Selasa, 15 Maret 2011

PEMIKIRAN DAN PERKEMBANGAN TEOLOGI ISLAM

PEMIKIRAN DAN PERKEMBANGAN TEOLOGI ISLAM
(Telaah pemikiran Syi’ah, Murji’ah dan Sunni)
Oleh : Hidayatullah, SHI
A. PENDAHULUAN
Perbedaan pendapat pada manusia adalah sesuatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Kalau manusia sejak kecilnya memandang alam sekelilingnya dengan pandangan filosofis, sedangkan pandangan orang berbeda-beda, maka kelanjutannya ialah bahwa gambaran imajinasi manusia juga berbeda-beda. Semakin jauh orang berjalan dalam cifilisasi dan kebudayaan, semakin jauh pula perbedaan itu, sehingga timbullah karenanya aliran-aliran dalam filsafat, sosial, ekonomi dan sebagainya. Hal ini pula yang menyebabkan perbedaan pandangan dalam persoalan teologi yang terjadi di kalangan umat Islam saat ini.
Sepeninggal Nabi Muhammad SAW umat Islam saling berselisih dalam berbagai hal. Mereka saling sesat – menyesatkan, saling salah menyalahkan, sehingga mereka pun pecah beraliran–aliran dan berkelompok–kelompok, padahal Islam itu sebenarnya menyatukan mereka dalam satu persatuan dan kesatuan.
Awal terjadinya perselisihan tersebut adalah pertentangan mereka tentang kepemimpinan (imamah) sepeninggal Nabi SAW yaitu ketika para sahabat golongan Anshor berkumpul di Safiqah Bani Sa’adah untuk menetapkan Sa’ad Ibn Ubaidah sebagai pemimpin umat Islam. Hal ini terdengar oleh Abu Bakar As Shiddiq dan Umar bin Khattab. Maka mereka pun segera menghadiri pertemuan para sahabat golongan Anshor tersebut mewakili para sahabat golongan Muhajirin.
Kemudian dalam pertemuan itu Abu Bakar As Shiddiq mengemukakan pendapatnya, bahwa kepemimpinan tersebut tidak oleh dipegang golongan lain, kecuali (golongan) suku bangsa Quraisy. Dan hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW.
”Kepemimpinan ini berada di tangan suku bangsa Quraisy”
Inilah yang menjadi awal munculnya perpecahan dalam umat Islam terutama dalam persoalan teologi yang terpecah menjadi berbagai macam aliran dan golongan.sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah saw :
”Umat sebelummu dari ahli kitab terpecah menjadi 72 millah (aliran). Dan agama ini (Islam) terpecah menjadi 73. 72 diantaranya di neraka dan satu di surga. Yaitu Al-Jamaah. (HR. Abu Daud)

B. ALIRAN SYI’AH
1) Pengertian syi’ah
Istilah Syi'ah berasal dari kata Bahasa Arab شيعة Syī`ah. Bentuk tunggal dari kata ini adalah Syī`ī شيعي. "Syi'ah" adalah bentuk pendek dari kalimat bersejarah Syi`ah `Ali شيعة علي artinya "pengikut Ali", yang berkenaan tentang Q.S. Al-Bayyinah ayat khoirulbariyyah, saat turunnya ayat itu Nabi SAW bersabda: "Wahai Ali kamu dan pengikutmu adalah orang-orang yang beruntung" (ya Ali anta wa syi'atuka humulfaaizun).
Syi'ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara. Syi’ah secara harfiah berarti kelompok atau pengikut. Kata tersebut untuk menunjuk para pengikut ali bin abi thalib sebagaui pemimpin pertama ahlul bait. Ketokohan Ali Bin Abi Thalib dalam pandangan Syi’ah sejalan dengan isyarat-isyarat yang telah diberikan Nabi Muhammad sendiri ketika ia masih hidup.
Adapun menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib sangat utama diantara para sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau. Syi'ah, dalam sejarahnya mengalami beberapa pergeseran. Seiring dengan bergulirnya waktu, Syi'ah mengalami perpecahan sebagaimana Sunni juga mengalami perpecahan mazhab.

2) Awal mula munculnya Syi’ah
Pada awal kenabian Muhammad, ketika ia diperintah menyampaikan dakwah kepada kaum kerabatnya, maka yang pertama-tama menerima ajakan Islam tersebut adalah Ali bin Abi Thalib sendiri. Dikatakan bahwa nabi Muhammad ketika itu menyamapaikan pernyataan bahwa siapa yang pertama-tama memenuhi ajakannya memeluk Islam akan menjadi penerus dan pewarisnya.
Sejak saat itu orang-orang Syi’ah menganggap bahwa Alilah yang berhak menyandang pewaris nabi. Selain itu peristiwa yang terpenting yang memperkuat orang Syi’ah yaitu isyarat nabi yang menunjuk Ali Bin Abi Thalib sebagai waliyat al amah (pemimpin umum ummat) dan menjadikan Ali sebagai wali (pelindung bagi ummat Islam) pada saat peristiwa Gadir Khumm.
Dengan alasan-alasan demikian para pengikut Syi’ah percaya bahwa setelah nabi wafat, kekhalifahan dan kekuasaan agama berada di tangan Ali bin Abi Thalib dan keturunannya yang disebut dengan Ahlul Bait.
Muslim Syi'ah percaya bahwa Keluarga Muhammad (yaitu para Imam Syi'ah) adalah sumber pengetahuan terbaik tentang Qur'an dan Islam, guru terbaik tentang Islam setelah Nabi Muhammad, dan pembawa serta penjaga terpercaya dari tradisi Sunnah.
Secara khusus, muslim Syi'ah berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib, yaitu sepupu dan menantu Muhammad dan kepala keluarga Ahlul Bait, adalah penerus kekhalifahan setelah Nabi Muhammad, yang berbeda dengan khalifah lainnya yang diakui oleh Muslim Sunni. Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dipilih melalui perintah langsung oleh Nabi Muhammad, dan perintah Nabi berarti wahyu dari Allah.
Akan tetapi bukanlah itu yang dimaksudkan oleh Abu Bakar dan Umar. Nampaknya yang mereka maksudkan adalah kedudukan serta kekuatan kaum Quraisy. Jadi bukan semata-mata karena masalah kerabat. Kaum Quraisy adalah lebih utama untuk menduduki kursi khalifah itu karena mereka mempunyai kekuatan dan ditaati di kalangan bangsa Arab. Abu Bakar pun telah menjelaskan apa yang dimaksudkannya tentang hal itu dalam pidato yang diucapkannya di Saqifah Bani Saidah.katanya.:”.... Di samping itu kami adalah bangsa Arab yang paling mulia keturunannya.”dan Umar pun menerangkan pula pendapat itu dalam ucapannya : ....”andaikan kaum Quraisy masuk ke lobang biawak, niscaya bangsa Arab seluruhnya akan mengikuti pula”.
Perbedaan antara pengikut Ahlul Bait dan Abu Bakar menjadikan perbedaan pandangan yang tajam antara Syi'ah dan Sunni dalam penafsiran Al Qur'an, Hadits, mengenai Sahabat, dan hal-hal lainnya. Sebagai contoh perawi Hadits dari Muslim Syi'ah berpusat pada perawi dari Ahlul Bait, sementara yang lainnya seperti Abu Hurairah tidak dipergunakan.
Tanpa memperhatikan perbedaan tentang khalifah, Syi'ah mengakui otoritas Imam Syi'ah (juga dikenal dengan Khalifah Illahi) sebagai pemegang otoritas agama, walaupun sekte-sekte dalam Syi'ah berbeda dalam siapa pengganti para Imam dan Imam saat ini.
3) Doktrin Syi’ah
Dalam Syi'ah terdapat doktrin yang namanya ushuluddin (pokok-pokok agama) dan furu'uddin {masalah penerapan agama). Syi'ah memiliki Lima Ushuluddin:
1. Tauhid, bahwa Allah SWT adalah Maha Esa.
2. Al-‘Adl, bahwa Allah SWT adalah Maha Adil.
3. An-Nubuwwah, bahwa kepercayaan Syi'ah pada keberadaan para nabi sama seperti muslimin lain. I’tikadnya tentang kenabian ialah:
a) Jumlah nabi dan rasul Allah ada 124.000.
b) Nabi dan rasul terakhir ialah Nabi Muhammad SAW.
c) Nabi Muhammad SAW suci dari segala aib dan tiada cacat apa pun. Beliaulah nabi paling utama dari seluruh Nabi yang ada.
d) Ahlul Baitnya, yaitu Ali, Fatimah, Hasan, Husain dan 9 Imam dari keturunan Husain adalah manusia-manusia suci.
e) Al-Qur'an ialah mukjizat kekal Nabi Muhammad SAW.
4. Al-Imamah, bahwa bagi Syi'ah berarti pemimpin urusan agama dan dunia, yaitu seorang yang bisa menggantikan peran Nabi Muhammad SAW sebagai pemelihara syariah Islam, mewujudkan kebaikan dan ketenteraman umat. Al-hadits yang juga diriwayatkan Sunni: "Para imam setelahku ada dua belas, semuanya dari Quraisy".
5. Al-Ma’ad, bahwa Syi'ah mempercayai kehidupan akhirat.

C. ALIRAN MURJI’AH
1) Pengertian murjiah
Murjiah berasal dari kata “Irja’” yang artinya menunggu, menunda dan mengharap, mengingat penganutnya yang mempercayai bahwa setiap orang yang berbuat kejahatan itu pasti menunggu dan mengharap rahmat Allah. Dan, Allah adalah Dzat Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Maka, setiap orang tidak punya hak gugat sehingga ia dapat memprotes dan mempersalahkan perbuatan atau dosa yang dilakukan seorang yang dzalim.
Aliran Murji'ah adalah aliran Islam yang muncul dari golongan yang tak sepaham dengan Khawarij. Ini tercermin dari ajarannya yang bertolak belakang dengan Khawarij. Pengertian murji'ah sendiri ialah penangguhan vonis hukuman atas perbuatan seseorang sampai di pengadilan Allah SWT kelak. Jadi, mereka tak mengkafirkan seorang Muslim yang berdosa besar, sebab yang berhak menjatuhkan hukuman terhadap seorang pelaku dosa hanyalah Allah SWT, sehingga seorang Muslim, sekalipun berdosa besar, dalam kelompok ini tetap diakui sebagai Muslim dan punya harapan untuk bertobat.
2) Awal mula munculnya murji’ah
Murji’ah adalah sebuah nama yang pada mulanya mengacu kepada segolongan sahabat nabi, yang tidak mau melibatkan diri dalam pertentangan politik yang terjadi sejak tahun-tahun terakhir pemerintahan khalifah Usman Bin Affan (663-655 M/23-35 H) antar pihak yang menyokong khalifah (golongan Usman) dan pihak yang menentangnya (golongan Ali). Sementara kedua pihak yang berselisih itu saling menyalahkan, mereka yang tidak mau melibatkan diiri melakukan irja’;dengan pengertian tidak mau memberikan pendapat tentang pihak mana yang benar atau salah, dan menyerahkan masalah itu kepada Tuhan. Menurut mereka, cukuplah Tuhan saja yang memutuskan nanti di akhirat tentang pihak mana yang benar dan pihak mana yang salah. Mereka yang memilih sikap sikap irja’ itu, sehingga mereka disebut kaum Murji’ah..
Selanjutnya nama Murji’ah mengacu kepada kaum muslimin yang tidak setuju dengan pandangan kaum Khawarij (muncul sejak 657 (37H), yang mengafirkan mukmin yang melakukan dosa besar. Menurut mereka mukmin yang melakukan dosa besar tidaklah berubah statusnya menjadi kafir, tapi tetap mukmin, yakni mukmin yang berdosa yang seandainya dimasukkan tuhan ke dalam neraka, tidaklah kekal selamanya di sana. Ketika mereka ditanya tentang nasib mukmin, mereka memilih sikap irja’, yakni 6tidak menyatakan pendapat, tapi menyerahkan masalah itu kepada Tuhan. Menurut mereka cukuplah Tuhan yang memutuskan apakah ia akan mengampuni mukmin yang berdosa itu, sehingga masuk syurga kelak di akhirat, atau menghukumnya lebih dulu di neraka, baru sesudah itu memasukkannya ke dalam syurga. Dengan menyatakan pendapat seperti ini mereka telah melakukan irja’ dengan pengertian memberi harapan kepada pelaku dosa besar, bahwa mungkin mereka diampuni Tuhan sehingga tidak akan masuk neraka dan sekiranya tidak diampuni, mereka pada akhirnya akan masuk syurga juga dengan segala kenikmatan yang diberikan Tuhan.
Aliran ini timbul di Damaskus pada akhir abad pertama hijriyah. Mereka datang ke Madinah setelah terjadi pembunuhan terhadap diri khalifah Usman Bin Affan, yang pada waktu itu sering berkecamuk perselisihan-perselisihan dan pertikaian-pertikaian di kalangan umat islam.
3) Doktrin Murji’ah
Secara garis besar, ajaran-ajaran pokok Murji'ah adalah:
1. Pengakuan iman cukup hanya dalam hati. Jadi pengikut golongan ini tak dituntut membuktikan keimanan dalam perbuatan sehari-hari. Ini merupakan sesuatu yang janggal dan sulit diterima kalangan Murjites sendiri, karena iman dan amal perbuatan dalam Islam merupakan satu kesatuan.
2. Selama meyakini 2 kalimah syahadat, seorang Muslim yang berdosa besar tak dihukum kafir. Hukuman terhadap perbuatan manusia ditangguhkan, artinya hanya Allah yang berhak menjatuhkannya di akhirat.
3. Amal-amal lahir tidak termasuk bagian dari pada iman. Iman adalah keyakinan hati.
Tokoh utama aliran ini antara lain adalah: Abu Bakrah, Abdullah Bin Umar, Saad Bin Abi Waqas, Imran Bin Husain dan lain-lain Hasan bin Bilal Muzni, Abu Sallat Samman, dan Diror bin 'Umar. Dalam perkembangan selanjutnya, aliran ini terbagi menjadi kelompok moderat (dipelopori Hasan bin Muhammad bin 'Ali bin Abi Tholib) dan kelompok ekstrem (dipelopori Jaham bin Shofwan).

ALIRAN SUNNI
1) Pengertian sunni
Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah atau Ahlus-Sunnah wal Jama'ah (Bahasa Arab: أهل السنة والجماعة) atau lebih sering disingkat Ahlul-Sunnah (bahasa Arab: أهل السنة) atau Sunni. Ahlussunnah adalah mereka yang senantiasa tegak di atas Islam berdasarkan Al Qur'an dan hadits yang shahih dengan pemahaman para sahabat, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in. Sekitar 90% umat Muslim sedunia merupakan kaum Sunni, dan ±10% menganut aliran Syi'ah
Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang mengikuti sunnah dan berpegang teguh dengannya dalam seluruh perkara yang Rasulullah berada di atasnya dan juga para sahabatnya. Oleh karena itu Ahlus Sunnah yang sebenarnya adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan orang-orang yang mengikuti mereka sampai hari kiamat.
Sedangkan menurut A Hanafi, perkataan As Sunnah dapat berarti hadis nabi dan yang dimaksud Ahlussunnah ialah orang yang mengaku serta mempercayai kebenaran hadis nabi tanpa menolaknya. Sedang perkataan jamaah berarti golongan kaum muslimin (atau mayoritas)selain Khawarij, Murjiah dan Syi’ah. Karena aliran ini tidak mengakui sahnya ijma’ yaitu kebulatan pendapat golongan mujtahidin, sebagai wakil dari seluruh kaum muslimin.
2) Sejarah aliran Sunni
Ketika Rasulullah Muhammad SAW wafat, maka terjadilah kesalahpahaman antara golongan Muhajirin dan Anshar siapa yang selanjutnya menjadi pemimpin kaum muslimin. Para sahabat melihat hal ini akan mengakibatkan perang saudara antar kaum muslimin Muhajirin dan Anshor. Setelah masing-masing mengajukan delegasi untuk menentukkan siapa Khalifah pengganti Rasulullah. Akhirnya disepakati oleh kaum muslimin untuk mengangkat Abu Bakar sebagai Khalifah.
Pada masa kekhalifahan ke-3, Utsman bin Affan, terjadi fitnah yang cukup serius di tubuh Islam pada saat itu, yang mengakibatkan terbunuhnya Khalifah Utsman. Pembunuhnya ialah suatu rombongan delegasi yang didirikan oleh Abdullah bin Saba' dari Mesir yang hendak memberontak kepada Khalifah dan hendak membunuhnya. Abdullah bin Saba' berhasil membangun pemahaman yang sesat untuk mengadu domba umat Islam untuk menghancurkan Islam dari dalam. Kemudian masyarakat banyak saat itu, terutama disponsori oleh para bekas pelaku pembunuhan terhadap Utsman, berhasil membunuh beliau dengan sadis ketika beliau sedang membaca Qur'an.
Segera setelah bai'at Khalifah Ali mengalami kesulitan bertubi-tubi. Orang-orang yang terpengaruh Abdullah bin Saba' terus menerus mengadu domba para sahabat. Usaha mereka berhasil. Para sahabat salah paham mengenai kasus hukum pembunuhan Utsman. Yang pertama berasal dari janda Rasulullah SAW, Aisyah, yang bersama dengan Thalhah dan Zubair berhasil diadu domba hingga terjadilah Perang Jamal atau Perang Unta. Dan kemudian oleh Muawiyah yang diangkat oleh Utsman sebagai Gubernur di Syam, mengakibatkan terjadinya Perang Shiffin. Melihat banyaknya korban dari kaum muslimin, maka pihak yang berselisih mengadakan ishlah atau perdamaian. Para pemberontak tidak senang dengan adanya perdamaian diantara kaum muslimin. Kemudian terjadi usaha pembangkangan oleh mereka yang pada awalnya berpura-pura / munafik. Merekalah Golongan Khawarij
Kaum Khawarij ingin merebut kekhalifahan. Tapi terhalang oleh Ali dan Muawiyah, sehingga mereka merencanakan untuk membunuh keduanya. Ibnu Muljam dari Khawarij berhasil membunuh Khalifah Ali pada saat khalifah mengimami shalat subuh di Kufah, tapi tidak terhadap Muawiyah karena dijaga ketat. Bahkan Muawiyah berhasil mengkonsolidasikan diri dan umat Islam, berkat kecakapan politik dan ketegaran kepemimpinannya. Karena belajar oleh berbagai pertumpahan darah, kaum muslim secara pragmatis dan realistis mendukung kekuasaan de facto Muawiyah. Maka tahun itu, tahun 41 Hijriyah, secara khusus disebut tahun persatuan ('am al-jama'ah).
Dalam perkembangan selanjutnya muncul istilah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, yaitu satu ikatan atau golongan ulama-ulama ilmu Kalam, Fiqih, Tafsir dan Hadis untuk menghadapi serangan-serangan dari Mu’tazilah, Khawarij dan Syi’ah dan segala macam bentuk alirannya, serta mengembaluikan faham keagamaan sahabat utama.
Aliran ahlus sunnah wal jama’ah lahir pada abad ke tiga Hijriyyah dengan dipelopori oleh ulama terkemuka bernama Abu Hasan Al Asyari (230-290 H/ 873-935 M) dan kemudian diikuti oleh Abu Mansyur Al Maturidi yang bertujuan mengembalikan aqidah kaum muslimin kepada kemurniannya yang digariskan oleh Rasulullah Saw dan para sahabat beliau.
3. Doktrin aliran Sunni
Ciri aqidah ahlus sunnah berbeda dengan golongan lain, terutama aliran mu’tazilah, bukan pada aqidah yang sama sebagaiman disebutkan berikut ini:
1. Tuhan bisa dilihat dengan mata kepala di akhirat
2. Ada syafaat pada hari kiamat
3. Pekerjaan manusia tuhanlah yang menjadikannya
4. Kebangkitan di akhirat, pengumpulan manusia (hasyr) pertanyaan mungkar dan nakir di kubur, siksa kubur, timbangan amal perbuatan manusia, jembatan (shirat) kesemuanya adalah benar.
5. Kebaikan dan keburukan tidak dapat diketahui oleh akal semata-mata
6. Ijma’ adalah suatu kebenaran yang harus diterima


PENUTUP
Munculnya aliran syiah dilatar belakangi adanya kepercayaan orang – orang Syiah yang menganggap bahwa Ali adalah orang pertama kali menerima ajakan Islam dikuatkan lagi dengan pernyataan nabi Muhammad yang menyamapaikan bahwa siapa yang pertama-tama memenuhi ajakannya memeluk Islam akan menjadi penerus dan pewarisnya. inilah yang menjadi landasan bahwa Alilah dan Ahlu Bait yang berhak menggantikan kekhalifahan sesudah nabi wafat.
Munculnya Aliran Murji’ah pada mulanya adalah sebuah nama yang mengacu kepada segolongan sahabat nabi, yang tidak mau melibatkan diri dalam pertentangan politik yang terjadi sejak tahun-tahun terakhir pemerintahan khalifah Usman Bin Affan antar pihak yang menyokong khalifah (golongan Usman) dan pihak yang menentangnya (golongan Ali). Sementara kedua pihak yang berselisih itu saling menyalahkan, mereka yang tidak mau melibatkan diiri melakukan irja’;dengan pengertian tidak mau memberikan pendapat tentang pihak mana yang benar atau salah, dan menyerahkan masalah itu kepada Tuhan.
Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang mengikuti sunnah dan berpegang teguh dengannya dalam seluruh perkara yang Rasulullah berada di atasnya dan juga para sahabatnya. Oleh karena itu Ahlus Sunnah yang sebenarnya adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan orang-orang yang mengikuti mereka sampai hari kiamat.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, kiranya tidak aneh kalau dikatakan bahwa perbedaan pendapat menjadi tabiat dan sifat manusia, di mana dan kapanpun saja, termasuk juga kaum muslimin. Meskipun demikian, perbedaan di kalangan kaum muslimin mempunyai corak tersendiri, berhubung dengan faktor-faktor khusus yang berhubungan dengan agama, lingkungan dan waktu.






DAFTAR PUSTAKA
A Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam jilid II Jakarta; Pustaka Al Husna: 1997
Abul Hasan Ismail Al Asyari, Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Teologi Islam,terj. Drs. H
Nasir Yusuf,Bandung: Pustaka Setia;1998
Ali Syariati, Murji`ah: Fenomena Penyimpangan Pemikiran http://islamalternatif.net/id/27/04/2009
Hanafi MA. Pengpantar Theologi Islam, Jakarta, Al Husna Dzikra : 1995
Taufiq Idris, Aliran-Aliran Popular dalam Teologi Islam, Surabaya ;Bina Ilmu 1995
UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam, Jakarta, 1995
http://id.wikipedia.org/wiki/Murji%27ah
http://id.wikipedia.org/wiki/sunni
http://id.wikipedia.org/wiki/syi’ah,

LEADERSHIP IN EDUCATION

LEADERSHIP IN EDUCATIONAL MANAGEMENT








Leadership in Educational Management
(Kepemimpinan dalam Manajemen Pendidikan)


A. Pendahuluan
Kepemimpinan atau Leadership merupakan proses pengaruh atau mem-pengaruhi antar pribadi atau antar orang dalam situasi tertentu. Menurut George R. Terry, sebagaimana dikutip oleh Sardjuli, Leadership is the relationship in which one person, or the leader, influences others to work together willingly on related tasks to attain that whick the leader desires.
Term kepemimpinan tak lepas dari unsur influencer, yakni yang mem-pengaruhi dan influence, yakni yang dipengaruhi. Sardjuli menyimpulkan, ada beberapa unsur pokok kepemimpinan, yaitu:
1. Adanya interaksi, yaitu hubungan timbale balik saling mempengaruhi antar anggota dalam kelompok.
2. Adanya pemimpin,yaitu orang yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi orang lain mau berbuat atau bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama dan mampu membina serta mengembangkan interaksi antar anggota dalam kelompok.
3. Adanya terpimpin atau pengikut, yaitu menerima pengaruh.
4. adanya sarana atau alat untuk mempengaruhi orang lain dan untuk menjalin serta meningkatkan integritas kelompok, sehingga mereka secara sadar dan ikhlas mau bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama.
5. Adanya tujuan yang akan dicapai bersama.

Dalam makalah ini, lebih khusus akan membahasan kepemimpinan (leadership) dalam manajemen pendidikan. Pelbagai pertanyaan, seperti: bagaimana konsep kepemimpinan, kepemimpinan dan manajemen, seni kepemimpinan, dan kepemimpinan dalam manajemen berbasis sekolah (MBS), akan dibahas dalam makalah ini dengan merujuk sumber utama, yakni: buku Leadership and Strategic Management in Education, karya Tony Bush dan Marianne Coleman dan buku-buku lain yang mendukungnya.
B. Konsep Kepemimpinan dalam Kultur
Konsep kepemimpinan sangat kompleks dan mengalami perkembangan. Tulisan-tulisan tentang kepemimpinan kebanyakan disadur dari kultur Barat, khususnya dari Amerika Utara. Namun, kepemimpinan dipahami secara berbeda dalam kultur yang berbeda. Oleh karena itu, diperlukan banyak upaya untuk mempelajari dan memahami kepemimpinan dari sudut pandang kultural.
Hofstrede (1980; 1991) telah melakukan penelitian tentang pentingnya variabel-variabel berikut dalam suatu kultur :
1. Individualism, otonomi individu versus tanggungjawab terhadap kelompok
2. Masculinity, bagaimana peranan laki-laki dan perempuan dalam masya-rakat dibedakan.
3. Powerdistance, bagaimana terjadi ketidaksamaan
4. Uncertainly avoidance, tingkat perhatian terhadap hukum dan aturan.
Uraian tentang variable tersebut di atas, menunjukkan bagaimana ia menjadi relevan dengan cara-cara kepemimpinan dalam masyarakat yang berbeda-beda. Misalnya, dari 53 negara, Amerika Serikat, Australia, dan Inggris Raya menduduki peringkat pertama, negara kedua dan ketiga memiliki ciri masyarakat individualistis.
Berbeda lagi dengan Hongkong, Singapura, Malaysia, dan Thailand yang memiliki cirri masyarakat kolektif. Mereka cenderung mengutamakan kepentingan kelompok daripada kepentingan individu.
Dari wacana di atas, pola hubungan power distance antara negara Barat dan Timur memiliki perbedaan yang tajam. Perbedaan tersebut terletak pada ketidaksamaan dalam kekuasaan (power), peran individu, peran gender, toleransi terhadap tingkat perhatian pada hukum dan aturan. Perbedaan tersebut sangat penting diketahui untuk memahami bagaimana perbedaan peran pemimpin dalam kultur yang berbeda.

C. Kepemimpinan dan Manajemen
Kepemimpinan dan manajemen bukanlah merupakan terma yang sinonim. Seseorang bisa menjadi pemimpin tanpa harus menjadi manajer. Misalnya seseorang bisa melaksanakan fungsi-fungsi simbolik, inspirasional, educational, normative kepemimpinan dalam merepresentasikan kepentingan organisasi tanpa harus melaksanakan fungsi manajemen. Sebaliknya, seseorang bisa menjadi manajer tanpa harus menjadi pemimpin.
Dengan demikian, kepemimpinan diidentikkan dengan visi dan nilai-nilai, sedangkan manajemen diidentikkan dengan proses dan struktur.
1. Seni Kepemimpinan
Seni bisa berarti ketrampilan intuitif, “tahu melaksanakan”, namun juga mengindikasikan “refleksi aksi”. Refleksi tentang aksi manajer/pemimpin dilakukan dalam
konteks kultur sebuah organisasi yang berperan seperti wadah pengalaman masa lampau, organisasi menjadi gudang pengetahuan kumulatif yang dikembangkan. Dengan demikian, organisasi dan kulturnya mungkin bisa membuat perubahan menjadi kondusif atau sebaliknya.
2. Manajemen Taktis dan Strategis
Perbedaan antara manajemen dan kepemimpinan dapat dikaitkan dengan pembedaan antara kepemimpinan taktis dan strategis sebagaimana disampaikan Sergiovanni.
Menurut Sergiovanni (1984) kepemimpinan taktis mencakup analisis terhadap kegiatan administratif dengan skala kecil, namun memberikan perhatian pada tujuan secara lebih besar. Berbeda dengan kepemimpinan strategis, merupakan seni dan ilmu yang memfokuskan perhatiannya pada kebijakan-kebijakan dan tujuan-tujuan dengan rencana-rencana jangka panjang.
3. Ketentuan Kepemimpinan
Menurut Bennis (1984) seorang pemimpin secara umum concern terhadap upaya untuk melakukan sesuatu yang benar dan tidak concern terhadap upaya untuk melakukan sesuatu dengan benar.
4. Kekuatan Kepemimpinan
Menurut Sergiovanni (1984) ada lima kekuatan kepemimpinan secara hirarkis, yakni :
a. Teknis, yaitu teknik-teknik manajemen. Pemimpin menjadi penggerak manajemen.
b. Manusia, yaitu sumber daya sosial dan interpersonal. Pemimpin sebagai penggerak manusia.
c. Pendidikan, yaitu kepakaran di bidang pendidikan. Pemimpin bertindak sebagai praktisi klinis.
d. Simbolik, yaitu memfokuskan perhatian pada hal yang penting. Pemimpin sebagai ketua.
e. Kultural, yaitu membangun sebuah kultur sekolah yang unik. Pemimpin sebagai tokoh spiritual.
Dengan demikian, para pemimpin sekolah mempunyai tanggung jawab yang memiliki implikasi yang besar terhadap perbaikan dan peningkatan yang dialami sekolah tersebut. Secara khusus, pemimpin diasosiasikan dengan pengembangan dan pengomunikasian sebuah visi sekolah. Oleh karena itu, pemimpin diharapkan mampu mendorong dan meningkatkan keterlibatan dan pemahaman staf.

D. Teori dan Praktek
Perbedaan antara kepemimpinan dan manajemen dapat menyembunyikan fakta bahwa banyak pemimpin yang menghabiskan waktunya untuk mengerjakan sesuatu yang sebenarnya lebih tepat dikatakan sebagai pekerjaan administratif. Secara praksis pekerjaan administratif merupakan pekerjaan menajer. Di sinilah, menurut teori dan praktek, sering terjadi disposition antara pekerjaan seorang pemimpin dengan manajer.
Ada dua cara penting untuk menganalisa pola-pola kepemimpinan. Pertama, adalah pembedaan antara otokrasi dan demonstrasi, cara ini diasosiasikan dengan penelitian Tennenbaum dan Schimdt (1973); cara kedua, adalah didasarkan pada dominasi relatif yang ada dalam diri seorang pemimpin, yaitu tentang ’perhatiannya terhadap orang dan hubungan-hubungan’ atau ’perhatiannya terhadap produksi atau hasil’; teori ini diasosiasikan dengan penelitian Blake dan Mouton (1964).
Konsep-konsep ini sangat membantu dalam menguji kepemimpinan dalam teori organisasi, yang menekankan pada teori-teori situsional dan kontingensi. Teori-teori tersebut mengakui pentingnya interaksi pemimpin dan lingkungannya: ’mereka mengakui bahwa pola dan sikap kepemimpinan yang tepat dan sukses akan berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.
Hal ini menegasi bahwa pola kepemimpinan dalam suatu kelompok di-sesuaikan dengan situasi dan kondisinya. Misalnya, kepemimpinan di Sekolah, berbeda dengan kepemimpinan di madrasah ataupun pesantren. Walaupun kepemimpinan sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi, ada dimensi lain dalam kepemimpinan yang baik, khususnya dalam lingkungan pendidikan, misalnya: pentingnya visi, manfaat kepemimpinan transformasional, menempatkan pendidikan anak didik dan murid pada posisi utama dalam perencanaan dan manajemen, dan dimensi moral dan etis kepemimpinan dalam pendidikan. Lebih dari itu, kepemimpinan dalam pendidikan mengalami banyak tantangan bersamaan dengan maraknya otonomi sekolah.
Sifat dan watak kepemimpinan dalam manajemen pendidikan ditinjau dengan konsep visi, dapat digeneralisasikan sebagai berikut;
1. Penekanan harus diberikan pada kepemimpinan transformasional daripada transaksional
2. Pemimpin yang terkemuka memiliki sebuah visi bagi organisasinya.
3. Visi harus dikomunikasikan dengan suatu cara yang dapat menjaga komitmen para anggotanya organisasi.
4. Komunikasi visi memerlukan komunikasi makna.
5. Isu-isu nilai – ’apa yang seharusnya’ – adalah utama bagi kepemimpinan.
6. Pemimpin memiliki peranan penting dalam mengembangkan kultur organisasi.
7. Studi tentang sekolah-sekolah terkemuka memberikan dorongan untuk melaksanakan school based management dan collaborative decision-making.
8. Terdapat banyak kekuatan kepemimpinan – teknis, manusia, pendidikan, simbolik, dan semuanya itu harus dihilangkan dalam sekolah.
9. Perhatian harus diberikan kepada institusionalasasi visi jika kepemimpinan jenis transformatif ingin sukses.
10. Kualitas stereotip ’laki-laki’ dan ’perempuan’ sangat penting dalam kepemimpinan, tanpa menghiraukan jenis kelamin.

E. Kepemimpinan dalam School Based Management (SBM)/Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
1. School Based Management (SBM)
Menurut Prof Djohar, SBM mempunyai dua makna besar terhadap pendidikan, ialah (1) peningkatan demokrasi pendidikan yang berarti peningkatan kemerdekaan pendidikan dan (2) peningkatan manajemen sekolah yang berarti peningkatan wewenang untuk mengatur sendiri suatu sekolah oleh komunitasnya. Akan tetapi, meskipun telah dicanangkan SBM, dalam praktiknya pendidikan masih tetap sentralistik. Kurikulum tetap sentralistik. Pengukuran hasil pengajaran tetap sentralistik. Kewenangan sekolah untuk mandiri belum terakomodasi. Kita belum mengakui keberagaman bangsa kita.
Menurut beliau, penghambat sosial budaya pelaksanaan SBM di Indonesia adalah (1) budaya paternalistik (2) budaya birokrasi, (3) kondisi sosial budaya kita, dan (4) budaya menyikapi perbedaan pendapat yang selalu menjadi konflik. Agar SBM di Indonesia dapat berjalan maka kita harus, (1) mewujudkan kehidupan demokrasi di segala bidang, (2) membebaskan diri kita dari egoisme sektoral, (3) membebaskan diri kita dari kelemahan birokrasi kita, (4) mewujudkan transaksi sosial kita secara horizontal dan meninggalkan transaksi vertical, (5) meninggalkan budaya ‘juklak dan juknis’ dan digantikan dengan kemandirian dan kreativitas, (6) membangun budaya kemandirian dalam kebersamaan (7) memperbesar pengakuan atas hak-hak orang lain dengan meninggalkan pertimbangan kepentingan pribadi, (8) memperbesar pengakuan kita terhadap keragaman bangsa, agar kita dapat melakukan pelayanan masyarakat sesuai dengan azas perbedaan itu.
2. Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Manajemen Berbasis Sekolah
Kinerja kepemimpinan kepala sekolah dalam kaitannya dengan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah segala upaya yang dilakukan dan hasil yang dapat dicapai oleh kepala sekolah dalam mengimplementasikan MBS di sekolahannya untuk mewujudkan tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. Sehubungan dengan itu, kepemimpinan kepala sekolah yang efektif dalam MBS dapat dilihat berdasarkan kriteria berikut:
1. Mampu memberdayakan guru-guru untuk melaksanakan proses pem-belajaran dengan baik, lancer, dan produktif.
2. Dapat menyelesaikan tugas dan pekerjaan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan
3. Mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat sehingga dapat melibatkan mereka secara aktif dalam rangka mewujudkan tujuan sekolah dan pendidikan
4. Berhasil menerapkan prinsip kepemimpinan yang sesuai dengan tingkat kedewasaan guru dan pegawai lain di sekolah.
5. Bekerja dengan tim manajemen; serta
6. berhasil mewujudkan tujuan sekolah secara produktif sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
E. Mulyasa mengutip pendapat Pidarta, ada tiga macam keterampilan yang harus dimiliki oleh kepala sekolah untuk menyukseskan kepemimpinannya. Ketiga keterampilan tersebut adalah keterampilan konseptual, yaitu keterampilan untuk memahami dan mengoperasikan organisasi; keterampilan manusiawi, yaitu keterampilan untuk bekerja sama, memotivasi dan memimpin; serta keterampilan teknik ialah keterampilan dalam menggunakan pengetahuan, metode, teknik, serta perlengkapan untuk menyelesaikan tugas tertentu.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa untuk memiliki kemampuan terutama keterampilan konsep, para kepala sekolah diharapkan melakukan kegiatan-kegiatan berikut: (1) senantiasa belajar dari pekerjaan sehari-hari terutama dari cara kerja para guru dan pegawai sekolah lainnya; (2) melakukan observasi kegiatan manajemen secara terencana; (3) membaca berbagai hal yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang sedang dilaksanakan; (4) me-manfaatkan hasil-hasil penelitian orang lain; (5) berpikir untuk masa yang akan dating, dan (6) merumuskan ide-ide yang dapat diujicobakan. Selain itu, kepala sekolah harus dapat menerapkan gaya kepemimpinan yang efektif sesuai dengan situasi dan kebutuhan serta motivasi para guru-guru dan pekerja lain.

F. Kesimpulan dan Analisis
Kepemimpinan dalam manajemen pendidikan tak lepas dari perbedaan kultur atau budaya. Kepemimpinan dalam teori organisasi mengakui pentingnya interaksi pemimpin dan lingkungannya. Kepemimpinan yang tepat dan sukses akan berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Sehingga, pola kepemimpinan dalam suatu kelompok disesuaikan dengan situasi dan kondisinya. Misalnya, kepemimpinan di Sekolah, berbeda dengan kepemimpinan di madrasah ataupun pesantren.
Dalam teori dan praktik, antara kepemimpinan dan manajemen, sering terjadi disposition job, artinya, kadang seorang pemimpin mengerjakan sesuatu yang sebenarnya pekerjaan itu lebih tepat dikatakan sebagai pekerjaan manajerial, ataupun sebaliknya. Tetapi, biasanya kepemimpinan diidentikkan dengan visi dan nilai-nilai, sedangkan manajemen diidentikkan dengan proses dan struktur. Hal ini berbeda dalam kepemimpinan sekolah, seorang kepala sekolah dapat mempunyai dwi fungsi, yakni sebagai seorang pemimpin dan manajer sekaligus.
Kebijakan Otonomi Daerah (Undang-undang No. 22 tahun 1999), membawa konsekuensi pada otonomi sekolah. Adanya otonomi sekolah memberikan ruang manajerial yang lebih luas kepada kepala sekolah. Apalagi didukung dengan kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Dalam sistem MBS, sekolah dituntut untuk mandiri menggali, mengalokasikan, menentukan prioritas, mengendalikan, dan mempertanggungjawabkan pemberdayaan sumber-sumber, baik kepada masyarakat maupun pemerintah.
Akan tetapi, praktiknya, pemerintah masih setengah hati menyerahkan pengelolaan sekolah sepenuhnya kepada sekolah. Kebijakan pendidikan belum ditentukan di sekolah, tetapi masih dikendalikan oleh kekuatan di luar sekolah. Misalnya, adanya kurikulum ala pemerintah dan UAN. Untuk mengendalikan akuntabilitasi penyelenggaraan pendidikan dibentuk lembaga pendampingan, di tingkat kabupaten berupa ”Dewan Pendidikan” dan di tingkat sekolah dibentuk ”Komite Sekolah”. Tetapi peranannya belum optimal. Kerja mereka masih sangat ditentukan oleh kehendak birokrasi.












Daftar Pustaka

Djohar, Pengembangan Pendidikan Nasional Menyongsong Masa Depan, (Yogyakarta: CV. Grafika Indah, 2006)
E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005)
Sardjuli, Administrasi dan Supervisi Pendidikan, (Solo: Era Intermedia, 2001)
Tony Bush dan Marianne Coleman, Leadership dan Strategic Management in Education, (London: Paul Chapman Publishing Ltd, 2000) atau edisi terjemahan oleh. Fahrurrozi dalam Manajemen Strategis Kepemimpinan Pendidikan, ( Yohyakarta: IRCiSod, 2006)

METODE PENELITIAN KUALITATIF

Metode Penelitian Kualitatif
Metodologi penelitian merupakan sesuatu yang berusaha membahas konsep teoritik berbagai metode, kelebihan dan kelemahannya–yang dalam karya ilmiah dilanjutkan dengan pemillihan metode yang digunakan. Dalam hal ini metode lebih bersifat teknis pelaksanaan lapangan sedangkan metodologi lebih pada uraian filosofis dan teoritisnya. Oleh karena itu penetapan sebuah metodologi penelitian mengandung implikasi inheren di dalam diri filsafat yang dianutnya. Sebab filsafat ilmu yang melandasi berbagai metodologi penelitian yang ada. Maka dari itu dengan mengetahui metodologi penelitian yang digunakan, filsafat ilmu dan kajian teoritisnya, kelemahan dan kelebihannya diharapkan akan mampu memberikan kesesuaian metodologi dengan fokus masalah penelitian.
Istilah penelitian kualitatif menurut Kirk dan Miller (1986:9) pada mulanya bersumber pada pengamatan kualitatif yang dipertentangkan dengan pengamatan kuantitatif. Lalu mereka mendefinisikan bahwa metodologi kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kaasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya .[1] Penelitian kualitatif memiliki ciri atau karakteristik yang membedakan dengan penelitian jenis lainnya. Dari hasil penelaahan pustaka yang dilakukan Moleong atas hasil dari mensintesakan pendapatnya Bogdan dan Biklen (1982:27-30) dengan Lincoln dan Guba (1985 :39-44) ada sebelas ciri penelitian kualitatif[2] , yaitu:
1. Penelitian kualitatif menggunakan latar alamiah atau pada konteks dari suatu keutuhan (enity).
2. Penelitian kualitatif intrumennya adalah manusia, baik peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain.
3. Penelitian kualitatif menggunakan metode kualitatif.
4. Penelitian kualitatif menggunakan analisis data secara induktif.
5. Penelitian kualitatif lebih menghendaki arah bimbingan penyusunan teori subtantif yang berasal dari data.
6. Penelitian kualitatif mengumpulkan data deskriptif (kata-kata, gambar) bukan angka-angka.
7. Penelitian kualitatif lebih mementingkan proses dari pada hasil.
8. Penelitian kualitatif menghendaki adanya batas dalam penelitian nya atas dasar fokus yang timbul sebagai masalah dalam peneltian.
9. Penelitian kualitatif meredefinisikan validitas, realibilitas, dan objektivitas dalam versi lain dibandingkan dengan yang lazim digunakan dalam penelitian klasik.
10. Penelitian kualitatif menyusun desain yang secara terus menerus disesuaikan dengan kenyataan lapangan (bersifat sementara).
11. Penelitian kualitatif menghendaki agar pengertian dan hasil interpretasi yang diperoleh dirundingkan dan disepakati oleh manusia yang dijadikan sumber data.
Kajian penelitian kualitatif berawal dari kelompok ahli sosiologi dari “mazhab Chicago” pada tahun 1920-1930, yang memantapkan pentingnya penelitian kualitatif untuk mengkaji kelompok kehidupan manusia. Pada waktu yang sama, kelompok ahli antropologi menggambarkan outline dari metode karya lapangan; yang melakukan pengamatan langsung ke lapangan untuk mempelajari adat dan budaya masyarakat setempat. Dari awal, tampak bahwa penelitian kualitatif merupakan bidang penyelidikan tersendiri. Bidang ini bersilang dengan disiplin dan pokok permasalahan lainnya. Suatu kumpulan istilah, konsep, asumsi yang kompleks dan saling terkait meliputi istilah penelitian kualitatif.[3]
Munculnya penelitian kualitatif adalah karena reaksi dari tradisi yang terkait dengan positivisme dan postpositivisme yang berupaya melakukan kajian budaya dan interpretatif sifatnya. Berbagai jenis metode dan pendekatan dalam penelitian kualitatif, tingkat perkembangan dan kematangan masing-masing metode ditentukan juga oleh bidang keilmuan yang memiliki sejarah perkembangannya. Setiap uraian mengenai penelitian kualitatif harus bekerja didalam bidang historis yang kompleks. Penelitian kualitatif mempunyai pengertian yang berbeda-beda untuk setiap momen, meskipun demikian definisi secara umum : penelitian kualitatif merupakan suatu metode berganda dalam fokus, yang melibatkan suatu pendekatan interpretatif dan wajar terhadap setiap pokok permasalahannya. Ini berarti penelitian kualitatif bekerja dalam setting yang alami, yang berupaya untuk memahami, member tafsiran pada fenomena yang dilihat dari arti yang diberikan orang-orang kepadanya. Penelitian kualitatif melibatkan penggunaan dan pengumpulan berbagai bahan empiris, seperti studi kasus, pengalaman pribadi, instropeksi, riwayat hidup, wawancara, pengamatan, teks sejarah, interaksional dan visual: yang benggambarkan momen rutin dan problematis, serta maknanya dalam kehidupan individual dan kolektif (denzin dan Lincoln,1994;2).[4]
Penelitian kualitatif secara inheren merupakan multi-metode di dalam satu fokus, yaitu yang dikendalikan oleh masalah yang diteliti. Penggunaan multi-metode atau yang lebih dikenal tringulation, mencerminkan suatu upaya untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai fenomena yang sedang diteliti. Yang bernama realitas obyektif sebetulnya tidak pernah bisa ditangkap. Tringulation bukanlah alat atau strategi untuk pembuktian, tetapi hanyalah suatu alternatif terhadap pembuktian. Kombinasi yang dilakukan dengan multi-metode, bahan-bahan empiris, sudut pandang dan pengamatan yang teratur tampaknya menjadi strategi yang lebih baik untuk menambah kekuatan, keluasan dan kedalaman suatu penelitian.[5]
Konsep penelitian kualitatif sebenarnya menunjuk dan menekankan pada proses, dan berarti tidak diteliti secara ketat atau terukur ( jika memang dapat diukur), dilihat dari kualitas, jumlah, intensitas atau frekuensi. Penelitian kualitatif menekankan sifat realita yang dibangun secara sosial, hubungan yang intim antara peneliti dengan yang diteliti dan kendala situasional yang membentuk penyelidikan. Penelitian kualitatif menekan bahwa sifat peneliti itu penuh dengan nilai (value-laden). Mereka mencoba menjawab pertanyaan yang menekankan bagaimana pengalaman sosial diciptakan dan diberi arti.[6]
Sejarah penelitian kualitatif mengungkapkan bagaimana disiplin ilmu sosial modern telah menampilkan misinya untuk ”menganalisis dan memahami perilaku yang terpola dan proses sosial dari masyarakatnya”. Asumsi yang diberikan adalah bahwa ilmuwan sosial memiliki kemampuan untuk mengamati dunia ini secara objektif, dan metode kualitatif merupakan alat utama dari penamatan itu.[7]
Sepanjang sejarah penelitian kualitatif selalu mendefinisikan karya mereka dilihat dari sudut harapan dan nilai-nilai, keyakinan agama, ideologi okupasional dan profesionalisasi. Penelitian kualitatif (seperti halnya semua penelitian) selalu dinilai berdasarkan atas “standar apakah karya tersebut mengkomunikasikan atau mengatakan sesuatu mengenai diri kita ?” berdasarkan atas bagaimana kita mengkonseptualisasikan realita dan gambaran kita mengenai dunia. Standar evaluasi itu dilakukan dengan cara berpikir epistimologi, yaitu mengkaji hakikat ilmu pengetahuan dari sudut sumber, batas, struktur dan keabsahan pada umumnya.[8]
Kegiatan generik dalam penelitian kualitatif selalu menampilkan lima fase tataran yang dimiliki oleh masing-masing pendekatan; (1) peneliti dan apa yang diteliti sebagai subjek multi-kultural; (2) paradigma penting dan sudut pandang interpretatif; (3) strategi penelitian; (4) metode pengumpulan data dan penganalisisan bahan empiris dan (5) seni menginterpretasi dan memaparkan hasil penelitian.[9] Untuk lebih jelasnya lihat tabel berikut:
Penelitian Kualitatif: Sebagai Proses
No Fase/langkah Uraian
1
2
3
4
5 Peneliti sebagai subjek penelitian yang multi-kultural
Paradigma teoritis dan Interpretatif
Strategi Peneliti
Metode pengumpulan data dan analisisan data empiris
Pengembangan interpretatif dan pemaparan Penelitian bersifat historis dan penelitian tradisi, konsep dari diri dan semuanya, tergantung pada etika dan politik peneliti.
Positivisme, pospositivisme, konstruktivisme, feminis (e), Model etnik, Model Marxis, Model Studi Budaya.
Desain studi, studi kasus, etnografi, observasi partisipasi, fenomenologi, grounded theory, metode biografi, metode historis, penelitian aksi dan penelitian klinis.
Interview, observasi, artefak, dokumen dan rekaman, metode fisual, metode pengalaman pribadi, metode management data, analisis data komputer dan analisis tekstual.
Kriteria dari kesepakatan,seni dan politik penafsiran, penafsiran tulisan, strategi analisis, tradisi evaluasi dan penelitian terapan.
Diambil dari Denzin dan Lincoln (1994),”Introduction: Entering the Field of Qualitative Research” in Handbook of Qualitative Research, hlm.12. Dikutip penulis dari Agus Salim (2001), hal.26.
Dibalik lima fase generik itu, terdapat peneliti yang berada secara biografis. Individu ini memasuki proses penelitian dari dalam suatu masyarakat interpretatif yang memasukkan tradisi penelitiannya sendiri ke dalam suatu sudut pandang yang berbeda. Sudut pandang ini mengakibatkan para peneliti mengadopsi pandangan “sebagai yang lain” yang dipelajari. Pada saat yang sama, politik dan etika peneliti juga harus dipertimbangkan, karena permasalahan ini menembus fase penelitian.
Dari bentuknya yang interpretatif, penelitian kualitatif dihadapkan pada masalah yang cukup mengganggu. Di satu sisi, peneliti kualitatif telah mengasumsikan bahwa peneliti yang memiliki kualifikasi tertentu dan kompeten akan bisa melaporkan hasl temuannya secara objektif, jelas dan akurat mengenai pengamatan mereka sendiri mengenai dunia sosial, termasuk pengalaman orang lain. Di sisi lain, para peneliti berpegang pada keyakinan terhadap subjek yang sebenarnya. Dengan berbekal pada hal tersebut, para peneliti bisa mencampurkan pengamatan mereka dan pengamatan yang diberikan subjek melalui wawancara dan cerita kehidupan, pengalaman pribadi, studi kasus dan dokumen lain.[10]
________________________________________
[1] Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, edisi IV, Jogjakarta, Penerbit Rake Sarasin, 2000.
[2] Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. 13, bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2000.
[3] Agus Salim (ed.), Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Yogyakarta, Tiara Wacana, 2001.
[4] Ibid.,
[5] Ibid.,
[6] Ibid.,
[7] Ibid.,
[8] Ibid.,
[9] Ibid.,
[10] ibid., hal. 25.

Ditulis dalam Penelitian

MENGAPA SAYA MELAKUKAN PENELITIAN KUALITATIF

MENGAPA SAYA MELAKUKAN PENELITIAN KUALITATIF ?
Oleh : Hidayatullah, SHI

Menurut Robert Bogdan dalam pengantar metode penelitian kualitatif dijelaskan bahwa metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif : ucapan atau tulisan dan perilaku yang dapat diamati dari orang-orang (subyek) itu sendiri. Pendekatan ini langsung menunjukkan setting dan individu-individu dalam setting itu secara keseluruhan subyek penyelidikan, baik berupa organisasi ataupun individu, tidak dipersempit menjadi variabel yang terpisah atu menjadi hipotesis, malainkan dipandang sebagai bagian dari suatu keseluruhan.
Dari definisi tersebut mendorong saya untuk melakukan penelitian kualitatif, mengapa? karena dengan metode ini saya dapat mengetahui cara pandang obyek penelitian lebih mendalam yang tidak bisa diwakili dengan angka-angka statistik. Jika subyek kita ubah menjadi angka-angka statistik, makasaya akan kehilangan sifat subyektif dari perilaku manusia. Melalui metode kualitatif saya dapat mengenal orang (subyek) secara pribadi dan melihat mereka mengembangkan definisi mereka sendiri tentang dunia ini. Saya dapat merasakan apa yang mereka alami dalam pergulatan dengan masyarakat sehari-hari. Saya juga dapat mempelajari kelompok-kelompok dan pengalaman-pengalaman yang belum pernah saya ketahui sama sekali. Dalam metode kualitatif ini memungkinkan saya menyelidiki konsep-konsep yang dalam pendekatan penelitian lainnya intinya akan hilang. Konsep-konsep seperti keindahan, rasa sakit, keimanan, penderitaan, frustasi, harapan dan kasih sayang dapat diselidiki sebagaimana orang-orang yang sesungguhnya dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Selain itu ada ciri-ciri khusus yang saya dapatkan dari penelitian kualitatif ini seperti :
1. Dalam penelitian kualitatif data dikumpulkan dalam kondisi yang asli atau alamiah (natural setting).
2. Peneliti sebagai alat penelitian, artinya peneliti sebagai alat utama pengumpul data yaitu dengan metode pengumpulan data berdasarkan pengamatan dan wawancara
3. Dalam penelitian kualitatif diusahakan pengumpulan data secara deskriptif yang kemudian ditulis dalam laporan. Data yang diperoleh dari penelitian ini berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka.
4. Penelitian kualitatif lebih mementingkan proses daripada hasil, artinya dalam pengumpulan data sering memperhatikan hasil dan akibat dari berbagai variabel yang saling mempengaruhi.
5. Latar belakang tingkah laku atau perbuatan dicari maknanya. Dengan demikian maka apa yang ada di balik tingkah laku manusia merupakan hal yang pokok bagi penelitian kualitatif. Mengutamakan data langsung atau “first hand”. Penelitian kualitatif menuntut sebanyak mungkin kepada penelitinya untuk melakukan sendiri kegiatan penelitian di lapangan.
6. Dalam penelitian kualitatif digunakan metode triangulasi yang dilakukan secara ekstensif baik tringulasi metode maupun triangulasi sumber data.
7. Mementingkan rincian kontekstual. Peneliti mengumpulkan dan mencatat data yang sangat rinci mengenai hal-hal yang dianggap bertalian dengan masalah yang diteliti.
8. Subjek yang diteliti berkedudukan sama dengan peneliti, jadi tidak sebagai objek atau yang lebih rendah kedudukannya.
9. Mengutamakan perspektif emik, artinya mementingkan pandangan responden, yakni bagaimana ia memandang dan menafsirkan dunia dan segi pendiriannya.
10. Verifikasi. Penerapan metode ini antara lain melalui kasus yang bertentangan atau negatif.
11. Pengambilan sampel secara purposif. Metode kualitatif menggunakan sampel yang sedikit dan dipilih menurut tujuan penelitian.
12. Menggunakan “Audit trail”. Metode yang dimaksud adalah dengan mencantumkan metode pengumpulan dan analisa data.
13. Mengadakan analisis sejak awal penelitian. Data yang diperoleh langsung dianalisa, dilanjutkan dengan pencarian data lagi dan dianalisis, demikian seterusnya sampai dianggap mencapai hasil yang memadai.
14. Teori bersifat dari dasar. Dengan data yang diperoleh dari penelitian di lapangan dapat dirumuskan kesimpulan atau teori.
Dari ciri –ciri tersebut sangat memberikan peluang bagi saya untuk menemukan teori-teori baru yang belum pernah ditemukan oleh penelitian sebelumnya. Hal ini juga yang mendorong orang barat tertarik untuk melakukan penelitian kualitatif.
Dalam penelitian ini banyak sekali pendekatan yang bisa saya gunakan, tergantung dari obyek penelitian. Ada beberapa pendekatan yang bisa saya gunakan dalam penelitian kualitatif ini diantaranya :
1. Pendekatan fenomenologis. Dalam pandangan fenomenologis, peneliti berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu.
2. Pendekatan interaksi simbolik. Dalam pendekatan interaksi simbolik diasumsikan bahwa objek orang, situasi dan peristiwa tidak memiliki pengertian sendiri, sebaliknya pengertian itu diberikan kepada mereka. Pengertian yang dlberikan orang pada pengalaman dan proses penafsirannya bersifat esensial serta menentukan.
3. Pendekatan kebudayaan. Untuk menggambarkan kebudayaan menurut perspektif ini seorang peneliti mungkin dapat memikirkan suatu peristiwa di mana manusia diharapkan berperilaku secara baik. Peneliti dengan pendekatan ini mengatakan bahwa bagaimana sebaiknya diharapkan berperilaku dalam suatu latar kebudayaan.
4. Pendekatan etnometodologi. Etnometodologi berupaya untuk memahami bagaimana masyarakat memandang, menjelaskan dan menggambarkan tata hidup mereka sendiri. Etnometodologi berusaha memahami bagaimana orang-orang mulai melihat, menerangkan, dan menguraikan keteraturan dunia tempat mereka hidup. Seorang peneliti kualitatif yang menerapkan sudut pandang ini berusaha menginterpretasikan kejadian dan peristiwa sosial sesuai dengan sudut pandang dari objek penelitiannya.
Selanjutnya, dalam penelitian ini kepekaan perasaan, kejelihan dalam menangkap fenomena dan kesabaran dalam meneliti sangat dibutuhkan sekali. Inilah yang banyak memberikan masukan berarti bagi saya.

Refleksi perkuliahan Metodologi Penelitian Pendidikan Islam
bersama Bapak Dr. H. Muh. Anis, M. Ag
Kesan :
Banyak sekali yang saya dapatkan selama perkuliahan metode penelitian pendidikan Islam bersama bapak Dr. H. Muh Anis, M.Ag
1. Yang jelas pengetahuan saya tentang seluk beluk penelitian terutama penelitian kualitatif bertambah.
2. Banyak inspirasi yang saya dapatkan dari perkuliahan bersama Bapak Anis, yang selalu menyitir tentang keterangan nash Al Qur’an atau Hadis yang dikaitkan dengan mata kuliah ini. Jadi perkuliahan tidak monoton hanya persoalan metode penelitian saja.
3. Penjelasan yang Bapak sampaikan mudah diterima, sehingga memudahkan saya dalam memahami mata kuliah ini.
4. Bapak Dr. Muh. Anis, M.Ag bagi saya adalah sosok kebapakan yang kalem dan bersahaja.
Usulan/ saran :
1. Untuk ke depan penyampaian materi akan lebih menarik kalau memakai media lap top atau LCD.
2. Materi yang sudah disampaikan atau disinggung pada pertemuan sebelumnya tidak perlu banyak pengulangan.cukup sekali atau dua kali saja.
3. Memberikan tip and trik dalam menyelesaikan tugas penelitian atau menyelesaikan tugas akhir lebih cepat sesuai dengan target.





CURRICULUM VITAE

Nama : Hidayatullah, SHI
Tempat, tanggal lahir : Jombang, 25 Juni 1977
Alamat : Bedilan RT. 05 RW. 17 Margokaton Seyegan Sleman Yogyakarta
Status : Sudah Menikah
Istri : Esti Faizah, S.Pd.I
Anak : Thoriq Muhammad Al Aulawy
Pendidikan terakhir : Sarjana Hukum Islam UIN Sunan Kalijaga 2004

Pendidikan Formal :
1. Tahun 1989 tamat Madrasah Ibtidaiyah Negeri Kauman Utara Jombang
2. Tahun 1992 tamat Madrasah Tsanawiyah Negeri Tamabakberas Jombang
3. Tahun 1998 tamat Madrasah Muallimin Muallimat 6 Th. PP.Bahrul Ulum Tambakberas Jombang
Pengalaman organisasi :
1. Tahun 2000 - 2003 Redaktur majalah pesantren ”Tilawah” Nurul Ummah
2. Tahun 2000 – 2004 Bendahara dan Litbang lembaga dakwah LP2M Nurul Ummah
Pengalaman Kerja :
1. Tahun 1998-1999 Mengajar di MTs. Nurul Wafa Demung Besuki Situbondo Jawa Timur
2. Tahun 2006-sekarang Mengajar di AMA STIKES Surya Global Yogyakarta



Yogyakarta, 23 Juni 2009


Hidayatullah, SHI
NIM: 08.223.858

PERKEMBANGAN ISLAM DI INDIA

PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM DI INDIA
Oleh : Hidayatullah, SHI

A. Pendahuluan

India sejak dahulu sudah memiliki hubungan dengan dunia Arab melalui perdagangan ketika nabi Muhammad saw, berhasil menyebarkan ajaran agama Islam di seluruh wilayah Arab, maka para pedagang Arab yang datang ke India juga sudah memeluk agama Islam dan sambil berdagang mereka berdakwah menyebarkan agama Islam kepada penduduk India. Pada masa kekhalifahan Umayyah, pasukan Islam di bawah pimpinan Muhammad bin Qasim menaklukkan wilayah Sind (Sind dan Punjab sekarang) dan berhasil membangun peradaban Islam. Wilayah Sind sejak saat itu menjadi daerah kekuasaan pemerintahan Islam. Setelah itu penaklukan-penaklukan wilayah India berulang kali. Namun hanya Sind dan Punjab yang berada dalam kekuasaannya secara langsung. Penaklukan ini berhasil melemahkan kekuatan politik dan ekonomi kerajaan-kerajaan Hindu dan membuka pintu bagi berdirinya kekuasaan Islam yang permanen di India semasa Dinasti Ghuri. Berbeda dengan Sultan Mahmud, Muhammad Ghuri menetapkan wakilnya di wilayah yang ditaklukannya. Sejak itulah Islam memberikan pengaruh yang kuat di seluruh anak benua itu.
Awal masuk Islam ke India secara formal terbagi dalam empat tahap. Tahap pertama, pada zaman Nabi Muhammad SAW; Islam menyebar melaui media perdagangan dan hanya sebagian kecil masyarakat India yang mendapatkan pengaruh ajaran Islam. Tahap berikutnya, pada masa kekhalifahan Umayah, Islam dibawah pasukan Islam di bawah pimpinan Muhammad bin Qasim dengan cara penetration pacifique dan berhasil membangun pranata sosial yang harmonis dan mulai terjalin asimilasi peradaban antara Arab dengan India. Tahap ketiga semasa Dinasti Ghazni , Islam menyebar melalui penaklukan-penaklukan terutama yang dipimpin oleh Sultan Mahmud dengan berbagai motif. Ia melakukan tujuh belas kali penaklukan dan semuanya dimenangkan. Tahap keempat, semasa Dinasti Ghuri (Muhammad Ghuri), Islam mulai berkuasa secara permanen, berbeda dengan Sultan Mahmud yang dalam sejarah dikenal sebagai panglima perang , Muhammad Ghuri dikenal sebagai seorang negarawan.
Sejarah awal masuk islam di India merupakan dasar bagi perkembangan peradaban India periode berikutnya. Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang peradaban islam di India serta masa-masa keemasan pada saat itu.

B. PEMBAHASAN
A. Pengertian Peradaban

Kata Peradaban seringkali diberi arti yang sama dengan kebudayaan. Tetapi dalam B. Inggris terdapat perbedaan pengertian antara kedua istilah tersebut. Istilah Civilization untuk peradaban dan Culture untuk kebudayaan. Demikian pula dalam B. Arab dibedakan antara kata Tsaqafah (kebudayaan), kata Hadharah (kemajuan), dan Tamaddun (peradaban).
Menurut A.A. Fyzee, peradaban (civilization) dapat diartikan dalam hubungannya dengan kewarganegaraan karena berasal dari kata civies (Latin) atau civil (Inggris) yang berarti seorang warganegara yang berkemajuan. Dalam hal ini peradaban diartikan dalam dua cara:
(1) proses menjadi berkeadaban, dan
(2) suatu masyarakat manusia yang sudah berkembang atau maju.
Suatu peradaban ditunjukkan dalam gejala-gejala lahir, misalnya; Memiliki kota-kota besar, masyarakat telah memiliki keahlian di dalam industri (pertanian, pertambangan, pembangunan, pengangkutan dsb), memiliki tertib politik dan kekuasaan, dan terdidik dalam kesenian yang indah-indah.
Adapun kebudayaan diartikan bersifat sosiologis di satu sisi dan antropologis di sisi lain. Istilah kebudayan (culture) pada dasarnya diartikan sebagai cara mengerjakan tanah, memelihara tumbuhan, diartikan pula melatih jiwa dan raga manusia. Dalam latihan ini memerlukan proses dan mengembangkan cipta, karsa, dan rasa manusia. Maka culture adalah civilization dalam arti perkembangan jiwa.
Peradaban Islam memiliki tiga pengertian yang berbeda. Pertama, kemajuan dan tingkat kecerdasan akal yang dihasilkan dalam suatu periode kekuasaan Islam mulai dari periode Nabi Muhammad Saw. sampai perkembangan kekuasaan sekarang; kedua, hasil-hasil yang dicapai oleh umat Islam dalam lapangan kesusasteraan, ilmu pengetahuan dan kesenian; ketiga, kemajuan politik atau kekuasaan Islam yang berperan melindungi pandangan hidup Islam terutama dalam hubungannya dengan ibadah-ibadah, penggunaan bahasa, dan kebiasaan hidup kemasyarakatan.

B. Kondisi India Sebelum Masuknya Islam
Beratus tahun sebelum Nabi Isa AS lahir, India telah menempati kedudukan yang tinggi dalam tamaddun dunia, terutama dalam soal-soal keagamaan dan metafisiska. Dari sanalah timbullah agama Brahmana yang terkenal dan dari sana pula timbul Budha Gautama. Bahkan telah diselididki bekas tamaddun dari 5000 tahun yang telah lalu dengan penggalian sisa-sisa negeri yang bernama Mohendo Daro. Dari bekas-bekas reruntuhan kota lama itu telah di dapati orang yang pandai penduduknya dalam seni bangunan, telah diketahui juga dari hal menulis, dan telah ada juga tempat-tempat mandi dan gudang-gudang di dalam tanah tempat menyimpan makanan.
Asal mulanya istilah Brahmana dan Budha Gautama adalah dua golongan yang berbeda kepercayaan. Dravida mempercayai agama secara abstrak sedangkan Aria secara nyata. Sehingga terjadilah pertentangan-pertentangan kepercayaan. Akibatnya bangsa Dravida menjadi lemah dan ada yang ikut menganut kepercayaan bangsa Aria. Bangsa Aria yang lebih kuat memaksa bangsa Dravida untuk menganut kepercayaan mereka. Kemudian kepercayaan ini berkembang menjadi agama Brahmana (hindu) yang melahirkan adanya kasta-kasta yaitu kasta Brahmana, kasta Ksatria, kasta Waisa, dan kasta Sudra. Kemudian tahun 557 SM lahir Budha Gautama di Kabilabastu, kaki gunung Himalaya yang menjadi pelopor lahirnya agama Budha. Isi ajaran agama Budha adalah : tidak ada sistem kasta, tidak boleh hasad, harus toleran, dermawan, berfikir yang baik, sabar dengan penuh kesadaran menyerahkan diri kepada tuhan yang maha esa.

C. Perkembangan Awal Agama Islam di India
1) Masa nabi muhammad saw
Menurut satu versi, pertama kali Islam tiba di India pada abad ke-7 M. Adalah Malik Ibnu Dinar dan 20 sahabat Rasulullah SAW yang pertama kali menyebarkan ajaran Islam di negeri itu. Saat itu, Malik dan sahabatnya menginjakkan kaki di Kodungallur, Kerala. Kedatangan Islam pun disambut penduduk wilayah itu dengan suka cita.
Konon, dari wilayah itulah Islam lalu menyebar ke seantero India. Malik lalu membangun masjid pertama di daratan India yakni di wilayah Kerala. Masjid pertama yang dibangun umat Islam itu bentuknya mirip dengan candi - tempat ibadah umat Hindu. Bangunan masjid itu diyakini dibangun pada tahun 629 M.
Ada yang meyakini, masjid di Kodungallur, Kerala itu merupakan masjid kedua di dunia yang dipakai shalat Jumat, setelah masjid yang dibangun Rasulullah di Madinah. Versi lainnya menyebutkan, Islam sudah masuk ke anak benua India mulai abad pertama Hijriyah, yakni pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab. Selepas Umar wafat, pada 643 orang-orang Arab berhasil menaklukkan wilayah Makran di Baluchitan.
2) Khulafaur Rasyidin dan Dinasti Umayyah
Pada zaman pemerintahan Umar Bin Khattab pada tahun 637-638 M /15 H, telah membawa tentaranya sampai menuju timur yakni Persia. Pada tahun 643-644 M/22 H pemimpin perang Abul As Mughira menyerang Sind, tetapi kemenangan ada di pihak Sind. Kekalahan invasi tersebut disebabkan tenggelamnya armada laut sebagai bantuan tambahan bagi pasukan Mughira, di samping itu juga pasukan Arab kurang ahli perang di laut di bandingkan perang di darat. Selanjutnya infasi di laut dilarang oleh khalifah Umar bin Khattab.
Pada masa Khalifah Usman bin Affan, telah menirima utusan yang dipimpin oleh Hakim bin Jabalah untuk meninjau keadaan wilayah India yang luas. Pada tahun 660-661 M/38 H khalifah Ali bin Abi Thalib, telah mengirim utusan di bawah pimpinan Haris bin Murah Al Abdi untuk menyelididki adat istiadat dan juga perhubungan dan jalan-jalan yang akan mempermudah untuk menjangkaunya kelak Inilah awal Islam menyebar ke India melalui jalan darat.
Pada masa Bani Umayyah Muawiyah Bin Abi Sufyan, dikirimlah angkatan perang di bawah pimpinan Al Muhallab bin Abi Shufrah. Perjalanannya hanya sampai ke Kabul (ibu kota Afganistan sekarang) dan Multan. Tetapi belum juga sampai ke tengah-tengah benua india. Kemudian diikuti oleh Ziad dan putranya Abbas.

Ekspansi Islam ke wilayah India kembali dilanjutkan pada era kekuasaan Dinasti Umayyah sekitar tahun 664 M. Di bawah komando Al-Muhallab bin Abi Suffrah, umat Islam berhasil menembus wilayah Multan di Selatan Punjab - sekarang wilayah Pakistan. Ekspedisi yang dipimpin Al-Muhallab itu tak bertujuan untuk penaklukan. Pasukan Al-Muhallab hanya mampu menjangkau ibu kota Maili lalu kembali ke Damaskus.
Kekhalifahan Umayyah pada tahun 738 M di bawah komandan perang Muhammad bin Qasim kembali melakukan ekspedisi ke wilayah India. Pasukan Muhammad bin Qasim berhasil menundukkan wilayah Sind. Inilah daerah kekuasaan Umayyah yang terletak paling timur. Sejak saat itulah, orang-orang Arab tinggal dan menetap di wilayah itu.
Masyarakat India pertama kali yang memeluk Islam berada di wilayah Mappila. Hal itu dapat dimaklumi lantaran wilayah itu berdekatan dengan Arab. Perlu beberapa abad bagi Islam untuk menyebar di seluruh wilayah India. Ada banyak faktor yang menyebabkan orang India berbondong-bondong menganut ajaran Islam seperti, pernikahanan, integritas ekonomi, ingin terbebas dari struktur kasta, serta tersentuh dengan dakwah yang dilakukan para tokoh sufi.
3) Dinasti Ghazni
Pada permulaan abad x M, 961-962 M, berdiri Dinasti Ghazni yang terkenal karena berani dan gagah perkasa berperang. Mulanya kerajaan ini hanya sebuah keajaan kecil dalam kerajaan Bani Saman dan nama pendirinya adalah Alptgin.
Alptgin pada mulanya adalah seorang budak yang dimiliki oleh Dinasti Samaniyahdi bawah pimpinan Abdul Malik putra mahkota kelima dalam keluarga Samaniyah. Setelah kematian tuannya dan merdeka, ia pergi ke Ghazni suatu tempat yang sangat strategis (dalam wilayah Afganistan sekarang) mengalahkan penguasanya Abu Bakr Lawik dan membangun pondasi bagi sebuah negara yang merdeka (961 M). Maka diperkuat kota itu, didirikan parit dan benteng. Pada tahun ke 14 kemerdekaannya, ia menghembuskan nafas yang terakhir dan digantikan oleh anaknya, Abu Ishaq. Dalam beberapa tahun Abu Ishaq menyusul ayahnya meninggal dunia dan digantikan oleh Sabuktgin ayah dari Sultan Mahmud yang terkenal, naik tahta pada tahun 977M.
Dalam perkembangannya Dinasti Ghazni mengalami kemajuan yang sangat pesat terutama dalam periode pemerintahan Mahmud Ghaznawi. Mahmud ghaznawi bukan saja termashur karena keahliannya dalam peperangan. Lebih daripada itu pula kemasyhurannya sebagai pujangga, penyair dan pahlawan ”pedang dan pena”. Sangat besar perhatiannya kepada perkembangan ilmu pengetahuan. Saat itu Gaznah menjadi benteng tempat berkumpulnya ahli-ahli ilmu, ulama agama, ahli fiqih dan bahasa dan ahli tasawuf dan filsafat.
Di zaman itu pula hidup Abu Nashr Al Farabi sebagai filosof dan penyair Al Firdausi. Demikian juga penyair Iran yang besar Al Anshari Al Farukhliy dan Al Asjudy.dan ahli ilmu bumi yang terkenal dan ahli pula menyelidiki pokok-pokok kebudayaan hindu, yaitu Abu Raihan Al Bairuni.
Mahmud Ghaznawi meninggal pada tahun 1030 M dalam usia 60 tahun dikota Ghazni. Banyak ahli sejarah dan bangsa Eropa mengakui kebesaran Mahmud melebihi Alexander Agung, karena Alexander setelah meninggal tidak ditemui jejaknya. Mahmud Ghaznawi meninggalkan jejak yang paling kokoh di India, yaitu pengaruh Islam dan kebudayaan yang kelak kemudian hari diikuti kerajaan-kerajaan Islam lain.
4) Dinasti Ghuri
Muizzuddin Muhammad bin Sam atau yang lebih populer dengan nama Muhammad Ghuri menjadi penguasa Ghazni pada tahun 1173 M. Ia adalah seorang raja yang ambisius dan terbakar oleh kecintaan terhadap penakklukan dan kekuasaan.
Muhammad Ghuri adalah seorang politisi besar dan negarawan yang berpandangan jauh ke depan. Ia merealisasikan secara penuh kondisi politik India yang bobrok dan karena itu memutuskan untuk mendirikan sebuah pemerintahan permanen di sana. Tujuan dari penaklukan Ghuri adalah untuk mendapatkan suatu kekuasaan muslim permanen di India. Ia melatih banyak administrator ahli yang makin memperbesar keyakinan dan kepercayaan dirinya. Ia juga berperang melawan negara-negara Hindu secara terus-menerus selama beberapa tahun dan selama pemerintahannya ia menunjukkan kehebatan dan ketekunan yang luar biasa.
Prestasi yang dicapai oleh Dinasti Ghuri adalah perluasan daerahnya yang cukup luas. Mulai dari Lahore, yang meliputi daerah Punjab, ke Delhi yang meliputi seluruh daerah lembah sungai Gangga dan daerah Dekan. Selama kerajaan Guri di Lahore kedudukannya hanyalah sebagai sebagai sebuah kesultanan Islam yang sama tarafnya dengan Kamaharajaan Brahmana saja. Namun dengan berpindahnya kerajaan di Delhi Dinasti Ghuri menjadikan Maharaja diraja seluruh India.
Perbedaan yang mencolok antara Dinasti Ghuri dengan Dinasti Ghazni adalah Mahmud Ghazni sebagai panutan besar dalam seni dan pendidikan, sedangkan ghuri adalah prajurit biasa dan politisi. Mahmud Ghazni telah mengumpulkan banyak puisi dan para pujangga dalam lindungannya, sedang Muhammad Ghuri menunjukkan sedikit ketertarikan pada seni dan pendidikan. Ia hanya menunjukkan kemurahan hati pada para pelajar, tetapi ia tidak menunjukkan antusias dalam bidang seni dan karya tulis sebagaimana yang dilakukan Mahmud Ghuri.
5) Kesultanan Delhi
Setelah kekuasaan Dinasti Gaznawi memudar, lalu berdirilah Kesultanan Delhi - yakni beberapa Kesultanan yang berkuasa dari tahun 1206 M hingga 1526 M. Ada lima dinasti Islam yang berkuasa silih berganti di era Kesultanan Delhi.
Kelima dinasti itu adalah; Dinasti Mamluk (1206 M-1290 M); Dinasti Khilji (1290 M - 1320 M); Dinasti Tughlaq (1320 M - 1413 M); Dinasti Sayyid (1414 M - 1451 M) dan Dinasti Lodhi (1451 M - 1526 M).
Dinasti Mamluk didirikan Qutbuddin Aibak pada tahun 1206. Di awal abad ke-13 M, dinasti itu sudah menguasai wilayah utara India dari Khyber Pass hingga Bengal. Setelah Dinasti Mamluk meredup, Dinasti Khilji lalu berkuasa. Raja pertamanya adalah Jalaluddin Firuz Khilji (1290 - 1294). Pada era itu Gujarat dan Malwa dikuasai umat Islam.
Di awal abad ke-14 M kesultanan memperkenalkan ekonomi moneter di provinsi dan distrik. Saat itu telah terbentuk sebuah jaringan pusat pasar. Perekonomian Kesultanan Delhi pun mulai menguat. Pemasukan keuangan negara saat itu masih berbasis pada pertanian. Kesultanan ini sempat porakporanda akibat ekspansi yang dilakukan Timur Lenk dari Dinasti Timurid pada tahun 1398 M.
Tak cuma itu, Kesultanan Delhi juga pernah dipimpin oleh seorang penguasa wanita bernama Ratu Razia Sultana (1236 M - 1240 M). Ratu Razia dikenal sangat cerdas. Dialah ratu pertama yang dimiliki dunia Islam. Dia memimpin dari Delhi timur hingga ke barat Peshawar dan dari Kashmir utara hingga ke selatan Multan. Para sultan Delhi dalam memimpin masyarakatnya didasarkan pada hukum-hukum yang berdasarkan Alquran. Umat beragama lain dipersilakan untuk menjalankan keyakinannya. Kesultanan Delhi mewariskan kejayaannya melalui arsitektur, musik, literatur, dan agama.
Kebijakan yang diambil pemerintahan Kesultanan Delhi antara lain :
(a) Mengharamkan penjualan minuman keras;
(b) Mengawal perkawinan antara pembesar;
(c) Mengharamkan perhimpunan pembesar tanpa kebenaran Wazir,
(d) Memaksa memulangkan cukai yang dikutip kepada penduduk terhadap Zamindar.
6) Dinasti Mogul
Kerajaan Mughal berdiri seperempat abad sesudah berdirinya kerajaan Safawi. Kerajaaan ini beribukota di Delhi dan didirikan oleh Zahiruddin Babur (1482-1530 M), salah satu dari cucu Timur Lenk. Ayahnya bernama Umar Mirza, penguasa Ferghana. Babur mewarisi daerah ferghana dari orang tuanya ketika ia masigh berusia 11 tahun. Ia berambisi dan bertekad akan menaklukkan Samarkand yang menjadi kota penting di Asia Tengah pada masa itu. Pada mulanya ia mengalami kekalahan tetapi karena mendapatkan bantuan dari Raja Safawi, Ismail I, akhirnya ia berhasil menaklukkan Samarkand tahun 1494 M. Pada tahun 1504 M ia mendudukkan Kabul ibukota Afganistan.
RAJA MOGUL Penguasa India
Babur Zahiruddin Mohammad
(1526 M - 1530 M)
Humayun Nasiruddin Mohammad
(1530 M - 1540 M)
Masa peralihan
(1540 M - 1555 M)
Humayun Nasiruddin Mohammad
(1555 M - 1556 M)
Akbar Jalaluddin Mohammad
(1556 M - 1605 M)
Jahangir Nuruddin Mohammad
(1605 M - 1627 M)
Shah Jahan Shihabuddin Mohammad
(1627 M - 1658 M)
Aurangzeb Muhiuddin Mohammad
(1658 M - 1707 M)
Kejayaan di Era Kerajaan Mogul
Berawal dari kekacauan yang terjadi di Kesultanan Delhi, penguasa Dinasti Lodhi terakhir Ibrahim Lodhi mengundang Muhammad Babur - pangeran dari Dinasti Timurid. Namun, pasukan yang dipimpin Babur justru berperang dengan Dinasti Lodhi yang dipimpin Sultan Ibrahim Lodi.
Dalam Pertempuran Panipat, Babur berhasil menumbangkan Kesultanan Delhi. Sejak tahun 1526 M, Kerajaan Mogul pun berdiri dengan mengusai wilayah yang cukup luas meliputi Afghanistan, Balochistan, dan kebanyakan anak benua India hingga tahun 1857 M.
Selepas wafatnya Raja Babur, Kerajaan Mogul diteruskan puteranya bernama Humayun. Pada saat itu, sebagian besar wilayah kerajaan ditaklukkan oleh Bahadur Shah, penguasa Gujarat.
`Tahta Kerjaaan Mogul pun kemudian berpindah kepangkuan Akbar Khan. Dia memerintah selama 49 tahun. Di masa kepemimpinan Akbar, Kerajaan Mogul mampu menorehkan tinta emas kejayaannya. Kerajaan Modul tumbuh pesat pesat, dan terus berkembang sampai akhir pemerintahan Aurangzeb.
Pada tahun 1605 M - 1627 M, tampuk kekuasaan Mogul diduduki Jahangir - putera Akbar. Setelah itu, tahta kerajaan dikuasai Shah Jahan. Putera Jahangir itu mewarisi tahta dan kerajaan yang luas serta kaya raya di seluruh wilayah India. Pada abad tersebut, Mogul menjadi negara Adikuasa dan tercatat sebagai kerajaan terbesar di dunia.
Di era kepemimpinannya, Raja Shah Jahan, memerintahkan pembangunan Taj Mahal antara 1630 M - 1653 M di Agra, India. Bangunan bersejarah yang indah itu hingga kini masih kokoh berdiri dan merupakan salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Keberhasilan pembangunan Taj mahal merupakan bukti pencapaian umat Islam dalam bidang arsitektur.
Kerajaan Mogul masih mencapai kejayaannya di era kepemimpinan Aurangzeb. Namun, sepeninggal Aurangzeb pada 1707 M, kerajaan ini mulai mengalami kemunduran, meskipun tetap berkuasa selama 150 tahun berikutnya. Kerajaan itu dikalahkan pasukan dari Persia dibawah komando Nadir Shah. Kerajaan ini dibubarkan Kerajaan Inggris di tahun 1857 M.
Selama masa kejayaannya, Kerjaaan Mogul menguasai wilayah yang amat luas meliputi Kabul, Lahore, Multan, Delhi, Agra, Oud, Allahabad, Ajmer, Gujarat, Melwa, Bihar, Bengal, Khandes, Berar, Kasmir, Bajipur, Galkanda, Tahore, dan Trichinopoli. Dalam bidang ekonomi, Mogul telah mengekspor kain ke Eropa. Kerajaan ini juga merupakan produsen rempah-rempah, gula, garam, wol, parfum, dan aneka produk lainnya.

D. Masuknya Islam di india
Ada tiga cara masuknya islam di India yaitu melalui perdagangan, peranan sufi dan alim ulama, dan perkawinan.
1. Perdagangan
Jauh sebelum bangsa Yunani mengenal India (V-IV SM), orang-orang Arab sudah memiliki hubungan yang erat dengan dunia timur melalui media perdagangan. Mereka singgah di pelabuhan-pelabuhan India. Para pedagang membawa produk-produk dari Asia Tengah, Afrika, bahkan dari Eropa, kemudian menukar dengan komoditi-komoditi timur di bandar-bandar tersebut.melalui perdagangan, hubungan perdagangan Arab - India menjadi sangat harmonis.
Bukti kuat adanya hubungan dagang antara Arab dengan India adalah ditemukannya koin mata uang zaman khalifah Harun Al Rasyid cetakan tahun 788 M di Mainamati dan Paharpur di India Timur. Orang-orang Arab tersebut datang ke India baik untuk berdagang maupun menyebarkan agama Islam. Lebih-lebih pada masa Dinasti Ghuri menguasai Delhi, semakin banyak pedagang-pedagang Islam datang ke tanah India sambil berdakwah menyiarkan agama Islam.
2. Sufi dan Muballigh
Sejak pertama kali masuk Islam, ajaran Islam dibawa oleh ulama, sufi, waliyullah, dan pasukan-pasukan Islam dari Arab, Yaman, Persia, Turki, Afganistan, dan Asia Tengah. Pengaruh Islam sangat besar terhadap kehidupan masyarakat.
Sufi yang terkenal diantaranya Abu Yazid Bustami (wafat 872 M). Ia berguru kepada penduduk Sind selama beberapa tahun, kemudian pindah ke India Timur (Chittagong) di sana ia tinggal beberapa lama dan dikenal dengan nama Bayazid Bustami.
Selain Abu Yazid Al Bustami masih banyak lagi ulama dan sufi lain seperti Shah Sultan Mahisswar, Syekh Fariruddin Ganj e Shakar (1176-1269 M), Syekh Bahauddin Zakariya, Syekh Nizamuddin Aulia, Syekh Saifuddin Yahya Maneri, Syekh Nur Quthubul Alam, dan lain-lain.
3. Perkawinan
Selain aktifitas penaklukan, perdagangan dan dakwah para sufi, agama Islam juga menyebar melalui perkawinan. Sebagai contoh peristiwa kapal dagang Arab yang menabrak pulau Ramri, sehingga mereka bermukim di Arakan dan Chittagong. Pedagang-pedagang ini bergaul dengan masyarakat pribumi dan banyak yang kawin dengan gadis-gadis pribumi.
Bagian terbesar orang-orang India yang masuk Islam berasal dari kelangan umat Budha dan orang-orang Hindu kelas bawah. Bagi mereka kesederhanaan, persamaan dan persaudaraan dalam agama dan sistem sosial Islam sangat menarik sebagai penyelamat dari penderitaan dan tirani dari golongan Brahmana. Meskipun demikian, tidak sedikit orang-orang Hindu dari kelas atas yang masuk Islam terutama melalui perkawinan dengan muslim. Mereka adalah orang-orang dari kalangan Brahmana dan suku Kayastha (sebagian dari kalangan Ksatria) yang berpendidikan dan terpelajar, yang biasanya melakukan hubungan politik dan sosial dengan tetangga muslim mereka.

E. Penutup
Masuknya Islam di India sudah ada sejak zaman nabi Muhammad SAW melalui hubungan perdagangan di kota-kota pesisir pantai barat dan selatan. Terjadinya penindasan kaum Brahmana terhadap kasta yang lebih rendah dan orang-orang Budha juga terjadi perebutan kekuasaan diantara raja-raja Hindu menjadikan hubungan politik antara Arab dan India menjadi rapuh. Dalam kondisi demikian pasukan Islam di bawah pimpinan Muhammad bin Qasim datang membawa harapan bagi keselamatan orang-orang yang tertindas. Sejak saat itu agama Islam tersiar di India baik melalui jalur laut maupun jalur darat.
Kedatangan Islam di India tidak berdasarkan kekerasan, tetapi merupakan kebutuhan masyarakat pada masa itu. Keberhasilan Islam di India terjadi karena banyak faktor tetapi yang utama adalah karena adanyta rasa persaudaraan yang kuat, solidaritas yang sejati dan keadilan yang ditegakkan. Hubungan peradaban Islam dan India terjadi saling memberi dan menerima dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, politik, sosial, ekonomi dan budaya.








DAFTAR PUSTAKA

Ajid Thohir Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak Akar-akar Sosial, Politik dan Budaya Umat Islam Penerbit: Rajawali Pers Penulis: Cetakan I: September 2004
Prof. Dr. Hamka, Sejarah Ummat Islam, jilid III, Jakarta: Bulan Bintang, 1975,
Dr. M Abdul Karim , MA, Sejarah Islam di India, Yogyakarta: Bunga Grafis Production, 2003
Hasna Hawwa, Riwayat Islam di Wilayah Hindustan, www.gaul islam.com, akses: 3/4/2009
http://www.historyofjihad.org/india.html, akses : 3/4/2009
Drs. Badri yatim, MA. Sejarah peradaban islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada,1993,

STRATEGI MULTI METODE DALAM PENELITIAN KUALITATIF

STRATEGI MULTI METODE

A. Pendahuluan
Banyak alasan yang melatar belakangi seseorang untuk melakukan penelitian kualitatif. Salah satunya adalah kemantapan peneliti berdasarkan pengalaman penelitiannya. Beberapa peneliti yang berlatar belakang bidang pengetahuan seperti antropologi, atau yang terkait dengan orientasi filsafat seperti fenomonologi biasanya dianjurkan untuk menggunakan metode kualitatif guna mengumpulkan dan menganalisis data. Metode kualitatif dapat digunakan untuk mengungkap dan memahami sesuatu di balik fenomena yang sedikit pun belum diketahui. Metode ini dapat juga digunakan untuk mendapatkan wawasan tentang sesuatu yang baru sedikit diketahui. Selain itu metode kualitatif dapat memberikan rincian yang kompleks tentang fenomena yang sulit diungkapkan oleh metode kuantitatif.
Sebuah penelitian akan dikatakan ilmiah apabila telah menggunakan metode dan prinsisp-prinsip scince, yaitu sistematis dan eksak, atau menggunakan metode penelitian di mana suatu hipotesis yang dirumuskan setelah dikumpulkan data obyektif secara sistematis, dites secara empiris. Dalam melakukan penelitian, seorang peneliti dapat menggunakan berbagai macam metode, dan sejalan dengannya rancangan - rancangan penelitian yang digunakan juga dapat bermacam-macam. Untuk menyusun sesuatu rancangan penelitian yang baik perlu mempertimbangkan berbagai persoalan. Ada beberapa pertanyaan pokok yang perlu dijawab dalam setiap usaha untuk menyusun sesuatu rancangan penelitian, seperti : cara pendekatan apa yang dipakai? Metode apa yang dipakai? Serta strategi apa yang paling efektif? Keputusan mengenai rancangan apa yang akan dipakai akan tergantung kepada tujuan penelitian, sifat masalah yang akan digarap, dan berbagai alternatif yang mungkin digunakan.apabila tujuan penelitian itu telah dispesifikasikan, maka penelitian itu telah mempunyai ruang dan arah yang jelas, dan karenanya perhatian dapat diarahkan kepada target area yang terbatas.
Dalam penelitian kualitatif peran metode sangat penting untuk memberikan arah yang jelas dari sebuah penelitian, sebab metode merupakan cara utama yang dipergunakan untuk mencapai suatu tujuan, misalnya untuk menguji serangkaian hipotesa, dengan menggunakan teknik dan serangkaian alat-alat tertentu. Cara utama itu dipergunakan setelah penyelidik dan memperhitungkan kewajarannya ditinjau dari tujuan penyelidikan adalah pengertian yang luas, yang biasanya perlu dijelaskan lebih eksplisit di dalam setiap penyelididkan. Berkaitan dengan hal tersebut dalam makalah ini akan menjelaskan tentang strategi multi metode dalam penelitian kualitatif.

B. Pengertian
Banyak orang tidak acuh dan mencampuradukkan antara metode penelitian dengan metodologi penelitian, sehingga sering dijumpai salah satu bab dari karya penelitian berjudul metodologi penelitian namun isinya metode penelitian. Metodologi penelitian membahas konsep teoritik berbagai metoda, kelebihan dan kelemahannya, yang dalam karya ilmiah dilanjutkan dengan pemilihan metode yang digunakan. Sedangkan metode penelitian mengemukakan secara teknis tentang metode-metode yang digunakan dalam penelitiannya.
Dalam hal ini metode lebih bersifat teknis pelaksanaan lapangan sedangkan metodologi lebih pada uraian filosofis dan teoritisnya. Oleh karena itu penetapan sebuah metodologi penelitian mengandung implikasi inheren di dalam diri filsafat yang dianutnya. Sebab filsafat ilmu yang melandasi berbagai metodologi penelitian yang ada. Maka dari itu dengan mengetahui metodologi penelitian yang digunakan, filsafat ilmu dan kajian teoritisnya, kelemahan dan kelebihannya diharapkan akan mampu memberikan kesesuaian metodologi dengan fokus masalah penelitian.
Metode penelitian kualitatif menekankan pada metode penelitian observasi di lapangan dan datanya dianalisa dengan cara non-statistik meskipun tidak selalu harus menabukan penggunaan angka. Penelitian kualitatif lebih menekankan pada penggunaan diri si peneliti sebagai alat. Peneliti harus mampu mengungkap gejala sosial di lapangan dengan mengerahkan segenap fungsi inderawinya. Dengan demikian, peneliti harus dapat diterima oleh responden dan lingkungannya agar mampu mengungkap data yang tersembunyi melalui bahasa tutur, bahasa tubuh, perilaku maupun ungkapan-ungkapan yang berkembang dalam dunia dan lingkungan responden.
C. Metodologi penelitian kualitatif
Penelitian kualitatif secara inheren merupakan multi-metode di dalam satu fokus, yaitu yang dikendalikan oleh masalah yang diteliti. Penggunaan multi-metode atau yang lebih dikenal tringulation, mencerminkan suatu upaya untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai fenomena yang sedang diteliti. Yang bernama realitas obyektif sebetulnya tidak pernah bisa ditangkap. Tringulation bukanlah alat atau strategi untuk pembuktian, tetapi hanyalah suatu alternatif terhadap pembuktian. Kombinasi yang dilakukan dengan multi-metode, bahan-bahan empiris, sudut pandang dan pengamatan yang teratur tampaknya menjadi strategi yang lebih baik untuk menambah kekuatan, keluasan dan kedalaman suatu penelitian.
Ada sejumlah nama yang digunakan para ahli tentang metodologi penelitian kualitatif seperti : grounded research, etnometodologi, paradigma naturalistik, interaksi simbolik, semiotik, heuristik, hermeneutik, atau holistik, yang kesemuanya itu tercakup dalam klasifikasi metodologi penelitian kualitatif atau phenomenologik.
1. Grounded Research
Pada tahun 1970-an diselenggarakan pelatihan penelitian ilmu-ilmu sosial di Surabaya, Ujung Pandang, dan di Banda Aceh, yang isinya adalah memperkenalkan grounded reseach kepada ilmuan-ilmuan di Indonesia. Menurut Prof Noeng Muhajir model ini adalah salah satu metodologi penelitian yang berupaya mencari sosok kualitatif. Sosok penelitian kualitatif interpretif ini berupaya melepaskan diri dari pola pikir kuantitatif, dan berusaha mencari sosoknya sendiri yang kualitatif.
Karakteristik Metode Grounded Reseach
a) Grounded Theory
Para ahli ilmu sosial, khususnya para ahli sosiologi, berupaya menemukan teori berdasarkan data empiri, bukan membangun teori secara deduktiflogis. Itulah yang disebut dengan grounded theory, dan model penelitiannya disebut grounded research. Penemuan teori dari data empirik yang diperoleh secara sistematis dari penelitian social, itulah tema utama dari metodologi penelitian kualitatif model grounded research.
Pedoman-pedoman untuk melahirkan suatu teori antara lain adalah: digunakannya logika yang konsisten, kejelasan masalah, efesiensi, integrasi, ruang lingkup, dan beberapa lainnya. Meski bagaimana pun, menurut model grounded peran bagaimana proses ditemukannya teori merupakan hal yang terpenting. Proses yang diharapkan model ini adalah penemuan teori berdasar data empirik, bukan sebagai hasil deduktif.
b) Analisis Komparatif
Komparasi yang dibuat adalah komparasi fakta-fakta replikatif. Dari komparasi fakta-fakta dapat dibuat konsep atau abstraksi teoritisnya. Dari komparasi, dapat juga disusun katagori teoritis pula. Lewat komparasi dapat dijadikan generalisasi. Fungsi dari generalisasi adalah untuk membantu memperluas terapan teorinya, memperluas daya predeksinya.
Dengan data komparatif dan analisis eksplisit (tidak menguji hipotesanya secara langsung) dapat ditemukan keragaman dan selanjutnya bukan mustahil modifikasi teori.
c) Menemukan Teori
Yang dimaksud menemukan teori disini adalah menemukan teori berdasarkan data, bukan teori hasil telaah deduktif logik. Glasser dan Strauss lebih lanjut mengetengahkan dua jenis teori, yaitu subtantif dan teori formal. Teori subtantif ditemukan dan dibentuk untuk daerah subtantif tertentu, sedangkan teori formal ditemukan dan dibentuk untuk kawasan katagori konseptual teoritik.
d) Sampling Teoritis
Sampel pada penelitian grounded berbeda dasar pemikirannya dengan sampel pada posifistik kuantitatif statistik. Tujuan penelitian positifistik mengarah ke pengujian atau verifikasi teori, sehingga sampel dipilih berdasar struktur populasi dan menjadi representasi populasi untuk pengujian teori hipotesis. Sedangkan tujuan penelitian grounded adalah untuk menemukan atau lebih tepat mengembangkan rumusan teori atau mengembangkan konseptualisasi teoritik berdasarkan data-data yang berkelanjutan dapat menajamkan rumusan teorinya berdasar data; sehingga pemilihan sampel pada penelitian grounded mengarah ke pemilihan kelompok atau sub kelompok yang akan memperkaya penemuan ciri-ciri utama.
e) Dari Teori Subtantif ke Teori Formal
Glaster dan Strauss memberi peluang mengembangkan teori subtantif ke teori formal dengan menggunakan diskusi; memang dalam hal ini peneliti membangun teori formal tidak langsung atas data. Tetapi perlu disadari bahwa teori formal dengan dasar data yang minim akan menimbulkan banyak kesulitan. Yang dimaksud teori formal di sini adalah teori formal multi area, yakni mengkomparasikan antar multi area dengan begitu akan dapat menghasilkan teori formal yang berguna untuk membuat prediksi yang tak terikat waktu dan tempat.
2. Etnographi dan Ethonometodologi
Etnographi merupakan salah satu model penelitian yang lebih banyak terkait dengan antropologi, yang mempelajari peristiwa cultural, yang menyajikan pandangan hidup subyek yang menjadi obyek studi. Lebih jauh ethonographi telah dikembangkan menjadi salah satu model penelitian ilmu-ilmu sosial yang menggunakan landasan filsafat phenomonologi. Studi etnographi merupakan salah satu deskripsi tentang cara mereka berpikir, hidup berperilaku; kalau subyek kita anak-anak TK, maka peneliti berupaya menghayati dan mendeskripsikan bagaimana anak TK menghayati interaksi di TK, bagaimana persepsi mereka (bukan persepsi angan kita yang dewasa). Ethonometodologi merupakan metodologi penelitian yang mempelajari bagaimana perilaku sosial dapat dideskripsikan sebagaimana adanya. Istilah ethnometodologi dikemukakan oleh Horald Garfinkel.
Etnometodologi berupaya untuk memahami bagaimana masyarakat memandang, menjelaskan dan menggambarkan tata mereka hidup sendiri.agar dapat dibuat laporan ethonographik perlu dipelajari metodologinya, yaitu ethnometodologi.
Karakteristik Metode Ethnographic
Konseptualisasi metodologi model penelitian ethnograpik dapat dikerangkakan menjadi empat dimensi, yaitu :
a) Induksi Deduksi,
Dimensi induksi deduksi menunjukkan kedudukan teori dalam studi penelitian; penelitian deduktif berharap data empirik dapat mendukung teori; sedangkan penelitian induktif berharap dapat menemukan teori yang dapat menjelaskan datanya.
b) Generatif-Verifikatif,
Dimensi generatif-verifikatif menunjuk kedudukan evidensi dalam studi penelitian; penelitian verifikatif berupaya mencari evidensi agar hipotesisnya dapat diaplikasikan lebih luas, dapat diperlakukan universal sedang penelitian generatif lebih mengarah ke penemuan konstruksi dan proposisi dengan menggunakan data sebagai evidensi.
c) Konstruktif-Enumeratif,
Dimensi konstruktif enumeratif menunjukkan seberapa jauh unit analisis suatu penelitian dirumuskan atau dijabarkan.dalam penelitian dengan strategi konstrukstif mengarahkan penelitiannya untuk menemukan konstruksi atau katagori lewat analisis dan proses mengabstraksi; sedangkan strategi enumeratif dimulai dengan manjabarkan atau merumuskan nilai analisis.
d) Subyektif obyektif.
Dimensi subyektif adalah merekonstruksi penafsiran dan pemaknaan hasil penelitian berdasarkan konseptualisasi masyarakat yang kita jadikan obyek studi. Sedangkan dimensi obyektif adalah penerapan katagori konseptual dan tatarelasi yang telah didesain pada obyek penelitian.
3. Paradigma Model Naturalistik
Model paradigma naturalistik disebut juga sebagai model yang telah menemukan karakteristik kualitatif yang sempurna. Artinya bahwa kerangka pemikirannya, filsafat yang melandasinya, ataupun operasionalisasi metodologinya bukan reaktif atau sekedar merspon dan bukan sekedar menggugat yang kuantitatif, melainkan membangun sendiri pemikirannya, filsafatnya dan operasionalisasi metodologinya.
Karakteristik metode naturalistik
Guba mengetengahkan empat belas karakteristik yang mempunyai hubungan sinergistik, artinya bila salah satu karakteristik dipakai, karakteristik yang lain akan tampil dengan profil yang berbeda-beda. Ada hubungan logik, interdependensi, dan koherensi. Karakteristik tersebut adalah :
Pertama, konteks natural, yaitu konteks kebulatan menyeluruh yang tak akan dipahami dengan membuat isolasi atau eliminasi sehingga terlepas dari konteksnya.suatu phenomena hanya dapat ditangkap maknanya dalam keseluruhan dan merupakan suatu bentukan hasil peran timbal balik, bukan sekedar hubungan kausal linear saja.
Kedua, Instrumen human. Sifat naturalistik menuntut agar diri sendiri atau manusia lain menjadi instrumen pengumpul data, atas kemampuannya menyesuaikan diri dengan berbagai ragam realitas, yang tidak dapat dikerjakan oleh instrumen nonhuman, mampu menangkap makna; interaksinya momot nilai, lebih-lebih untuk menghadapi nilai lokal yang berbeda, sehingga hanya instrumen human yang mampu mengadaptasi;takdapat dikerjakan oleh instrumen nonhuman seperti kuesioner.
Ketiga, pemanfaatan pengetahuan tak terkatakan. Sifat naturalistik memungkinkan peneliti mengangkat hal-hal yang tak terkatakan yang memperkaya hal-hal yang diekspresikan. Realitas itu mempunyai nuansa ganda yang sukar dipahami tanpa memperkaya yang terekspresikan dengan yang tidak terkatakan.
Keempat, metoda kualitatif. Sifat naturalistik lebih memilih metoda kualitatif dari pada kuantitatif, karena lebih mampu mengungkap realitas ganda;l ebih mengungkap hubungan wajar antara peneliti dengan responden; dan karena metode kualitatif lebih sensitif dan adptif terhadap peran berbagai pengaruh timbal balik.
Kelima, pengambilan sampel secara purposive. Sifat naturalistik menghindari pengambilan sampel acak, yang menekan kemungkinan munculnya kasus menyimpang. Dengan pengambilan sampel secara purposif, hal-hal yang dicari dapat dipilih pada kasus-kasus ekstrim, sehingga hal-hala yang dicarui tampil menonjol dan lebih mudah dicari maknanya.
Keenam, analisis data induktif. Sifat naturalistik lebih menyukai analisis induktif dari pada deduktif, karena dengan cara tersebut konteknya akan lebih mudah dideskripsikan.
Ketujuh, grounded theory. Sifat naturalistik lebih mengarahkan penyusunan teori yang lebih mendasar diangkat dari empiri, bukan dibangun secara apriori. Generalisasi apriorik nampak bagus sebagai ilmu nomthetik, tetapi lemah untuk dapat sesuai dengan kontek idiographik.
Kedelapan, desain sementara. Sifat naturalistik cenderung memilih penyusunan desain sementara dari pada mengkonstruksinya secara apriori karena realitas ganda sulit dikerangkakan. Selain itu peneliti sulit mempolakan labih dahulu apa yang ada di lapangan; dan karena banyak sistem nilai yang terkait dengan interaksinya tak terduga.
Kesembilan, hasil yang disepakati. Sifat naturalistik cenderung menyepakatkan makna dan tafsir atas data yang diperoleh dengan sumbernya.
Kesepuluh, modus laporan studi kasus. Sifat naturalistik lebih menyukai modus laporan studi kasus daripada modus lain, karena dengan modus laporan studi kasus deskripsi realitas ganda yang tampil dari interaksi peneliti dengan dengan respoden dapat terhindar dari bias.
Kesebelas, penafsiran idiographik. Sifat naturalistik mengarah ke penafsiran data (termasuk penarikan kesimpulan) secara idiographik (dalam arti keberlakuan khusus) bukan ke nomotheik ( dalam arti mencari hukum keberlakuan umum).
Keduabelas, aplikasi tentatif. Sifat naturalistik cenderung lebih menyukai aplikasi tentatif dari pada aplikasi meluas atas hasil temuannya, karena realitas itu ganda dan berbeda karena interaksi antara peneliti dengan responden itu bersifat khusus dan tak dapat dipublikasikan.
Ketigabelas, ikatan konteks terfokus. Metodologi positivistik menuntut obyek penelitian dispesifikkan, dieleminasikan dari obyek lain, sedangkan pada metodologi naturalistik menuntut pendekatan holistik, kebulatan keseluruhan. Dengan pengambilan fokus, ikatan keseluruhannya tidak dihilangkan, tetapi terjaga keberadaannya dalam konteks, tidak dilepaskan dari sistem nilainya.
Keempatbelas, kriteria keterpercayaan. Sifat naturalistik mencari kriteria keterpercayaan yang sesuai dengan penelitian naturalistik. Ada empat kriteria keterpercayaan: validitas internal, validitas eksternal, realiabilitas dan obyektifitas. Dalam metodologi naturalistik keempatnya diganti oleh Guba dengan kredibilitas, tranferabilitas, depen bilitas dan konfirmabilitas.


4. Model Interaksionisme simbolik
Inteeraksi simbolik memiliki perspektif teoritik dan orientasi metodologi tertentu. Pada awal perkembangannya interaksi simbolik lebih menekankan studi tentang perilaku manusia pada hubungan interpersonal, bukan pada keseluruhan masyarakat atau kelompok. Pada perkembangan selanjutnya interaksi simbolik juga mengembangkan studi pada perspektif sosiologis.
Prinsip metodelogi dalam interaksi simbolik
Penganut interaksionisme beramsusi bahwa analisis lengkap perilaku manusia akan mampu menagkap makna simbul dalam interaksi. Pakar sosiologi harus juga menagkap pola perilaku dan konsep diri. Simbul itu beragam dan kompleks, verbal dan nonverbal, terkatakan dan terkatakan.Ada tujuh prinsip yang digunakan model interaksi simbolik :
Prinsip pertama, Simbol dan interaksi itu menyatu. Tak cukup bila peneliti hanya merekam fakta, harus lebih jauh lagi sehingga dapat ditangkap simbol dan maknanya.
Prinsip kedua, karena simbol dan makna itu tak lepas dari sikap pribadi, maka jati diri subyek perlu dapat ditangkap. Memahami jadi diri subyek dengan demikian menjadi penting.
Prinsip ketiga, peneliti harus sekaligus mengaitkan antara simbul dan jati diri dengan lingkungan dan hubungan sosialnya.
Prinsip keempat, hendaknya direkam situasi yang menggambarkan simbol dan maknanya, bukan hanya merkem fakta sensual saja.
Prinsip kelima, metoda-metoda yang digunakan hendaknya mampu merefleksikan bentuk perilaku prosesnya.
Prinsip keenam, metoda yang dipakai hendaknya mampu menagkap makna di balik interaksi.
Prinsip ketujuh adanya sensitizing, yaitu sekedar mengarahkan pemikiran yang cocok dengan interaksionisme simbolik, dan ketika mulai memasuki lapangan perlu dirumuskan menjadi yang lebih operasional, menjadi scintific concepts.(konsep yang lebih definitif).
Penutup
Konsep penelitian kualitatif sebenarnya menunjuk dan menekankan pada proses, dan berarti tidak diteliti secara ketat atau terukur ( jika memang dapat diukur), dilihat dari kualitas, jumlah, intensitas atau frekuensi. Penelitian kualitatif menekankan sifat realita yang dibangun secara sosial, hubungan yang intim antara peneliti dengan yang diteliti dan kendala situasional yang membentuk penyelidikan. Penelitian kualitatif menekan bahwa sifat peneliti itu penuh dengan nilai (value-laden). Mereka mencoba menjawab pertanyaan yang menekankan bagaimana pengalaman sosial diciptakan dan diberi arti.
Pemilihan metode dalam penelitian kualitatif sangat tergantung dari obyek yang akan diteliti. Ada sejumlah nama yang digunakan para ahli tentang metodologi penelitian kualitatif seperti : grounded research, etnometodologi, paradigma naturalistik, interaksi simbolik, semiotik, heuristik, hermeneutik, atau holistik, yang kesemuanya itu tercakup dalam klasifikasi metodologi penelitian kualitatif atau phenomenologik.
Demikian makalah ini kami susun, tentunya banyak kekurangan dan kelemahannya. Saran dan kritik yang bersifat konstruktif sangat kami harapkan dari para pembaca demi menambah kesempurnaan makalah ini.















Daftar pustaka

Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, terj.Moch. Siddiq dan Imam Muttaqin (Yogayakarta: Pustaka Pelajar, 2003),
Prof.Dr.S.Nasution, MA, Metode Research (Jakarta: Bumi Aksara, 1996),
Sumardi Suryabrata, Metodologi Penelitian (Jakarta : Raja Grafindo Persada,1995),
Prof.Dr.Winarno Surakhmad,Pengantar Penelitian Ilmiah,( Bandung : Tarsito 1994),
Prof.Dr. H. Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, cet 8,1998)
www.unm.org.com, Metode Penelitian Kualitatif, 19/03/2009
Agus Salim,Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Yogyakarta, Tiara Wacana, 2001.
Prof.Dr. H. Noeng Muhajir, Metodologi Keilmuan, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2007),