Rabu, 04 Mei 2011

Mengajak Orang Lain Berubah

Oleh : Ubaydillah, AN
Jakarta, 07 Mei 2007

Dua Diri Di Dalam Diri

Disadari atau tidak, seringkali kita terlibat ke dalam urusan untuk ingin mengubah orang lain. Keinginan itu ada yang kita sampaikan melalui harapan, saran, atau bahkan tindakan yang bentuknya mungkin bisa "the must do" atau "the must not do". Terkadang juga keinginan itu ada yang didasari pertimbangan / kepentingan rasional, tapi ada juga yang didasari oleh hasrat-subyektivitas kita.



Kalau melihat ke literaturnya, memang ada banyak penjelasan terkait dengan topik kita ini. Ada yang mengatakan bahwa seseorang itu tidak bisa diubah oleh siapapun, kecuali oleh dirinya. Setiap orang, dalam kondisi apapun, ia punya kebebasan untuk menentukan dirinya. Sampai ada yang bilang, biarpun kita menodongkan postol di kepala orang itu, ia tetap saja punya kebebasan menolak atau menerima ajakan kita. Ibarat kuda, bisa saja kita memaksanya untuk sampai ke pinggir sungai, tapi untuk memaksanya minum air sungai, nanti dulu.



Pendapat lain mengatakan yang sebaliknya. Manusia itu adalah makhluk yang rentan perubahan. Teori pendidikan, teori motivasi, teori pembentukan karakter dan lain-lain berangkat dari pemikiran ini. Banyak riset dan kajian ilmu pengetahuan yang berkesimpulan, manusia itu adalah bentukan dari dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal, faktor gen dan faktor lingkungan, faktor individual dan faktor sosial. Menurut George Herbert Mead, setiap orang itu punya "dua diri". Yang satu hasil bentukan dirinya dan yang satu lagi hasil bentukan dari luar (impulsive dan restrained).



Ada pendapat lain yang mencoba mencairkan kedua ekstrimitas di atas. Menurut pendapat ini, di dalam diri manusia itu ada bagian yang bisa diubah dengan mudah, tapi ada juga yang sulit diubah. Kata “sulit diubah� ini mengarah pada dua pengertian, yaitu: a) sulit dalam arti harus dilakukan berkali-kali atau yang di dalam teori pendidikannya disebut pembiasaan atau paksaan, dan b) sulit dalam arti harus melibatkan kesadaran atau inisiatif yang bersangkutan.



Pendapat di atas bisa kita lihat di teori kompetensi atau konsep pengembangan SDM. Contoh yang mudah diubah itu misalnya skill, pengetahuan, pandangan, dan semisalnya. Kalau kita ingin mengubah orang dari yang semula tidak tahu ke manjadi tahu, ini lebih mudah. Cukup dikasih buku atau diajari. Sedangkan contoh yang sulit diubah itu misalnya adalah sifat-sifat bawaan, bakat bawaan, sikap mental, konsep-diri, operant trait, kebiasaan, karakter, dan semisalnya. Lembaga pendidikan yang mahal sekali pun terkadang belum sepenuhnya membuktikan kesanggupannya dalam mengubah karakter atau sikap mental seseorang.



Menurut teori kompetensi, yang sulit diubah itu disebut "core personality", yang letaknya di layar paling dalam dari diri kita. Ada lagi yang menyebut dengan istilah "trait" untuk hal-hal yang sulit diubah dan "state" untuk hal-hal yang mudah diubah. Trait adalah karakteristik bawaan yang melekat pada kita (operant trait), sedangkan state adalah karakteristik tertentu yang muncul akibat kondisi tertentu dari luar (respondent trait)



Intinya, masih ada peluang bagi kita untuk mengajak orang lain berubah. Hanya saja memang di sana ada bagian yang langsung bisa diubah dengan mudah dan ada yang butuh waktu, tidak langsung dan sulit. Karana itu, dulu, ada petuah pendidikan yang mengatakan, mendidik manusia itu sama seperti menaman kelapa. Kalau kita mananam sekarang, hasilnya baru ketahuan duapuluh tahun kemudian. Petuah ini terkait dengan sesuatu di dalam diri manusia yang sulit diubah dalam waktu singkat.



Terlepas dari itu, kalau melihat penjelasan dalam konsep kompetensi, ternyata keinginan kita untuk mengajak orang lain berubah itu termasuk dalam kompetensi di tempat kerja. Karena merupakan kompetensi, maka di sana ada semacam peringkatan (skala). Skala yang paling rendah adalah ketika kita menunjukkan sikap arogansi lalu menuntut orang lain harus berubah sesuai kita dengan cara yang kasar. Skala menengahnya adalah ketika kita melakukan langkah persuasi yang langsung. Sedangkan skala yang paling tinggi adalah ketika kita sudah bisa menerapkan "strategi-halus" dimana seseorang akhirnya berubah tanpa merasa diubah oleh kita (Competence At Work, 1993)



Kenapa berubah & kenapa menolak berubah?

Hampir bisa dipastikan bahwa tidak ada penjelasan yang mengarah adanya single factor tentang kenapa orang itu berubah dan kenapa seseorang menolak berubah. Kalau mengacu pada beberapa pendapat di atas, di bawah ini ada beberapa hal yang bisa kita jadikan acuan untuk memahami alasan-alasan itu. Secara garis besar, alasan itu bisa kita bagi menjadi dua, yaitu:



- Alasan internal.

- Alasan eksternal



Yang termasuk alasan internal itu adalah, antara lain:



Pertama, manfaat. Orang akan berubah kalau tahu / merasakan manfaatnya (result knowledge). Sebaliknya, orang akan masa bodoh kalau manfaatnya tidak jelas. Karena itu, dalam manajemen dikenal sebuah istilah What-Is-In-It-For-Me. Istilah ini perlu dijadikan pegangan untuk mengajak orang lain berubah. Manfaat ini tentunya banyak: mungkin finansial, mungkin emosional, mungkin intelektual, dan seterusnya.



Kedua, kesadaran. Ini bisa berbentuk sebuah momen internal yang menjadi titik balik di dalam diri seseorang. Orang akan berubah kalau dirinya mengalami proses yang disebut "altered state of consciousness", punya kesadaran baru untuk melakukan sesuatu. Sebagai contoh misalnya ada seseorang yang diberhentikan dari tempat kerja karena punya temparemen yang tidak terkontrol. Sejauh orang itu sadar akan kekurangan yang dimiliki dan bahaya yang nyata, orang itu dipastikan akan menempuh proses perubahan menuju ke arah yang lebih baik. Tapi kalau kesadaran itu tidak muncul, perubahan pun sulit terjadi.



Ketiga, harapan. Orang akan berubah kalau punya harapan baru atau punya harapan yang lebih jelas. Karena itu ada yang mengatakan, orang akan tetap "hidup" selama harapannya masih hidup. Harapan baru bisa mengubah orang menjadi kreatif, semangat, inovatif dan seterusnya. "Ketika anda mengubah harapan, maka sikap anda akan berubah", begitu kata Jhon Maxwell.



Keempat, keberanian. Orang juga akan berubah begitu punya keberanian untuk melawan ketakutannya selama ini. Keberanian di sini mungkin ada yang berasaskan pada moral, mental atau alasan-alasan lain yang mendukung. Keputusan orang untuk menikah umumnya terkait dengan soal keberanian ini.



Kelima, sasaran. Sasaran di sini adalah sesuatu yang benar-benar ingin diraih seseorang. Bentuknya mungkin bisa goal, target, objective, vision, dan lain-lain. Orang akan berubah ke arah yang lebih baik kalau sasarannya diperbaiki, diperjelas, dikoreksi, diriilkan, dan seterusnya. Perubahan itu biasanya berupa langkah yang lebih fokus, lebih giat, lebih berdisiplin, lebih matang dan lain-lain.



Itulah sebagian dari sekian yang bisa kita paparkan di sini. Intinya, ada sekian alasan internal yang melatarbelakangi perubahan seseorang. Alasan-alasan itulah yang berfungsi untuk mendorong (to drive), menyeleksi (to select) dan mempertahankan (to defend).



Sedangkan yang termasuk alasan eksternal itu pada umumnya terkait dengan orang (people) dan keadaan (condition). Aristotle mengatakan, di antara yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu itu adalah: perubahan, keadaan alam, paksaan, kebiasaan, visi (alasan mendasar), dorongan dari dalam (semangat atau motivasi, keinginan atau kemauan). Contoh yang dari manusia itu misalnya, pengarahan, kebijakan, paksaan, pendidikan, pemrograman dan lain-lain. Sedangkan contoh yang dari realitas itu misalnya adalah perubahan keadaan atau perubahan alam.



Pendeknya, manusia itu berubah karena realitas di dalam dirinya berubah atau karena realitas di luar dirinya berubah. Riset keilmuan lebih banyak menyimpulkan bahwa perubahan yang datangnya dari dalam diri itu jauh lebih permanen dibanding dengan perubahan yang datangnya dari luar (people and condition). Perubahan dari dalam disebut penentu (determinant), sedangkan yang dari luar disebut pemicu (trigger).



Beberapa Pendekatan

Seperti yang sudah kita singgung, memang agak sulit menemukan adanya single factor yang menjadi alasan kenapa seseorang itu berubah. Karena itu, cara yang perlu kita gunakan untuk mengajak pun perlu di-variatif-kan. Dari sekian pendekatan yang ada di dunia ini, sebagiannya kira-kira di bawah ini:



Pertama, power hubungan. Untuk mengajak orang lain berubah, kita perlu bertanya apakah kita punya power dalam hubungan itu atau tidak. Power di sini bentuknya bisa bermacam-macam: mungkin senioritas, kharisma, atoritas, jabatan, kematangan moral, kematangan mental, dan lain-lain.



Kenapa ini penting? Pengetahuan kita tentang power

Tidak ada komentar:

Posting Komentar