Selasa, 15 Maret 2011

LEADERSHIP IN EDUCATION

LEADERSHIP IN EDUCATIONAL MANAGEMENT








Leadership in Educational Management
(Kepemimpinan dalam Manajemen Pendidikan)


A. Pendahuluan
Kepemimpinan atau Leadership merupakan proses pengaruh atau mem-pengaruhi antar pribadi atau antar orang dalam situasi tertentu. Menurut George R. Terry, sebagaimana dikutip oleh Sardjuli, Leadership is the relationship in which one person, or the leader, influences others to work together willingly on related tasks to attain that whick the leader desires.
Term kepemimpinan tak lepas dari unsur influencer, yakni yang mem-pengaruhi dan influence, yakni yang dipengaruhi. Sardjuli menyimpulkan, ada beberapa unsur pokok kepemimpinan, yaitu:
1. Adanya interaksi, yaitu hubungan timbale balik saling mempengaruhi antar anggota dalam kelompok.
2. Adanya pemimpin,yaitu orang yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi orang lain mau berbuat atau bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama dan mampu membina serta mengembangkan interaksi antar anggota dalam kelompok.
3. Adanya terpimpin atau pengikut, yaitu menerima pengaruh.
4. adanya sarana atau alat untuk mempengaruhi orang lain dan untuk menjalin serta meningkatkan integritas kelompok, sehingga mereka secara sadar dan ikhlas mau bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama.
5. Adanya tujuan yang akan dicapai bersama.

Dalam makalah ini, lebih khusus akan membahasan kepemimpinan (leadership) dalam manajemen pendidikan. Pelbagai pertanyaan, seperti: bagaimana konsep kepemimpinan, kepemimpinan dan manajemen, seni kepemimpinan, dan kepemimpinan dalam manajemen berbasis sekolah (MBS), akan dibahas dalam makalah ini dengan merujuk sumber utama, yakni: buku Leadership and Strategic Management in Education, karya Tony Bush dan Marianne Coleman dan buku-buku lain yang mendukungnya.
B. Konsep Kepemimpinan dalam Kultur
Konsep kepemimpinan sangat kompleks dan mengalami perkembangan. Tulisan-tulisan tentang kepemimpinan kebanyakan disadur dari kultur Barat, khususnya dari Amerika Utara. Namun, kepemimpinan dipahami secara berbeda dalam kultur yang berbeda. Oleh karena itu, diperlukan banyak upaya untuk mempelajari dan memahami kepemimpinan dari sudut pandang kultural.
Hofstrede (1980; 1991) telah melakukan penelitian tentang pentingnya variabel-variabel berikut dalam suatu kultur :
1. Individualism, otonomi individu versus tanggungjawab terhadap kelompok
2. Masculinity, bagaimana peranan laki-laki dan perempuan dalam masya-rakat dibedakan.
3. Powerdistance, bagaimana terjadi ketidaksamaan
4. Uncertainly avoidance, tingkat perhatian terhadap hukum dan aturan.
Uraian tentang variable tersebut di atas, menunjukkan bagaimana ia menjadi relevan dengan cara-cara kepemimpinan dalam masyarakat yang berbeda-beda. Misalnya, dari 53 negara, Amerika Serikat, Australia, dan Inggris Raya menduduki peringkat pertama, negara kedua dan ketiga memiliki ciri masyarakat individualistis.
Berbeda lagi dengan Hongkong, Singapura, Malaysia, dan Thailand yang memiliki cirri masyarakat kolektif. Mereka cenderung mengutamakan kepentingan kelompok daripada kepentingan individu.
Dari wacana di atas, pola hubungan power distance antara negara Barat dan Timur memiliki perbedaan yang tajam. Perbedaan tersebut terletak pada ketidaksamaan dalam kekuasaan (power), peran individu, peran gender, toleransi terhadap tingkat perhatian pada hukum dan aturan. Perbedaan tersebut sangat penting diketahui untuk memahami bagaimana perbedaan peran pemimpin dalam kultur yang berbeda.

C. Kepemimpinan dan Manajemen
Kepemimpinan dan manajemen bukanlah merupakan terma yang sinonim. Seseorang bisa menjadi pemimpin tanpa harus menjadi manajer. Misalnya seseorang bisa melaksanakan fungsi-fungsi simbolik, inspirasional, educational, normative kepemimpinan dalam merepresentasikan kepentingan organisasi tanpa harus melaksanakan fungsi manajemen. Sebaliknya, seseorang bisa menjadi manajer tanpa harus menjadi pemimpin.
Dengan demikian, kepemimpinan diidentikkan dengan visi dan nilai-nilai, sedangkan manajemen diidentikkan dengan proses dan struktur.
1. Seni Kepemimpinan
Seni bisa berarti ketrampilan intuitif, “tahu melaksanakan”, namun juga mengindikasikan “refleksi aksi”. Refleksi tentang aksi manajer/pemimpin dilakukan dalam
konteks kultur sebuah organisasi yang berperan seperti wadah pengalaman masa lampau, organisasi menjadi gudang pengetahuan kumulatif yang dikembangkan. Dengan demikian, organisasi dan kulturnya mungkin bisa membuat perubahan menjadi kondusif atau sebaliknya.
2. Manajemen Taktis dan Strategis
Perbedaan antara manajemen dan kepemimpinan dapat dikaitkan dengan pembedaan antara kepemimpinan taktis dan strategis sebagaimana disampaikan Sergiovanni.
Menurut Sergiovanni (1984) kepemimpinan taktis mencakup analisis terhadap kegiatan administratif dengan skala kecil, namun memberikan perhatian pada tujuan secara lebih besar. Berbeda dengan kepemimpinan strategis, merupakan seni dan ilmu yang memfokuskan perhatiannya pada kebijakan-kebijakan dan tujuan-tujuan dengan rencana-rencana jangka panjang.
3. Ketentuan Kepemimpinan
Menurut Bennis (1984) seorang pemimpin secara umum concern terhadap upaya untuk melakukan sesuatu yang benar dan tidak concern terhadap upaya untuk melakukan sesuatu dengan benar.
4. Kekuatan Kepemimpinan
Menurut Sergiovanni (1984) ada lima kekuatan kepemimpinan secara hirarkis, yakni :
a. Teknis, yaitu teknik-teknik manajemen. Pemimpin menjadi penggerak manajemen.
b. Manusia, yaitu sumber daya sosial dan interpersonal. Pemimpin sebagai penggerak manusia.
c. Pendidikan, yaitu kepakaran di bidang pendidikan. Pemimpin bertindak sebagai praktisi klinis.
d. Simbolik, yaitu memfokuskan perhatian pada hal yang penting. Pemimpin sebagai ketua.
e. Kultural, yaitu membangun sebuah kultur sekolah yang unik. Pemimpin sebagai tokoh spiritual.
Dengan demikian, para pemimpin sekolah mempunyai tanggung jawab yang memiliki implikasi yang besar terhadap perbaikan dan peningkatan yang dialami sekolah tersebut. Secara khusus, pemimpin diasosiasikan dengan pengembangan dan pengomunikasian sebuah visi sekolah. Oleh karena itu, pemimpin diharapkan mampu mendorong dan meningkatkan keterlibatan dan pemahaman staf.

D. Teori dan Praktek
Perbedaan antara kepemimpinan dan manajemen dapat menyembunyikan fakta bahwa banyak pemimpin yang menghabiskan waktunya untuk mengerjakan sesuatu yang sebenarnya lebih tepat dikatakan sebagai pekerjaan administratif. Secara praksis pekerjaan administratif merupakan pekerjaan menajer. Di sinilah, menurut teori dan praktek, sering terjadi disposition antara pekerjaan seorang pemimpin dengan manajer.
Ada dua cara penting untuk menganalisa pola-pola kepemimpinan. Pertama, adalah pembedaan antara otokrasi dan demonstrasi, cara ini diasosiasikan dengan penelitian Tennenbaum dan Schimdt (1973); cara kedua, adalah didasarkan pada dominasi relatif yang ada dalam diri seorang pemimpin, yaitu tentang ’perhatiannya terhadap orang dan hubungan-hubungan’ atau ’perhatiannya terhadap produksi atau hasil’; teori ini diasosiasikan dengan penelitian Blake dan Mouton (1964).
Konsep-konsep ini sangat membantu dalam menguji kepemimpinan dalam teori organisasi, yang menekankan pada teori-teori situsional dan kontingensi. Teori-teori tersebut mengakui pentingnya interaksi pemimpin dan lingkungannya: ’mereka mengakui bahwa pola dan sikap kepemimpinan yang tepat dan sukses akan berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.
Hal ini menegasi bahwa pola kepemimpinan dalam suatu kelompok di-sesuaikan dengan situasi dan kondisinya. Misalnya, kepemimpinan di Sekolah, berbeda dengan kepemimpinan di madrasah ataupun pesantren. Walaupun kepemimpinan sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi, ada dimensi lain dalam kepemimpinan yang baik, khususnya dalam lingkungan pendidikan, misalnya: pentingnya visi, manfaat kepemimpinan transformasional, menempatkan pendidikan anak didik dan murid pada posisi utama dalam perencanaan dan manajemen, dan dimensi moral dan etis kepemimpinan dalam pendidikan. Lebih dari itu, kepemimpinan dalam pendidikan mengalami banyak tantangan bersamaan dengan maraknya otonomi sekolah.
Sifat dan watak kepemimpinan dalam manajemen pendidikan ditinjau dengan konsep visi, dapat digeneralisasikan sebagai berikut;
1. Penekanan harus diberikan pada kepemimpinan transformasional daripada transaksional
2. Pemimpin yang terkemuka memiliki sebuah visi bagi organisasinya.
3. Visi harus dikomunikasikan dengan suatu cara yang dapat menjaga komitmen para anggotanya organisasi.
4. Komunikasi visi memerlukan komunikasi makna.
5. Isu-isu nilai – ’apa yang seharusnya’ – adalah utama bagi kepemimpinan.
6. Pemimpin memiliki peranan penting dalam mengembangkan kultur organisasi.
7. Studi tentang sekolah-sekolah terkemuka memberikan dorongan untuk melaksanakan school based management dan collaborative decision-making.
8. Terdapat banyak kekuatan kepemimpinan – teknis, manusia, pendidikan, simbolik, dan semuanya itu harus dihilangkan dalam sekolah.
9. Perhatian harus diberikan kepada institusionalasasi visi jika kepemimpinan jenis transformatif ingin sukses.
10. Kualitas stereotip ’laki-laki’ dan ’perempuan’ sangat penting dalam kepemimpinan, tanpa menghiraukan jenis kelamin.

E. Kepemimpinan dalam School Based Management (SBM)/Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
1. School Based Management (SBM)
Menurut Prof Djohar, SBM mempunyai dua makna besar terhadap pendidikan, ialah (1) peningkatan demokrasi pendidikan yang berarti peningkatan kemerdekaan pendidikan dan (2) peningkatan manajemen sekolah yang berarti peningkatan wewenang untuk mengatur sendiri suatu sekolah oleh komunitasnya. Akan tetapi, meskipun telah dicanangkan SBM, dalam praktiknya pendidikan masih tetap sentralistik. Kurikulum tetap sentralistik. Pengukuran hasil pengajaran tetap sentralistik. Kewenangan sekolah untuk mandiri belum terakomodasi. Kita belum mengakui keberagaman bangsa kita.
Menurut beliau, penghambat sosial budaya pelaksanaan SBM di Indonesia adalah (1) budaya paternalistik (2) budaya birokrasi, (3) kondisi sosial budaya kita, dan (4) budaya menyikapi perbedaan pendapat yang selalu menjadi konflik. Agar SBM di Indonesia dapat berjalan maka kita harus, (1) mewujudkan kehidupan demokrasi di segala bidang, (2) membebaskan diri kita dari egoisme sektoral, (3) membebaskan diri kita dari kelemahan birokrasi kita, (4) mewujudkan transaksi sosial kita secara horizontal dan meninggalkan transaksi vertical, (5) meninggalkan budaya ‘juklak dan juknis’ dan digantikan dengan kemandirian dan kreativitas, (6) membangun budaya kemandirian dalam kebersamaan (7) memperbesar pengakuan atas hak-hak orang lain dengan meninggalkan pertimbangan kepentingan pribadi, (8) memperbesar pengakuan kita terhadap keragaman bangsa, agar kita dapat melakukan pelayanan masyarakat sesuai dengan azas perbedaan itu.
2. Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Manajemen Berbasis Sekolah
Kinerja kepemimpinan kepala sekolah dalam kaitannya dengan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah segala upaya yang dilakukan dan hasil yang dapat dicapai oleh kepala sekolah dalam mengimplementasikan MBS di sekolahannya untuk mewujudkan tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. Sehubungan dengan itu, kepemimpinan kepala sekolah yang efektif dalam MBS dapat dilihat berdasarkan kriteria berikut:
1. Mampu memberdayakan guru-guru untuk melaksanakan proses pem-belajaran dengan baik, lancer, dan produktif.
2. Dapat menyelesaikan tugas dan pekerjaan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan
3. Mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat sehingga dapat melibatkan mereka secara aktif dalam rangka mewujudkan tujuan sekolah dan pendidikan
4. Berhasil menerapkan prinsip kepemimpinan yang sesuai dengan tingkat kedewasaan guru dan pegawai lain di sekolah.
5. Bekerja dengan tim manajemen; serta
6. berhasil mewujudkan tujuan sekolah secara produktif sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
E. Mulyasa mengutip pendapat Pidarta, ada tiga macam keterampilan yang harus dimiliki oleh kepala sekolah untuk menyukseskan kepemimpinannya. Ketiga keterampilan tersebut adalah keterampilan konseptual, yaitu keterampilan untuk memahami dan mengoperasikan organisasi; keterampilan manusiawi, yaitu keterampilan untuk bekerja sama, memotivasi dan memimpin; serta keterampilan teknik ialah keterampilan dalam menggunakan pengetahuan, metode, teknik, serta perlengkapan untuk menyelesaikan tugas tertentu.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa untuk memiliki kemampuan terutama keterampilan konsep, para kepala sekolah diharapkan melakukan kegiatan-kegiatan berikut: (1) senantiasa belajar dari pekerjaan sehari-hari terutama dari cara kerja para guru dan pegawai sekolah lainnya; (2) melakukan observasi kegiatan manajemen secara terencana; (3) membaca berbagai hal yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang sedang dilaksanakan; (4) me-manfaatkan hasil-hasil penelitian orang lain; (5) berpikir untuk masa yang akan dating, dan (6) merumuskan ide-ide yang dapat diujicobakan. Selain itu, kepala sekolah harus dapat menerapkan gaya kepemimpinan yang efektif sesuai dengan situasi dan kebutuhan serta motivasi para guru-guru dan pekerja lain.

F. Kesimpulan dan Analisis
Kepemimpinan dalam manajemen pendidikan tak lepas dari perbedaan kultur atau budaya. Kepemimpinan dalam teori organisasi mengakui pentingnya interaksi pemimpin dan lingkungannya. Kepemimpinan yang tepat dan sukses akan berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Sehingga, pola kepemimpinan dalam suatu kelompok disesuaikan dengan situasi dan kondisinya. Misalnya, kepemimpinan di Sekolah, berbeda dengan kepemimpinan di madrasah ataupun pesantren.
Dalam teori dan praktik, antara kepemimpinan dan manajemen, sering terjadi disposition job, artinya, kadang seorang pemimpin mengerjakan sesuatu yang sebenarnya pekerjaan itu lebih tepat dikatakan sebagai pekerjaan manajerial, ataupun sebaliknya. Tetapi, biasanya kepemimpinan diidentikkan dengan visi dan nilai-nilai, sedangkan manajemen diidentikkan dengan proses dan struktur. Hal ini berbeda dalam kepemimpinan sekolah, seorang kepala sekolah dapat mempunyai dwi fungsi, yakni sebagai seorang pemimpin dan manajer sekaligus.
Kebijakan Otonomi Daerah (Undang-undang No. 22 tahun 1999), membawa konsekuensi pada otonomi sekolah. Adanya otonomi sekolah memberikan ruang manajerial yang lebih luas kepada kepala sekolah. Apalagi didukung dengan kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Dalam sistem MBS, sekolah dituntut untuk mandiri menggali, mengalokasikan, menentukan prioritas, mengendalikan, dan mempertanggungjawabkan pemberdayaan sumber-sumber, baik kepada masyarakat maupun pemerintah.
Akan tetapi, praktiknya, pemerintah masih setengah hati menyerahkan pengelolaan sekolah sepenuhnya kepada sekolah. Kebijakan pendidikan belum ditentukan di sekolah, tetapi masih dikendalikan oleh kekuatan di luar sekolah. Misalnya, adanya kurikulum ala pemerintah dan UAN. Untuk mengendalikan akuntabilitasi penyelenggaraan pendidikan dibentuk lembaga pendampingan, di tingkat kabupaten berupa ”Dewan Pendidikan” dan di tingkat sekolah dibentuk ”Komite Sekolah”. Tetapi peranannya belum optimal. Kerja mereka masih sangat ditentukan oleh kehendak birokrasi.












Daftar Pustaka

Djohar, Pengembangan Pendidikan Nasional Menyongsong Masa Depan, (Yogyakarta: CV. Grafika Indah, 2006)
E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005)
Sardjuli, Administrasi dan Supervisi Pendidikan, (Solo: Era Intermedia, 2001)
Tony Bush dan Marianne Coleman, Leadership dan Strategic Management in Education, (London: Paul Chapman Publishing Ltd, 2000) atau edisi terjemahan oleh. Fahrurrozi dalam Manajemen Strategis Kepemimpinan Pendidikan, ( Yohyakarta: IRCiSod, 2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar