Rabu, 23 Februari 2011

KEPEMIMPINAN KYAI DI PESANTREN

KEPEMIMPINAN ALA KYAI PESANTREN 
Oleh : Hidayatullah, S.H.I

Pembicaraan tentang pesantren adalah persoalan yang sangat menarik untuk diikuti. Karena tradisi pesantren berbeda dengan lembaga pendidikan pada umumnya tradisi yang masih berbau feodal, gaya pemimpinan kyai yang otoriter atau pola hidup santri yang nyleneh, merupakan sesuatu yang menarik bagi orang awam. Pesantren adalah suatu lembaga pendidikan khas Indonesia yang dikenal sebagai tempat mencetak ahli-ahli agama (Islam). Istilahnya Tafaqquh fid diin. Umumnya para pengamat dan penulis tentang pesantren terlalu sederhana dalam mengamati dan menganggap bahwa jenis pesantren itu hanya satu. Memang secara umum, pesantren memiliki tipologi yang sama. Sebuah lembaga yang dipimpin dan diasuh oleh kyai dalam satu komplek yang bercirikan adanya masjid atau surau sebagai pusat pengajaran dan asrama sebagai tempat tinggal para santri, disamping rumah tempat tinggal kyai, dengan kitab kuning sebagai buku wajib/pegangan. Disamping ciri lahiriah itu, masih ada ciri umum yang menandai karkteristik pesantren, yaitu kemandirian dan ketaatan santri kepada kyai yang sering ditanggapi sinis sebagai pengkultusan.
Kalupun ada yang lebih teliti, paling-paling hanya menyinggung adanya dua model pesantren, yakni tradisional (atau yang biasa disebut salaf) dan modern. Ini bisa dimaklumi, karena pengamatan biasanya didasarkan pada sampel ‘ayyinah’, beberapa pesantren yang ghalibnya diambil dari pesantren-pesantren yang terkenal. Padahal meski mempunyai tipologi umum yang sama, pesantren juga sangat ditentukan karakternya oleh kyai yang memimpinnya.
Memang lazimnya kyai pesantren berasal dari jebolan pesantren pula. Para kyai yang berasal dari jebolan pesantren sama, umumnya akan memilki kemiripan satu sama lain dalam memimpin pesantrennya. Namun harus diingat bahwa lazimnya para kyai tidak berguru hanya pada satu pesantren, tapi berpindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren yang lain. Bahkan sebagai contoh, almarhum Kyai Machrus Ali Lirboyo Kediri (yang sudah banyak menjelajahi banyak pesantren di Jawa) ketika putra-putranya sudah menjadi kyai, Kyai Machrus masih terus berguru ke pesantren lain meskipun hanya di bulan Ramadhan.
Kecenderungan dan pribadi kyai sendiri biasanya jarang dijadikan variabel. Padahal sebagai pendiri dan ‘pemilik’ pesantren (terutama yang salaf) dalam menentukan corak pesantrennya, yang tidak terlepas dari karakter dan kecenderungan pribadinya. Pesantren yang kyainya cenderung kepada politik, misalnya, akan berbeda dengan pesantren yang kyainya tidak suka politik. Kyai yang sufi corak pesantrennya berbeda dengan pesantren yang dipimpin oleh ‘kyai syariat’. (Kyai sufi dan Kyai syareat ini inipun masih berbeda sesuai dengan aliran-aliran masing-masing). Pesantren yang dipimpin oleh hikmah berbeda dengan pesantren yang kyainya sama sekali tidak tertarik pada ilmu hikmah. Demikian seterusnya. Maka, meskipun ciri kyai/pesantren sama-sama ingin memberi manfaat kepada umat/masyarakat, kita bisa melihat tampilan-tampilannya yang berbeda.
Ada lagi yang luput dari pengamatan ‘orang luar’ termasuk para pengamat, yaitu tentang hubungan kyai-santri. Khususnya kepatuhan santri terhadap kyai yang mereka anggap berlebih-lebihan, berbau feodal, pengkultusan, dan sebagainya. Inipun bisa dimaklumi, karena mereka hanya melihat mazhahir luar ditambah perilaku ikut-ikutan dari masyarakat yang tidak mengerti hakikat hubungan kyai-santri itu dan adanya ‘kyai-kyai’ baru yang memanfaatkan keawaman masyarakat tersebut.

Tipologi Kyai
Secara bahasa Kata "Kyai" berasal dari bahasa jawa kuno "kiya-kiya" yang artinya orang yang dihormati. Sedangkan secara terminologis menurut Manfred Ziemnek pengertian kyai adalah "pendiri dan pemimpin sebuah pesantren sebagi muslim "terpelajar" telah membaktikan hidupnya "demi Allah" serta menyebarluaskan dan mendalami ajaran-ajaran dan pandangan Islam melalui kegiatan pendidikan Islam. Namun pada umumnya di masyarakat kata "kyai" disejajarkan pengertiannya dengan ulama dalam khazanah Islam. Namun seiring dengan perkembangan zaman kyai pada era sekarang bukan saja orang yang hidupnya hanya berkutat dalam dunia ilmu, dan mengurusi santri saja, akan tetapi ada beberapa kyai yang sibuk dalam urusan dakwah, dan terjun dalam dunia politik. Tipe kyai model terakhir inilah yang banyak mengundang pro dan kontra di masyarakat. Sehingga dipastikan akan banyak orang yang mempertanyakan, “Ngapain kyai-kyai itu kok ikut-ikut berpolitik?”
Selain itu menurut Abdurrahman Mas'ud (2004, 236-237) ada beberapa tipe gaya kyai, ia memasukkan kyai kedalam lima tipologi:
(1) Kyai (ulama) encyclopedi dan multidisipliner yang mengonsentrasikan diri dalam dunia ilmu; belajar, mengajar, dan menulis, menghasilkan banyak kitab, seperti Nawai al-Bantani.
(2) Kyai yang ahli dalam salah satu spesialisasi bidang ilmu pengetahuan Islam. Karena keahlian mereka dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan, pesantren mereka terkadang dinamai sesuai dengan spesialisasi mereka, misalnya pesantren al-Qur'an.
(3) Kyai karismatik yang memperoleh karismanya dari ilmu pengetahuan keagamaan, khususnya dari sufismenya, seperti KH. Kholil Bangkalan Madura.
(4) Kyai Dai keliling, yang perhatian dan keterlibatannya lebih besar melalui ceramah dalam menyampaikan ilmunya sebagai bentuk interaksi dengan publik bersamaan dengan misi sunnisme atau aswaja dengan bahasa retorikal yang efektif.
(5) Kyai pergerakan, karena peran dan skill kepemimpinannya yang luar biasa, baik dalam masyarakat maupun organisasi yang didirikannya, serta kedalaman ilmu keagamaan yang dimilikinya, sehingga menjadi pemimpin yang paling menonjol, seperti KH. Hasyim Asy'ari.
Dari tipelogi kyai dia atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa kyai adalah manusia biasa yang mengabdikan dirinya untuk kepentingan ilmu, berdakwah, pergerakan, yang kesemuanya berasal dari masyarakat. Karena status kyai bukan pribadi kyai sendiri yang menciptakan tapi berasal dari masyarakat. Berbeda dengan predikat ustatz yang bisa di buat sendiri meskipun masyarakat sendiri belum tentu mau menerima istilah tersebut.jadi jangan heran kalau nantinya banyak sekali bermunculan ustad - ustad baru terutama saat bulan Ramadhan tiba. Istilah kerennya mendadak ustad. Inilah yang membedakan antara kyai dan ustad.
Menurut Abdur Rozaki ( 2004, 87-88) karisma yang dimiliki kyai merupakan salah satu kekuatan yang dapat menciptakan pengaruh dalam masyarakat. Ada dua dimensi yang perlu diperhatikan. Pertama, karisma yang diperoleh oleh seseorang (kyai) secara given, seperti tubuh besar, suara yang keras dan mata yang tajam serta adanya ikatan genealogis dengan kyai karismatik sebelumnya. Kedua, karisma yang diperoleh melalui kemampuan dalam penguasaan terhadap pengetahuan keagamaan disertai moralitas dan kepribadian yang saleh, dan kesetiaan menyantuni masyarakat. Inilah yang sering dilupakan orang awam tentang sosok kyai.
Ada beberapa persoalan yang sering dipermasalahkan di masyarakat awam yaitu tentang hubungan kyai-santri. Khususnya kepatuhan santri terhadap kyai yang mereka anggap berlebih-lebihan, berbau feodal, pengkultusan, dan sebagainya. Inipun bisa dimaklumi, karena mereka hanya melihat mazhahir luar ditambah perilaku ikut-ikutan dari masyarakat yang tidak mengerti hakikat hubungan kyai-santri itu dan adanya ‘kyai-kyai’ baru yang memanfaatkan keawaman masyarakat tersebut.
Mazhahir luar itulah yang menjebak para pengamat, menganggap bahwa kepatuhan santri kepada kyai itu merupakan sesuatu yang sengaja ditekankan di pesantren. Karena hanya melihat mazhahir luar itu saja, ada pengamat yang berkesimpulan bahwa kepatuhan yang ‘berlebih-lebihan’ ini merupakan gabungan dua hal yaitu kepatuhan doktrinal dan kesadaran mitologis. Maksudnya, kepatuhan yang dibentuk oleh-peraturan-peraturan pesantren dan kesadaran yang dibentuk oleh melalui konstruk pemikiran-pemikiran dengan memupuk kepercayaan-kepercayaan magis dan kekuatan-kekuatan adikodrati.
Pengamatan sederhana atau anggapan sederhana itu merupakan gebyah uyah, generalisasi dan secara tidak lagsung mendiskretkan kyai-kyai yang mukhlis yang menganggap tabu beramal lighoirillah, beramal tidak karena Allah tapi agar dihormati orang.

Kepemimpinan Kyai Pesantren
Sebagai orang yang mempimpin pesantren sekaligus panutan ummat gaya kepemimpinan seorang kyai berbeda dengan gaya kepemimpinan pada umumnya. Posisi kepemimpinan kyai di pesantren lebih menekankan pada aspek kepemilikan saham pesantren dan moralitas serta kedalaman ilmu agama, dan sering mengabaikan aspek manajerial. Keumuman kyai bukan hanya sekedar pimpinan tetapi juga sebagai sebagai pemilik persantren. Posisi kyai juga sebagai pembimbing para santri dalam segala hal, yang pada gilirannya menghasilkan peranan kyai sebagai peneliti, penyaring dan akhirnya similator aspek-aspek kebudayaan dari luar, dalam keadaan seperti itu dengan sendirinya menempatkan kyai sebagai cultural brokers (agen budaya). (Dawam Rahajo, 1995: 46-47).
Menurut Dadi Permadi (2000: 46-47) bahwa ada empat gaya kepemimpinan yang sering dilpergunakan oleh para pimpinan khususnya pimpinan lembaga pendidikan diantaranya; Telling, Consultating, Participating dan Delegating. Keempat gaya tersebut merupakan dasar kepemimpinan situasional.
Di dalam pesantren santri, ustadz dan masyarakat sekitar merupakan individu-individu yang langsung ataupun tidak langsung dipengaruhi oleh perilaku pemimpin (kyai) tersebut. Kepemimpinan di Pesantren lebih menekankan kapada proses bimbingan, pengarahan dan kasih sayang. Menurut Mansur (2004) Gaya kepemimpinan yang ditampilkan oleh pesantren bersifat kolektif atau kepemimpinan institusional. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa gaya kepemimpinan di pesantren mempunyai ciri paternalistik, dan free rein leadership, dimana pemimpin pasif, sebagai seorang bapak yang memberikan kesempatan kepada anaknya untuk berkreasi, tetapi juga otoriter, yaitu memberikan kata-kata final untuk memutuskan apakah karya anak buah yang bersangkutan dapat diteruskan atau tidak.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa Kyai sebagai pimpinan pesantren dalam membimbing para santri atau masyarakat sekitarnya memakai pendekatan situasional. Hal ini nampak dalam interaksi antara kyai dan santrinya dalam mendidik, mengajarkan kitab, dan memberikan nasihat, juga sebagai tempat konsultasi masalah, sehingga seorang kyai kadang berfungsi pula sebagai orang tua sekaligus guru yang bisa ditemui tanpa batas waktu. Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa kepemimpinan kyai penuh tanggung jawab, penuh perhatian, penuh daya tarik dan sangat berpengaruh. Dengan demikian perilaku kyai dapat diamati, dicontoh, dan dimaknai oleh para pengikutnya (secara langsung) dalam interaksi keseharian.

1 komentar: