Rabu, 19 September 2012

Mau Jadi “Batman” atau “Joker”?

- 12 orang tewas dan lebih dari 60 luka-luka dalam penyerangan di sebuah bioskop di Centennial, Colorado, AS, pada saat pemutaran film “ Batman – The Dark Knight Rises “. Sang pelaku,, James Eagan Holmes, seorang kandidat Ph.D, mengatakan motif dari perbuatannya adalah akibat terobsesi dengan figur “Joker – musuh bebuyutan sang Batman”. – Peristiwa memilukan tersebut mudah-mudahan bisa jadi warning buat orangtua yang punya anak-anak kecil. Jika James Holmes, seorang dewasa yang dikenal sebagai mahasiswa brilian oleh teman-temannya di Universitas California-Riverside, bisa begitu terobsesi dengan tokoh Joker sehingga mendorong dia untuk membunuh orang tanpa sebab : “ Nah, gimana dengan anak-anak kita yang belum cukup matang secara mental dalam menerima segala informasi yang mereka dapat melalui media film? “ Di tengah-tengah perkembangan teknologi dan informasi yang sedemikian pesat seperti sekarang ini, harusnya orangtua harus lebih tanggap dan lebih awas. Orangtua harus tahu produk apa yang bakalan dikonsumsi anak-anaknya, sehingga bisa memberi keputusan : mana yang boleh dikonsumsi si anak, mana yang tidak boleh, dan mana yang dibolehkan dengan seleksi ketat! Sekarang ini telah terjadi pergeseran paradigma yang menyangkut sebagian daripada ‘produk anak-anak’. Bagaimana pasar secara sadar telah mencerabut ‘dunia anak-anak’ dari pemikiran anak-anak tersebut, dan digantikan dengan produk-produk yang lebih menguntungkan secara bisnis. Misalnya, pada beberapa dasawarsa yang lalu, anak-anak begitu dimanjakan dengan kemunculan artis-artis cilik macam Melissa ‘si penggemar bakso’, Susan ‘si arek suroboyo’, atau Joshua ‘si tukang obok-obok’. Tapi pasar melihat bahwa musik anak-anak tidak terlalu menguntungkan, sehingga saat ini anak-anak kita tidak diberikan pilihan lain selain menyanyikan lagu-lagu seputar ‘iwak peyek dan selingkuh sana-sini ‘. Begitu pula dengan Batman. Ketika masih muncul dalam komik, serial kartun TV, atau layar lebar (Batman, Batman Returns, Batman Forever, dan Batman-Robin), tokoh yang satu ini masih cocok untuk dikonsumsi oleh saya yang waktu itu masih ingusan. Tapi Christopher Nolan,seorang sutradara kondang Holywood, yang juga menggemari kisah Batman berkeinginan untuk remake film Batman dalam tampilan yang lebih ‘dewasa’. Bagaimana membuat kisah Batman lebih berbobot, penuh intrik dan konspirasi, dan dibalut dengan sedikit sadisme. Simsalabim : Lahirlah figur Batman yang tampil beda, lebih dewasa, dan tentunya enggak cocok lagi dikonsumsi oleh anak-anak! Sementara di Indonesia sempat saya liat di TV, ada emak-emak yang nemenin dua anak or cucunya buat nonton ini film (saya yakin baik si emak dan dua anak tsb bakalan melongo kayak ikan tombro sepanjang pemutaran film itu, karena nggak ‘ngeh’ ama critanya). Saya yakin si emak masih berpandangan bahwa Batman adalah film anak-anak, dan tanpa sadar telah membawa si anak kepada adegan kekerasan, balas dendam, kejahatan, dan sadisme! Semua itu akan dengan gampang dicerna oleh si anak, disimpan di dalam memori yang akan mempengaruhi alam bawah sadarnya, dan pada situasi dan kondisi tertentu akan ditirukan oleh si anak! Gak cuma Batman, misalnya serial Harry Potter. Kebanyakan orangtua terkecoh oleh ‘tampilan luar’ film Harry Potter yang bercerita tentang anak-anak yang berada di dunia sihir, sehingga mereka merasa bahwa film ini aman untuk dikonsumsi anak-anaknya. Padahal kalau kita mau cermati sungguh-sungguh film Harry Potter ini, ternyata alur ceritanya terlalu berat untuk dicerna anak-anak, apalagi film ini tidak pernah lepas dari sentuhan ‘sadisme level rendah’ yang semarak dengan tampilan simbol-simbol satanis, darah, ular, dan adegan percintaan. Jadi, menurut kacamata kuda saya, Harry Potter adalah film dewasa yang ‘berbalut kisah anak-anak’! Bicara tentang video game, sebagian besar orangtua masih beranggapan bahwa videogame adalah sepenuhnya konsumsi anak-anak. Saya aja pernah diketawain sama saudara jauh yang lagi main ke rumah, ketika saya main game PS2 “ Metal Gear Solid – The Snake Eater “. Kata saudara saya itu, saya seperti anak-anak karena masih doyan main PS2. Padahal siapa saja yang udah pernah main game itu, pasti nyadar kalo game “ MGS – The Snake Eater “ itu terlalu sulit dan rumit untuk dimainkan oleh anak-anak (yang dewasa aja harus ‘berotak tidak lemot’, hehehe). Para orangtua, orangawam, dan orangutan masih belum banyak yang nyadar kalo anak-anak bisa mendapatkan ilmu kekerasan via videogame : mau meledakkan kepala zombie sehingga otaknya semburat silakan maen game “Resident Evil”, mau nembakin orang-orang gak berdosa di mal silakan maen game “Grand Theft Auto”, atau mau jadi penjahat kelamin silakan maen game “Leisure Suit Larry”! Nah, sekarang kalian orangtua pada nyadar kan bagaimana ‘revolusi dunia anak-anak’ di zaman serba canggih saat ini? Sekali lagi saya juga sering dikecewakan oleh ‘budaya formalitas’ bangsa ini. Beragama secara formalitas di mana ukuran keislaman seseorang dilihat dari busana dan atribut, jargon, status, KTP, dan ritual-ritual belaka. Berkebangsaan secara formalitas dengan dilihat seberapa sering mengikuti upacara-upacara dan perayaan-perayaan kebangsaan yang enggak lebih daripada ‘hura-hura’ yang tidak terlalu bermanfaat. Pun demikian dengan perlindungan anak yang menyangkut dunia informasi dan teknologi. Seperti kita tahu , ada tiga kategori tingkat konsumsi berdasarkan usia penonton. 1) Semua umur 2) 13 tahun ke atas 3) 17 tahun ke atas. Sebagaimana saya jelaskan di atas, semua ini hanyalah formalitas belaka. Saya belum pernah tau ada petugas bioskop yang ngelarang anak di bawah umur nonton film “17 tahun ke atas”! Jangankan ngelarang, mikir sampe ke situ aja kayaknya juga enggak! Ya memang, bagi pebisnis sinema, tolok ukur keberhasilan tetap pada uang, jadi urusan membangun mentalitas bangsa itu gak bakalan ada dalam kamus bisnis mereka! Dunia video game pun juga ada tiga kategori tingkat konsumsi berdasarkan usia pemain, yaitu : E-T-M. 1) Everyone – semua umur 2) Teenage – remaja 3) Mature – dewasa. Tapi jelas selama ini saya belum pernah liat penjual DVD game itu nanya-nanya usia si pembeli! Jadi huruf E-T-M yang ada di cover-cover game tersebut lagi-lagi hanyalah ‘formalitas’ belaka! Maka ketika bangsa ini sudah begitu terpuruk ke dalam budaya formalitas, yang mana untuk saat ini rasanya kita hampir tidak punya daya upaya untuk merubahnya, setidaknya masing-masing orangtua harus lebih peka dan protektif terhadap perkembangan mental anak-anaknya. Ingat : betapa anak-anak sekarang gampang sekali melakukan kekerasan, intimidasi, caci maki, dan seks bebas! Apa itu berarti anak-anak kita tidak dibolehkan nonton film-film luar, atau main video game? Ya tentu saja boleh. Tapi harus selektif! Banyak sekali film luar negeri atau video game yang informatif dan mencerdaskan bagi si anak, asalkan pas! Dan itu sekali lagi, orangtua harus proaktif terhadap segala informasi yang akan dikonsumsi si anak. Kalo perlu orangtua harus nonton filmnya duluan, baru si anak dikasi izin kalo emang ok! Intinya … dunia hiburan sudah begitu berubah : apa yang dulu kita anggap sebagai ‘mainan anak-anak’, ternyata telah mengalami evolusi yang demikian hebatnya, dan anda sebagai orangtua harus ‘selangkah lebih maju’ daripada anak-anak kita! Yaaah, capek donk! Ya kalo gak mau capek gak usah ‘mbrojolin’ anak donk … ‘Bikin anak’ emang enak, tapi jangan trus cuma nyari enaknya doank … Harus mau bersusah payah ngerawat dan ngebesarin si anak supaya menjadi manusia yang bermanfaat bagi kehidupan! Anak-anak kita adalah investasi yang sangat berharga, baik bagi si anak itu sendiri, orangtuanya, bangsanya, dan umat manusia di bumi! Dan anda, para orangtua, adalah sutradara yang menentukan apakah anak-anak anda akan menjadi “Batman” (sang pahlawan bagi umat manusia) atau menjadi “Joker” (sang penebar teror bagi umat manusia)!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar