekerasan atau kata-kata kasar yang ada dalam film-film tersebut karena mereka melihat bahwa orangtua membiarkan mereka menonton film tersebut dengan bebas?

Apa yang Sebaiknya Dilakukan Orangtua?

Mengingat bahwa sangatlah sulit (bahkan tidak mungkin) bagi orangtua untuk menjauhkan anak dari televisi, maka ada baiknya orangtua melakukan beberapa hal sebagai berikut:

1. Dampingi anak ketika menonton dan beri penjelasan

Sebenarnya daripada orangtua tiba-tiba mengomel ataupun memuji anak, hal pertama yang sebaiknya dilakukan adalah memberi pengertian dan mendampingi anak ketika menonton televisi. Jika anak bertanya jawablah pertanyaan tersebut dengan rinci dan sesuai dengan perkembangan anak. Banyak hal yang belum diketahui oleh seorang anak, oleh karena itu kalau tidak ada yang memberi tahu ia akan mencari sendiri dengan mencoba-coba dan meniru dari orang dewasa. Apakah hasil percobaan maupun peniruannya benar atau salah, anak mungkin tidak tahu. Di sinilah tugas orangtua untuk selalu memberi pengertian kepada anak, secara konsisten. Kebingungan anak karena standar ganda yang diterapkan orangtua juga bisa teratasi kalau orangtua memberi penjelasan kepada anak.

2. Buat jadwal kegiatan anak

Anak juga perlu diajarkan bahwa ada waktu tersendiri untuk setiap kegiatan-kegiatannya. Atur waktu yang jelas, kapan menonton televisi, kapan belajar dan kapan bermain. Walaupun anak sudah relaks dengan menonton televisi, anak tetap butuh waktu untuk bermain. Televisi mengkondisikan anak menjadi pasif, hanya menerima dan menyerap informasi dengan posisi tubuh yang juga pasif (cukup dengan duduk), karena itu anak tetap perlu waktu untuk bermain (terutama bermain dengan anak-anak lain) supaya mereka tetap aktif dan mampu bersosialisasi. Mereka tetap butuh waktu untuk berlari-larian, mengobrol dengan teman-teman dan bermain dengan mainan. Pengaturan waktu bisa mengkondisikan anak untuk selalu menonton televisi dengan didampingi orangtua.

3. Seleksi program tayangan televisi yang cocok untuk anak

Kalaupun tidak sempat mendampingi anak, orangtua sebaiknya menyeleksi program televisi mana yang benar-benar cocok untuk anak. Sebelum anak diijinkan untuk menonton program televisi tertentu, orangtua sudah mengetahui program tersebut cocok atau tidak untuk anak, jadi orangtua sudah pernah terlebih dulu menonton program tersebut dan melakukan evaluasi. Jangan sampai terjadi lagi kasus Crayon Sinchan. Untuk melakukan hal ini tentu saja dibutuhkan kesabaran dan pengorbanan dari orangtua, untuk sementara orangtua harus mengorbankan kesenangannya sendiri menonton televisi demi mencari-cari dan menyeleksi program televisi yang cocok untuk anak tercinta.

3. Bangun kerjasama dengan seluruh anggota keluarga

Bangunlah kerjasama dengan seluruh anggota keluarga, karena kerja sama dari seluruh anggota keluarga (termasuk pengasuh) sangat diperlukan. Pastikan bahwa seluruh keluarga memiliki pengertian yang sama mengenai anak dan masalah televisi tersebut. Berikan pengertian kepada anggota keluarga bahwa bagaimanapun juga mereka kadang-kadang harus mengorbankan kesenangan mereka demi kebaikan sang anak. Jangan sampai standard yang sudah diterapkan orangtua terhadap anak, ternyata tidak diterapkan oleh anggota keluarga lainnya ketika orangtua tidak ada ditempat.

4. Konsisten dalam bertindak
Orangtua dan pengasuh perlu untuk selalu bertindak secara konsisten dan tidak bosan-bosannya dalam memberikan pengertian kepada anak, sehingga anak tahu dengan jelas mana yang boleh mana yang tidak, mana yang baik dan mana yang buruk. Oke.....semoga bermanfaat.

TANTRUM

Tantrum
Kategori Anak
Oleh : Martina Rini S. Tasmin, SPsi
Jakarta, 29 April 2002


Andi menangis, menjerit-jerit dan berguling-guling di lantai karena menuntut ibunya untuk membelikan mainan mobil-mobilan di sebuah hypermarket di Jakarta? Ibunya sudah berusaha membujuk Andi dan mengatakan bahwa sudah banyak mobil-mobilan di rumahnya. Namun Andi malah semakin menjadi-jadi. Ibunya menjadi serba salah, malu dan tidak berdaya menghadapi anaknya. Di satu sisi, ibunya tidak ingin membelikan mainan tersebut karena masih ada kebutuhan lain yang lebih mendesak. Namun disisi lain, kalau tidak dibelikan maka ia kuatir Andi akan menjerit-jerit semakin lama dan keras, sehingga menarik perhatian semua orang dan orang bisa saja menyangka dirinya adalah orangtua yang kejam. Ibunya menjadi bingung....., lalu akhirnya ia terpaksa membeli mainan yang diinginkan Andi. Benarkah tindakan sang Ibu?


Temper Tantrum
Kejadian di atas merupakan suatu kejadian yang disebut sebagai Temper Tantrums atau suatu luapan emosi yang meledak-ledak dan tidak terkontrol. Temper Tantrum (untuk selanjutnya disebut sebagai Tantrum) seringkali muncul pada anak usia 15 (lima belas) bulan sampai 6 (enam) tahun.

Tantrum biasanya terjadi pada anak yang aktif dengan energi berlimpah. Tantrum juga lebih mudah terjadi pada anak-anak yang dianggap "sulit", dengan ciri-ciri sebagai berikut:

* Memiliki kebiasaan tidur, makan dan buang air besar tidak teratur.
* Sulit menyukai situasi, makanan dan orang-orang baru.
* Lambat beradaptasi terhadap perubahan.
* Moodnya (suasana hati) lebih sering negatif.
* Mudah terprovokasi, gampang merasa marah/kesal.
* Sulit dialihkan perhatiannya.

Tantrum termanifestasi dalam berbagai perilaku. Di bawah ini adalah beberapa contoh perilaku tantrum, menurut tingkatan usia:

1. Di bawah usia 3 tahun:

* Menangis
* Menggigit
* Memukul
* Menendang
* Menjerit
* Memekik-mekik
* Melengkungkan punggung
* Melempar badan ke lantai
* Memukul-mukulkan tangan
* Menahan nafas
* Membentur-benturkan kepala
* Melempar-lempar barang

2. Usia 3 - 4 tahun:

* Perilaku-perilaku tersebut diatas
* Menghentak-hentakan kaki
* Berteriak-teriak
* Meninju
* Membanting pintu
* Mengkritik
* Merengek

3. Usia 5 tahun ke atas

* Perilaku- perilaku tersebut pada 2 (dua) kategori usia di atas
* Memaki
* Menyumpah
* Memukul kakak/adik atau temannya
* Mengkritik diri sendiri
* Memecahkan barang dengan sengaja
* Mengancam


Faktor Penyebab
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya tantrum. Diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Terhalangnya keinginan anak mendapatkan sesuatu
Setelah tidak berhasil meminta sesuatu dan tetap menginginkannya, anak mungkin saja memakai cara tantrum untuk menekan orangtua agar mendapatkan yang ia inginkan, seperti pada contoh kasus di awal.

2. Ketidakmampuan anak mengungkapkan diri
Anak-anak punya keterbatasan bahasa, ada saatnya ia ingin mengungkapkan sesuatu tapi tidak bisa, dan orangtuapun tidak bisa mengerti apa yang diinginkan. Kondisi ini dapat memicu anak menjadi frustrasi dan terungkap dalam bentuk tantrum.

3. Tidak terpenuhinya kebutuhan
Anak yang aktif membutuh ruang dan waktu yang cukup untuk selalu bergerak dan tidak bisa diam dalam waktu yang lama. Kalau suatu saat anak tersebut harus menempuh perjalanan panjang dengan mobil (dan berarti untuk waktu yang lama dia tidak bisa bergerak bebas), dia akan merasa stres. Salah satu kemungkinan cara pelepasan stresnya adalah tantrum. Contoh lain: anak butuh kesempatan untuk mencoba kemampuan baru yang dimilikinya. Misalnya anak umur 3 tahun yang ingin mencoba makan sendiri, atau umur anak 4 tahun ingin mengambilkan minum yang memakai wadah gelas kaca, tapi tidak diperbolehkan oleh orangtua atau pengasuh. Maka untuk melampiaskan rasa marah atau kesal karena tidak diperbolehkan, ia memakai cara tantrum agar diperbolehkan.

4. Pola asuh orangtua
Cara orangtua mengasuh anak juga berperan untuk menyebabkan tantrum. Anak yang terlalu dimanjakan dan selalu mendapatkan apa yang diinginkan, bisa tantrum ketika suatu kali permintaannya ditolak. Bagi anak yang terlalu dilindungi dan didominasi oleh orangtuanya, sekali waktu anak bisa jadi bereaksi menentang dominasi orangtua dengan perilaku tantrum. Orangtua yang mengasuh secara tidak konsisten juga bisa menyebabkan anak tantrum. Misalnya, orangtua yang tidak punya pola jelas kapan ingin melarang kapan ingin mengizinkan anak berbuat sesuatu dan orangtua yang seringkali mengancam untuk menghukum tapi tidak pernah menghukum. Anak akan dibingungkan oleh orangtua dan menjadi tantrum ketika orangtua benar-benar menghukum. Atau pada ayah-ibu yang tidak sependapat satu sama lain, yang satu memperbolehkan anak, yang lain melarang. Anak bisa jadi akan tantrum agar mendapatkan keinginannya dan persetujuan dari kedua orangtua.

5. Anak merasa lelah, lapar, atau dalam keadaan sakit

6. Anak sedang stres (akibat tugas sekolah, dll) dan karena merasa tidak aman (insecure)


Tindakan
Dalam buku Tantrums Secret to Calming the Storm (La Forge: 1996) banyak ahli perkembangan anak menilai bahwa tantrum adalah suatu perilaku yang masih tergolong normal yang merupakan bagian dari proses perkembangan, suatu periode dalam perkembangan fisik, kognitif dan emosi anak. Sebagai bagian dari proses perkembangan, episode tantrum pasti berakhir. Beberapa hal positif yang bisa dilihat dari perilaku tantrum adalah bahwa dengan tantrum anak ingin menunjukkan independensinya, mengekpresikan individualitasnya, mengemukakan pendapatnya, mengeluarkan rasa marah dan frustrasi dan membuat orang dewasa mengerti kalau mereka bingung, lelah atau sakit. Namun demikian bukan berarti bahwa tantrum sebaiknya harus dipuji dan disemangati (encourage).

Jika orangtua membiarkan tantrum berkuasa (dengan memperbolehkan anak mendapatkan yang diinginkannya setelah ia tantrum, seperti ilustrasi di atas) atau bereaksi dengan hukuman-hukuman yang keras dan paksaan-paksaan, maka berarti orangtua sudah menyemangati dan memberi contoh pada anak untuk bertindak kasar dan agresif (padahal sebenarnya tentu orangtua tidak setuju dan tidak menginginkan hal tersebut). Dengan bertindak keliru dalam menyikapi tantrum, orangtua juga menjadi kehilangan satu kesempatan baik untuk mengajarkan anak tentang bagaimana caranya bereaksi terhadap emosi-emosi yang normal (marah, frustrasi, takut, jengkel, dll) secara wajar dan bagaimana bertindak dengan cara yang tepat sehingga tidak menyakiti diri sendiri dan orang lain ketika sedang merasakan emosi tersebut.

Pertanyaan sebagian besar orangtua adalah bagaimana cara terbaik dalam menyikapi anak yang mengalami Tantrum. Untuk menjawab pertanyaan tersebut kami mencoba untuk memberikan beberapa saran tentang tindakan-tindakan yang sebaiknya dilakukan oleh orangtua untuk mengatasi hal tersebut.


Pencegahan
Langkah pertama untuk mencegah terjadinya tantrum adalah dengan mengenali kebiasaan-kebiasaan anak, dan mengetahui secara pasti pada kondisi-kondisi seperti apa muncul tantrum pada si anak. Misalnya, kalau orangtua tahu bahwa anaknya merupakan anak yang aktif bergerak dan gampang stres jika terlalu lama diam dalam mobil di perjalanan yang cukup panjang. Maka supaya ia tidak tantrum, orangtua perlu mengatur agar selama perjalanan diusahakan sering-sering beristirahat di jalan, untuk memberikan waktu bagi anak berlari-lari di luar mobil.

Tantrum juga dapat dipicu karena stres akibat tugas-tugas sekolah yang harus dikerjakan anak. Dalam hal ini mendampingi anak pada saat ia mengerjakan tugas-tugas dari sekolah (bukan membuatkan tugas-tugasnya lho!!!) dan mengajarkan hal-hal yang dianggap sulit, akan membantu mengurangi stres pada anak karena beban sekolah tersebut. Mendampingi anak bahkan tidak terbatas pada tugas-tugas sekolah, tapi juga pada permainan-permainan, sebaiknya anak pun didampingi orangtua, sehingga ketika ia mengalami kesulitan orangtua dapat membantu dengan memberikan petunjuk.

Langkah kedua dalam mencegah tantrum adalah dengan melihat bagaimana cara orangtua mengasuh anaknya. Apakah anak terlalu dimanjakan? Apakah orangtua bertindak terlalu melindungi (over protective), dan terlalu suka melarang? Apakah kedua orangtua selalu seia-sekata dalam mengasuh anak? Apakah orangtua menunjukkan konsistensi dalam perkataan dan perbuatan?

Jika anda merasa terlalu memanjakan anak, terlalu melindungi dan seringkali melarang anak untuk melakukan aktivitas yang sebenarnya sangat dibutuhkan anak, jangan heran jika anak akan mudah tantrum jika kemauannya tidak dituruti. Konsistensi dan kesamaan persepsi dalam mengasuh anak juga sangat berperan. Jika ada ketidaksepakatan, orangtua sebaiknya jangan berdebat dan beragumentasi satu sama lain di depan anak, agar tidak menimbulkan kebingungan dan rasa tidak aman pada anak. Orangtua hendaknya menjaga agar anak selalu melihat bahwa orangtuanya selalu sepakat dan rukun.


Ketika Tantrum Terjadi
Jika tantrum tidak bisa dicegah dan tetap terjadi, maka beberapa tindakan yang sebaiknya dilakukan oleh orangtua adalah:

1. Memastikan segalanya aman. Jika tantrum terjadi di muka umum, pindahkan anak ke tempat yang aman untuknya melampiaskan emosi. Selama tantrum (di rumah maupun di luar rumah), jauhkan anak dari benda-benda, baik benda-benda yang membahayakan dirinya atau justru jika ia yang membahayakan keberadaan benda-benda tersebut. Atau jika selama tantrum anak jadi menyakiti teman maupun orangtuanya sendiri, jauhkan anak dari temannya tersebut dan jauhkan diri Anda dari si anak.
2. Orangtua harus tetap tenang, berusaha menjaga emosinya sendiri agar tetap tenang. Jaga emosi jangan sampai memukul dan berteriak-teriak marah pada anak.
3. Tidak memberi perhatian pada tantrum anak (ignore). Selama tantrum berlangsung, sebaiknya tidak membujuk-bujuk, tidak berargumen, tidak memberikan nasihat-nasihat moral agar anak menghentikan tantrumnya, karena anak toh tidak akan menanggapi/mendengarkan. Usaha menghentikan tantrum seperti itu malah biasanya seperti menyiram bensin dalam api, anak akan semakin lama tantrumnya dan meningkat intensitasnya. Yang terbaik adalah membiarkannya. Tantrum justru lebih cepat berakhir jika orangtua tidak berusaha menghentikannnya dengan bujuk rayu atau paksaan.
4. Jika perilaku tantrum dari menit ke menit malahan bertambah buruk dan tidak selesai-selesai, selama anak tidak memukul-mukul Anda, peluk anak dengan rasa cinta. Tapi jika rasanya tidak bisa memeluk anak dengan cinta (karena Anda sendiri rasanya malu dan jengkel dengan kelakuan anak), minimal Anda duduk atau berdiri berada dekat dengannya. Selama melakukan hal inipun tidak perlu sambil menasihati atau complaint (dengan berkata: "kamu kok begitu sih nak, bikin mama-papa sedih"; "kamu kan sudah besar, jangan seperti anak kecil lagi dong"), kalau ingin mengatakan sesuatu, cukup misalnya dengan mengatakan "mama/papa sayang kamu", "mama ada di sini sampai kamu selesai". Yang penting di sini adalah memastikan bahwa anak merasa aman dan tahu bahwa orangtuanya ada dan tidak menolak (abandon) dia.


Ketika Tantrum Telah Berlalu
Saat tantrum anak sudah berhenti, seberapapun parahnya ledakan emosi yang telah terjadi tersebut, janganlah diikuti dengan hukuman, nasihat-nasihat, teguran, maupun sindiran. Juga jangan diberikan hadiah apapun, dan anak tetap tidak boleh mendapatkan apa yang diinginkan (jika tantrum terjadi karena menginginkan sesuatu). Dengan tetap tidak memberikan apa yang diinginkan si anak, orangtua akan terlihat konsisten dan anak akan belajar bahwa ia tidak bisa memanipulasi orangtuanya.

Berikanlah rasa cinta dan rasa aman Anda kepada anak. Ajak anak, membaca buku atau bermain sepeda bersama. Tunjukkan kepada anak, sekalipun ia telah berbuat salah, sebagai orangtua Anda tetap mengasihinya.

Setelah tantrum berakhir, orangtua perlu mengevaluasi mengapa sampai terjadi tantrum. Apakah benar-benar anak yang berbuat salah atau orangtua yang salah merespon perbuatan/keinginan anak? Atau karena anak merasa lelah, frustrasi, lapar, atau sakit? Berpikir ulang ini perlu, agar orangtua bisa mencegah tantrum berikutnya.

Jika anak yang dianggap salah, orangtua perlu berpikir untuk mengajarkan kepada anak nilai-nilai atau cara-cara baru agar anak tidak mengulangi kesalahannya. Kalau memang ingin mengajar dan memberi nasihat, jangan dilakukan setelah tantrum berakhir, tapi lakukanlah ketika keadaan sedang tenang dan nyaman bagi orangtua dan anak. Waktu yang tenang dan nyaman adalah ketika tantrum belum dimulai, bahkan ketika tidak ada tanda-tanda akan terjadi tantrum. Saat orangtua dan anak sedang gembira, tidak merasa frustrasi, lelah dan lapar merupakan saat yang ideal.

Dari uraian diatas dapat terlihat bahwa kalau orangtua memiliki anak yang "sulit" dan mudah menjadi tantrum, tentu tidak adil jika dikatakan sepenuhnya kesalahan orangtua. Namun harus diakui bahwa orangtualah yang punya peranan untuk membimbing anak dalam mengatur emosinya dan mempermudah kehidupan anak agar tantrum tidak terus-menerus meletup. Beberapa saran diatas mungkin dapat berguna bagi anda terutama bagi para ibu/ayah muda yang belum memiliki pengalaman mengasuh anak. Selamat membaca, semoga bermanfaat.