Senin, 21 Februari 2011

TAKHRIJ HADIS

TAKHRIJ AL HADIS
Oleh : Hidayatullah
A. Pendahuluan
Mayoritas umat Islam meyakini bahwa hadis Nabi merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an. “Hadis Nabi” didefinisikan sebagai segala perkataan, perbuatan dan ketetapan yang disandarkan kepada Nabi, sementara al Qur’an adalah firman Allah atau wahyu Allah yang azali. Hadis Nabi hanya sebagiannya yang merupakan wahyu. Keduanya merupakan sumber utama dalam penetapan hukum, ajaran-ajaran Islam yang berkaitan dengan akhlaq, aqidah dan sebagainya. Namun demikian, ada perbedaan yang menonjol antara hadis dan al-Qur’an dari segi redaksi dan cara penyampaian atau penerimaannya. Dari segi redaksi al-Qur’an disusun langsung oleh Allah swt, sedang jibril hanya sekedar menyampaikan saja kepada Nabi Muhammad saw. dan beliau pun langsung menyampaikan saja kepada umat dan memerintahkan kepada para penulis wahyu untuk mencatatnya. Redaksi al-Qur’an dapat dipastikan tidak mengalami perubahan, karena sejak semula dicatat dan dihafal oleh sejumlah sahabat yang tidak mungkin mereka bersepakat berbuat dusta. Atas dasar inilah, ayat-ayat al-Qur’an dikatakan qat’iy al wuurud’ dan oleh karena ittu tidak diperlukan lagi tindakan pelacakan dalam rangka menguji otentisitasnya.
Berbeda dengan al-Qur’an, hadis-hadis Nabi dianggap zanniy al wuruud, karena hadis-hadis Nabi pada umumnya disampaikan secara oral dan sering kali dengan redaksi yang sedikit berbeda dengan redaksi yang diucapkan oleh nabi sendiri (riwayah al hadis al ma’na).Walaupun diakui oleh banyak pihak bahwa semenjak dini telah dilakukan pencatatan terhadap sebagian sabda-sabda rasul itu, tetapi apa yang dapat kita warisi dalam kitab-kitab hadis saat ini pada umumnya penyampaian dan penerimaannya dilakukan atas dasar hafalan para sahabat dan tabi’in. Orang tidak dibenarkan dengan semena-mena menyebut suatu ungkapan sebagai hadis yang otentik sebelum ditelusuri kebenarannya.
Adanya kodifikasi al-Qur’an(mushaf) yang telah diupayakan pada masa khulafafa’ ar rasyidin, kini menjamin kemudahan bagi seseorang yang berkeinginan untuk menemukan ayat tertentu dalam mushhaf al-Qur’an yang ada.
Berbeda dengan al-Qur’an, kesulitan penelusuran hadis (takhrij al hadis), bukan saja diakibatkan oleh begitu banyaknya jumlah hadis yang diriwayatkan dari Nabi melalui para sahabat dan tabi’in yang terdapat di dalam kitab-kitab sumber (al masadir al ashliyyah) yang ada, melainkan juga terutama disebabkan oleh banyaknya kitab-kitab sumber yang tersedia dan ditulis dengan sistematika yang beragam.
Menyadari kenyataan ini para ulama sejak dulu hingga sekarang berusaha memberikan kemudahan kepada pencari hadis dalam sumber-sumber aslinya dengan jalan menyusun kitab-kitab, yang kadang-kadang disebut atraf, miftah, atau juga mu’jam oleh karena kitab-kitab petunjuk bagaimana mentakhrij hadis itu ditulis dengan sistematika yang berbeda-beda, maka tentunya perlu dikenal dan dipelajari seluk beluk penggunaannya dalam mentakhrij hadis.

B. Pengertian takhrij
Menurut Dr. mahmud at- Tahhan menjelaskan bahwa kata at – takhrij menurut pengertian asal bahasanya ialah “ Berkumpulnya dua perkara yang berlawanan pada sesuatu yang satu. Kata at-takhrij sering dimutlakkan pada beberapa macam pengertian, sedang pengertian-pengertian yang dimaksud ialah : (1) al istimbat (hal mengeluarkan), (2) at –tadrib (hal melatih atau hal pembiasaan),(3) at taujih (hal memperhadapkan)
Sedangkan menurut para ahli hadis, kata takhrij digunakan dalam beberapa arti sebagai berikut :
1) Kata takhrij dipakai dalam arti mengeluarkan hadis-hadis dari kitab-kitab yang mengutipnya tanpa menyebut perawinya. Kemudian menjelaskan sumber-sumbernya dengan mengembalikan hadis itu kepada pengarang-pengarang kitab hadis yang meriwayatkannya pada kitab mereka. Aktifitas ini seperti yang dilakukan oleh al hafidh al iraqy (725-806) yang mengeluarkan hadis-hadis ihya’ ulum ad-din yang pengarangnya al-ghazaly, tidak menyebut perawi dan asal usulnya.Dalam kitabnya, al-mugi’an haml al – asfar fi al asfar fi takhrij ma fi al – ihya’ min ahbar, al hafidh menjelaskan hadis-hadis itu dan mengembalikan pada perawinya.
2) Kata takhrij juga menjelaskan asal usul hadis-hadis yang popular dalam masyarakat tetapi belum jelas siapa perawinya,dari mana sumbernya dan apakah shahih atau dhaif atau bahkan maudhu. Seperti yang dilakukan oleh as Sakhawi (w 920 H) yang menyusun kitab : al maqashid al hasanah fi al bayan al katsir min al ahadis al musytahirah ‘ala al-alsinah.
3) Kata takhrij juga berarti menunjuk asal usul hadis dan mengemukakan sumber pengambilannya dari berbagai kitab hadis yang disusun mukharrijnya langsung. kegiatan takhrij semacam ini seperti yang dilakukan oleh para penghimpun hadis dari kitab-kitab hadis, Ibn Hajar Al Asqalany yang menyusun Bulug al Maram.
4) Kata takhrij dapat pula berarti menunjukkan atau merujuk sumber-sumber asli hadis dengan menyebut pengarang-pengarang yang meriwayatkannya.Dr.Mahmud at Thahhan menegaskan bahwa makna inilah yang banyak berlaku di kalangan muhadditsin,terutama pada masa-masa mutakhir.Oleh karena itu takhrij dapat didefinisikan sebagai berikut:
Setidaknya ada tiga hal yang perlu dijelaskan dalam definisi ini :
1) Menunjukkan tempat atau letak hadis yakni menyebutkan nama kitab serta tempat kitab hadis tersebut berada.Jadi yang dimaksud tempat hadis di sini adalah kitab yang mencantumkan hadis itu,yaitu kitab-kitab sumber yang orisinil.
2) Menunjukkan kitab-kitab sumber yang orisinil yakni :
a. Kitab-kitab sunnah yang dihimpun oleh penyusunnya setelah menerima langsung dari gurunya berikut sanad-sanadnya yang bersambung kepada Nabi. Seperti kitab-kitab hadis yang enam.(al kutub al sittah),Muwaththa’ Malik, Musnad Ahmad,Mustadrak Al Hakim,Mushannaf Abd Razzaq dan lain sebagainya.
b. Kitab-kitab hadis yang menghimpun, meringkas atau membuat atraf bagi kitab-kitab yang termasuk kelompok no.1 di atas,seperti al jami’ baina as sahihain, karangan al Humaidy, Tahdzib Sunan Abi Daud, karangan al Munziry, dan Tuhfah Al Asyraf Bi Ma’rifat Al Athraf, yang ditulis oleh al Mizzy.
c. Kitab- kitab non hadis yang berhubungan dengan disiplin ilmu-ilmu lain, seperti tafsir,fiqh,dan sejarah yang di dalamnya penyusun mengutip hadis-hadis dengan sanad – sanadnya secara independent,artinya hadis-hadis itu tidak dikutip dari kitab-kitab lain.misalnya kitab Tafsir At Thabary dan Tarikh At Thabary, dan kitab Al Umm, karangan Asy – Syafi’iy. Adapun merujuk kepada kitab-kitab yang merujuk kitab-kitab yang menghjimpun hadis – hadis tidak melalui jalan penerimaan dari guru (talaqqi ‘an asy – syuyukh), akan tetapi dikutip dari kitab-kitab yang terlebih dahulu ditulis, maka tidak dianggap sebagai takhrij. Misalnya merujuk kepada bulugh al maram,yang ditulis oleh Ibn Hajar ( w 852 H), Riyadh As Shalihin, oleh An Nawawy (w. 676 H), dan yang sejenisnya.
Menjelaskan nilai hadis dalam takhrij menurut definisi di atas bukanlah hal yang pokok dalam takhrij, ia hanya sebagai pelengkap.

C. Sejarah singkat munculnya takhrij
Para ulama dan peneliti hadis terdahulu tidak membutuhkan kaidah-kaidah dan pokok-pokok takhrij (ushul at takhrij), karena pengetahuan mereka sangat luas dan ingatan mereka sangat kuat terhadap sumber-sumber sunnah. Ketika mereka membutuhkan hadis sebagai penguat,dalam waktu singkat mereka dapat menemukan tempatnya dalam kitab-kitab hadis, bahkan juznya.
Keadaan semacam itu berlangsung sampai berabad-abad, hingga pengetahuan para ulama tentang kita hadis dan sumber aslinya menjadi sempit, maka sulitlah bagi mereka untuk mengetahui tempat-tempat hadis yang menjadi dasar ilmu syar’I, seperti fiqih, tafsir sejarah dan sebaginya. Berangkat dari kenyataan inilah, sebagian ulama bangkit untuk membela hadis dengan cara mentakhrijnya dari kitab-kitab selain hadis, menisbatkannya pada sumber aslinya, menyebutkan sanad-snadnya, dan membicarakan kesahihan dan kedhaifan sebagian atau sweluruhnya, maka timbullah kitab-kitab takhrij.
Atas dasar data sejarah inilah Prof. Hasbi ash Shiddiqy menegaskan bahwa kegiatan takhrij hadis setidaknya telah muncul pada abad 8 H . Sebenarnya dapat ditemukan sebelum itu takhrij lain, yaitu : takhrij ahadis al muhadzdzab, oleh Muhammad ibn musa al ahzimy (w. 584 H).

D. Metode takhrij
Setidaknya ada lima metode yang dapat dipergunakan dalam mentakhrij suatu hadis. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya tersendiri, meski tujuan akhir takhrij dengan metode-metode itu tetap sama, yaitu menentukan letak suatu hadis dan menentukan kualitasnya bila diperlukan.
Kelima metode itu adalah :
1) Melalui pengetahuan tentang nama sahabat yang meriwayatkannya.
2) Melalui pengetahuan tentang lafal pertama hadis.
3) Melalui pengetahuan tentang salah satu lafal hadis
4) Melalui pengetahuan tentang tema hadis.
5) Melalui pengetahjuan tentang sifat khusus (karakteristik) sanad atau matan suatu hadis.

1) Takhrij al hadis melalui pengetahuan tentang nama sahabat perawi hadis
Di antara kitab-kitab hadis sumber, banyak yang ditulis dengan mengikuti sistem pengelompokan hadis atas dasar nama sahabat yang meriwayatkannya.Mentakhrij hadis dengan kitab-kitab semacam ini mutlak diperlukan pengetahuan tentang nama sahabat perawi hadis itu.
Ada tiga macam referensi yang dapat dipergunakan dalam menggunakan metode ini, yaitu :
a. Kitab-kitab al Musnad
Musnad adalah kitab-kitab hadis yang disusun berdasar urutan nama-nama rawi pertama dengan mengumpulkan hadis-hadis yang diriwayatkannya dalam satu kelompok. Kitab hadis yang menganut sistematika penyusunan semacam ini cukup banyak, ada diantaranya yang mendasarkan urutannya pada urutan alfabetis, tetapi ada pula yang mendasarkan pada keutamaan, senioritas, kabilah, atau wilayah.
b. Kitab-kitab al mu’jam
Mu’jam adalah kitab hadis yang disusun menurut nama-nama sahabat,guru taua kabilah dan nama-nama itu diurutkan secara alfabetis (huruf al mu’jam).
c. Kitab-kitab al athraf
Kitab al Athraf adalah kitab yang disusun dengan cara menyebutkan permulaan bunyi hadis yang mengidentifikasikan bunyi selanjutnya, namun di antara kitab-kitab itu ada juga yang menyebut matannya secara lengkap.Disebutkan juga sanad sanadnya yang ada pada matan yang dimaksud. Adapun urutan nama-nama sahabat dimaksud disusun berdasar urutan huruf mu’jam.
Kelebihan metode ini adalah :
1. Dapat dengan cepat diketahui semua hadis yang diriwayatkan oleh sahabat tertentu dengan sanad dan matannya secara lengkap.
2. Ditemukannya banyak jalan untuk matan yang sama.
3. Memudahkan menghafal dan mengingat hadis-hadis yang diriwayatkan oleh sahabat tertentu.
Kekurangan metode ini adalah :
1. Untuk menemukan hadis tertentu yang diriwayatkan oleh sahabat tertentu membutuhkan waktu yang relatif lama, sebab pada umumnya sahabat tidak hanya meriwayatkan satu dua hadis saja.
2. Metode in tidak bisa digunakan jika nama sahabat yang meriwayatkannya tidak diketahui.

2) Metode takhrij melalui pengetahuan tentang lafal pertama hadis.
Tehnik ini dipakai apabila permulaan lafal hadis dapat dipakai dan diketahui dengan tepat.Tanpa mengetahui lafal pertama hadis yang dimaksud teknik ini sama sekali tidak dapat digunakan.
Jenis-jenis kitab yang dapat dipakai dengan metode ini dapat diklasifikasikan menjadi.
a. Kitab-kitab tentang hadis yang popular di masyarakat,seperti kitab At Tazkirah Fi Al Ahadis Al Musytahirah karangan Badruddin Muhammad ibn Abd Allah az Zarkasyi. Kitab jenis ini tentu saja terbatas hadis-hadisnya karena dikhususkan pada hadis-hadis yang popular di masyarakat.
b. Kitab-kitab hadis yang hadis-hadisnya disusun secara alfabetis. Kitab jenis ini yang paling banyak beredar adalah karangan as Suyuthy (w. 911 H), yang berjudul Al Jami’ Ash Shaghir Min Ahadis Al Basyir An Nazir.
c. Kunci-kunci dan indeks yang dibuat untuk kitab-kitab tertentu. Beberapa ulama telah membuat kunci-kunci daftar atau indeks bagai kitab-kitab hadis tertentu dengan tujuan mempermudah mencari hadis tertentu dalam kitab-kitab tersebut.Diantara kitab-kitab kunci ini adalah Miftah As Shahihain karangan al Tauqidiy.
Kelebihan dan kekurangan metode ini adalah dengan menggunakan metode ini kemungkinan besar kita dengan cepat menemukan hadis-hadis yang dimaksud, sebab dengan mengetahui satu lafal awal saja kita sudah dapat menelusuri hadis pada sumber aslinya, tetapi jika perbedaan lafal pertama meski hanya sekidit saja, akan berakibat sulit menemukan hadis.

3) Takhrij melalui mengetahui tentang salah satu lafal hadis
Teknik ini hanya menggunakan satu kitab petunjuk saja yaitu Al Mu’jam Al Mufahras Li Alfaz Al Hadis An Nawawi. Kitab ini disusun oleh sejumlah orientalis yang dipimpin oleh Dr. A J Wensinck.orang Islam yang terlibat penyusunannya adalah Muhajnniad Fuad Abd Al Bagy sebagai komite konsultatif.
Kelebihan metode ini ;
1) Memungkinkan pencarian hadis melalui kata apa saja yang terdapat dalam matan hadis.
2) Mempercepat pencarian hadis, karena kitab takhrij ini menunjuk kepada kitab-kitab induk dengan menunjukkan kitab, nomor bab, atau nomor hadis, nomor juz, dan bahkan nomor halaman.
Kekurangan metode ini :
1) Adanya keharusan memiliki kemampuan bahasa arab beserta perangkat ilmu yang memadai,sebab metode ini menuntut untuk mengembalikan setiap kata kuncinya kepada kata dasarnya.
2) Hanya merujuk kepada sembilan kitab tertentu,sehingga bila lafaz hadis yang diketahui tidak diambil dari kitab-kitab tersebut maka hadis tersebut tidak ditemukan.
3) Metode ini tidak menyebutkan perawi dari kalangan sahabat.untuk mengetahui perawi yang menerima hadis dari nabi kita harus kembali kepada kitab aslinya.

4) Takhrij melalui pengetahuan tentang tema hadis
Teknik ini akan mudah digunakan oleh orang yang sudah biasa dan ahli dalam hadis. Adapun orang yang awam dalam soal hadis akan sangat sulit menggunakannya karena hal yang dituntut dalam teknik ini adalah kemampuan menentukan tema atau salah satu tema dari suatu hadis.
Dalam mentakhrij dengan menggunakan metode ini diperlukan kitab-kitab hadis yang tersusun berdasar bab-bab dan topik-topik.kitab jenis ini banyak sekali, dan dapat dibagi menjadi tiga kelompok :
a. Kitab-kitab yang berisi seluruh tema agama, yaitu kitab Al Jawami’ berikut dengan mustakhraj dan mustadraknya, Al Majami’, Al Zawaid, dan secara khusus kitab Miftah Kunuz As Sunnah.
b. Kitab-kitab yang berisi sebagian banyak tema-tema agama,yaitu kitab-kitab Sunan,Mushannaf,Muwaththa’, dan mustakhraj atas sunan.
c. Kitab-kitab yang berisi satu aspek saja dari tema agama,yaitu kitab-kitab yang khusus tentang hukum saja,tentang mengangkat saja ,dan lain-lain.kitab – kitab ini biasanya merupakan kitab-kitab Juzu’,Targhib dan Tarhib,Ahkam, Zuhud,Fadha’il,Adab dan Akhlaq dan tema-tema khusus lainnya.
Pada prinsipnya dalam teknik tematis ini mentakhrij dihadapkan langsung kepada kitab-kitab sumber asli tanpa kitab perantara,kecuali jika menggunakan Miftah Kunuz As Sunnah,di mana pentakhrij ditunjukkan tempat suatu hadis dalam kitab-kitab sumber.
Kelebihan metode ini :
a. Dapat ditemukan banyak hadis dalam satu tema tertentu terkumpul dalam satu tempat.
b. Metode ini mendidik ketajaman pemahaman hadis kepada peneliti.dengan menggunakan metode in beberapa kali seorang peneliti akan memiliki tambahan pengetahuan tentang Fiqh Al Hadis.
c. Metode in tidak memerlukan pengetahuan di luar hadis,sepertui keabsahan lafal pertama,pengetahuan bahasa arab dan perubahan-perubahannya,dan pengenalan rawi pertama.
Kekurangan metode ini :
a. Terkadang hadis sulit disimpulkan oleh peneliti sehingga tidak dapat menentukan temanya .akibatnya ia tidak mungkin mengfungsikan metode ini.
b. Terkadang pemahaman peneliti tidak sama dengan pemahaman penyususn kitab.akibatnya ialah penyusun kitab meletakkan hadis pada posisi yang tidak diduga oleh peneliti tersebut.

5) Takhrij melalui pengetahuan tentang keadaan matan dan sanad
Mungkin pada matan atau sanad terdapat karakteristik khusus yang mengidentifikasikan bahwa suatu hadis maudlu’mursal,qudsy dan lain-lain. Oleh karena itu,bila pada suatu hadis yang akan ditakhrij ditemukan tanda-tanda seperti itu,maka untuk menelusurinya dapat digunakan kitab-kitab khusus. Misalnya,bila tanda itu menunjukkan hadis itu termasuk maudlu’ maka hadis itu dapat dilihat pada kitab-kitab hadis maudlu’,bila hadis itu mursal maka dapat dilihat pada kitab-kitab hadis mursal,demikian juga bila hadis itu qudsy maka ia dapat dilihat dalam kitab hadis qudsy.
Gejala kepalsuan suatu hadis,adakalanya ditunjukkan dari segi kerancuan lafaz, rusaknya arti,bertentangan dengan nas al – Qul’an atau dari segi lain.Untuk ini misalnya bisa merujuk pada kitab Al Mashnu’ Fi Ma’rifati Al Hadis Al Maudhu’ karya syekh Ali Al Qadri Al Harawiy (w. 1014 H) yang disusun secara alfabetis dan kitab hadis yang disusun oleh Abu Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Iraq Al Kinaniy (w. 963 H) dengan sistematika urutan bab, yaitu kitab Tanzih Asy Syari’ah Al Mafu’ah ‘An Al Hadis Al Syaniah Al Maudhu’ah.
Jika hadis itu hadis qudsy,maka rujukan yang baik adalah kitab hadis qudsy seperti Mizykat Al Anwar Fi Ma Ruwiya ‘An Allah Subhanah Wa Ta’ala Min Akhbar, karya Muhyidin Muhammad ibn Ali ibn ‘Araby al Hatimy al Andalusy (w. 638 H) dan al Ittihaf as Saniyyah bi al Ahadis al Qudsiyyah, karya Syekh Abd Ar Rauf Al Nawawy (w. 1031 H).
Manakala indikator karakteristik itu muncul pada sanad,di mana terdapat ayah yang meriwayatkan hadis dari putranya, maka sumber yang dirujuk adalah kitab riwayat Al Aba ‘An Abna’, karya Abu Bakr Ahmad Ibn Ali Al Khattib Al Baghdady. Jika isnadnya ternyata berangkai,maka takhrijnya selayaknya diarahkan pada kitab, misalnya, Al Musalsalat Al Kubra, karya As Suyuty atau kitab Al Manahil Al Silsilah, karya Muhammad ibn Abd Al Baqy Al Ayyuby (w. 1364 H).Jika sanadnya mursal,maka dirujuk pada kitab-kitab Marasil Abu Dawud Al Saj Istany.
Kelebihan dari metode ini adalah pada umumnya kitab-kitab hadis yang dapat dijadikan rujukan dengan metode ini memuat penjelasan-penjelasan tambahan dari penyusunnya.adapun kekurangannya bahwa metode ini memerlukan pengetahuan yang mendalam tentang keadaan sanad dan matan hadis yang ditakhrij, di samping itu kitab-kitab rujukan metode ini pada umumnya memuat hadis yang jumlahnya sangat terbatas.







E. Kesimpulan
1. Penggunaan istilah takhrij dalam ilmu hadis mengalami perkembangan dengan pengertian yang berbeda-beda.
2. Pengertian takhrij yang menjadi bahasan tulisan ini adalah menunjukkan suatu hadis dalam sumber-sumber asli yang diriwayatkan dengan sanadnya dan kemudian,bila perlu menjelaskan status kualitas hadis tersebut.
3. Ada lima metode takhrij :
a. Melalui pengetahuan tentang nama sahabat yang meriwayatkannya.
b. Melalui pengetahuan tentang lafal pertama hadis.
c. Melalui pengetahuan tentang salah satu lafal hadis.
d. Melalui pengetahuan tentang tema hadis.
e. Melaui pengetahuan tentang sifat khusus )karekteristik) sanad atau matan hadis.















Daftar Pustaka
1. Dr. Suryadi, M.Ag, Wawasan Studi Hadis (makalah kuliah studi hadis ),
2. Quraish Shihab, Membumikan Al – Quran, cet IV (Bandung:Mizan,1994)
3. Ibrahim unais,dkk, Al Mu’jam Al Wasith (Kairo: Dar Al Ma’arif)
4. Mahmud ath- Thahhan, Ushul At Takhrij Wa Dirasah Al Asanid (Metode Takhrij Dan Penelitian Sanad Hadis), terj.Drs.Ridwan Nasir MA, (Surabaya: Bina Ilmu, 1995)
5. Abu Muhammad ‘abd al Mahdi Thuruq Takhrij Hadis Rasulillah saw (metode takhrij hadis) terj. S. Agil Husen Al Munawar dan Ahmad Rifki Mukhtar (Semarang:Dina utama, 1994),
6. Hasbi ash-Shiddieqy,Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadis(Jakarta: Bulan Bintang,1973),
7. Wensinck,dkk, al Mu’jam Al Mufahras Li Alfaz Al Hadis An Nawawy (leiden : E.J.Brill, 1939)
8. M.Syuhudi Ismail,Methodologi Penelitian Hadis ,(Jakarta : bulan bintang, 1972)












TAKHRIJ AL HADIS
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Studi Al Hadis Teori dan Metodologi
Dosen Pengampu : Dr.Suryadi, MA



Oleh : Hidayatullah, SHI
NIM : 08.223.858




PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
KONSENTRASI MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar