Rabu, 04 Mei 2011

MENGOPTIMALKAN MASA KEEMASAN

Oleh : Ubaydillah, AN
Jakarta, 31 Maret 2009

Bagai Mengukir Di Atas Batu
Kita mungkin sudah akrab dengan istilah Masa Keemasan atau Golden Age itu dalam perkembangan manusia. Sudah sering ada produk makanan atau minuman suplemen yang pakai istilah ini untuk mendukung pemasaran atau iklan di televisi. Di redaksi iklan itu, orangtua sepertinya "diperingatkan" agar berperan seoptimal mungkin di Masa Keemasan yang terjadi hanya sekali seumur hidup si anak.

Apa itu Masa Keemasan? Di literatur psikologi sepertinya istilah ini jarang dimunculkan. Meski demikian, tak sedikit penjelasan dari berbagai sumber yang mengungkap adanya bukti-bukti yang bisa ditangkap pengertiannya sebagai Masa Emas itu. Bahkan di zaman orangtua kita dulu sudah ada ungkapan yang juga bisa disebandingkan pengertiannya dengan Masa Keemasan itu.

Para orangtua kita punya pemahaman bahwa belajar di waktu kecil itu diibaratkan seperti orang mengukir di atas batu. Kalau melihat ungkapan itu dari berbagai ide yang berkembang saat ini, akan kita temukan perspektif yang mendasar dalam pengasuhan. Istilah yang dipakai di situ adalah belajar. Yang disebut belajar adalah memunculkan kemauan dan kesiapan untuk mengubah diri (readiness dan willingness to change).

Darimana perubahan diri itu harus diawali? Rumusnya, perubahan itu selalu diawali dari mengubah isi pikiran dengan mengisi pengetahuan, mengubah sikap dan perilaku dengan pengalaman, dan mengubah pencapaian (hasil) dengan keahlian. Jika pengetahuan, pengalaman, dan keahlian ini terus digunakan dan memberikan hasil yang bisa diprediksikan secara relatif konstan, maka disebutnya kompetensi.

Dengan mengacu ke ide yang sekarang berkembang, belajar yang dikatakan bagai mengukir di atas batu itu mengandung sedikitnya dua pengertian:

Pertama, tradisi mengubah diri, dalam pengertian yang luas, yang diajarkan orangtua pada saat anak masih kecil itu akan menjadi tradisi yang sulit ditinggalkan. Sudah tak kurang bukti yang membenarkan penjelasan ini. Anak yang diajari tradisi membaca akan sulit meninggalkan tradisi itu.

Kedua, materi yang kita masukkan ke pikiran si anak pada saat usianya masih kecil itu akan sulit terlupakan. Buktinya pun sudah tak kurang. Anak yang sejak kecil sudah diajari bahasa daerah tertentu akan sulit melupakan kosa katanya.

Jadi, tradisi belajar (kesadaran untuk mengubah diri ke arah yang lebih baik) yang kita tanamkan di waktu kecil atau materi pengetahuan yang kita masukkan ke otak anak kecil bisa digambarkan seperti ukiran di atas batu. Belajar di waktu kecil akan menyatu dengan bawaan, motif, sikap, nilai-nilai, dan konsep-diri. Menurut Spencer (1993), ini semua adalah core personality atau bagian diri kita yang sulit diubah / sulit dihilangkan.

Bagaiman dengan belajar di waktu besar? Jika belajarnya itu diartikan menerima materi dari luar dengan cara dimasukkan (bukan diserap), maka yang sering terjadi, proses belajar di waktu dewasa sebatas ditangkap sebagai pengetahuan (knowledge). Oleh Spencer disebutnya dengan surface personality (kepribadian yang mudah diubah / mudah hilang).

Rangkuman hasil survey yang diolah Bizmanualz, Inc (2007), memaparkan prosentasi yang diingat dan yang dilupakan orang dewasa setelah diajari pengetahuan, mau itu training atau kuliah. Setelah 1 hari, yang kita ingat sebanyak 54% dan yang terlupakan 46%. Setelah 63 hari, yang kita ingat menjadi 17% sementara yang kita lupakan sudah 83%. Mengapa demikian ?


Belajar Menghafal vs Belajar Berproses
Jika mengacu pada proses belajar menghafal, maka yang keluar adalah angka-angka di atas; dan sehebat apapun kita menghafal materi kuliah atau training, sejauh yang kita andalkan hanya ingatan otak, mungkin 3 bulan setelah diwisuda atau disertifikasi, sudah banyak materi yang hilang. Lain soal kalau belajar berproses, artinya, materi itu menjadi bagian dari perjuangan hidup, profesi, atau pekerjaan. Mungkin kasusnya akan beda.


Kesuburan & Kehebatan
Kembali ke soal Masa Emas, dari berbagai penjelasan yang muncul saat ini, ada sedikitnya dua pokok pikiran yang bisa kita pakai rujukan. Untuk lebih mudah diingat, saya menggunakan istilah kesuburan dan kehebatan. Istilah kesuburan terkait dengan kondisi otak yang sedang subur-suburnya berkembang, membentuk jalur belajar, atau membentuk koneksi (dendrit).

Temuan para ahli, seperti dirangkum Benjamin S. Bloom (1964), menyimpulkan bahwa 50% kemampuan belajar seseorang dikembangkan pada masa empat tahun pertamanya. 30% lain dikembangkan menjelang ulang tahun kedelapan. Sesudah umur sepuluh tahun, cabang-cabang yang tidak berhubungan akan mati.

Kalau mengacu ke sini berarti anak yang sejak usia 0 sampai 10 tahun-an yang kurang mendapat kesempatan untuk mengembangkan cabang-cabang di dalam otak, maka cabang di dalam otaknya akan sedikit dan di samping itu dia kesulitan menghidupkan cabang-cabang otak yang telah mati setalah usianya menjelang remaja sampai tua nanti.

Ada lagi yang mengatakan, usia 0 sampai 6 tahunan disebutnya sebagai Masa Emas Pertama. Masa Emas Kedua terjadi ketika anak masuk usia 7 tahunan sampai masuk remaja awal, usia belasan. Seorang pakar neorologi, Eric H. Lennenberg, menyimpulkan bahwa sebelum masa pubertas, otak anak lebih lentur. Makanya, ia lebih mudah belajar bahasa.

Sedangkan istilah kehebatan itu terpaut dengan kondisi otak yang sedang hebat-hebatnya menangkap pengajaran dari luar. Ini sudah dibuktikan melalui pengajaran bahasa. Tony Buzan, psikolog dari Inggris (1990) mengatakan, hanya dalam 2 tahun pertama dia hidup, daya serap bahasanya jauh lebih baik dari seorang doktor di bidang apapun di dunia. Ini kemudian sempurna pada usia 3 atau 4 tahun.


Apa Berarti Pintu Sudah Tertutup?
Sering ada pertanyaan begini: apa berarti setalah Masa Emas itu berlalu otak manusia sudah tak lagi memiliki kehebatan dan kesuburan? Dari sisi kondisi otak, secara umum mungkin ya, seperti yang kita rasakan. Tapi tidak berarti kinerjanya anjlok. Soal kinerja otak lebih ditentukan oleh faktor manusianya. Buktinya sudah banyak kita jumpai.

Baik ajaran agama dan temuan pengetahuan sama-sama menjamin bahwa otak manusia tetap bisa ber-kinerja asalkan terus menemukan cara-cara kreatif yang pas dengan dirinya dan memiliki api kemauan yang terus menyala. Makanya, belajar itu dikatakan sebagai perintah yang mutlak, tanpa batas waktu, dari lahir sampai mau mati.

Secara umum, orang dewasa punya keunikan belajar yang berbeda dengan anak. Orang dewasa cara belajarnya harus lebih banyak dari praktek atau untuk dipraktekkan, sesuai keadaan dirinya. Konon, Rumi yang kita kenal hebat di puisi spiritual itu baru mulai belajar serius setelah usianya 40 tahun. Mungkin karena otaknya cerdas, emosinya tinggi, atau perhatiannya tinggi terhadap isu yang diangkat di puisinya itu. Artinya, Rumi memang concern ingin mempraktekkan atau dari praktek hidupnya.

Ada ungkapan yang pas untuk orang dewasa tentang hal ini dari Edward Bolles. Katanya, kita akan punya ingatan bagus terhadap materi yang kita pelajari kalau kita mengerti (understand). Kita akan mengerti kalau kita punya perhatian (concern) terhadap materi itu. Kita akan punya perhatian yang besar kalau kita benar-benar punya keinginan terhadap materi itu.

Tapi ada bukti lain yang perlu kita lihat juga. Orang dewasa atau remaja akhir yang tetap bisa belajar dengan mudah itu umumnya adalah mereka yang dari sejak kecil terbiasa menggunakan otaknya untuk belajar, entah secara internal atau eksternal. Karena itulah banyak ahli yang mengatakan bahwa Masa Emas itu penting karena kapasitas belajar anak yang terbentuk dalam masa ini akan menjadi landasan bagi semua proses belajar di masa depan.

Dari pengalaman pribadi yang masih relatif sedikit, ada indikasi yang saya peroleh bahwa remaja yang cabang-cabang otaknya lebih banyak karena sering dipakai belajar sewaktu kecil, ternyata punya respon yang lebih bagus, punya inisiatif yang lebih cepat, punya daya tangkap dan ketelitian yang lebih bagus. Selain itu, motivasinya untuk maju juga beda.


Stimulasi & Tradisi
Sikap kita terhadap kenyataan yang menuntut untuk lebih mengoptimalkan pengasuhan terhadap anak, akan jauh lebih penting ketimbang mempersoalkan perbedaan pendapat apakah Masa Emas itu ada atau sampai tahun berapa. Kecuali jika ini kita angkat sebagai materi untuk skripsi dan kepentingan keilmuan murni.

Pertanyaannya adalah, apanya yang perlu dioptimalkan? Ada trend yang mengemuka seolah-olah yang perlu dioptimalkan itu hanya merek susu atau kenyamanan fisik si anak atau enforcement dari luar atas interest orangtua. Harus diakui ini memang penting, tetapi yang juga penting adalah memperbanyak stimulasi dan tradisi yang berbasikan pengasuhan.

Kenapa stimulasi dan apa saja bentuknya? Stimulasi adalah berbagai rangsangan, entah itu kesempatan bermain, fasilitas belajar, atau materi (misalnya cerita atau bacaan), yang dapat memicu anak untuk belajar atau mengolah pengajaran. Para ahli menyarankan pentingnya aktivitas bermain yang dapat mencerdaskan motorik untuk usia anak-anak, mungkin 0-4 tahun-an.

Rangsangan juga bisa berbentuk sentuhan yang abstrak, misalnya dukungan dan keterlibatan kita dalam proses belajar anak, entah itu belajar di sekolah atau belajar hidup. Riset mengungkap bahwa keterlibatan orangtua dalam belajar anak sangat punya peranan dan kontribusi (Family Involvement in Education, U.S. Department of Education: 2002) atau akan dimaknai sebagai motivasi oleh si anak.

Rangsangan akan membentuk cabang-cabang otak sebanding dengan yang kita berikan. Selain itu, pengetahuan dan pengalaman si anak juga semakin kaya. Selain rangsangan adalah membentuk tradisi belajar atau tradisi berprestasi dalam keluarga. Tradisi di sini adalah berbagai bentuk pembiasaan positif, misalnya membaca, perhatian dan tanggung jawab terhadap tugas, mencari informasi untuk menyelesaikan masalah, dan berbagai sifat-sifat positif lain.

Untuk membangun tradisi itu mau tidak mau dibutuhkan disiplin. Kata Richard L. Munger dalam booklet-nya Rules For Unruly Children (2007), jangan mengira anak kita lebih bahagia dengan tidak kita berikan disiplin. Anak membutuhkan behavior limits untuk bisa lebih bahagia. Hanya saja, ada beberapa catatan yang perlu kita ingat, antara lain:
Tujuan berdisiplin bukan untuk disiplin, melainkan untuk memfasilitasi agar anak bisa belajar mengontrol hidupnya. Semakin bagus kemampuan anak mengontrol, maka disiplin harus segera dilembekkan / dikurangi / difleksibelkan
Materi disiplin itu perlu dirancang sejelas mungkin sehingga anak tidak merasa semua serba diatur. Disiplinkan untuk hal-hal yang fundamental saja dan sesuai perkembangannya. Akan lebih bagus jika materinya sudah disepakati.
Penegakannya akan lebih bagus dengan pendekatan friendly, bukan forcefully
Disiplin bukan dikeluarkan karena amarah yang sesaat lalu ditegakkan secara tidak konsisten.
Berikan berbagai reward yang unik dan memotivasi. Pilihlah rewards yang cara mendapatkannya bukan dengan menangis atau usaha-usaha rendahan lainnya, melainkan dengan to do their best.

"JANGAN MENGIRA ANAK KITA LEBIH BAHAGIA
DENGAN TIDAK KITA BERIKAN DISIPLIN."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar