Senin, 21 Februari 2011

PROBLEMATIKA PENDIDIKAN NASIONAL

PROBLEMATIKA PENDIDIKAN NASIONAL
(Telaah Kritis Terhadap Sistem Pendidikan Nasional)
Oleh : Hidayatullah

A. Pendahuluan
Pendidikan merupakan institusi penting bagi proses penyiapan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang benar-benar berkualitas. Kita merenungkan kembali untuk menetapkan agenda pendidikan nasional agar dapat mengisi abad 21 tanpa keraguan akan masa depan anak muda sebagai penerus bangsa ini.Tanpa mempersiapkan masa depan mereka untuk hidup di abad 21 dengan berbagai unggulan kompetitif yang harus dimiliki, bangsa kita akan tenggelam dalam setiap percaturan dunia yang semakin global.
Mengingat pentingnya pendidikan dalam menghadapi kompetisi di era globalisasi , maka dibutuhkan model pendidikan yang bermutu. Hal ini seperti yang diamanatkan oleh UU sistem pendidikan nasional No.20 tahun 2003 pada bab 2 pasal 3 tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada tuhan yang maha esa,berakhlak mulia,sehat berilmu,kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Secara makro, era global adalah tantangan untuk merebut unggulan kompetisi sumber daya manusia antar bangsa.Tantangan ini seharusnya dimanfaatkan oleh penyelenggara pendidikan sebagai peluang untuk menyiapkan kualitas bangsa melalui pendidikan yang terarah.Akan tetapi sampai saat ini, belum tampak adanya strategi reformasi pendidikan yang mengarah kepada masalah itu. Pendidikan belum menggerakkan potensi kecerdasan intelektual, kreatifitas dan kecerdasan emosional anak.Dari berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan saat ini baru berada pada taraf kemampuan menggembangkan kemampuan kognitif pengetahuan,yang sifatnya lebih mengembangkan fungsi reproduktif. Pendidikan belum mampu membangun etos kerja, jati diri dan percaya diri untuk menghadapi masalah-masalah yang nyata.
Saat ini pemerintah telah memiliki program pendidikan nasional yang amat strategis yaitu peningkatan relefansi,efensiensi dan kualitas pendidikan. Setiap sistem pendidikan yang sehat selalu berusaha pula memenuhi tuntutan-tuntutannya. Apabila dicermati dari berbagai tuntutan baik dasar maupun perkembangannya, maka pendidikan dituntut untuk lebih arif, kreatif dan inovatif. Meskipun tidak mampu mengantisipasi tutntutan tersebut, paling tidak pendidikan diharapkan mampu mengikuti perubahan yang terjadi. Kemajuan teknologi dan informasi menuntut pendidikan tidak lagi menekankan pada penyampaian lisan (delivery system) guru siswa secara monoton.
Pola pendidikan yang melaksanakan delivery system akan menghasilkan sistem linear indortriner-vertikal. Pendidikan sistem ini justru menghasilkan ketergantungan dari pada kemandirian. Pribadi yang tergantung akan menghasilkan beban sosial, bebarti keberhasilan membangun sumber daya manusia melalui pendidikan belum dapat diharapkan. Keberhasilan sumber daya manusia sekarang ini tampaknya bukan hasil pendidikan kita tetapi hasil potensi masing - masing individu. Akhirnya mereka yang mampu keluar dari sistem yang selamat adalah yang mampu mandiri.Mereka itulah yang kreatif dan produktif yang berguna bagi masyarakat.
Sementara itu di Indonesia masalah otonomi pendidikan yang baru diberlakukan dengan adanya UU No.22 tentang otonomi daerah yang memberikan nuansa baru bagi arah pengembangan pendidikan pada lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia yang selama ini bersifat sentralis dan tergantung serta kurang berkembang secara maksimal, yaitu dengan pembagian wewenang tertentu antara pemerintah pusat dengan daerah dalam pendidikan dengan harapan bisa memberikan peluang sebesar-besarnya kepada daerah untuk mengelola dan mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya khususnya dalam pelaksanaan otonomi atau desentralisasi pendidikan.
Suatu lembaga pendidikan akan berhasil menyelenggarakan kegiatannya jika dapat mengintegrasikan dirinya ke dalam kehidupan masyarakat yang melingkarinya. Keberhasilan ini menunjukkan adanya kecocokan nilai antara lembaga pendidikan yang bersangkutan dengan masyarakat setempat. Lebih dari itu suatu lembaga pendidikan akan diminati anak-anak orang tua dan seluruh masyarakat apabila lembaga pendidikan mampu memenuhi kebutuhan mereka akan kemampuan iptek untuk menguasai suatu bidang kehidupan tertentu, kemampuan moral keagamaan dan social budaya untuk menempatkan diri mereka di tengah-tengah pergaulan bersama sebagai manusia terhormat.

B. Realitas Pendidikan Nasional
Dalam sistem pendidikan nasional No. 20 tahun 2003 bab II pasal 3 tentang dasar, fungsi dan tujuan pendidikan dijelaskan, bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada tuhan yang maha esa, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam undang-undang tersebut kalau melihat di lapangan sepertinya jauh dari kenyataan. Hal ini bisa kita lihat di sekolah –sekolah yang lebih menekankan pada tingkat kecerdasan intelektual semata.Anak hanya menerima apa yang diajarkan guru, tanpa ada ruang terbuka untuk mengembangkan kemampuan berpikirnya. Padatnya materi pendidikan dengan berbagai kewajiban membuat anak didikl tidak berdaya dan hanya menerima materi tanpa ada kesempatan untuk mengembangkan sikap kritisnya. Apabila semua itu telah berlangsung pendidikan kita hanya akan menghasilkan boneka-boneka.
Telah lama cara- cara seperti itu berlangsung dalam pendidikan kita, atau dalam bahasa lain pendidikan kita telah mengalami disorientasi, yakni selalu mementingkan kecerdasan intelektual, meskipun baru dalam tataran yang belum tinggi, tingkat sintetis dan evaluasi dengan mengabaikan persoalan-persoalan non kognitif yang juga sering disebut dengan aspek afektif, kecerdasan emosional kecerdasan spiritual dan sebagainya. Akibatnya pendidikan berjalan tanpa ada kesadaran penenaman nilai pada peserta didik.kondiodsi ini mendorong pendidikan di hampir semua jenjang dan jenis selalu mementingkan perolehan belajar yang hanya menekankan bekerjanya otak belahan kiri.otak belahan kanan kurang dikembangkan secara proposional.
Kalau kita tinjau realita dan idealita pendidikan nasional kita sangat jauh dari implikasi dan tuntutan tersebut dalam kehidupan berbangsa kita.Diantaranya yakni :
a. Realita pendidikan kita
1) Pendidikan kita berorentasi tekstual
2) Pendidikan kita tidak menyentuh pemberdayaan fisik, akal dan hati
3) Pendidikan kita menjauh dari kenyataan
4) Pendidikan kita menghindar dari lingkungan nyata
b. Idealita pendidikan kita
1) Gunakan obyek /persoalan nya dalam pendidikan
2) Berdayakan ketrampilan fisik manusia
3) Berdayakan akal manusia
4) Berdayakan hati manusia
5) Kembangkan potensi spiritual manusia

C. Pendidikan tekstual
Sifat tekstual pendidikan kita bersumber dari kesalahan kita dalam menyikapi ilmu pengetahuan.Dalam menyikapi ilmu kita berorientasi kepada buku secara tekstual yang dituliskan oleh orang barat yang sebenarnya kita belum menguji kebenarannya dari tulisan itu. Kita percaya 100% karya orang barat itu dan kita ambil karya itu seolah-olah menjadi milik kita.Cara menyikapi ilmu yang salah ini mewarnai pendidikan kita dengan ditampilkannya sistem penyampaian atau “delivery system”, yang menyikapi pengetahuan hanya sebagai upaya menyampaikan pengetahuan kepada siswa. Cara menyikapi pendidikan seperti ini yang akhirnya menjelma menjadi pendidikan dengan sistem suap. Artinya pendidikan kita tidak jauh dari menyuapi anak-anak dengan pengetahuan, dan suapan yang diperoleh juga tidak akan menyamai volume ilmu yang berkembang. Kesenjangan antara ilmu dan jumlah suapan yang diterima anak ini yang semakin menjauh yang mengakibatkan kita mengalami pembodohan terstruktur, artinya semakin lama umur bangsa kita akan menjadi semakin bodoh dibandingkan dengan tingkat perkembangan ilmu hasil dari orang-orang barat.
Akibat dari kesalahan orientasi pendidikan kita yang tekstual itu, maka kita tidak pernah menggunakan indera kita untuk mengamati kenyataan.Indera kita mati tidak mampu lagi menangkap kenyataan. Padahal kenyataan itu adalah ayat-ayat tuhan yang apabila digali maka akan mendapatkan apa yang ada di balik kenyataan. Itu. adalah hikmah pengetahuan dari tuhan. Kita menjauh dari tuntunan tuhan. Ketrampilan kita dimatikan sehingga kita tidak mampu berbuat apa-apa, kita tidak mampu menggunakan tangan kita, kita tidak mampu menggunakan badan kita untuk berbuat sesuatu. Kita menjadi manusia instant dan hedonistic, yang inginnya segala sesuatu dapat dinikmati dengan cepat. Bila bangsa barat dan Jepang kaya teknologi, kita menggunakan teknologi dari merekapun tidak maksimal.Fisik kita tidak mampu melakukan manipulasi obyek atau kejadian untuk dijadikan teknologi.

D. Akibat Pendidikan Tekstual
Ada kesan kuat, baik guru, orang tua, maupun murid, selalu didorong untuk mengejar dan menghimpun informasi keilmuan sebanyak mungkin, namun melupakan aspek pendidikan yang fundamental, yaitu bagaimana menjalani hidup dengan terhormat. Salah satu penyebab merebaknya korupsi ialah gagalnya dunia pendidikan dalam pembentukan karakter agar hidup selalu dipandu nurani.
Selain itu ada kesan pendidikan kita hanya menuntut peserta didik untuk dapat nilai tinggi saja. Apapun itu itu caranya yang penting target standar nilai nasional terpenuhi.Akibatnya banyak guru dan orang tua yang menempuh berbagai macam cara agar dapat mendongkrak nilai ujian akhir anaknya. Makanya jangan heran kalau banyak sekali kecurangan–kecurangan dalam penyelenggaraan ujian nasional.Bocornya naskah ujian yang bisa dibeli orang tua dengan lembaran rupiah atau seorang guru yang berusaha matia-matian memberikan kunci jawaban kepada siswanya, agar bisa lulus dalam ujian. Adalah kasus- kasus yang selalu muncul setiap even ujian nasional berlangsung tiap tahun.
Jika peristiwa itu direnungkan, suatu hal amat jelas. Orangtua telah menanamkan virus kehidupan kepada anak Bahwa sukses bisa dibeli dengan uang, dengan menyogok, dan semua itu seolah sah-sah saja. Peristiwa itu juga menggoreskan catatan seumur hidup di hati anak. Orang tua dan guru ikut andil telah merobohkan prinsip kejujuran. Akibatnya, jika suatu saat orang atau guru mengajarkan nilai-nilai kejujuran, anak akan menilai semua itu bisa ditawar. Singkatnya, secara moral orang tua maupun gurui tidak lagi punya wibawa untuk mengajarkan kejujuran di mata anaknya.
Belum lagi persoalan sistem penerimaan PNS yang carut marut di negeri kita ini. Ada suatu kasus yang sangat memalukan sekali, dalam Pojok Kompas (15/1)tahun 2003. Tertulis: "Kelulusan 322 calon PNS di Departemen Agama dibatalkan sebab yang bersangkutan tak ikut tes". Di lingkungan Depag, juga di departemen lain, kecurangan seperti ini bukan hal baru. Namun saat korupsi terjadi di Depag, implikasi moral politiknya lebih besar karena bisa mengarah pada logika bahwa Depag yang mestinya berperan sebagai "sapu yang bersih" telah terseret dan menyatu bersama sampah yang hendak dibersihkan.
Seseorang merasa diri hebat dan berharga bukan karena kualitas pribadinya, tetapi jabatan dan kekayaan, meski diraih dengan cara tidak terhormat. Pribadi semacam ini oleh Erich Fromm disebut having oriented, bukan being oriented, pribadi yang obsesif untuk selalu mengejar harta dan status, tetapi tidak peduli pada pengembangan kualitas moral.
Ketika pendidikan tidak lagi menempatkan prinsip-prinsip moralitas agung sebagai basisnya, maka yang akan dihasilkan adalah orang yang selalu mengejar materi untuk memenuhi tuntutan physical happiness yang durasinya hanya sesaat dan potensial membunuh nalar sehat dan nurani. Padahal, aktualisasi nilai kemanusiaan membutuhkan perjuangan hidup sehingga seseorang akan merasa lebih berharga dan bahagia saat mampu meraih kebahagiaan non materi, yaitu intellectual happiness, aesthetical happiness, moral happiness ,dan spiritual happiness. Pendidikan yang sehat adalah yang secara sadar membantu anak didik bisa merasakan, menghayati, dan menghargai jenjang makna hidup dari yang bersifat fisikal sampai yang moral, estetikal, dan spiritual. Peradaban dunia selalu dibangun oleh tokoh-tokoh moral-spiritual, yang dihancurkan politisi dan teknokrat yang mabuk kekuasaan.
Selama ini produk pendidikan kita amat kurang membantu pertumbuhan spiritualitas anak sehingga mereka sulit mengagumi keramahan langit terhadap bumi, gemercik air, festival awan, kekompakan hidup dunia semut, dan perilaku alam lain yang semua itu merupakan ayat-ayat Tuhan dan bacaan terbuka yang amat indah. Ini semua disebabkan kesalahan proses pendidikan yang kita dapat, yang hampir melupakan dimensi akal budi dan emosi serta tidak memandang alam sebagai entitas yang hidup.
E. Pengembangan Pendidikan Yang Berorientasi Pada Kecerdasan Multidimensional
Mengingat pentingnya pendidikan yang berorientasi pada semua potensi pada manusia. Maka ada baiknya kita mengingat kembali apa tujuan dari suatu pendidikan. Tujuan pendidikan (= bimbingan) dan pengajaran ialah membantu anak menjadi orang dewasa mandiri dalam kehidupan masyarakat. Anak harus mencapai kematangan baik intelektual maupun emosional untuk dapat menempuh studi tersier (akademis dan propesional). Jadi, misi pendidikan pada dasarnya haruslah dapat memenuhi berbagai tuntutan sosial dan tuntutan perkembangan anak. Tuntutan sosial tentunya terkait dengan tuntutan sumber daya manusia,agar setiap bangsa berguna bagi kehidupan diri sendiri maupun masyarakat luas.
Setiap anggota masyarakat yang tidak produktif, tidak mampu menghidupi dirinya sendiri, pada dasarnya adalah beban sosial.Terkait dengan pertumbuhan anak, pada dasarnya setiap anak memerlukan tuntutan perkembangan potensi-potensi dasar manusia yang melipuiti potensi berfikir kreatifitas, ketrampilan dan dan potensi sosial yang mampu membangun kedewasaan emosional, sikap dan jati diri sebagai manusia terdidik,berilmu dan berpengatahuan.
Berkaitan dengan tuntutan pengembanagn potensi dasar manusia tersebut, dalam pembukaan UUD 1945 dinyatakan bahwa salah satu tujuan mendirikan republik ini adalah untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa.
Apa yang dimaksud dengan manusia Indonesia cerdas? Tentunya manusia Indonesia cerdas bukanlah manusia yang hanya pandai dalam ilmu pengetahuan saja mementingkan kelompok, suku, agama, atau kelompok sosial tertentu. Seorang manusia Indonesia yang cerdas pertama-tama dia haruslah memiliki nilai-nilai pancasila dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai tersebut.Dengan kata lain manusia Indonesia cerdas adalah manusia Indonesia yang memiliki ciri sebagai berikut :
1. Manusia cerdas adalah masyarakat yang berbudaya.
2. Bertalian erat dengan nilai-nilai pancasila sebagai identitas Indonesia.
3. Mempunyai orientasi terhadap perubahan global.
4. Mempunyai kemandirian yang didukung dengan kemampuan intelegensi yang terasah.
5. Mampu mengembangkan kemampuan intelegensi dengan nilai-nilai moral.
Kelima hal tersebut akan bisa terwujud apabila kita mampu mengembangkan potensi-potensi yang sudah diberikan Tuhan kepada kita. Pengembangan yang dimaksud diantaranya adalah:
a. Memberdayakan Kemampuan Fisik
Pemberdayaan kemampuan fisik manusia tidak terlalu sulit apabila kita terbiasa mengamati obyek/kejadian nyata dengan menggunakan indera kita dan menggunakan badan kita keseluruhannya (kinestik).Kerja kinestik dapat merangsang tumbuh berkembangnya tingkat kreatifitas manusia. Pendidikan jangan hanya memperhatikan ingatan,meskipun ingatan itu perlu dipelihara karena bedanya manusia dengan makhluk lain adalah adanya potensi untuk dapat mengingat, tetapi hindari proses pendidikan yang hanya menggunakan pendekatan ingatan.
b. Memberdayakan Akal
Akal dapat dikatakan sebagai manifestasi dari kreatifitas manusia.Cara belajar yang hanya mementingkan informasi verbal hanya mengakomodasikan aktifitas linier logic sistematik dari otak kiri dan tidak mampu menyentuh aktifitas otak kanan yang kreatif. Kemampuan kreatif memberi peluang manusia untuk berfikir alternatif dan fleksibel. Karena akal lebih dekat pada pengembangan kinestik dari pada fungsi verbal.Menggerakkan tubuh kita akan lebih bermakna terhadap tumbuhnya kreatifitas manusia.
c. Memberdayakan Hati
Hati manusia bukan sepenuhnya dikendalikan oleh manusia.Tuhan yang membuka dan menutup hati manusia, meskipun manusia yang mengawali kehendak untuk berubah. Pada saat hati manusia tertutup,maka bisikan hati kita cenderung berupa bisikan setaniyah, dan bila hati kita penuh berarti hati kita penuh dengan iman, maka bisikan hati kita adalah bisikan ilahiah. Pikiran kita yang harus mampu mengontrol kebenaran dari bisikan hati kita. Dan interaksi fungsi antara akal dan hati ini yang mampu membangun potensi spiritualitas manusia.
Kemampuan untuk memperdayakan hati dalam leteratur lain dibagi dua :
1) Interpersonal intelegence, merupakan kemampuan untuk berhubungan dan memahami orang lain di luar dirinya.Dengan demikian peserta didik akan selalu mencoba untuk melihat berbagai fenomena dari sudut pandang orang lain agar memahami bagaimana orang lain melihat dan merasakannya.
2) Intrapersonal intelegence, suatu kemampuan merefleksi diri dari kesadaran terhadap diri sendiri.peserta didik akan mampu mencoba untuk memahami perasaan diri sendiri,impian-impian yang dimiliki, hubungan dengan orang lain, dan dan kekurangan yang dimilikinya.
d. Mengembangkan Potensi Spiritualitas
Potensi spiritualitas manusia membuat manusia mampu mengenal juga hal-hal yang tidak mampu diindera manusia.Komunitas kehidupan kita ternyata tidak hanya terdiri dari susunan populasi makhluk tuhan yang tampak Akan tetapi juga terdiri dari makhluk tuhan yang tidak tampak dengan panca indera.Indera kita tidak mampu mengenali mereka,oleh karena itu dibutuhkan pengembangan potensi spiritualitas,agar manusia mampu mengenal semua jenis makhluk yang menjadi ekosistem kehidupan kita.Dengan cara demikian maka kita akan dapat hidup lebih baik,terhindar dari gangguan yang tidak perlu dari ulah makhluk tuhan yang tidak kita kenal secara fisik

Penutup
Dari beberapa pemaparan di atas kiranya pemerintah semestinya memikirkan kembali tentang system pendidikan nasional kita yang hanya berorientasi pada kemampuan intelektual saja, dengan bentuk hafalan atau mentransfer pengetahuan belaka. Menuju pada system pendidikan yang berorientasi pada pengembangan potensi kemampuan multidimensional yakni :
1. Memperdayakan kemampuan fisik
2. Memberdayakan akal
3. Memberdayakan hati yang meliputi :
a.Interpersonal intelegence
b.Intrapersonal intelegence
4.Mengembangkan potensi spiritualitas
Apabila potensi - potensi yang ada dalam diri manusia tersebut sudah diberdayakan dalam sistem pendidikan kita, maka tujuan dari pendidikan nasional kita nanti akan terwujud yakni “Mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.”








Daftar Pustaka

Suyanto, dkk, Refleksi Pendidikan Di Indonesia Memasuki Milineum II;Adi Cita,2006
Djohar,MS,Pendidikan Strategic, Alternative Untuk Pendidikan Masa Depan, cet.I (Yogyakarta:LESFI,2003)
Mukhtar Bukhori ,Pendidikan Antisipatoris, cet. I,(Yogyakarta : Kanisius, 2001)
Prof.Suyanto ,Ph.D, Dinamika Pendidikan Nasional , cet I (Jakarta : Pusat Studi Agama Dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah)
Prof.Dr. Djohar, MS, Pengembangan Pendidikan Nasional Menyongsong Masa Depan, Cet I (Yogyakarta:Grafika Indah, 2006 ) ,
Komaruddin Hidayat Pembina Sekolah Berwawasan Internasional (SBI) Madania Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0502/03/opini/1538957.htm
HAR Tilaar, Standarisasi Pendidikan Nasional, Cet.I, (Jakarta : Rhineka Cipta, 2006),
JIGM.Drost,S.J, Sekolah: Mengajar Atau Mendidik?, Cet. III (Yogyakarta: Kanisius,1998)
Teguh Santoso, Reformasi Pendidikan Nasional Untuk Menciptakan Human Capability, Kompas, 26 Mei 2003
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No.20 tahun 2003




PENTINGNYA MENUMBUHKAN LIFE SKILL
DALAM PENDIDIKAN

Pendidikan kita saat ini semestinya memperhatikan pengembangan peserta didik dalam ketrampilan mengelolah masalah, atau dalam istilah lain disebut ketrampilan hidup Life Skill Education. Karena persoalan pendidikan tidak hanya sebatas bagaimana mencetak generasi yang pintar dan pandai dalam akademik, tetapi juga mandiri, tangguh dan cakap dalam menghadapi problematika kehidupan. Kalau melihat acuan pendidikan ketrampilan hidup (life skill education) yang dipakai PBB UNESCO, akan kita temukan empat pilar utama yang harus dilatih untuk memperbaiki ketrampilan hidup. Keempat pilar utama itu adalah :
1) Belajar untuk mengetahui (learning to know).Semua orang perlu meningkatkan kemampuannya di sisni, yaitu: kemampuan berpikir kritis, berpikir untuk menyelesaikan masalah,mengambil keputusan, memahami konsekkuensi tindakan, dan seterusnya.
2) Belajar untuk menjadi (learning to be). Meningkatkan kemampuan personal seperti bagaimana menangani stress, bagaimana meningkatkan kepercayaan diri, kesadaran diri, dan seterusnya.
3) Belajar untuk hidup bersama (learning to live together). Kemampuan social seperti komunikasi, negoisasi, kerja sama tim, bergaul dan seterusnya.
4) Belajar untuk melakukan (learning to do). Kemampuan manual/praktek atau keahlian kerja teknis sesuai dengan bidang masing-masing.
Dalam kaitannya dengan life skill yang dihasilkan oleh peserta didik setelah menempuh suatu proses pendidikan, maka berdasarkan PP No.19/2005 sebagaimana dalam pasal 13 bahwa:1) kurikulum untuk SMP/MTs/ SMPLB atau bentuk lain yang sederajat, SMA/MA/SMALB atau bentuk lain yang sederajat, SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat dapat memasukan pendidikan kecakapan hidup. 2) pendidikan kecakapan hidup yang dimaksud meliputi kecakapan sosial, kecakapan akademik, dan kecakapan vokasional.
Adapun kriteria penilaian hasil belajar dapat dilakukan oleh pendidik, satuan pendidikan, maupun pemerintah. Penilaian hasil belajar oleh pendidik diatur dalam pasal 64 antara lain penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran agama, akhlak mulia, pendidikan kewarganegaraan dan akhlak mulia dilakukan melalui: a. pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan afeksi dan kepribadian peserta didik, serta. b. Ulangan, ujian, dan atau penugasan untuk mengukur aspek kognitif peserta didik. Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi diukur melalui ulangan, penugasan, dan atau bentuk lain yang sesuai dengan karakteristik materi yang dinilai.
Berdasarkan ketentuan di atas, maka dalam menciptakan life skill yang diharapkan dimiliki oleh siswa ukuran yang digunakan adalah penilaian-penilaian di atas. Namun kenyataan sebaliknya justru menunjukan bahwa korelasi antara proses pendidikan selama ini dengan pembentukan kepribadian siswa merupakan hal yang dipertanyakan? Kasus tawuran antar pelajar, seks bebas, narkoba, dan berbagai masalah sosial lainnya merupakan indikator yang relevan untuk mempertanyakan hal ini.
Untuk mengatasi persoalan tersebut tidak bisa dilepaskan dari penyelesaian masalah mendasar. Sehingga dalam hal ini diantaranya secara garis besar ada dua solusi yaitu:
Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, antara lain: sistem ekonomi, sistem politik, sistem sosial, ideologi, dan lainnya. Dengan demikian, penerapan ekonomi syari’ah sebagai pengganti ekonomi kapitalis ataupun sosialis akan menyeleraskan paradigma pemerintah dan masyarakat tentang penyelenggaraan pendidikan sebagai salah satu bentuk kewajiban negara kepada rakyatnya dengan tanpa adanya pembebanan biaya yang memberatkan ataupun diskriminasi terhadap masyarakat yang tidak memiliki sumber dana (capital). Penerapan sistem politik islam sebagai pengganti sistem politik sekuler akan memberikan paradigma dan frame politik yang dilakukan oleh penguasa dan masyarakat sebagai bentuk perjuangan untuk menjamin terlaksananya pengaturan berbagai kepentingan ummat oleh penguasa termasuk diantaranya dalam bidang pendidikan. Sehingga bukan malah sebaliknya menyengsarakan ummat dengan memaksa mereka agar melayani penguasa. Penerapan sistem sosial yang islami sebagai pengganti sistem sosial yang hedonis dan permisif akan mampu mengkondisikan masyarakat agar memiliki kesadaran yang tinggi terhadap kewajiban terikat pada hukum-hukum syari’at sehingga peran mereka dalam mensinergiskan pendidikan di sekolah adalah dengan memberikan tauladan tentang aplikasi nilai-nilai pendidikan yang diperoleh siswa di sekolah.
Kedua, solusi teknis, yakni solusi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan internal dalam penyelenggaraan sistem pendidikan. Diantaranya:
Secara tegas, pemerintah harus mempunyai komitmen untuk mengalokasikan dana pendidikan nasional dalam jumlah yang memadai yang diperoleh dari hasil-hasil eksploitasi sumber daya alam yang melimpah yang merupakan milik ummat. Dengan adanya ketersediaan dana tersebut, maka pemerintahpun dapat menyelesaikan permasalahan aksesibilitas pendidikan dengan memberikan pendidikan gratis kepada seluruh masyarakat usia sekolah dan siapapun yang belum bersekolah baik untuk tingkat pendidikan dasar (SD-SMP) maupun menengah (SLTA), bahkan harus pula berlanjut pada jenjang perguruan tinggi. merekrut jumlah tenaga pendidik sesuai kebutuhan di lapangan disertai dengan adanya jaminan kesejahteraan dan penghargaan untuk mereka. Pembangunan sarana dan prasarana yang layak dan berkualitas untuk menunjang proses belajar-mengajar. Penyusunan kurikulum yang berlandaskan pada nilai-nilai syari’ah (Al-Qur’an dan As-Sunnah). Melarang segala bentuk kapitalisasi dan komersialisasi pendidikan baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta menjamin terlaksananya pendidikan yang berkualitas dengan menghasilkan lulusan yang mampu menjalani kehidupan dunia dengan segala kemajuannya (setelah menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan teknologi serta seni baik yang berasal dari islam maupun hadharah ’am) dan mempersiapkan mereka untuk mendapatkan bagiannya dalam kehidupan di akhirat kelak dengan adanya penguasaan terhadap tsaqofah islam dan ilmu-ilmu keislaman lainnya.






PERANAN PENDIDIKAN ISLAM DALAM MENUMBUHKAN KECERDASAN EMOSIONAL
Dunia pendidikan saat ini sering dikritik oleh masyarakat yang disebabkan karena adanya sejumlah pelajar dan lulusan pendidikan tersebut menunjukkan sikap yang kurang terpuji.banyak pelajar terlibat tawuran, melakukan tindakan kriminalitas, pencurian, penodongan, penyimpanyan seksual, menyalahgunakan obat-obat terlarang dan lain sebagainya. Perbuatan tidak terpuji yang dilakukan para pelajar tersebut benar-benar telah meresahkan masyarakat dan merepotkan pihak aparat keamanan. Hal tersebut masih ditambah lagi dengan adanya peningkatan pengangguran yang pada umumnya adalah tamatan pendidikan.
Keadaan semacam ini semakin menambah potret pendidikan makin tidak menarik dan tak sedap dipandang yang pada gilirannya makin menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap wibawa dunia pendidikan kita. Jika keadaan yang demikian tidak segera dicarikan solusinya, maka sulit mencari alternatif lain yang paling efektif untuk mebina moralitas masyarakat. Berbagai upaya mencari solusi untuk memperbaiki dunia pendidikan dan mencari sebab-sebabnya merupakan hal yang tidak dapat ditunda lagi.
Di antara penyebab dunia pendidikan kurang mampu menghasilkan lulusannya yang diharapkan adalah dunia pendidikan selama ini hanya membina kecerdasan intelektual, wawasan dan ketrampilan semata, tanpa diimbangi dengan membina kecerdasan emosional.
Kecerdasan emosional di sini menyangkut sikap-sikap terpuji yang muncul dari qolbu dan aql, yaitu sikap bersahabat, kasih sayang, empati, takut berbuat salah, keimanan, dorongan moral, bekerja sama, dapat beradaptasi, berkomunikasi dan penuh perhatian dan kepedulian terhadap sesama makhluk ciptaan tuhan.
Dalam pendidikan islam berbagai ciri yang menandai kecerdasan emosional tersebut terdapat dalam pendidikan akhlak. Para pakar pendidikan islam dengan berbagai ungkapan pada umumnya sepakat bahwa tujuan pendidikan islam adalah membina pribadi yang berakhlak. Ahmad D. Marimba mengatakan bahwa pendidikan islam adalah bimbingan jasmani dan rohani menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran islam.
Namun persoalannya sekarang adalah, akhlak yang diajarkan dalam pendidikan islam sudah amat sulit ditumbuhkan. Pendidikan pada umumnya, termasuk pendidikan islam saat ini cenderung berhasil membina kecerdasan intelektual, dan ketrampilan, dan kurang berhasil menumbuhkan kecerdasan emosional.hal ini terjadi karena beberapa sebab sebagai berikut: Pertama, pendidikan yang diselenggarakan saat ini cenderung haya pengajaran, dan bukan pendidikan. Padahal antara pendidikan dan pengajaran dapatdiintegrasikan. Pelajaran sepakbola misalnya, selain melatih ketrampilan dan ketahan fisik juga membangun kerjasama,sportivitas, tenggang rasa, mau berkorban untuk tujuan yang lebih besar. Kedua, pendidikan saat ini sudah merubah dari orientasi nilai dan idealisme yang berjangka panjang, kepada yang bersifat materialisme, individualisme dan meningkatkan tujuan jangka pendek. Ketiga, metode pendidikan yang diterapkan tidak bertolak dari pandangan yang melihat manusia sebagai makhluk yang paling mulia dan memiliki potensi yang bukan hanya potensi intelektual (akal), tetapi juga potensi emosional. Keempat, pendidikan islam kurang mengarahkan siswanya untuk mampu merespon berbagai masalah aktual yang muncul di masyarakat, sehingga terdapayt kesenjangan antara dunia pendidikan dengan kehidupan di masyarakat.
Untuk itu, pendidikan islam sudah saatnya menerapkan pembinaan kecerdasan emosional sebagai bagian dan potensi yang dimiliki manusia sehingga para lulusan pendidikan dapat meraih kesuksesan dalam hidupnya. Berbagai kekurangan dalam pendidikan islam mulai dari orientasi, kurikulum, metode, srana prasarana dan sebagainya harus diperbaiki sesuai dengan tuntutan zaman dan bertolak dari pandangan manusia sebagai makhluk tuhan yang harus dihormati dan dikembangkan seluruh potensinya secara seimbang, pendidikan islam yang demikian itulah yang diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pembinaan kecerdasan emosional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar