Rabu, 04 Mei 2011

MENYIKAPI KEGAGALAN UJIAN AKHIR NASIONAL

Oleh : Ubaydillah, AN
Jakarta, 04 Mei 2009

Pentingkah Ujian Nasional Itu?

Selain membuahkan kegembiraan yang luar biasa, UN (Ujian Nasional atau Ujian Negara) itu setiap tahunnya juga menyisakan kesedihan. Sebetulnya, sejauhmanakah UN itu penting? UN memang tidak menjadi syarat untuk masuk surga atau masuk ke masyarakat (berhasil berperan di masyarakat), tetapi kalau melihat di lapangannya, UN itu tetap dianggap penting. Alasannya banyak dan sebagian besarnya berbau kepentingan negara, lingkungan, atau orang dewasa.



Misal, hasil ujian itu akan dijadikan landasan oleh negara untuk menentukan perlakuannya kepada kita sebagai individu. Ini misalnya saja seluruh instansi pemerintah mensyaratkan lulus ujian nasional dalam rekrutmen pegawai. Hampir semua perguruan tinggi negeri mensyaratkan nilai kelulusan ujian nasional, bukan semata hanya lulus.



Hasil UN itu juga seringkali dijadikan alat untuk memberikan label kualitas kecerdasan pelajar. Pelajar yang nilai UN-nya tinggi akan diberi label punya kecerdasan bagus, anak pinter, dll. Sebaliknya, pelajar yang nilai UN-nya rendah, akan mudah dianggap sebagai anak yang bodoh atau terbelakang. "Wah, ndak bisa dong, kecerdasan manusia itu 'kan banyak?" Memang ini salah kaprah tetapi itulah yang sering dipahami oleh sebagian besar kita.



Dalam prakteknya itu juga, hasil UN itu pun penting bagi lembaga sekolah yang bersangkutan. Ini kaitannya dengan kepentingan usaha pendidikan. Dulu, di daerah-daerah, tingkat keberhasilan lembaga sekolah dalam meluluskan siswa-siswinya di UN akan menjadi senjata pemasaran sekolah itu ke masyarakat sekitar untuk menjaring siswa. Kalau sekolah itu tingkat kelulusannya jeblok di UN, akibatnya akan kesulitan mencari siswa.



Di tahun 1995-an, saya kebetulan termasuk salah seorang guru yang diajak membicarakan kelulusan UN siswa-siswa SLTA, di Jakarta Selatan. Kalau tidak salah ingat, dari 40 peserta ujian itu, kira-kira hanya sekitar 17 orang yang lulus dalam arti lulus yang benar-benar lulus, menurut standar ideal UN. Bayangkan kalau yang lulus hanya sekitar 47% dari peserta ujian, apa nggak bangkrut sekolah itu? Wali murid pasti akan memilih sekolah yang punya tingkat kecanggihan tinggi dalam meluluskan anak didiknya. Karena itu, tak jarang ada kepala sekolah atau guru yang tersandung masalah hukum akibat membocorkan soal ujian karena tidak tahan melawan hawa nafsu dan godaan setan.



Itulah beberapa sisi yang bisa menjelaskan kenapa setiap tahunnya UN itu selalu membuahkan kesedihan dan kegembiraan, baik bagi siswa, orangtua, dan sekolah. Khusus kita sebagai orangtua, bagaimana jika misalnya anak kita termasuk yang bersedih gara-gara nilainya anjlok? Masihkah ada terobosan positif yang bisa kita arahkan ke anak?





Ujian Nasional & kapasitas personal

Terlepas dari alasan-alasan di atas, kita perlu menciptakan pemahaman bahwa UN itu hanyalah satu dari serangkaian kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh negara untuk mengetahui indeks prestasi siswa dalam bidang studi tertentu. Belum ada ujian nasional yang menguji kemampuan anak dalam seluruh mata pelajaran, lebih-lebih menguji seluruh kapasitas yang dimiliki anak.



Bukan hanya UN yang punya kapasitas terbatas. Hingga kini belum ada satu pun sekolah yang mampu mengembangkan kapasitas anak secara keseluruhan sebagai individu dengan berbagai keunikannya. Peranan sekolah adalah mengembangkan sebagian dari kapasitas anak dan itu disesuaikan dengan sistem mereka. Bahwa ada sekolah yang mampu mengembangkan sebagian kecil atau ada yang sudah mampu mengembangkan sebagian besar, ini kembali tergantung dari bobot kualitas sekolahnya. Semakin bagus sekolah itu berarti semakin besar porsi pengembangan yang sanggup diambil.



Dengan fakta semacam itu berarti kalau anak kita punya minat dan kecakapan yang bagus di bidang-bidang tertentu di luar materi ujian UN, apa kira-kira yang terjadi? Nilai UN-nya kemungkinan akan jelek. Begitu juga kalau misalnya anak kita belum / tidak bisa beradaptasi dengan sistem belajar yang dianut oleh sekolahnya. Bisa-bisa kecerdasannya tidak muncul. Ini pula yang menimpa Edison waktu masih kecil. Dia belajar eksperimentasi kimia di kereta saat jualan. Mungkin saat itu tidak ada sekolah yang mengajarkan bereksperimentasi kimia untuk anak-anak yang seusia dia.



Hal lain yang perlu dipahami juga bahwa baik UN atau sekolah, keduanya hanya mampu mengembangkan dan menguji beberapa kemampuan yang sifatnya di permukaan dan mudah diubah (easy to change). Contoh kemampuan ini adalah penguasaan pengetahuan, informasi, atau keahlian kerja. Ada memang sekolah tertentu yang sudah mampu mengembangkan kemampuan yang sifatnya inti dan sulit diubah (in-born trait), misalnya saja sifat dasar, karakter mental dan moral, atau kepribadian inti. Tetapi itu jumlahnya tidak banyak dan lagi-lagi itu tidak masuk dalam materi UN.



Kalau bicara praktek hidup, baik kemampuan yang sifatnya di permukaan dan kemampuan yang sifatnya di inti kepribadian, keduanya saling mendukung. Baik kemampuan kerja (job skill, academic skill) dan kemampuan mental (mental skill), keduanya saling mendukung. Bahkan menurut beberapa bukti yang mudah kita saksikan, pada fase tertentu, kemampuan mental yang tidak banyak disentuh dalam UN secara langsung itu justru lebih sering berperan dominan dalam menentukan kemajuan seseorang di praktek hidup.



Untuk masuk pegawai negeri di bidang pendidikan memang seringkali disyaratkan harus lulus dari sekolah / jurusan pendidikan dengan tingkat kelulusan tertentu. Tetapi, untuk menjadi pergawai negeri pendidikan yang bagus, ijasah saja atau akumulasi nilai akademik saja tidak cukup. Dibutuhkan kemampuan mental yang bagus. Kemampuan akademik itu kerapkali hanya sebagai pembuka jalan, sedangkan kemampuan mental itu akan sebagai penentu kemajuan.





Faktor psikologis

Hal lain lagi yang perlu dipahami juga bahwa hasil UN si anak itu juga terkait dengan dinamika jiwanya. Anak yang sedang dilanda problem emosi yang cukup berat, bisa jadi mempengaruhi kemampuan belajar dan prestasinya. Saya pribadi punya observasi terhadap beberapa kawan saya sewaktu sekolah di SLTA. Ada beberapa anak tertentu yang prestasi akademiknya bagus pada kelas satu sampai pertengahan kelas dua. Setelah itu prestasinya melorot terus. Ini tidak berarti si anak kehilangan kecerdasan, tetapi lebih karena terhambat oleh persoalan mental atau jiwa.



Depresi pada anak remaja umumnya terjadi karena kemampuan mereka dalam menangani masalah hidup yang masih kurang/ belum terlatih. Masalah itu biasanya adalah pergaulan dengan sejawatnya, persoalan cinta, persoalan rumah tangga orangtuanya, persoalan dengan guru atau lingkungan sekolahnya, persoalan dengan disiplin sekolah, persoalan dengan seniornya dalam organisasi sekolah, dan lain-lain.



Nah, dengan sekian persepektif yang bisa kita kembangkan seperti di atas, berarti kita punya landasan untuk mempertebal keyakinan bahwa anak yang nilainya jatuh pada UN tahun ini belum saatnya dihakimi sebagai anak yang terbelakang atau anak yang bodoh atau anak yang kapasitasnya rendah. Perspektif dan keyakinan demikian sangat dibutuhkan apabila ada niatan (inisiatif dan komitmen) dari kita untuk mengajak anak menjalankan agenda pengembangan ke tingkat yang lebih bagus. Tapi bila niatan itu tidak ada, itu namanya menghibur diri atau mempolitisasi kelemahan. Biasanya ini malah membahayakan.



"Kejeniusan manusia itu lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor yang disebut mental conditioning ketimbang genetic superiority"

(Dr. Win Wenger)



Beberapa Terobosan

Terobosan apa saja yang bisa kita tempuh untuk membuktikan inisiatif dan komitmen itu? Tentu ada banyak. Sebagiannya antara lain sebagai berikut:
Mengajak anak untuk memahami bahwa ini adalah fakta yang tidak bisa ditolak. Jangan sampai dia larut dalam kesedihan terlalu lama. Terimalah kenyataan ini tetapi jangan menerima untuk menerima (pasrah pada realitas), melainkan menerima untuk memunculkan dorongan perbaikan. Masa lalu sudah berlalu, masa depan sudah menunggu.
Supaya tidak terlalu lama terbawa larut atau hanyut, cepatlah mendiskusikan agenda pengembangan yang akan segera diambil. Batin kita hanya akan dinamis apabila kita sedang memperjuangkan agenda perbaikan.
Mengajak anak untu memunculkan berbagai perspektif yang mencerahkan dari pengalamannya mengikuti UN. Misalnya, dia masih punya banyak kelebihan yang bisa dikembangkan, nilai UN itu bukan akhir dari nasib dia, UN itu adalah hasil sementara dan masih bisa diubah dengan memunculkan learning habit yang lebih bagus.
Dampingi atau diskusikan dengan anak dalam menemukan atau mengeksplorasi berbagai kelebihan yang dimilikinya. Jangan sampai anak ikut-ikutan tren teman-temanya semata. Jika si anak sudah mulai jelas mengetahui apa nilai plus yang dimilikinya, biasanya konsep-dirinya juga akan membaik. Ini bisa diamati dari nilai akademik, hobi, kebiasaan, guru, keturunan, kebisaan alamiyah, dan lain-lain.
Salurkan kelebihan itu ke berbagai hal yang bermanfaat untuk dirinya atau doronglah si anak untuk membuktikan siapa dirinya melalui karya atau prestasi yang riil. Ini akan memperbaiki tingkat kepercayaan-diri.
Untuk memperbaiki kemampuan akademiknya, bukalah dialog barangkali dia punya masalah atau tanyakan ke sekolah dan guru yang lebih dekat. Ini agar pengetahuan kita tentang si anak lebih akurat sehingga keterlibatan kita ke dalam proses pendidikan anak juga lebih akurat
Lakukan semua ini dengan semangat cinta atau didorong oleh motivasi plus (lawan dari motivasi minus). Kita ingin lebih peduli, bukan ingin ikut campur, kita ingin memberikan sesuatu kepada si anak, bukan marah karena nilainya jatuh, kita ingin menyalurkan harapan optimisme, bukan jengkel karena kepesimisan, dan seterusnya.



Dengan ini semua, meskipun anak kita nilainya jatuh, tetapi ini tidak sampai membuat dirinya jatuh. Yang jatuh adalah nilai ujian nasionalnya saja dan untuk saat ini saja. Kalau dia bisa berubah dengan bantuan kita, bukan mustahil nilai UN-nya akan ada perbaikan. Kalau tidak juga, minimalnya dia sudah punya alasan untuk memperbaiki konsep-diri sebagai bekal untuk menjadi anak yang punya kepercayaan-diri tinggi. Semoga bisa kita jalankan.



"Sebetulnya saya tidak lebih cerdas dari orang lain. Cuma, saya beruntung dapat menemukan bidang yang klop dengan minat dan keunggulan saya."

(Albert Einstein)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar